Pendugaan populasi harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, pocock 1929 menggunakan metode kamera jebakan di Taman Nasional Berbak

(1)

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA

Panthera tigris sumatrae

, Pocock 1929 MENGGUNAKAN

METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL

BERBAK

EVINE KEMALA OLVIANA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Evine Kemala Olviana. E34062086. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera

Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak. Pembimbing : Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka yang kritis (critically endangared) berdasarkan kategori IUCN. Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera menekankan pada perjumpaan tidak langsung. Namun dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan kerancuan dan bias yang tinggi. Saat ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak dengan metode kamera jebakan dan mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera.

Pengambilan data dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan Juli hingga Oktober 2010 bertempat di Taman Nasional Berbak, Jambi. Peralatan yang digunakan antara lain : kamera jebakan tipe DLC Covert II dan DeerCam, baterai, kartu memori, rol film, kamera digital, dan GPS (Global Positioning System) receiver. Metode penelitian yang digunakan adalah metode tangkap tandai (capture-recapture) menggunakan kamera jebakan yang diletakkan pada lokasi-lokasi yang berpotensi ditemukan keberadaan harimau. Kamera dipasang di 32 lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 2-2,5 km. Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola garis loreng, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pendugaan kepadatan harimau dianalisis melalui program CAPTURE dan luas area contoh efektif.

Jumlah foto dan video yang berhasil terkumpul sebanyak 1031 gambar diantaranya sebanyak 262 gambar (25,41%) dapat merekam secara jelas gambar objek satwa. Dari 262 gambar terdapat 15 gambar harimau sumatera yang berhasil terekam kamera. Jumlah individu harimau sumatera yang berhasil tertangkap kamera sebanyak tujuh individu. Lokasi yang berhasil merekam gambar harimau paling banyak adalah di Parit 14 dengan jumlah gambar yang berhasil terkumpul sebanyak tujuh gambar. Parit 14 merupakan lokasi yang memiliki kelimpahan satwa mangsa yang tinggi dimana berkolerasi dengan tingkat perjumpaan harimau melalui kamera jebakan. Luas area contoh efektif adalah 139,43 km2 dengan kepadatan harimau sumatera sebesar 4,39 harimau/100 km2. Perbandingan jenis kelamin adalah 4 jantan dan 2 betina serta memiliki kelas umur yang sama yaitu dewasa. Peluang kemungkinan tertangkap individu harimau pada seluruh ulangan yaitu 98% sehingga tidak sulit untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Satwa mangsa utama harimau sumatera di lokasi studi adalah babi jenggot Sus barbatus, napu Tragulus napu, beruk Macaca nemestrina dan tapir Tapirus indicus. Faktor cuaca seperti panas dan hujan mempengaruhi kinerja dari kamera jebakan. Kepadatan harimau sumatera tergolong tinggi namun berbagai ancaman terhadap harimau dan satwa mangsa juga tinggi. Perlunya studi mendalam mengenai pemilihan lokasi pemasangan kamera jebakan untuk mendapatkan tangkapan foto harimau yang lebih tinggi


(3)

Evine Kemala Olviana. E34062086. Estimation of Sumatran Tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Population Using Camera Trap in Berbak National Park. Under Supervisor: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

The sumatran tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 is one of top predator species with their status as critically endangered species based on IUCN category. Most of sumatran tiger population monitoring techniqes is emphasized on the indirect count. However, the output of population assessing almost appear confussion and more higher biased. And now, monitoring method has developed by camera trap. The objectives of this research is to estimation of sumatran tiger population using camera trap in Berbak National Park and to identification of sumatran tiger potential prey.

This research was conducted from July until October 2010 in Berbak National Park, Jambi. The equipments were used in this study are DLC Covert II and DeerCam camera trap units, dry cell battery, memory card, film roll, digital camera, and GPS receiver. The research methods is capture recapture method using camera trap which placed at potential locations of tiger presence in study area. Camera was spread at 32 location with the distance each others about 2-2,5 km. Tigers were identified as individual based on their stripes pattern, different characteristic like their morphology and basic body dimension. Estimation of tiger density was analysed by program CAPTURE and effective sampling area wide.

A total of collected photo and video is 1031 frame that consist of 262 frame capture the wildlife photograhs (25,41%). From 262 wildlife photographs, there is 15 tiger photographs were obtained. A total of identified tiger based on camera trap in study area is seven tigers. The location where recording most of tiger photographs is Parit 14 with seven photographs. Parit 14 is a location with high prey abundant which related to tiger encountered rate by camera trap. The effective sampling area wide is 139,43 km2 with estimating approximately of tiger density based CAPTURE program is 4,39 tiger per 100 km2. The tiger’s sex ratio in this studi is 4 male and 2 female with the same age class (i.e. adult). There is no a cub was recorded by camera trap. Tiger capture probability in all of occasion is 98% that means to not difficult to find of tiger’s signs in study area. The tiger’s principal preys species in study area are breaded pig (Sus barbatus), greater mouse deer (Tragulus napu), pig tailed macaque (Macaca nemestrina), asian tapir (Tapirus indicus). A weather factor such as warm and rain is influencing the camera trap performance. Sumatran tiger density is high but the threath of sumatran tiger and their prey is high too. Needed strongly study about location selection of camera trap to obtain higher sumatran tiger photographs.


(4)

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA

Panthera tigris sumatrae

, Pocock 1929 MENGGUNAKAN

METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL

BERBAK

EVINE KEMALA OLVIANA

Skripsi sebagai salah satu syarat

Memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011 Evine Kemala Olviana


(6)

Judul : Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan Di Taman Nasional Berbak

Nama : Evine Kemala Olviana

NIM : E34062086

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas : Kehutanan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.

NIP. 19482081 198001 1 001 NIP. 19660221 199103 1 001

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Ketua,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

Penulis dilahirkan di Ketiau tanggal 1 Maret 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Heru Winarto dan Ibu Cicik Masriyam. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1993 di TK PG Cinta Manis dan tahun 1994 melanjutkan ke SD PG Cinta Manis, Ketiau, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Tanjung Raja dan kemudian pada tahun 2003 dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi Ikatan Mahasiswa Sumatera Selatan (IKAMUSI), Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan (HIMAKOVA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF). Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Sancang-Kamojang, Jawa Barat dan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Jambi. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktik Lapang Mahasiswa Pascasarjana Program Tropical and International Forestry Goettingen University Germany di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak” dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr.Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.


(8)

Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara atas doa, perhatian, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama pengambilan data dan penyusuanan skripsi. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberi nasihat, masukan, semangat, dan bimbingannya selama ini.

2. Bapak Soni Trison, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk skripsi ini dan Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku ketua sidang yang telah memberi nasihat untuk penulis.

3. The Zoological Society of London (ZSL-IP) atas bantuan dana, sarana dan prasarana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. 4. Balai Taman Nasional Berbak atas izin dan bantuan yang diberikan selama

penelitian.

5. Pak Dolly Priatna (Direktur ZSL) yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian bersama, Tim Survei harimau sumatera Berbak: Mbak Citra N. Panjaitan (Tiger Officer) yang telah memberikan saran dan masukan selama penelitian, Mas Doyok, Mas Edi, Pak Dedi, Bang Unga, Bang Ajie, Bang Ali, Bang Zainal yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang luar biasa selama pengambilan data di lapang, Pak Purwanto, Pak Mulya dan Mbak Ike yang telah memberi bantuan selama di kantor Jambi serta Pak Agus dan Mbak Erna atas bantuannya selama di kantor Bogor.

6. K’Anti sekeluarga, K’Na sekeluarga, Mas Edi sekeluarga dan Mas Doyok sekeluarga yang bersedia direpotkan penulis selama penelitian. Terima kasih banyak untuk semuanya.

7. Teman-teman “Pondok Surya”: Uins, Dhila, Emil, Dea, Ane atas dukungan dan kebersamaannya selama studi hingga lulus. We are always be best friend.

ありがとう ございます。

8. Teman-teman seperjuangan (semua anggota UKF) atas ilmu dan pengalaman, kebersamaan, keceriaan serta dukungan. You are the secondly families for me. 9. Seluruh Keluarga Besar KSHE 43 yang beragam dan menyenangkan (like a


(9)

baik. We are the best.

14. Bapak, Ibu Dosen dan seluruh staf di lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.

15. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya hingga terselesaikannya skripsi ini.

Bogor, Juli 2011


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala Rahmat dan BerkahNya penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan berjudul “Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak”.

Harimau sumatera merupakan salah satu spesies yang sebarannya terbatas hanya di Sumatera. Pendugaan populasi harimau sumatera telah banyak dilakukan melalui berbagai metode, namun penggunaan kamera jebakan belum banyak dilakukan. Penggunaan metode ini diharapkan dapat menghasilkan dugaan populasi yang lebih baik serta menghemat waktu, tenaga dan biaya dalam pengumpulan data populasi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

Semoga dengan skripsi ini dapat membantu upaya kegiatan konservasi populasi dan habitat harimau sumatera di Taman Nasional Berbak.

Bogor,

Evine Kemala Olviana E34062086


(11)

(i)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Taksonomi ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera ... 5

2.4 Populasi dan Distribusi ... 6

2.5 Satwa Mangsa ... 7

2.6 Habitat ... 8

2.7 Wilayah Jelajah dan Teritori ... 9

2.8 Perilaku ... 10

2.8.1 Perilaku Berburu ... 11

2.8.2 Perilaku Reproduksi ... 11

2.9 Teknik Pendugaan Populasi ... 12

2.10 Kamera Jebakan (Camera Trap) ... 13

2.11 Program CAPTURE ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Jenis Data ... 17

3.4 Teknik Pengambilan Data ... 18

3.4.1 Populasi dan Potensi Mangsa Harimau ... 18

3.4.2 Karakteristik Habitat Harimau ... 20

3.5 Analisis Data ... 21

3.5.1 Populasi Harimau dan Potensi Satwa Mangsa ... 21

3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa ... 21

3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau ... 23

3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsa ... 24

3.5.2 Karakteristik Habitat Harimau ... 24

IV. KONDISI UMUM LOKASI ... 26

4.1 Sejarah dan Status ... 26

4.2 Letak dan Luas ... 26

4.3 Kondisi Fisik Kawasan ... 27


(12)

(ii)

4.3.3 Aksesbilitas ... 27

4.4 Kondisi Biologi Kawasan ... 28

4.4.1 Flora ... 28

4.4.2 Fauna ... 29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1 Kondisi Habitat ... 30

5.2 Hasil Pemasangan Kamera Jebakan (Camera Trap) ... 36

5.3 Populasi Harimau Sumatera ... 39

5.3.1 Kepadatan Harimau Sumatera ... 39

5.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin ... 44

5.3.3 Struktur Umur ... 45

5.4 Pola Waktu Aktivitas Harimau dan Satwa Mangsa ... 46

5.5 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate) Harimau Sumatera ... 49

5.6 Spesies Satwa yang Ditemukan di Setiap Titik Kamera ... 51

5.7 Karakteristik Habitat ... 55

5.7.1 Ketersediaan Sumber Air ... 55

5.7.2 Satwa Mangsa ... 56

5.8 Ganggguan/ Ancaman terhadap Harimau Sumatera ... 61

5.8.1 Penebangan Liar (Illegal Loging) ... 61

5.8.2 Perburuan Ilegal Satwa ... 62

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

6.1 Kesimpulan ... 63

6.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(13)

(iii)

No. Halaman 1. Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan

lindung utama ... 7 2. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Dalam .. 31 3. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Laut ... 32 4. Data analisis vegetasi dengan jenis-jenis tiga teratas di sekitar Pos

Simpang Malaka ... 36 5. Hasil pengambilan gambar harimau sumatera dan identifikasi individu

harimau pada periode 1 dan 2 ... 38 6. Hasil penghitungan pada program CAPTURE menggunakan model Mo

dan Mh ... 40 7. Populasi dugaan harimau sumatera berdasarkan analisis program

CAPTURE ... 41 8. Perbandingan jenis kelamin harimau sumatera ... 44 9. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode pertama . 52 10. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode kedua ... 54 11. Jenis satwa mangsa potensial harimau sumatera ... 57


(14)

(iv)

No. Halaman

1. Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng ... 5

2. (a) Pemasangan baterai dan kartu memori; (b) Pengaturan kamera melalui remote control; (c) Pemasangan kamera jebakan model DLC Covert II ... 18

3. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Berbak . ... 19

4. Bentuk jalur analisis vegetasi ... 20

5. Contoh identifikasi pada dua individu harimau ... 22

6. (a) Kondisi lantai hutan di lokasi pemasangan kamera; (b) Kondisi tajuk pohon ... 33

7. Pelindung (cover) harimau di Simpang Kubu ... 34

8. Peta sebaran titik kamera jebakan (camera trap) ... 37

9. Grafik jumlah gambar yang diperoleh per hari kamera aktif ... 39

10. Peta sebaran individu harimau sumatera di lokasi penelitian ... 42

11. Perjumpaan jejak kaki harimau sumatera (a) jejak kaki di lokasi Simpang Bantang; (b) jejak kaki di lokasi Simpang Aur ... 44

12. Individu harimau sumatera jantan (a) King Arthur; (b) Pandawa ... 45

13. Individu harimau dengan kelas umur dewasa (adult) ... 46

14. Grafik persentase waktu aktivitas satwa berdasarkan hasil foto kamera jebakan ... 48

15. Grafik tingkat perjumpaan (encounter rate) harimau sumatera di berbagai lokasi ... 50

16. Sumber air di habitat hutan rawa gambut (a) kubangan; (b) sungai ... 56

17. (a) Babi jenggot (Sus barbatus); (b) Beruk (Macaca nemestrina) ... 58

18. Jejak kaki tapir (Tapirus indicus) yang ditemukan di Parit 14 ... 59

19. Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan hasil kamera jebakan ... 61

20. (a) Log kayu yang siap angkut; (b) Rel kayu yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan ... 62

21. (a) Pondok pemburu burung yang terdapat di dalam hutan; (b) Sarang burung yang digunakan untuk mengumpulkan burung; (c) Jerat satwa mangsa harimau sumatera ... 64


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka yang kritis (critically endangered) berdasarkan kategori IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Oleh karena itu harimau sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi untuk dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008–2018.

Sumatera diperkirakan masih menyisakan areal seluas 130.000 km2 sebagai habitat harimau sumatera (Wikramanayake et al. 1998). Populasi harimau sumatera menempati kawasan konservasi dan perbukitan hutan, serta areal-areal di luar kawasan konservasi seperti hutan produksi. Populasi harimau sumatera di luar kawasan konservasi diduga relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan tingginya ancaman terhadap populasi harimau sumatera oleh perburuan liar dan perusakan habitat. Kelangkaan populasi harimau sumatera juga dipicu akibat semakin berkurangnya populasi satwa mangsa di alam.

Ancaman terhadap populasi harimau sumatera semakin meningkat sehingga jumlah populasinya kian berkurang. Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai tahun 1994 jumlah populasi harimau sumatera yang masih hidup di alam diperkirakan hanya berkisar 300–400 ekor. Sejak tahun 1978 hingga 2007, populasi harimau sumatera cenderung semakin menurun dan diduga populasi harimau sumatera pada tahun 2007 tidak lebih dari 300 individu.

Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera yang dilakukan hingga saat ini menekankan pada perjumpaan tidak langsung yaitu melalui jejak tapak kaki, kotoran, atau cakaran, baik di tanah maupun di pohon (scratch dan scrape). Metode ini termasuk konvensional dan telah banyak diterapkan karena relatif murah, sederhana, dan tidak membahayakan pengamat. Namun demikian dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan kerancuan dan bias yang tinggi, terutama akibat sulitnya menemukan jejak tapak kaki pada tanah kering, permukaan tanah ditutupi serasah, atau tanah terlalu


(16)

lembek. Kelemahan teknik tersebut terus diupayakan perbaikannya dan sekarang ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan (camera trap). Prinsip dasar yang diterapkan dalam pendugaan populasi melalui kamera jebakan adalah teknik tangkap–tangkap kembali (capture–recapture). Penggunaan kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan efektivitas metode survei dan pemantauan sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols 2002). Penerapan metode ini juga telah banyak dilakukan pada satwa yang memiliki perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera.

Taman Nasional Berbak merupakan salah satu lanskap hutan alam yang masih menyediakan habitat substansial bagi pelestarian dan penyelamatan populasi harimau sumatera. Namun demikian, informasi tentang keberadaan dan populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak tergolong kurang tersedia akibat sedikitnya penelitian yang dilakukan guna mengkaji harimau sumatera. Oleh karena itu penelitian pendugaan populasi harimau sumatera menggunakan kamera jebakan perlu dilakukan untuk mengetahui prosedur pemasangan kamera jebakan guna menduga populasi harimau sumatera.

1.2 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

a) Menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak menggunakan kamera jebakan.

b) Mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera. 1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a) Menyediakan informasi tentang prosedur pemasangan kamera jebakan untuk pendugaan populasi harimau sumatera.

b) Sebagai sumber data dan informasi terbaru mengenai populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak.

c) Sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan tindakan dan upaya pelestarian populasi harimau sumatera.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Berdasarkan pengklasifikasian oleh Slater & Alexander (1986), taksonomi harimau sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo Carnivora, Family Felidae, Sub Family Pantherinae, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Subspesies Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929). Menurut Hoogerwerf (1970) genus Panthera terbagi menjadi empat spesies yaitu P. pardus macan tutul, P. leo (singa), P. onca jaguar dan P. tigris harimau. Selanjutnya Grzimek (1975) menyatakan terdapat delapan subspesies harimau Panthera tigris di dunia tetapi tiga diantaranya telah dinyatakan punah. Subspesies tersebut antara lain:

1. Panthera tigris altaica; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.

2. Panthera tigris amoyensis; Harimau Cina, terdapat di Cina

3. Panthera tigris corbetti; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.

4. Panthera tigris tigris; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.

5. Panthera tigris sumatrae; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera. 6. Panthera tigris sondaica; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan

punah sekitar tahun 1980.

7. Panthera tigris balica; Harimau Bali, terdapat di Pulau Bali, dinyatakan punah pada tahun 1937.

8. Panthera tigris virgata; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, dinyatakan punah sekitar tahun 1950.

2.2 Morfologi

Harimau sumatera memiliki ukuran tubuh antara 140–280 cm dengan panjang ekor antara 60–110 cm. Umumnya bobot badan harimau sumatera jantan lebih berat dibanding betina dengan kisaran antara 100–140 kg untuk jantan dan antara 75–110 kg untuk betina (IUCN 1996). Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk


(18)

rata-rata adalah 80–90 cm. Ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina sehingga memiliki perbedaan bentuk (dimorphic). Pada umumnya ukuran tubuh harimau sangat bervariasi baik panjang tubuh, tinggi pundak, maupun beratnya, yang bergantung pada subspesiesnya. Subspesies yang hidup di daerah yang lebih jauh dari garis khatulistiwa memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar (Subagyo 1996).

Harimau mempunyai corak loreng di bagian tubuh yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, serta antara sisi kanan dan kiri tubuhnya. Corak loreng ini dapat dianalogikan dengan sidik jari pada manusia. Corak loreng bervariasi dalam jumlah loreng, ketebalan loreng, kepadatan loreng serta kecenderungan untuk terpecah atau menjadi totol-totol. Warna loreng pada kebanyakan harimau bervariasi dari coklat hingga hitam (Franklin et al. 1999).

Warna dasar tubuh harimau adalah cokelat kekuningan dengan berbagai corak loreng di bagian punggung dan samping tubuhnya. Garis hitam di atas mata cenderung simetrik, tetapi bentuknya dari sisi muka dapat berbeda. Jantan biasanya mempunyai kerut lebih mencolok, khususnya pada harimau sumatera. Pada bagian dada, perut dan kaki sebelah dalam berwarna agak keputihan. Telinga sebelah luar berwarna hitam dengan noda putih di tengahnya. Ekor harimau relatif panjang, bercincin warna hitam di atas warna jingga, kuning atau kuning tua (Franklin et al. 1999).

Kunci keberhasilan identifikasi harimau terletak pada penyusunan serangkaian foto untuk setiap individu harimau, yang terdiri atas gambar-gambar tajam yang diambil dari sisi kanan, kiri, depan dan belakang satwa tersebut (Franklin et al. 1999). Dalam mengidentifikasi individu harimau berdasarkan loreng, beberapa ilmuwan menggunakan metode model tiga dimensi yang dikembangkan oleh Lex Hiby (Hiby et al. 2009) (Gambar 1). Model tiga dimensi ini dicocokan dengan foto harimau dari hasil kamera jebakan. Titik kuning yang terdapat di gambar mengindikasikan sebagai posisi poin dasar bahu, pinggul dan ekor sedangkan titik merah dan biru mengindikasikan garis terluar bagian atas dan bawah harimau di gambar. Titik-titik tersebut merupakan koordinat dari model gambar yang didapat.


(19)

Gambar 1 Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng

Jejak kaki harimau bervariasi tergantung pada umur, tetapi tidak akurat untuk memperkirakan jumlah pada inventarisasi populasi harimau berdasarkan ukuran jejak. Kaki belakang harimau lebih panjang dibanding kaki depannya sehingga memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh. Kaki depan dan bahu lebih besar dan berotot dibanding kaki belakang. Terdapat lima jari pada kaki depan sedangkan kaki belakang hanya empat jari. Cakar pada kaki depan dilengkapi dengan kuku yang panjang, runcing dan tajam yang panjangnya 80– 100 mm dan digunakan untuk menangkap dan menggenggam mangsanya. Kuku-kuku ini dapat disembunyikan atau ditarik (retractable) bila tidak digunakan. 2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera

Didalam komunitas biologi, spesies tertentu atau kelompok spesies dengan ciri-ciri ekologi yang sama (guilds) dapat menentukan kemampuan sejumlah besar spesies lain untuk bertahan di dalam komunitas tersebut, sehingga mereka disebut spesies kunci (keystone species) (Indrawan et al. 2007). Spesies kunci memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari habitat atau ekosistem. Jika hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan atau fungsi yang salah yang bisa berefek pada skala yang lebih besar. Melindungi spesies kunci adalah prioritas bagi usaha konservasi, karena jika spesies ini hilang dari daerah konservasi maka spesies lain akan ikut hilang juga. Predator utama adalah salah satu spesies kunci karena ikut mengontrol jumlah populasi herbivora (Redford 1992). Memusnahkan sejumlah kecil saja predator, yang hanya sebagian kecil dari komunitas biomasa, secara potensial


(20)

akan menimbulkan perubahan yang dramatis pada vegetasi dan kehilangan besar kenanekaragaman hayati (McLaren & Peterson 1994 dalam Indrawan et al. 2007). Spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik melalui aktivitasnya, sering disebut sebagai insinyur ekosistem yang juga dapat digolongkan sebagai spesies kunci.

Spesies bendera merupakan spesies yang dipilih sebagai duta besar, ikon atau simbol untuk mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak lingkungan. Dengan memfokuskan dan mengusahakan konservasi jenis ini, status dari jenis lain yang menempati habitat yang sama atau rawan menjadi ancaman yang sama. Spesies bendera biasanya relatif berukuran besar dan kharismatik, contohnya panda. Spesies bendera bisa merupakan spesies kunci atau spesies indikator maupun tidak sama sekali. Beberapa contoh spesies bendera di Indonesia adalah orangutan, harimau sumatera, badak, gajah sumatera, dan elang jawa.

Dalam rantai makanan, terdapat beberapa tingkatan yang memiliki peran dari masing-masing tingkat trofik diantaranya produsen, konsumen dan dekomposer. Karnivora yang juga dikenal sebagai konsumen sekunder atau pemangsa, membunuh dan memangsa hewan lainnya yang menjadikannya digolongkan ke dalam tingkat ketiga. Harimau sumatera merupakan salah satu satwa karnivora yang dapat memangsa satwa herbivora maupun sesama satwa karnivora. Kebutuhan akan daging yang banyak menjadikan satwa tersebut menempati tingkat trofik teratas dalam suatu ekosistem. Satwa pemangsa utama berperan mengendalikan populasi satwa yang berada dibawahnya dalam siklus rantai makanan. Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan di hutan tropis. Peranannya sebagai pemangsa utama, menjadikan harimau salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Kepunahan akan terjadi pada harimau sumatera apabila ancaman terhadap kehidupan satwa ini terus berlangsung.

2.4 Populasi dan Distribusi

Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai tahun 1994 perkiraan jumlah harimau sumatera yang masih hidup alami di dalam kawasan hutan sumatera


(21)

adalah hanya tersisa sekitar 400-500 ekor. Populasi harimau tersebut sebagian besar tersebar di kawasan hutan konservasi seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan lindung utama

Kawasan Lindung Luas Total (Ha)

Habitat tersedia (Ha)

Perkiraan populasi (ekor)

TN Gunung Leuser 900.000 360.000 110

TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76

TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68

TN Berbak 163.000 14.000 50

TN Way Kambas 130.000 97.000 20

SM Kerumutan 120.000 78.000 30

SM Rimbang 16.000 122.000 43

Sumber: PHPA (1994)

Menurut Wikramanayake et al. (1998), Sumatera diperkirakan masih mempunyai areal seluas 130.000 km2 untuk menjadi habitat harimau sumatera, dan hanya sepertiganya atau sekitar 42.000 km2 yang masuk ke dalam kawasan bebas pembangunan dan logging. Dua belas (12) lansekap pelestarian harimau atau “Tiger Conservation Landscapes” (TCLs) yang masih menawarkan substansial habitat untuk menyelamatkan populasi harimau sumatera adalah Tesso Nilo, Bukit Barisan Selatan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Kuala Kerumutan, Bukit Balai Rejang-Selatan, Bukit Rimbang Baling, Rimbo Panti-Batang Timur, Rimbo Panti-Batang Barat, Leuser, Berbak and Sibolga.

2.5 Satwa Mangsa

Kepadatan populasi harimau di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan ketersediaan satwa mangsa harimau tersebut. Kepadatan satwa mangsa merupakan faktor yang sangat signifikan dalam menentukan ukuran teritori harimau betina, dan kondisi selanjutnya akan menentukan kepadatan populasi harimau secara keseluruhan (Sherpa & Maskey 1998). Hewan mangsa harimau sumatera belum dikaji secara mendalam. Diduga jenis-jenis hewan mangsa mempengaruhi dinamika dan ekologi harimau sumatera di area yang bersangkutan.

Kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat menggantikan pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pecernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson 1990 dalam Sriyanto 2003). Satwa ini termasuk


(22)

satwa oportunis dalam pemilihan pakan di alam. Dalam habitat tertentu, daging merupakan suplai pakan yang terbatas. Schaller 1967 dalam Endri 2005 mengatakan total jumlah pakan yang dimakan kurang lebih seperlima dari berat tubuhnya. Dalam memangsa satwa mangsa, biasanya harimau tidak menghabiskan satwa buruannya secara keseluruhan namun hanya sekitar 70% saja dimakan (Seidensticker et al. 1999), sedangkan yang 30% lagi tidak dimakan. Untuk satwa mangsa yang berukuran besar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan binatang lain (Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977).

Harimau mulai berburu pada awal petang dan akan berburu semua jenis hewan apapun yang dapat ditangkapnya. Hewan mangsa utama harimau di India adalah berbagai jenis rusa, gaur, babi hutan, landak, marmut, monyet dan hewan ternak (Karanth & Sunquist 1995). Berdasarkan laporan Griffith (1994) hewan mangsa potensial yang disukai oleh harimau di Taman Nasional Gunung Leuser adalah rusa sambar, babi hutan, muntjak dan landak. Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari kebutuhan harimau tersebut mencari pakan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi pakan anaknya (MacDonald 1986, Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005).

2.6 Habitat

Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Tipe habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al. 1992). Harimau sumatera lebih menyukai tempat-tempat yang memiliki biomasa mangsa yang masih tinggi dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sungai. Oleh karena itu biasanya harimau sumatera mendiami habitat yang terutama berhubungan dengan hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput namun sangat susah ditemukan pada daerah bervegetasi semak belukar yang terlalu rapat (Santiapillai


(23)

& Ramono 1985 dalam Endri 2005). Menurut Van Der Zon (1979) dalam Nasution (1985), habitat harimau sumatera adalah hutan terbuka, hutan sekunder dan savana. Prijono et al. (1978) mengatakan hutan yang merupakan habitat harimau adalah hutan sekunder dan hutan primer dataran rendah sampai pegunungan dan sering juga terdapat di padang alang-alang serta hutan terbuka.

Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena terdapat kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove. Satwa ini lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering. Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner 1992).

2.7 Wilayah Jelajah dan Teritori

Harimau sumatera memiliki daerah jelajah yang cukup luas. Ini disebabkan karena harimau memiliki perilaku hidup yang soliter. Wilayah jelajah merupakan keseluruhan wilayah dimana satwa menjelajah untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya pada suatu waktu tertentu sedangkan daerah teritori merupakan suatu wilayah yang dipertahankan dimana ukurannya tergantung ukuran tubuh dan ketersediaan pakan (Anonim 2004). Umumnya harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas dibandingkan harimau betina. Wilayah jelajah untuk harimau jantan diperkirakan seluas 60-100 km2 sedangkan harimau betina sekitar 20 km2. Sebagian harimau betina remaja dan anakan adalah philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith 1993). Sriyanto dan Rustiadi (1997) menyatakan luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. Diketahui jelajah harian babi hutan yang merupakan satwa mangsa utama harimau adalah 5 – 16 km dan biasanya melewati jalur jalan yang tetap.

Daerah teritori akan ditempati oleh individu yang berbeda sehingga untuk penandaan wilayah jelajah tersebut harimau sumatera meningggalkan tanda-tanda


(24)

seperti cakaran di pohon (scratch), urin, kotoran (scat) untuk menandakan daerah teritori. Penandaan ini diulangi secara rutin oleh harimau jantan maupun betina dengan frekuensi pengulangan meningkat pada zona dimana kontak dengan harimau lain lebih sering terjadi. Biasanya harimau akan mempertahankan daerah teritorinya hinggga terjadi konflik dengan individu lain. Harimau jantan memiliki daerah teritori 3-4 kali lebih luas dari harimau betina. Harimau jantan menggunakan daerah teritorinya biasanya untuk kawin sedangkan harimau betina biasa menggunakan daerah teritorinya untuk kawin dan mengasuh anak. Ukuran teritori untuk sekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (MacDonald 1986). Di Taman Nasional Way Kambas dalam 100 km2 dihuni oleh 3-5 ekor harimau (Sinaga 2004).

Menurut McDougal (1979) luas teritorial harimau jantan lebih kurang 50-150 km2 dan harimau betina 15-50 km2. Harimau jantan memiliki teritori yang paling kuat di dalam areal habitat utama yang mencakup beberapa teritori harimau betina dengan rasio 1 jantan: 3 betina (Sherpa & Maskey 1998). Selanjutnya Jackson (1990) dalam Sriyanto (2003) menambahkan bahwa harimau jantan teritorinya tiga kali lebih sering daripada betina. Harimau jantan cenderung merupakan penghuni teritori yang lebih sering berubah, sedangkan betina menguasai teritori untuk periode yang lebih lama. Hal ini dapat dilihat bahwa jantan memiliki teritori yang berpotongan dengan teritori dari satu atau lebih betina (Singh 1999).

2.8 Perilaku

Harimau mempunyai indera penciuman yang kuat dan seringkali meninggalkan tanda berupa urin dengan bau yang khas. Tanda tersebut berfungsi sebagai penanda wilayah kekuasaan atau sebagai alat komunikasi yang lebih spesifik seperti identitas individu, periode waktu individu harimau lewat pada area tertentu dan penanda estrus pada harimau betina (Lekagul & McNeely 1977). Harimau dianggap sebagai satwa nokturnal, yaitu satwa yang aktif pada malam hari. Namun hal tersebut tidak mutlak terjadi. Harimau cenderung menghindari panas pada siang hari dan sering berendam di dalam air agar tetap sejuk. Harimau juga diketahui merupakan perenang yang handal.


(25)

2.8.1 Perilaku Berburu

Umumnya harimau berburu antara sore dan pagi hari (fajar), tetapi dalam beberapa kondisi harimau berburu siang hari. Hewan mangsa harimau adalah seluruh satwa yang ada di habitat mereka, yang terdiri dari berbagai jenis rusa, babi, kerbau dan banteng. Harimau juga memangsa anak gajah dan badak, serta jenis lainnya yang lebih kecil, termasuk monyet, burung, reptil dan ikan. Harimau memiliki teknik berburu untuk mendapatkan mangsa yang mengandalkan taktik. Pada jarak yang sangat dekat, yaitu kurang dari 50 meter, dengan cepat mangsa diterkam pada bagian leher atau tengkuk dengan cakar depan. Mangsa yang lebih kecil, diserang dengan lompatan dari depan. Dengan tungkai depan, ia memegang tengkuk mangsa dan mendorongnya ke tanah. Untuk mangsa yang lebih besar, terkadang harimau terlebih dahulu menggigit putus urat lututnya dari belakang, kemudian melompat ke atas punggungnya, memegang tengkuk dengan cakar tungkai depan dan melemparkan satwa mangsa ke bawah. Sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan oleh satwa lainnya (Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977).

Harimau dapat makan 18-40 kg daging mangsanya dalam sekali makan. Jika tidak hancur, ia kembali ke tempat tersebut untuk makan sisa-sisa kecil. Mangsa yang besar ditangkap satu kali seminggu. Diperkirakan frekuensi pembunuhan oleh betina tanpa anak adalah sekali setiap 8-8,5 hari. Walaupun mempunyai keahlian berburu yang tinggi, harimau sering tidak berhasil. Berburu mangsa biasanya dilakukan secara individu tapi pernah juga kelihatan harimau berburu secara berkelompok. Grzimek (1975) menyebutkan bahwa harimau biasanya cenderung menarik mangsanya yang telah mati mendekati sumber air dan memakannya di sana.

2.8.2 Perilaku Reproduksi

Pada umur 3 tahun, harimau telah dewasa dan selama 11 tahun berikutnya, harimau betina akan beranak setiap 2-2,5 tahun. Waktu diantaranya diisi dengan membesarkan dan mendidik anaknya. Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak bahkan hingga empat ekor. Lama masa kehamilan harimau


(26)

sumatera adalah 100-108 hari dan perkembangbiakan hanya terjadi setiap dua atau tiga tahun sekali (Suwelo dan Somantri 1978 dalam Lestari 2006).

Harimau betina mengasuh sendiri anaknya dan memisahkannya jika terluka atau sakit. Pada umur 8 minggu, anak harimau keluar dari tempat tidurnya dan mereka disusui hampir setengah tahun. Selama masa birahi harimau betina memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit istirahat.

2.9 Teknik Pendugaan Populasi

Dalam teknik inventarisasi satwaliar dan pendugaan populasi satwa terdapat beberapa teknik pengamatan antara lain melalui pengamatan tidak langsung seperti menghitung jejak kaki, kotoran, sisa makanan, dan suara. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pendugaan kepadatan satwa antara lain transek garis (line transect), penangkapan atau pengumpulan (removal traping or collecting) serta observasi visual (visual observation). Transek garis (line transect) merupakan metode yang biasa digunakan oleh biologis untuk menduga kepadatan populasi. Metode dasar transek garis (line transect) adalah pengamat berjalan pada kecepatan konstan melewati sebuah habitat dan mencatat jumlah satwa yang ditemui. Jumlah ini akan menjadi refleksi untuk kepadatan satwa, kecepatan berpindah, jarak pengamat dengan objek dan kecepatan bergerak pengamat (Southwood 1966). Sedangkan prinsip metode penangkapan atau pengumpulan (removal trapping or collecting) adalah untuk mengetahui jumlah satwa yang bergerak di suatu habitat pada setiap pengulangan penangkapan. Laju tangkapan akan berhubungan secara langsung dengan ukuran populasi total (yang belum diketahui) dengan jumlah yang diperoleh (yang diketahui). Selain itu, terdapat teknik pengamatan secara langsung dengan mengamati satwa yang dijumpai secara langsung di lokasi pengamatan (visual observation). Metode ini merupakan pendekatan yang paling sederhana, dimana pengamat menghitung semua satwa yang dilihat pada suatu area atau waktu tertentu.

Namun untuk satwa seperti harimau yang memiliki perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) cukup sulit ditemukan secara langsung. Metode yang sering digunakan dan merupakan teknik tertua dalam mengamati satwa jenis ini adalah pengamatan melalui jejak yang ditinggalkan


(27)

oleh harimau. Teknik pengamatan dengan mempelajari jejak atau tanda yang ditinggalkan harimau tersebut cenderung memiliki eror/ kesalahan yang cukup tinggi karena sulit untuk membedakan jejak kaki dari individu yang berbeda. Pencatatan jejak kaki dilakukan hanya untuk menentukan apakah suatu jenis tertentu mendiami suatu areal dan atau menentukan tingkat perjumpaan yang dikategorikan jarang atau umum dijumpai pada area survei (Povey & Spaulding 2009). Selain metode konvensional, teknik pengamatan satwaliar dapat juga dilakukan dengan teknik tangkap dan tangkap kembali (capture recapture) menggunakan kamera jebakan. Metode kamera jebakan merupakan metode yang dapat dipercaya yang dipakai oleh para ahli untuk dapat memperkirakan populasi suatu jenis satwa dalam suatu wilayah (Povey & Spaulding 2009) karena dapat dilakukan pada satwa yang memiliki tanda atau ciri khusus ditubuhnya sehingga dapat diidentifikasi secara individu. Berdasarkan asumsi metode Peterson, terdapat beberapa asumsi yang mendasari analisis metode tangkap dan tangkap kembali (capture recapture) yaitu (1) populasi merupakan populasi tertutup, sehingga N adalah konstan, (2) semua satwa memiliki peluang yang sama untuk tertangkap pada periode pertama, (3) penandaan individu tidak mempengaruhi penangkapannya, (4) satwa tidak kehilangan tanda antara dua periode sampling, dan (5) semua tanda dilaporkan pada penemuan di periode kedua.

2.10 Kamera Jebakan (Camera Trap)

Dewasa ini, teknik pengamatan satwaliar di alam telah berkembang dengan ditemukannya metode tangkap dan tandai yang digunakan untuk mengamati satwa yang sulit untuk dijumpai seperti perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic). Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera jebakan merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols 2002). Generasi kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan keefektifan dalam metode survei dan monitoring untuk sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols 2002). Dengan adanya sistem kamera jebakan dapat digunakan untuk memantau populasi satwaliar yang terancam punah keberadaannya di alam liar.


(28)

Penggunaan metode kamera jebakan untuk memantau populasi karnivora besar pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India. Di Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara (Griffith & Schaik 1993), di Way Kambas dengan jumlah individu harimau sumatera yang berhasil diidentifikasi sebanyak enam ekor (Franklin et al. 1999), di Bukit Barisan Selatan dengan estimasi jumlah populasi harimau sumatera sebanyak 40-43 ekor (O’Brien et al. 2003), di Kerinci Seblat (Linkie 2006) dan di Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh dengan estimasi jumlah individu sebanyak lima ekor (Hutajalu 2007).

Selain harimau sumatera, penggunaan kamera jebakan dalam teknik survei satwaliar juga diterapkan pada satwa lain, beberapa diantaranya antara lain tapir asia Tapirus indicus di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional Kerinci Seblat (Holden et al. 2003); Galliformes di hutan dataran rendah, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Winarni et al. 2004); badak jawa Rhinocerus sondaicus di hutan dataran rendah, Taman Nasional Ujung Kulon (Griffith & Schaik 1993); macan tutul jawa Panthera pardus melas di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Kamera jebakan bekerja menggunakan sistem infra merah yang dapat mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Sensor merupakan suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan energi seperti energi listrik, fisika, kimia, biologi, mekanik dan sebagainya. Sensor panas berfungsi untuk mendeteksi gejala perubahan panas/temperatur/suhu pada suatu dimensi benda atau dimensi ruang tertentu. Pada kamera jebakan terdapat bagian berupa fotosensor sehingga otomatis melakukan proses jepretan. Setiap satwa yang melintas akan terekam gambarnya oleh kamera melalui fotosensor yang disambungkan ke kamera. Gambar-gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan ditransformasikan ke dalam perangkat lunak komputer. Keberadaan set kamera tidak mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas di depan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada saat harimau melintasi kamera jebakan akan


(29)

mengaktifkan secara otomatis dan menangkap gambar individu yang melintas dengan jelas (Karanth & Nichols 2002).

2.11 Program CAPTURE

Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa perangkat lunak komputer yang dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth & Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera jebakan tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data capture-recapture populasi tertutup (closed population) secara demografi. Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera jebakan atau periode penangkapan tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut dikategorikan terbuka dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al. 1978 dalam Rexstad & Burnham 1991). Linkie et al. (2006) selanjutnya menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen. b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat

pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan kanan harimau terlihat berbeda).

c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling, kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah individu untuk kemungkinan menghindari bias.

Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang cocok untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Otis et al. 1978 dalam Rexstad & Burnham 1991) yaitu :


(30)

a. M0, yaitu peluang tertangkap seluruh individu harimau adalah sama dan tidak

terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h). b. Mh (Jackknife, Nh), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada

masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan waktu. Hal ini mungkin dikarenakan aksesibilitas tangkapan yang ditentukan oleh status kediaman (penetap atau tidak) dari harimau.

c. Mb (Zippin, Nb) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan

sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau waktu. Model Mb memperkirakan untuk trap happines atau trap shyness yaitu

satwa tersebut merubah perilakunya setelah tertangkap kamera untuk pertama kalinya, walaupun secara fisik trap tidak menandai individu satwa, tetapi individu satwa hanya terkena kilatan atau flash kamera.

d. Mt (Darroch, Nt) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh

individu harimau, tetapi bervariasi selama survei yang hanya disebabkan faktor waktu spesifik. Misalnya tangkapan sedikit jika cuaca tidak menentu yang selanjutnya akan mengurangi aktivitas satwa seperti selama musim hujan harimau mengurangi ukuran daerah jelajahnya. Seekor harimau saat setelah melahirkan akan mengurangi peningkatan aktivitas berburunya yang biasanya sembilan hari menjadi tujuh hari, peluang tangkap harimau pada masa tersebut akan semakin kecil karena harimau tersebut akan tetap selalu dekat dengan anaknya.


(31)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari Bulan Juli hingga Oktober 2010 bertempat di Taman Nasional Berbak, Jambi bekerja sama dengan The Zoological Ssociety of London-Tiger Project (ZSL). Penelitian dilakukan di dua blok hutan yaitu Air Hitam Dalam dan Air Hitam Laut.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kamera jebakan tipe DLC Covert II dimana memiliki ukuran yang kecil dan mudah disembunyikan dari pencuri serta sangat efisien terhadap baterai dan DeerCam, baterai (AAA) dan baterai 9 volt, kartu memori, rol film, kamera digital, peta kerja, tally sheet, GPS (Global Positioning System) receiver, kompas, lem “Sealant”, seling besi, penunjuk waktu, alat tulis menulis, pita meter, buku panduan lapang mamalia, plastik spesimen dan tali tambang. Objek penelitian adalah harimau sumatera serta habitatnya dan satwa mangsa harimau.

3.3 Jenis Data

Jenis data primer yang diambil dikelompokkan ke dalam data: a) pendugaan populasi dan potensi mangsa harimau, serta b) karakteristik habitat harimau. Data populasi harimau dan mangsa harimau dikumpulkan melalui keberadaan individu yang terdeteksi oleh kamera jebakan. Jenis data populasi dan satwa mangsa harimau yang dicatat meliputi: nama lokasi pemasangan kamera, posisi geografis lokasi, tanggal terdeteksi satwa tertangkap kamera, tanggal pemeriksaan, keberadaan jejak harimau dan satwa mangsa. Data karakteristik habitat yang dikumpulkan meliputi: jenis dan jumlah individu pohon pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon; kemiringan lahan, ketinggian tempat, keberadaan sumber air, jarak dari sumber air, serta jarak dari sumber gangguan manusia.

Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi sebaran populasi dan satwa mangsa harimau, serta kondisi habitat yang mencakup tipe hutan dan tipe tutupan


(32)

lahan. Data sekunder dikumpulkan melalui metode studi literatur terhadap sumber informasi yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti jurnal dan karya ilmiah lainnya, serta wawancara dengan kelompok masyarakat setempat.

3.4 Teknik Pengambilan Data

3.4.1 Populasi dan Potensi Mangsa Harimau

Metode penelitian yang digunakan adalah metode capture-recapture (tangkap-tangkap kembali) menggunakan kamera jebakan yang diletakkan pada lokasi-lokasi yang berpotensi di wilayah studi yaitu lokasi dimana satwa melakukan aktivitas, tempat-tempat yang sering digunakan dan dikunjungi oleh satwa liar seperti sumber air, tempat mengasin (saltlick), dan sumber pakan. Diketahui bahwa harimau merupakan jenis satwa melanistic yang dapat dibedakan secara individu berdasarkan pola loreng dan ukuran tubuh (Franklin et al. 1999, Karanth & Nichols 2002). Data pada kamera mencetak foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Kamera jebakan dipasang pada batang pohon dengan ketinggian rata-rata 40-45 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 3 meter dari pinggir jalur (Karanth 1995). Kamera dipasang di 32 lokasi dengan menggunakan kamera jebakan sebanyak 26 unit dengan jarak antar kamera rata-rata 2-2,5 km. Pemilihan lokasi pemasangan kamera didasarkan pada topografi yang relatif datar dan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Setiap unit di program untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 menit dan beroperasi selama 24 jam/hari. Berikut langkah kerja pemasangan kamera jebakan (Gambar 2).

(a) (b) (c)

Gambar 2 (a) Pemasangan baterai dan kartu memori; (b) Pengaturan kamera melalui remote control; (c) Pemasangan kamera jebakan tipe DLC


(33)

Lama periode sampling adalah tiga bulan dengan asumsi populasi tertutup yaitu tidak ada perubahan jumlah populasi selama periode sampling. Pembagian waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth 1995; Karanth & Nichols 1998, 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pengecekan kamera dilakukan satu kali dalam periode 3 minggu untuk penggantian film, baterai, silica gel dan kartu memori. Pemasangan kamera jebakan dilakukan berdasarkan pembagian grid 17 x 17 km. Kemudian grid tersebut dibagi menjadi 36 grid cell dengan ukuran 2,5 x 2,5 km/ cell. Penentuan titik kamera dilakukan secara random/acak di dalam grid cell.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Berbak.

Selain menggunakan metode kamera jebakan, metode penemuan jejak juga dilakukan untuk menambah informasi mengenai keberadaan harimau sumatera dan potensi mangsa. Pengamatan melalui jejak merupakan pengamatan secara tidak langsung untuk mengetahui keberadaan satwa yang sulit untuk dijumpai secara langsung seperti harimau sumatera. Jejak merupakan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh satwa seperti tapak kaki, kotoran, cakaran (scratch dan scrape), sisa makanan dan lain-lain. Pengamatan melalui penemuan jejak


(34)

dilakukan di jalur yang dilalui saat pemasangan dan pengecekan kamera jebakan. Perjumpaan tak langsung tersebut dicatat ukurannya, perkiraan umur, waktu, dan keterangan lain yang berkaitan. Kontak tidak langsung yang dapat digunakan sebagai penduga individu harimau yang berbeda adalah jejak kaki yang ditinggalkan. Sebagai informasi tambahan, apabila perbedaan ukuran antara dua jejak harimau yang ditemukan lebih besar dari 1 cm maka dapat dikatakan kedua jejak tersebut berasal dari dua individu yang berbeda.

3.4.2 Kondisi Habitat Harimau

Metode yang dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis penyusun cover adalah dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Pengukuran dilakukan dengan mengukur vegetasi pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk mengetahui karakteristik pembentuk cover hutan. Ukuran petak adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah nama jenis, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total (Soerianegara dan Indrawan 1998).

Gambar 4 Bentuk jalur analisis vegetasi. Keterangan: A = Petak pengamatan tingkat semai (2 x 2 m)

B = Petak pengamatan tingkat pancang (5 x 5 m) C = Petak pengamatan tingkat tiang (10 x 10 m) D = Petak pengamatan tingkat pohon (20 x 20 m) 10 m

10 m

20 m

1000 m

A B


(35)

3.5 Analisis Data

3.5.1 Populasi Harimau dan Satwa Potensi Mangsa 3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa

Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola loreng (McDougal 1979, Karanth 1995, Franklin et al. 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pengembangan database dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Langkah selanjutnya untuk mengidentifikasi individu harimau adalah dengan membandingkan dua foto pada sisi yang sama, dalam hal ini mencari sesuatu yang lebih umum hingga spesifik. Ukuran tubuh harimau adalah salah satu alat penyaring/filter pertama. Untuk jenis kelamin, secara genetalia dapat diidentifikasi dari luar terutama harimau jantan. Demikian pula untuk menentukan harimau jantan dewasa yang lebih tua, pola rambut muka yang berlainan yang mungkin berwarna kemerah-merahan atau sedikit gelap kadang kala dapat membantu untuk membedakan jenis kelamin (Franklin et al. 1999). Dalam membedakan harimau dapat berdasarkan pada panggul, bahu, panjang-pendek loreng pada ekor, loreng bagian luar maupun bagian dalam pada kaki depannya, dan kadang-kadang pipi atau dahi jika gambar diambil dari arah depan. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999). Individu harimau yang telah teridentifikasi dengan jelas berdasarkan ciri pola loreng kemudian diberi nama pada setiap individu harimau sehingga individu harimau yang telah teridentifikasi memiliki nama masing-masing. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991) dan untuk menentukan luas area contoh efektif (effective sampling area) dilakukan analisis menggunakan Arc GIS 9.3.


(36)

Gambar 5 Contoh identifikasi pada dua individu harimau.

Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu:

1) Trap night merupakan lama hari aktual kamera jebakan beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan kamera jebakan yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak.

2) Trap night effective merupakan lama hari aktual kamera jebakan aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu kamera jebakan yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.

3) Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0).

4) Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame.

5) Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t).

6) Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu kamera jebakan beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.

7) Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu.

8) Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah


(37)

disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al. (2003).

3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau

Analisis kepadatan absolut (harimau/100 km2) digunakan dengan mengetahui ukuran populasi dugaan (N). Selanjutnya data hasil identifikasi foto harimau yang diperoleh, digunakan untuk analisis capture recapture guna memperkirakan ukuran populasi harimau sumatera (N-hat). Dengan asumsi tertutup (closure test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth & Nichols 2002) melalui program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture adalah model Mh dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup secara demografi dengan asumsi tak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survei. Nilai N merupakan ukuran populasi dugaan harimau yang diperoleh dari analisis program CAPTURE.

.

Keterangan : D : Estimasi kepadatan harimau (harimau/100 km2)

N : Ukuran populasi dugaan harimau

A (W) : Area contoh efektif (km2)

Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) (Karanth & Nichols 1998, 2002) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda.


(38)

,

Keterangan : w = lebar garis batas (km)

m = Jumlah satwa yang terekam minimal 2 kali.

d = rata-rata jarak maksimum perpindahan.

di = Jarak dari tiap individu recapture ke-i

3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa

Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (O’Brien et al. 2003).

∑ ∑∑ .

Keterangan : ER : Tingkat perjumpaan (encounter rate)

Σf : Jumlah total foto yang diperoleh

Σd : Jumlah total hari operasi kamera

3.5.2 Kondisi Habitat Harimau

Data kondisi vegetasi yaitu hasil analisis vegetasi di tiap tipe hutan. Data hasil inventarisasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) :

Kerapatan Jenis (K) =

Kerapatan Relatif (KR) =

Dominasi Jenis (D) =

contoh petak total Luas i -ke jenis individu Jumlah % 100 jenis seluruh Kerapatan i -ke jenis Kerapatan x contoh plot total Luas dasar bidang Luas


(39)

Dominasi Relatif (DR) =

Frekuensi Jenis (F) =

Frekuensi Relatif (FR) =

INP = KR + DR + FR

% 100 jenis semua Dominasi

jenis suatu Dominasi

x

contoh petak seluruh Jumlah

i -ke jenis ditemukan petak

Jumlah

% 100 jenis seluruh frekuensi

Jumlah

i -ke jenis kerapatan Frekuensi


(40)

IV. KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Sejarah dan Status

Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 18 tanggal 29 Oktober 1935, Taman Nasional Berbak semula berstatus Wild Reservat (Wildlife Reserve/Suaka Margasatwa) dengan luas 190.000 hektar. Mulanya kawasan ini dibawah pengelolaan Sub Balai KSDA Jambi. Pada tahun 1992 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 285/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari. Pada tahun 1997 Taman Nasional Berbak berdiri lepas dari BKSDA Jambi berdasarkan SK Menhut Nomor 185/Kpts-II/1997 Tanggal 31 Maret 1997. Pada Konverensi Ramsar tahun 1992, Berbak termasuk dalam Ramsar Site yaitu perlindungan terhadap lahan basah yang ditetapkan berdasarkan Keppres No.48 tanggal 19 Oktober 1991.

4.2 Letak dan Luas

Taman Nasional Berbak terletak di sebelah Timur Propinsi Jambi, memanjang di tepian Sungai Batanghari sampai dengan Muara Sungai Berbak. Namun untuk batas Taman Nasional Berbak bukan Sungai Batanghari atau Sungai Berbak, antara sungai dengan batas taman nasional terdapat desa-desa yang masuk wilayah Kecamatan Rantau, Nipah Panjang dan Sadu. Kawasan Taman Nasional Berbak memiliki luas sebesar 162.700 ha berdasarkan SK penetapan Taman Nasional Berbak. Secara geografis, Taman Nasional Berbak terletak diantara 104° 05' - 104° 26' BT dan 01° 08' - 01° 43' LS sedangkan secara administratif berada di dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung sebesar 80% dan Kabupaten Batanghari sebesar 20%.

Adapun batas kawasan Taman Nasional Berbak adalah:

1. Sebelah utara berbatasan dengan desa-desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Nipah Panjang dan Kecamatan Rantau Rasau.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Sembilang Propinsi Sumatera Selatan.

3. Sebelah timur berbatasan dengan desa-desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Laut Cina Selatan.


(41)

4. Sebelah barat berbatasan dengan Taman Hutan Raya dan Hutan Lindung Gambut.

4.3 Kondisi Fisik Kawasan 4.3.1 Topografi

Kawasan Taman Nasional Berbak sebagian besar berupa lahan basah dan bergambut. Taman Nasional Berbak yang terletak di pesisir pantai timur Jambi ini mempunyai kondisi topografi yang relatif datar sampai agak landai dengan ketinggian antara 0-12,5 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Formasi geologi Taman Nasional Berbak termasuk formasi deposit aluvial. Jenis tanah organosol (gambut) yang tergenang sepanjang tahun, bersifat masam sehingga merupakan kendala besar bagi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian.

4.3.2 Iklim

Curah hujan rata-rata di Taman Nasional Berbak adalah 2.300 mm per tahun atau rata-rata lebih dari 200 mm per bulan dalam 5-6 bulan dan kurang dari dua bulan rata-rata curah hujannya 100 mm per bulan. Temperatur udara di kawasan hutan Taman Nasional Berbak berkisar antara 25° - 28° C.

4.3.3 Aksesibilitas

Untuk mencapai kawasan Taman Nasional Berbak (Air Hitam Dalam dan Air Hitam Laut) dari Jambi dapat ditempuh melalui perjalanan darat atau air, antara lain sebagai berikut:

a. Air Hitam Dalam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:

1. Jambi-Suak Kandis dengan jalan darat, diperlukan waktu 1,5 jam. Dan dilanjutkan dari Suak Kandis perjalanan menyusuri sungai Batanghari dengan perahu cepat (speed boat) menuju Air Hitam Dalam selama 45 menit.

2. Jambi-Air Hitam Dalam langsung dengan menggunakan perahu cepat diperlukan waktu 2,5 jam.


(42)

b. Air Hitam Laut dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:

1. Jambi-Suak Kandis dengan jalan darat diperlukan waktu 1,5 jam. Dan dilanjutkan dari Suak Kandis perjalanan menyusuri Sungai Batanghari menuju ke Nipah Panjang dengan perahu cepat menuju Desa Air Hitam Laut selama 1 jam. Setelah itu, dilanjutkan perjalanan menuju Air Hitam Laut dengan menggunakan pompong (kapal laut) selama kurang lebih 5 jam.

2. Jambi-Nipah Panjang langsung dengan menggunakan perahu cepat, diperlukan waktu kurang lebih 3,5 jam atau perjalanan darat dengan menggunkan sepeda motor selama kurang lebih 5-6 jam.

4.4 Ekologi Kawasan 4.4.1 Flora

Taman Nasional Berbak memiliki kondisi ekosistem lahan basah rawa-rawa sehingga jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di taman nasional tersebut memiliki ciri-ciri khusus, yaitu tumbuhan dengan kemampuan tahan terhadap genangan air. Tumbuhannya telah tercatat sebanyak 261 jenis (73 famili). Taman Nasional Berbak memiliki jenis-jenis tumbuhan yang berasal dari famili Pandanaceae sebanyak 10 jenis dan terkenal akan jenis palem dari famili Arecaceae yaitu sebanyak lebih dari 27 jenis. Jenis palem tanaman hias yang tergolong langka antara lain jenis daun payung Johanesteijmannia altifrons serta jenis yang baru ditemukan yaitu Lepidonia kingii (Lorantaceae) yang berbunga besar dengan warna merah/ungu dan diduga merupakan jenis endemik Berbak. Selain itu, disepanjang kanan kiri sungai dapat dijumpai jenis rasau, bakung dan rumput-rumputan. Di Taman Nasional Berbak terdapat juga jenis pepohonan besar diantaranya ramin Gonystilus bancanus, jelutung Dyera costulate, durian Durio carinatus, pulai Alstonia pneumatophora serta dari keluarga Dipterocarpaceae. Jenis-jenis anggrek hutan masih banyak yang belum terungkapkan diantaranya adalah anggrek harimau yang berbunga sepuluh tahun sekali.


(43)

4.4.2 Fauna

Taman Nasional Berbak memiliki potensi fauna cukup beragam terutama potensi burung-burung air karena memiliki ekosistem yang merupakan habitat dari burung-burung tersebut. Kawasan Taman Nasional Berbak merupakan salah satu tempat singgahan dari burung-burung migran. Tercatat terdapat 28 jenis mamalia, 224 jenis burung, 44 jenis reptilia dan 35 jenis ikan. Jenis-jenis burung yang terdapat di Taman Nasional Berbak antara lain bebek hutan bersayap putih Cairina scutulata, semua jenis raja udang (Alcedenidae) yaitu raja udang merah api Ceyx erithacus eritahcus, bangau tongtong Leptotilus javanicus, kuntul cina Egretta eulophotes, dan trinil Tringa spp. Diperkirakan kawasan Taman Nasional Berbak memiliki 300 jenis burung. Selain itu, Taman Nasional Berbak juga memiliki potensi satwa mamalia diantaranya beruk Macaca nemestrina, monyet ekor panjang Macaca fascicularis, surili Presbitis cristata, siamang Symphalangus syndactylus, tapir Tapirus indicus, harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, beruang madu Helarctos malayanus, napu Tragulus napu. Beberapa jenis reptil antara lain buaya muara Crocodilus porosus, buaya air tawar/sinyulong (Tomistoma schlegelii), kura-kura gading Orlita borneensis, labi-labi Trionyx spp serta tuntong Batagur baska. Dari jenis ikan terdapat arwana dan belida.


(44)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Habitat

Tipe hutan yang menjadi lokasi penempatan kamera berupa hutan primer yang memiliki kandungan gambut yang tebal. Hampir seluruh lokasi pemasangan kamera termasuk dalam wilayah sebaran gambut. Vegetasi yang mendominasi lokasi merupakan vegetasi hutan rawa gambut dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi. Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun jauh di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di daratan rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau (Wahyunto et al. 2005). Status kawasan lokasi penempatan kamera merupakan kawasan hutan lindung Taman Nasional Berbak. Lokasi penempatan kamera terbagi menjadi dua wilayah yaitu kawasan hutan Air Hitam Dalam dan Air Hitam Laut. Untuk kawasan hutan Air Hitam Dalam, terdapat tujuh lokasi pemasangan kamera diantaranya Sungai Sawah, Simpang Kayu Aro Induk, Sungai Besar, Simpang Batang, Simpang Kayu Aro Kanan, Simpang Kayu Aro Kiri dan Sungai Aur.

Kawasan hutan Air Hitam Dalam memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-20 m dpl. Bila dibandingkan dengan kawasan hutan Air Hitam Laut, lokasi Air Hitam Dalam memiliki ketinggian tempat yang lebih tinggi namun vegetasi tidak terlalu rapat. Vegetasi yang mendominasi lokasi adalah vegetasi pohon dengan ukuran diameter yang besar. Hal ini dikarenakan umumnya lahan gambut di lokasi tersebut membentuk kubah (peat dome) sehingga tumbuhan yang berada pada bagian pinggiran kubah memperoleh pasokan hara dan air tanah yang cukup banyak. Pohon-pohon yang tumbuh di tepi sungai umumnya memiliki diameter yang besar menyerupai pohon yang berada di hutan dataran rendah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan, kerapatan vegetasi pohon berkisar antara 3,57-21,43 individu/hektar. Lokasi dengan kerapatan vegetasi yang jarang, disukai oleh satwa mangsa harimau karena satwa mangsa dapat mengawasi lingkungan sekitar dari gangguan satwa lain ataupun manusia. Jenis vegetasi pohon yang mendominasi kawasan hutan Air Hitam Dalam antara lain punak


(45)

lanceoifolia, meranti bungo Shorea teysmanniana dan kempas Koompassia excelsa.

Berdasarkan analisis vegetasi, jenis yang memiliki INP tertinggi pada tingkat pohon adalah punak Tetramerista glabra sebesar 38,08% (Tabel 2) dan diikuti arang-arang Diospyros lanceoifolia sebesar 30,52%. Lokasi ini memiliki topografi yang datar (flat) dengan kemiringan tempat berkisar antara 0-5% serta terdapat beberapa gundukan tanah di sekitar hutan bagian dalam seperti di Simpang Kayu Aro dan Sungai Sawah. Lantai hutan memiliki komposisi serasah yang cukup tebal dan banyak terdapat batang pohon tumbang yang telah melapuk. Tabel 2 Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Dalam

Tingkat

vegetasi Nama lokal Nama ilmiah Famili

INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1. Arang-arang 2. Kopi-kopi 3. Dederuan 1. Dederuan 2. Kopi-kopi 3. Terentang putih 1. Kelat 2. Sebenyek 3. Mentangur 1. Punak 2. Arang-arang 3. Dederuan Diospyros lanceoifolia Ixora blumei ? ? Ixora blumei Camnosperma auriculatum Eugenia spp ? Calophyllum spp Tetramerista glabra Diospyros lanceoifolia ? Ebenaceae Rubiaceae Anacardiaceae Myrtaceae Clusiacceae Theaceae Ebenaceae 51,63 36,17 30,28 29,69 22,91 11,46 44,08 36,02 31,85 38,08 30,52 25,39 Keterangan : ? = belum diketahui

Kerapatan vegetasi pada tingkat semai di lokasi tersebut adalah 96,4 individu/hektar, tingkat pancang sebesar 271,4 individu/hektar, tingkat tiang sebesar 82,1 individu/hektar, dan untuk tingkat pohon sebesar 161 individu/hektar. Kerapatan vegetasi di Air Hitam Dalam dapat dikatakan cukup jarang bila dibandingkan dengan kerapatan vegetasi di Air Hitam Laut. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat perjumpaan satwa di lokasi tersebut. Kawasan hutan Air Hitam Dalam merupakan kawasan hutan primer yang masih memiliki komposisi vegetasi hutan rawa gambut asli walaupun terdapat gangguan-gangguan kawasan seperti pembukaan kanal di beberapa lokasi dan penebangan pohon. Strata tajuk vegetasi di kawasan hutan Air Hitam Dalam termasuk dalam strata tipe pertengahan atau strata B (10-25 m), strata C dan lapisan vegetasi pembentuk tumbuhan bawah atau strata D dan E. Tajuk pohon cukup rapat yang dapat melindungi harimau dari sinar matahari langsung. Pada lokasi pemasangan kamera, topografi tanah datar dan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya.


(1)

7 Terentang putih Campnosperma sp Anacardiaceae 15 7.89 0.40 6.90 1.30 6.10 20.89 8 Durian Durio zibethinus Bombacaceae 15 7.89 0.20 3.45 1.37 6.42 17.76 9 Punak Tetramerista glabra Theaceae 5 2.63 0.20 3.45 2.49 11.65 17.73 10 Kayu kerupuk Lophopetalum spp. Celastraceae 5 2.63 0.20 3.45 1.59 7.46 13.54 11 Terentang

merah Campnosperma sp Anacardiaceae 5 2.63 0.20 3.45 1.08 5.08 11.16 12 Medang merah Litsea sp Lauraceae 5 2.63 0.20 3.45 0.79 3.71 9.79 13 Tungkai merah 5 2.63 0.20 3.45 0.64 3.01 9.09 14 Kayu malas Parastemon urophyllus Rocaceae 5 2.63 0.20 3.45 0.36 1.68 7.76 15 Meranti bungo Shorea teysmanniana Dipterocarpaceae 5 2.63 0.20 3.45 0.33 1.54 7.62 16 Gadis putih Cinnamommum sp Lauraceae 5 2.63 0.20 3.45 0.27 1.25 7.33 17 Asam kandis Garcinia xanthochymus Clusiaceae 5 2.63 0.20 3.45 0.26 1.22 7.30 18 Mahang Macaranga hypoleuca Euphorbiaceae 5 2.63 0.20 3.45 0.20 0.91 6.99 19 Kelebu 5 2.63 0.20 3.45 0.16 0.76 6.84

Jumlah 190 100 5.8 100 21.35 100.01 300

Lampiran 8. Data analisis vegetasi di sekkitar Pos Simpang Malaka

Lokasi Titik

koordinat

Tingkat

vegetasi No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Σ Ni K KR F FR INP Parit 14 431968,

9847827

Semai

1 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 9 900 47.37 0.4 28.57 75.94

2 Kopi-kopi Ixora blumei Rubiaceae 6 600 31.58 0.4 28.57 60.15 3 Mengkirai Trema orientalis 2 200 10.53 0.2 14.29 24.81

4 Meranti Shorea spp Dipterocarpaceae 1 100 5.26 0.2 14.29 19.55 5 Kelebu 1 100 5.26 0.2 14.29 19.55

Jumlah 19 1900 100 1.4 100 200

Pancang 1 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 6 600 35.29 0.4 33.33 68.63

2 Kopi-kopi Ixora blumei Rubiaceae 5 500 29.41 0.2 16.67 46.08

3 Mengkirai Trema orientalis 4 400 23.53 0.2 16.67 40.20 4 Putat Barringtonia

spicata Lecythidaceae 1 100 5.88 0.2 16.67 22.55

5 Kayu merah 1 100 5.88 0.2 16.67 22.55

Jumlah 17 1700 100 1.2 100 200


(2)

Tiang 1 Medang kunyit Litsea spp Lauraceae 100 33.33 0.2 33.33 2.77 53.31 119.97 2 Arang-arang Diospyros

lanceoifolia Ebenaceae 100 33.33 0.2 33.33 1.61 31.01 97.68

3 Meranti bungo Shorea

teysmanniana Dipterocarpaceae 100 33.33 0.2 33.33 0.82 15.68 82.35

Jumlah 300 100 0.6 100 5.20 100 300

Pohon 1 Pulai Alstonia

pneumatophora Apocinaceae 900 30 1 20 704.3 73.25 123.25

2 Kayu terap Artocarpus sp Anacardiaceae 300 10 0.6 12 79.31 8.25 30.25 3 Kase-kase Ixonanthes sp Linaceae 200 6.67 0.4 8 16.98 1.77 16.43 4 Meranti bungo Shorea

teysmanniana Dipterocarpaceae 200 6.67 0.4 8 9.33 0.97 15.64

5 Bengkal Neolamarckia

cadamba Rubiaceae 200 6.67 0.2 4 25.48 2.65 13.32

6 Bawang-bawang Aglaia sp Meliaceae 100 3.33 0.2 4 31.85 3.31 10.65 7 Kedondong hutan Spondias spp Anacardiaceae 100 3.33 0.2 4 20.89 2.17 9.51 8 Kayu gadis Cinnanmomum

parthenoxylon Lauraceae 100 3.33 0.2 4 15.16 1.58 8.91

9 Selangas 100 3.33 0.2 4 8.78 0.91 8.25 10 Kemiri hutan Aleurites

moluccana Euphorbiaceae 100 3.33 0.2 4 7.65 0.80 8.13

11 Meranti Shorea spp Dipterocarpaceae 100 3.33 0.2 4 7.65 0.80 8.13 12 Kayu arang Cratoxylon

celebicum Guttiferaceae 100 3.33 0.2 4 7.49 0.78 8.11

13 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 100 3.33 0.2 4 7.34 0.76 8.10 14 Medang darah Litsea sp. Lauraceae 100 3.33 0.2 4 6.31 0.66 7.99 15 Rambe-rambe Baccaurea

motleyana Euphorbiaceae 100 3.33 0.2 4 5.35 0.56 7.89

16 Arang-arang Diospyros

laceifolia Ebenaceae 100 3.33 0.2 4 4.36 0.45 7.79

17 Balam Palaquium sp Sapotaceae 100 3.33 0.2 4 3.26 0.34 7.67

Jumlah 3000 100 5 100 961.5 100 300


(3)

86

Simpang

Kubu

422311,

9838849 Semai No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili K KR F FR INP 1 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 200 66.66 0.4 66.66 133.3

2 Rengas Gluta rengas Anacardiaceae 100 33.33 0.2 33.33 66.66

Jumlah 300 100 0.6 100 200

Pancang 1 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 1200 54.55 1 41.67 96.21

2 Kopi-kopi Ixora blumei Rubiaceae 500 22.73 0.4 16.67 39.39 3 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 200 9.09 0.4 16.67 25.76

4 Arang-arang Diospyros

lanceoifolia Ebenaceae 100 4.55 0.2 8.33 12.88

5 Putat Barringtonia

spicata Lecythidaceae 100 4.55 0.2 8.33 12.88

6 Plangas 100 4.55 0.2 8.33 12.88

Jumlah 2200 100 2.4 100 200

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili K KR F FR D DR INP Tiang 1 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 400 25 0.2 7.69 5.53 21.24 53.93

2 Terentang putih Campnosperma

spp Anacardiaceae 200 12.5 0.4 15.38 3.49 13.41 41.30

3 Mentangur Calophyllum

inophyllum 200 12.5 0.4 15.38 2.18 8.36 36.25

4 Plangas putih 100 6.25 0.2 7.69 3.06 11.73 25.67 5 Bengkal Neolamarckia

cadamba Rubiaceae 100 6.25 0.2 7.69 2.58 9.91 23.86

6 Medang labu Endospermum

diadenum Euphorbiaceae 100 6.25 0.2 7.69 2.40 9.23 23.17

7 Meranti bungo Shorea

teysmanniana Dipterocarpaceae 100 6.25 0.2 7.69 1.75 6.74 20.68

8 Arang-arang Diospyros

lanceifolia Ebenaceae 100 6.25 0.2 7.69 1.40 5.38

19.32 9 Kayu arang Cratoxylon


(4)

10 Kempas Koompassia

excelsa Caesalpinaceae 100 6.25 0.2 7.69 1.21 4.64

18.58 11 Cempedak air Artocarpus

maingayi Moraceae 100 6.25 0.2 7.69 1.08 4.17 18.12

Jumlah 1600 100 2.6 100 26.0 100 300

Pohon 1 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 700 23.33 0.8 15.38 69.91 27.57 66.29

2 Terentang putih Campnosperma

spp Anacardiaceae 500 16.66 1 19.23 26.20 10.33 46.23

3 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 300 10 0.4 7.69 18.75 7.39 25.08 4 Petar hutan Parkia sp Leguminoceae 200 6.66 0.4 7.69 10.57 4.17 18.53 5 Pulai Alstonia

pneumatophora Apocinaceae 100 3.33 0.2 3.84 28.74 11.33 18.51

6 Malas Parastemon

urophyllus Rocaceae 100 3.33 0.2 3.84 20.38 8.03 15.21

7 Rengas Gluta rengas Anacardiaceae 100 3.33 0.2 3.84 14.51 5.72 12.90 8 Kayu aro Ficus variegata Moraceae 100 3.33 0.2 3.84 13.45 5.30 12.48 9 Cempedak air Artocarpus

maingayi Moraceae 100 3.33 0.2 3.84 9.63 3.79 10.97

10 Medang putih Litsea spp. Lauraceae 100 3.33 0.2 3.84 9.63 3.79 10.97

11 Selangas 100 3.33 0.2 3.84 7.49 2.95 10.13 12 Asam kandis Garcinia

xanthochymus Clusiaceae 100 3.33 0.2 3.84 5.48 2.16 9.34

13 Medang labu Endospermum

diadenum Euphorbiaceae 100 3.33 0.2 3.84 4.35 1.71 8.89

14 Kelat merah Bouea spp Anacardiaceae 100 3.33 0.2 3.84 3.79 1.49 8.67 15 Mentangur Calophyllum

inophyllum 100 3.33 0.2 3.84 3.79 1.49 8.67

16 Rambe Baccaurea

motleyana Euphorbiaceae 100 3.33 0.2 3.84 3.46 1.36 8.54

17 Kecapi Sandoricum spp Meliaceae 100 3.33 0.2 3.84 3.36 1.32 8.50

Jumlah 3000 100 5.2 100 253.5 99.9 300


(5)

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Σ Ni K KR F FR INP Simpang

Gajah

426513,

9838973 Semai 1 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 3 300 30 0.4 25 55 2 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 2 200 20 0.4 25 45

3 Kopi-kopi Ixora blumei Rubiaceae 2 200 20 0.2 12.5 32.5 4 Selumar Jackia ornata Rubiaceae 1 100 10 0.2 12.5 22.5 5 Terentang putih Campnosperma

spp Anacardiaceae 1 100 10 0.2 12.5 22.5

6 Arang-arang Diospyros

lanceifolia Ebenaceae 1 100 10 0.2 12.5 22.5

Jumlah 10 1000 100 1.6 100 200

Pancang 1 Kopi-kopi Ixora blumei Rubiaceae 5 500 83.33 0.2 50 133.3 2 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 1 100 16.67 0.2 50 66.67

Jumlah 6 600 100 0.4 100 200

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili K KR F FR D DR INP Tiang 1 Terentang putih Campnosperma

spp Anacardiaceae 900 29.03 0.8 19.04 12.44 24.6 72.68

2 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 600 19.35 0.8 19.04 9.77 19.33 57.73

3 Kayu lempung 300 9.67 0.4 9.52 5.69 11.26 30.46

4 Selumar Jackia ornata Rubiaceae 400 12.90 0.4 9.52 3.87 7.652 30.07 5 Cempedak air Artocarpus

maingayi Moraceae 200 6.45 0.4 9.52 4.47 8.856 24.83

6 Cengal merah Hopea spp Dipterocarpaceae 100 3.22 0.2 4.76 2.96 5.857 13.84 7 Kelat merah Bouea spp Anacardiaceae 100 3.22 0.2 4.76 2.58 5.114 13.10 8 Arang-arang Diospyros

lanceifolia Ebenaceae 100 3.22 0.2 4.76 2.58 5.114 13.10

9 Kayu gadis Cinnanmomum

parthenoxylon Lauraceae 100 3.22 0.2 4.76 2.49 4.936 12.92

10 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae 100 3.22 0.2 4.76 1.54 3.047 11.03 11 Pait-pait Eugenia spp Myrtaceae 100 3.22 0.2 4.76 1.27 2.519 10.50


(6)

12 Asam kandis Garcinia

xanthochymus Clusiaceae 100 3.22 0.2 4.76 0.86 1.714

9.701

Jumlah 3100 100 4.2 100 50.5 100 300

Pohon 1 Kayu pagar Ixonanthes

icosandra Linaceae 2000 54.05 1 27.02 204.8 62.24 143.3

2 Terentang putih Campnosperma

spp Anacardiaceae 500 13.51 0.6 16.21 20.96 6.37 36.1

3 Arang-arang Diospyros

lanceifolia Ebenaceae 200 5.40 0.5 13.51 10.76 3.26 22.18

4 Kayu aro Ficus variegata Moraceae 100 2.70 0.2 5.40 31.84 9.67 17.78 5 Kayu gadis Cinnanmomum

parthenoxylon Lauraceae 200 5.40 0.2 5.40 16.65 5.05 15.86

6 Kayu lempung 200 5.40 0.2 5.40 9.72 2.95 13.76

7 Kemang Mangifera caesia Anacardiaceae 100 2.70 0.2 5.40 10.52 3.19 11.30 8 Jelutung Dyera costulata Apocinaceae 100 2.70 0.2 5.40 6.449 1.96 10.06 9 Pagar putih Ixonanthes sp Linaceae 100 2.70 0.2 5.40 6.449 1.96 10.06

10 Serdang Pholidocarpus

sumatrana Palmae 100 2.70 0.2 5.40 6.30 1.91 10.02

11 Jangkang Xylopia altissima Annonaceae 100 2.70 0.2 5.40 4.59 1.39 9.50

Jumlah 3700 100 3.7 100 329.1 100 300