Studi Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat.

(1)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) adalah satu dari tiga subspesies harimau yang masih hidup di Indonesia saat ini. Dua subspesies lain yaitu harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) telah dinyatakan punah, meskipun ada beberapa pihak yang masih meyakini harimau jawa masih ada.

Populasi harimau sumatera pada saat ini cukup menghawatirkan seiring dengan semakin berkurangnya hutan sebagai habitatnya. Menurut Siswomartono et. al (1994), jumlah populasi harimau sumatera di alam diperkirakan tinggal 400-500 ekor. Harimau sumatera merupakan satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Harimau sumatera juga masuk dalam kategori Apendix I dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang berarti bahwa harimau sumatera merupakan satwa yang terancam punah dan tidak diijinkan diperdagangkan dalam bentuk apapun. Berdasarkan IUCN (The International Union for Conservation of Nature and Resources), sejak tahun 1994 harimau sumatera merupakan satwa sangat terancam punah (critically endangered) dalam daftar Red Data Book of Endangered Species.

Pengurangan hutan sebagai habitat harimau sumatera juga diduga berpengaruh terhadap jumlah satwa mangsanya. Satwa mangsa merupakan salah satu kebutuhan utama harimau sumatera demi kelangsungan hidupnya. Berkurangnya satwa mangsa merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan hidup harimau sumatera (Karanth dan Stith, 1999). Sebagai satwa karnivora sejati, harimau sangat menggantungkan hidupnya pada keberadaan satwa mangsa sebagai sumber pakannya (Kitcherner, 1991). Ketersediaan satwa mangsa yang cukup di dalam habitatnya menjadi syarat yang harus terpenuhi agar harimau sumatera tetap lestari. Harimau sumatera memiliki banyak pilihan satwa mangsa, akan tetapi cenderung


(2)

memilih terhadap jenis satwa tertentu yang dijadikan sebagai pakan utamanya (Schaller, 1967 dalam Endri, 2006).

Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki berbagai jenis satwa mangsa harimau sumatera, seperti babi jenggot, babi hutan, kijang, kambing hutan, rusa, kelinci sumatera (Rizwar et al.2001 dan Supriyanto et al. 2000). Kondisi hutan yang masih baik sangat mendukung kehidupan harimau sumatera dan satwa mangsanya. Walaupun demikian, kawasan hutan TNKS tetap tidak terlepas dari berbagai macam ancaman perusakan hutan seperti illegal logging, perburuan, pencurian kayu dan perambahan lahan. Jika ancaman tersebut terus berlangsung, maka kelangsungan hidup harimau sumatera tentu akan terancam dan bila terus terjadi maka secara tidak langsung akan menyebabkan populasi harimau sumatera di TNKS punah.

Oleh karena itu, penelitian terhadap sebaran spasial aktivitas sangat penting dilakukan. Dari penelitian tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi dan data mengenai bentuk dari sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang menyangkut penggunaan habitat yang ada di TNKS. Pengetahuan tentang informasi tersebut sangat berguna untuk membantu dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lokasi-lokasi yang merupakan habitat dari harimau sumatera dan satwa mangsanya yang merupakan upaya-upaya untuk pelestarian harimau sumatera saat ini dan masa yang akan datang.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di wilayah studi. 2. Membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau

sumatera dengan karakteristik habitat di wilayah studi.

3. Memetakan sebaran aktivitas harimau sumatera pada tiap tipe habitat yang ada di wilayah studi.


(3)

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data mengenai sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang berkaitan dengan habitat yang digunakan. Informasi dan data tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pengelolaan dan perlindungan daerah prioritas pengamanan untuk kelestarian harimau sumatera dan habitatnya yang ada di wilayah studi khususnya dan umumnya di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan sekitarnya.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi Harimau 1. Taksonomi

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang masuk ke dalam keluarga kucing. Slater dan Alexander (1986) mengklasifikasikan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Mammalia Ordo : Carnivora Family : Felidae Sub Family : Pantherinae Genus : Panthera Spesies : Panthera tigris

Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae (Pocock,1929)

Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya sudah dinyatakan punah (Grzimek, 1975), subspesies tersebut yaitu :

1. Panthera tigris altaica (Temminck, 1984) ; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.

2. Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905) ; Harimau Cina, terdapat di Cina.

3. Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968) ; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.

4. Panthera tigris tigris (Linnaeus, 1758) ; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.

5. Panther tigris sumatrae (Pocock, 1929) ; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera.


(5)

6. Panthera tigris sondaica (Temminck, 1844) ; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.

7. Panthera tigris balica (Schwarz, 1912) ; Harimau bali, terdapat di Pulau Bali, sudah dinyatakan punah pada tahun 1937.

8. Panthera tigris virgata (IIIiger, 1815) ; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.

2. Morfologi

Menurut Mazak (1981) harimau sumatera merupakan subspesies yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan 5 subspesies harimau lain yang masih ada. Harimau Sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30 m. Umumnya ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Hewan ini memiliki rambut pada badannya sepanjang 8 – 11mm, surai pada harimau sumatera jantan berukuran panjang 11 – 13 cm. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Mountfort, 1973 ; Treep, 1973 ; Hafild dan Aniger, 1984 ; Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; MacDonald, 1986; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Saleh dan Kambey, 2003 dalam Lestari 2006).

Harimau sumatera mempunyai warna tubuh bagian atas lebih gelap dari pada subspesies lain, dan bergaris yang lebih jelas. Warna dasar dari harimau adalah jingga (orange) dengan garis-garis belang berwarna hitam sampai coklat tua yang lebih lebar sehingga cenderung lebih jarang (Mazak, 1981; MacDonald, 1984). Garis belang yang kecil dan hitam akan terlihat diantara garis yang biasa terdapat pada belakang punggung, panggul, dan kaki belakang. Belang pada harimau menurut beberapa ahli berfungsi untuk kamuflase dan bersembunyi dari mangsa incaran (gambar 1). Sebagai perbandingan, harimau sumatera memiliki belang yang paling banyak diantara subspesies lainnya, sedangkan harimau siberia merupakan spesies yang memiliki belang yang paling sedikit (Mazak, 1981).


(6)

Gambar 1 Morfologi Harimau Sumatera (FFI-MHS KS 2008).

3.Populasi dan Distribusi

Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan. Harimau di Aceh hidup di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungai Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak. Di daerah Silindung, harimau kebanyakan terdapat di daerah padang alang-alang dan bahkan di daerah hutan pantai yang berlumpur. Mereka juga hidup di dataran Bengkalis (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006).

Menurut perkiraan pada saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al, 1994).


(7)

Tabel 1 Perkiraan Populasi Harimau Sumatera di Kawasan Lindung Utama (Siswomartono et al.,1994)

Kawasan Lindung

Luas Total (Ha)

Habitat tersedia untuk harimau (Ha)

Perkiraan populasi (ekor)

TN Gunung Leuser 900.000 360.000 110

TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76

TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68

TN Berbak 163.000 14.000 50

TN Way Kambas 130.000 97.000 20

SM Kerumutan 120.000 78.000 30

SM Rimbang 16.000 122.000 43

4. Perilaku a. Perilaku Berburu

Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun, tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al., 1999). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica).

Seperti kucing besar lainnya, harimau memiliki adaptasi morfologi yang memudahkannya untuk berburu mangsa dengan ukuran yang cukup besar, tungkai belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding dengan tungkai depan, dengan keadaan ini akan memungkinkan bagi harimau untuk melakukan lompatan secara maksimal, tungkai depan dan bahu memiliki otot yang lebih padat dan lebih kuat dibandingkan tungkai belakang, cakar depan dilengkapi dengan kuku yang lebih


(8)

panjang dan tajam, tengkorak rahang memendek sehingga dapat meningkatkan daya gigit atau jepit (MacDonald, 1984).

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan 5-6 kg daging per hari (Seidensticker et al,. 1999).

b. Perilaku Reproduksi

Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson et al., 1997). Harimau merupakan satwa yang hidup soliter, namun akan berkelompok jika pada saat masa kawin. Masa kehamilan harimau 103 hari, masa estrus betina ( harimau betina mau menerima jantan untuk melakukan perkawinan) sangat cepat diikuti dengan pergi atau matinya harimau muda (Sunquist et al., 1999).

Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urinnya (McDougal 1979). Selama masa birahi, harimau betina lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit beristirahat.

c. Daya Jelajah dan Teritori

Harimau merupakan satwa yang hidup soliter. Umumnya individu harimau memiliki daerah teritori yang selalu dijaga agar tidak dilalui oleh individu harimau lain. Setiap jenis harimau memiliki daerah jelajah (home range) yang berbeda-beda. Umumnya harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dari pada harimau betina, sebagian harimau betina philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith, 1993 dalam Rudiansyah 2007). Lebih lanjut mengemukakan, jarak jelajah untuk rata-rata harimau jantan adalah 33 km, terjauh 65 km, sedangkan


(9)

jelajah rata-rata harimau betina adalah kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. hal ini bukan berarti harimau tidak mampu menjelajah lebih jauh, akan tetapi daya jelajah harimau tergantung dari daya tahan tubuhnya.

Harimau meninggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses untuk menandakan daerah teritorinya. Ukuran teritori untuk seekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (Mac Donald, 1986; Treep, 1973

dalam Hutabarat, 2005). Luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas (Tilson, et al., 1997).

5. Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung, serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Harimau sumatera tersebar merata di Sumatera akan tetapi keadaan populasi dan persebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, karena belum ada penelitian khusus tentang hal itu. Harimau merupakan jenis kucing besar yang mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda. Satwa ini hidup menyebar di delapan tipe habitat penting di Asia meliputi : hutan hujan dataran rendah, hutan tropis kering dan mangrove, hutan subtropis dan hutan musim, hutan subtropis basah, padang rumput, hutan konifer, dan hutan boreal taiga (Sherpa dan Makey 1998).

Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald, 1984). Secara umum harimau memiliki sifat soliter terutama pada yang jantan dan harimau betina yang sedang mengasuh anaknya (Setijati et al, 1992). Selanjutnya Sriyanto (2003) menambahkan,


(10)

bahwa harimau sumatera yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dapat hidup dengan baik pada daerah yang ada di TNWK mulai dari habitat alang-alang, padang rumput, hutan sekunder, daerah rawa serta semak belukar. Bahkan harimau di TNWK dapat menyeberangi sungai untuk bisa menjangkau daerah lainnya yang masih ada dalam teritorinya.

Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau Sumatra menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992).

Menurut Santiapillai dan Ramono (1985), distribusi harimau sumatera tidak hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok. Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain juga merupakan salah satu ancaman. Tidak seperti keluarga kucing lainnya, harimau sangat suka air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera sangat mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi satwa ini kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tipe habitat yang biasanya menjadi pilihan bagi harimau sumatera di Indonesia sangat bervariasi (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut :

1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan pantai.

2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar. 3. Padang rumput terutama padang alang-alang.

4. Daerah datar sepanjang aliran sungai. 5. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.

Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat


(11)

mendukung kelangsungan hidup harimau karena terdapat kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove, satwa ini lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.

6. Satwa Mangsa

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora pemakan daging yang tidak dapat menggantikan pakannya dengan tumbuhan karena struktur anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Oleh karena keberadaan satwa mangsa sangat penting sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga kucing besar seperti harimau merupakan satwa karnivora spesialis yang cenderung untuk menangkap beberapa jenis mangsa dengan rata-rata kurang lebih empat jenis (Kitcherner, 1991 ; Jackson, 1990).

Jenis-jenis felidae termasuk harimau merupakan satwa opportunis, namun dalam pemilihan makan, harimau cenderung melakukan pemilihan. Satwa mangsa utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae (Karanth dan Sunquist, 1995). Namun demikian dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002).

B. Pola Sebaran Spasial Satwaliar

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak, kelompok, dan sistematis. Pola penyebaran tersebut merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono (2000) pola penyebaran suatu jenis satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.

Ada dua tipe satwa dalam beraktivitas, yaitu soliter dan agregatif. Satwa soliter adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup sendiri


(12)

sedangkan satwa agregatif adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup dalam kelompok. Harimau sumatera merupakan satwa yang hidup soliter, tetapi pada saat tertentu hidup berkelompok seperti saat kawin dan mengasuh anak.

Pola sebaran spasial adalah pola penyebaran satwaliar pada wilayah jelajahnya. Menurut Tarumingkeng (1994) bahwa pola sebaran spasial dapat berbentuk acak, berkelompok, dan sistematik. Pola sebaran spasial acak adalah satwaliar menyebar secara acak atau tidak tentu, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Pola sebaran spasial berkelompok adalah penyebaran satwaliar dalam satu atau beberapa kelompok saja. Pola sebaran spasial sistematik adalah satwaliar menyebar secara merata dalam suatu wilayah tertentu. Pola sebaran spasial sangat ditentukan oleh sumberdaya yang tersedia dan juga predator satwa tersebut. Tarumingkeng (1994) menjelaskan bahwa untuk pola sebaran spasial mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak sumberdaya seperti makanan dan sebagainya.

Hutchinson (1953) dalam Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa penyebab perbedaan pola sebaran spasial diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu : 1. Faktor vektoral, yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah aliran air dan

intensitas cahaya.

2. Faktor reproduktif, yang berkaitan dengan cara berkembang biak suatu organisme. 3. Faktor sosial, sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu atau perilaku bawaan waktu lahir, misalnya perilaku teritori. Penyebab terjadinya karena sifat social pada spesies-spesies tertentu seperti pada beberapa jenis kera yang membentuk kelompok pada suatu areal tertentu.

4. Faktor koaktif, yang timbul sebagai akibat interaksi interen dan inter spesies, seperti persaingan ruang, pakan dan pasangan.

5. Faktor stokostik, yang sebenarnya merupakan variasi acak dari faktor-faktor sebelumnya.


(13)

Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan perilaku) dari satwa itu sendiri. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu : indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan indeks Greens (GI).

C. Pola Penggunaan Ruang

Habitat sebagai ruang bagi satwaliar dalam melakukan berbagai aktivitas hidupnya digunakan dalam suatu pola tersendiri yang menjadikan ciri khas bagi jenis satwa tertentu. Pola sebaran spasial sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang, hal ini untuk mengetahui jenis habitat seperti apa yang ditempati oleh harimau tersebut. Menurut Legay dan Debouzie (1985) dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu wilayah jelajah dan pergerakan. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh satwa berjalan setiap hari dan seberapa besar home range mereka.

Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Anderson, 1985; Bailey, 1984 dalam

Alikodra, 1990). Menurut Weirsung (1973) dalam Hernowo et al. (1991), pembagian pola penggunaan ruang oleh satwaliar di hutan tropika karena adanya stratifikasi tajuk vegetasi. Strata hutan tropika yang digunakan digolongkan sebagai berikut :

1. Above of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di atas tajuk pohon. 2. Top of canopy, yaitu satwaliar yang hidup pada puncak tajuk pohon.


(14)

3. Midle of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah.

4. Scansorial canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah tetapi sering turun ke tanah.

5. Ground living animal, yaitu satwaliar yang hidup di lantai hutan.

Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar, kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan yang mendukung.

Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al., 1985

dalam Mauziah, 1994). Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Santosa, 1990). Mobilitas dan wilayah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.


(15)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah dan Status Kawasan

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pertama kali diusulkan menjadi taman nasional melalui Ketetapan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/x/1982, tanggal 10 Oktober 1982 dengan luas sekitar 1.480.000 ha. TNKS ditetapkan sebagai salah satu calon taman nasional bertepatan dengan kongres taman nasional sedunia III di Bali. TNKS merupakan gabungan kelompok hutan yang ada terutama hutan lindung, cagar alam, dan suaka margasatwa.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dinyatakan secara resmi sebagai taman nasional pada tahun 1992. Kemudian menteri kehutanan dan perkebunan menetapkan luas taman nasional ini dengan SK No. 192/Kpts-II/1996 dengan luas sebesar lebih dari 1.368.000 ha. Setelah penataan batas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 901/Kpts-II/1999 luas TNKS menjadi 1.375.349,867 ha. Sesuai dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya, alasan utama penetapan kawasan hutan sebagai Taman Nasional adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya.

Kawasan hutan TNKS sangat kaya akan biodiversity, pentingnya TNKS telah diakui di dunia internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai situs warisan ASEAN (ASEAN Heritage Site) pada tahun 1991. Pada awal 2004, TNKS, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sudah ditetapkan menjadi salah satu Cluster World Heritage Site. Pada tahun 2005, berdasarkan SK No.420/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004, tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Tetap, dilakukan repatriasi terhadap kawasan Kelompok Hutan Sipurak Hook seluas ± 14,160 ha sehingga luas keseluruhan menjadi ± 1.389.549,867 ha yang meliputi 4 wilayah Propinsi yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan atau meliputi 12 (dua belas) wilayah Kabupaten dan Kota administratif (Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo,


(16)

Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Dharmasraya, Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Muko-Muko Selatan, Musi Rawas dan Kotif Lubuk Linggau).

B. Letak dan Luas

Secara geografis kawasan TNKS terletak pada 100º31’18” – 102º44’1” Bujur Timur dan 1º7’13” – 3º26’14” Lintang Selatan. Luas keseluruhan TNKS menjadi ± 1.389.549,867 ha setelah dimasukkannya kelompok hutan Sipurak hook. Kawasan hutan Ipuh-seblat secara administratif terletak di Provinsi Bengkulu dengan luas ± 831,02 km². adapun luas dari TNKS terbagi ke dalam 4 Propinsi yaitu sebagai berikut:

1. Seluas 347.109 Ha terletak di Propinsi Sumatera Barat 2. Seluas 418.051 Ha terletak di Propinsi Jambi

3. Seluas 345.591 Ha terletak di Propinsi Bengkulu, dan 4. Seluas 245.126 Ha terletak di Propinsi Sumatera Selatan

C. Kondisi Fisik Kawasan C.1. Topografi

Kondisi topografi TNKS adalah bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan ketinggian 200 sampai dengan 3.805 meter dpl. Gunung kerinci merupakan puncak tertinggi dari pegunungan yang ada di kawasan TNKS. Sedangkan topografi di kawasan Ipuh-seblat berupa dataran rendah, berbukit curam yang ketinggiannya berkisar 100-1000 mdpl dengan kelerengan sebagian besar 0-30º. Jenis tanah di kawasan ini adalah berupa Latosol dan atau gabungan antara Latosol dengan podsolik Merah Kuning, sebagian lainnya adalah campuran Podsolik Merah Kuning dengan Litosol. Komposisi lainnya berupa Aluvial, Andosol, Regosol dan Organosol (Supriyanto et al. 2000).

C.2. Iklim

Sebagai bagian dari iklim pulau Sumatera, TNKS memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan yang relatif tinggi dan merata. Rata-rata curah hujan tahunan


(17)

berkisar antara 3.000 mm. musim hujan berlangsung dari bulan September - Februari dengan puncak musim hujan pada bulan Desember. Sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan April – Agustus. Suhu udara rata-rata bervariasi yaitu 28º C di dataran rendah, 20º C di Lembah Kerinci dan 9º C di puncak Gunung Kerinci. Sedangkan kelembaban udara mencapai 80% - 100%.

C.3. Hidrologi

Sebelum disahkan sebagai Taman Nasional, kawasan TNKS merupakan penyatuan dari Kawasan Cagar Alam Indera Pura dan Bukit Tapan, Suaka Margasatwa Rawasa Huku Lakitan, Bukit Kayu Embun dan Gedang Seblat, serta hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang memiliki fungsi Hidrologis penting terhadap wilayah sekitarnya.

Kelompok hutan tersebut merupakan daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Batang Hari, DAS Musi dan DAS wilayah pesisir bagian barat. DAS tersebut sangat vital peranannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bagi hidup dan kehidupan jutaan orang yang tinggal di daerah tersebut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berukuran lebar di kawasan ini antara lain Air Ipuh, Air Seblat, Air Ikan, Air Retak, Air Teramang dan Air Berau. Kemudian juga terdapat sungai besar lainnya yaitu Air Seblat Merah, Tembulun Air Rami, Air Madu dan Air Lupu.

C.4. Aksesibilitas

Kota terdekat dengan TNKS yang memiliki pelabuhan udara adalah Padang, Jambi dan Bengkulu. Perjalanan darat dari jambi ke Sungai Penuh (Lokasi kantor TN) dapat ditempuh dengan kendaraan umum (bus) melalui bangko selama 24 jam perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh melalui Padang, Lubuk Linggau dan Bengkulu. Kemudian dari Sungai Penuh, lokasi yang selanjutnya akan dituju dapat dicapai dengan kendaraan sewaan dari Sungai Penuh. Waktu tempu Sungai Penuh – Ipuh ± 12 jam dengan kendaraan umum.


(18)

D. Kondisi Biologi

Secara umum, TNKS memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena mempunyai keanekaragaman tipe habitat yang sangat kaya dan bervariasi mulai dari tipe hutan dataran rendah sampai dengan alpin. Kawasan ini merupakan bagian terbesar dari hutan hujan tropis dari sumatera bagian selatan. Kekayaan jenisnya sangat tinggi dan telah mewakili seluruh tipe habitat yang terdapat di Sumatera bagian selatan.

Secara umum kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki karakteristik hutan yang sangat unik dan khas yang terbagi dalam tipe ekosistem hutan :

1. Hutan dataran rendah (low land forest). 2. Hutan bukit (hill forest)

3. Hutan sub-montana (sub-montane forest) 4. Hutan montana rendah (lower montane forest) 5. Hutan montana sedang (mid-montane forest) 6. Hutan montana tinggi (upper montane forest), dan 7. Padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket)

8. Lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai sungai besar

D.1. Flora

Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki kurang lebih 4000 jenis tumbuhan yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, termasuk juga terdapat flora yang langka dan endemik yaitu pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia arborea), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi dan R. hasseltii), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanum dan A. decussilvae). Beberapa jenis tumbuhan obat yang biasa digunakan masyarakat sekitar taman nasional, antara lain paku gajah, akar tik ulat, akar kepuh, pinang, kunyit, akar sepakis, ubi itam dan lain-lain. Beberapa jenis anggrek antara lain Spathoglotis plicata, Pholodita articulata, Calanthe triplicata, C. plava, Coelogyne pandura, C. suiphorea, Dendrobium crumenatum,


(19)

Menurut Rizwar et al.(2001) dan Supriyanto et al. (2000), bahwa jenis flora yang ada di TNKS (kawasan Ipuh-Seblat) diantaranya adalah: Shorea sp., Macaranga gigantean, Calamus sp., Artocarpus sp., Dyera sp., Hopea sp., Mallotus sp., Bamboosa sp. Dan lain-lain.

D.2. Fauna

Mamalia; jenis mamalia yang ada di TNKS, langka dan terancam punah antara lain adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kucing emas (Felis temminckii) yang misterius. Selain itu terdapat juga mamalia lain seperti siamang (Hylobathes syndactylus), babi jenggot (Sus barbatus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), rusa (Cervus unicolor), kelinci sumatera (Nesolagus netscheri), macan dahan (Neofelis nebulosa), binturong (Arctictis binturong), dan lain-lain.

Burung; antara lain elang alap besar (Accipiter virgatus), elang kelelawar (Macheiramphus alcinus), elang gunung (Spitazatus alboniger), cekakak batu (Lacedo pulchella), belibis kembang (Dendrocygna arcuata), walet (Collocalia spp), enggang jambul (Aceros comatus), kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), rangkong papan (Buceros bicornis), pergam gunung (Ducula bargia), poksai mantel (Garrulax palliatus), tiong emas (Gracula religiosa), rangkong (Buceros rhinoceros), julang (Aceros undulatus), dan burung gading (Buceros vigil).


(20)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) (gambar 2). Luas TNKS yang ada di Propinsi Sumatera Selatan yaitu 245.126 Ha yang terletak di Kabupaten Musi Rawas dan Kotif Lubuk Linggau. Secara umum, kawasan tersebut memiliki 4 tipe hutan yaitu hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan sub pegunungan, dan hutan pegunungan. Kondisi topografinya bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan ketinggian antara 200 sampai 2300 meter dpl. Kawasan tersebut merupakan daerah aliran sungai (DAS) utama Sumatera Selatan yaitu DAS Musi yang merupakan sungai yang membelah kota-kota di Sumatera Selatan.


(21)

Akses menuju kantor SPTN V Lubuk Linggau sangat mudah. Dari kota Sunagia Penuh dapat ditempuh dengan kendaraan umum melalui Bangko selama 6-8 jam perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh dari kota Bengkulu dengan kendaraan umum melalui Curup selama 3-4 jam perjalanan. Dari kantor SPTN V Lubuk Linggau menuju kawasan hutan taman nasional dapat ditempuh dengan kendaraan umum dengan lama perjalanan 12-15 jam. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 29 Juni sampai 9 Desember 2008.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah harimau sumatera dan satwa mangsanya serta vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peta lokasi SPTN V Lubuk Linggau yaitu berupa peta topografi, GPS Garmin 76 CSX untuk menandakan koordinat titik jejak yang ditemukan, tali tambang, meteran untuk mengukur jejak dan diameter pohon, kompas menentukan arah jalur, golok, kamera Olympus FE 230 7,1 Megapixel untuk mendokumentasikan temuan, dan alat pengukur waktu.

C. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data hasil pengamatan sepanjang jalur transek yang telah ditentukan. Data yang diambil berupa data primer dan sekunder.

C.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan. Data primer merupakan data yang digunakan untuk menganalisis bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera dan hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau sumatera dengan habitat yang ada di lokasi penelitian. Data primer terdiri dari : 1. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik habitat dan komposisi vegetasi.

2. Data mengenai aktivitas harimau sumatera. Data ini didapatkan dari kegiatan pengamatan yaitu berupa perjumpaan tidak langsung (jejak kaki, cakaran di tanah, cakaran di pohon, kotoran, dan cover). Pengamatan dilakukan mulai pukul 08.00 – 15.00 WIB.


(22)

Metode yang digunakan yaitu dengan mengamati aktivitas harimau sumatera dari tanda-tanda yang ditemukan pada jalur pengamatan. Pada setiap wilayah kerja dibuat jalur transek, disesuaikan dengan jalur yang telah ada di lokasi penelitian. Dengan pertimbangan tipe habitat, luasan serta waktu yang dibutuhkan, maka penelitian ini dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut :

1. Hutan dataran rendah : 5 jalur 2. Hutan perbukitan : 30 jalur 3. Hutan sub pegunungan : 12 jalur 4. Hutan pegunungan : 9 jalur

Setiap jalur merupakan garis lurus sepanjang 2,5 km. Jadi panjang total jalur yang diamati adalah sepanjang 140 km dengan luasan total hutan yaitu 1.601,422 km². Luasan masing-masing sebagai berikut: hutan dataran rendah (188,453 km²), hutan perbukitan (755,094 km²), hutan subpegunungan (461,950 km²) dan hutan pegunungan (195,925 km²).

Tahapan dalam kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut : 1. Menentukan jumlah, letak, serta arah jalur pengamatan pada peta.

2. Melakukan pengamatan, seluruh perjumpaan baik secara langsung atau tidak langsung. Selanjutnya perjumpaan dicatat dalam tabel pengamatan dan difoto sebagai dokumentasi temuan di lapangan.

Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tumbuhan dilakukan dengan cara analisis vegetasi yang dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan lebar jalur 20 m dan panjang jalur 200 m. Jumlah plot yang digunakan sebanyak 10 plot pengamatan atau disesuaikan dengan kondisi lapangan.


(23)

Arah jalur 20 m aaaaaa

Gambar 3 Perencanaan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak. Keterangan :

a : Petak tingkat semai dan tumbuhan bawah (2 m x 2 m) b : Petak tingkat pancang (5 m x 5 m)

c : Petak tingkat tiang (10 m x 10 m) d : Petak tingkat pohon (20 m x 20 m)

C.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan masyarakat setempat yang ada di lokasi penelitian. Data sekunder ini dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.

Adapun data sekunder yang didapatkan adalah keberadaan satwa mangsa, kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, ancaman dan gangguan yang terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar TNKS.

D. Analisis Data D.1. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi. Hasil dari analisis vegetasi akan dihitung sehingga didapatkan Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis suatu vegetasi yang paling dominan. Penghitungan analisis vegetasi adalah sebagai berikut :

d

c b

a

b a

d 10 m


(24)

Kerapatan (K) : Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) : Kerapatan suatu jenis X 100% Kerapatan seluruh jenis

Frekwensi (F) : Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

Frekwensi Relatif (FR) : Frekwensi suatu jenis X 100% Frekwensi seluruh jenis

Dominansi (D) : Jumlah bidang dasar Luas petak contoh

Dominasi Relatif (DR) : Dominasi suatu jenis X 100% Dominasi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) : KR + FR + DR (Soerianegara & Indrawan, 2002)

Luas bidang dasar jenis ke-i 2

4 1 i d ⋅ ⋅ =

π

di = diameter setinggi dada (± 130 cm)

D.2. Analisis Bentuk Sebaran Spasial Aktivitas Harimau sumatera

Bentuk sebaran spasial aktivitas dari harimau sumatera ditentukan dengan menggunakan pendekatan nilai indeks penyebaran sebagai berikut :

X S ID

2

=

Keterangan : S2 = keragaman contoh

X = rata-rata contoh

Untuk menentukan pola sebarannya digunakan uji Chi-Square dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan : X² = Nilai hitung chi square


(25)

Kriteria uji yang digunakan untuk N<30, sebagai berikut : 1. Jika 2

975 . 0 2

X

X ≤ maka pola sebaran spasial aktivitas, seragam

2. Jika 2

025 . 0 2 2 975 .

0 X X

X < < maka pola sebaran spasial aktivitas, acak

3. Jika 2 025 . 0 2

X

X maka pola sebaran spasial aktivitas, kelompok

D. 3. Analisis Hubungan Antara Tipe Aktivitas dan Karakteristik Habitat

Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas harimau sumatera dengan karakteristik habitat yang ada di TNKS. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki hubungan antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh harimau sumatera. Hubungan tersebut dianalisis dengan menggunakan chi kuadrat. Adapun tahapannya sebagai berikut :

D.3.1. Pengisian Tabel Penggunaan Habitat oleh Harimau Sumatera

Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai aktivitas harimau sumatera, maka setiap perjumpaan baik langsung maupun tidak langsung yang mengindikasikan keberadaan harimau sumatera beserta aktivitasnya dimasukan ke dalam tabel isian.

Tabel 2 Tabel isian aktivitas harimau sumatera

No Jenis aktivitas Frekuensi Tipe habitat 1 2 3 4 5 6 7 8 Berjalan

Cakaran di Tanah Cakaran di pohon Membuang kotoran Berlindung

Mengasuh anak Membersihkan diri Lainnya


(26)

Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat diketahui frekuensi keseluruhan dari aktivitas harimau sumatera pada suatu tipe habitat tertentu. Hal ini juga untuk mengetahui karakteristik habitat yang disukai oleh harimau sumatera, dengan indikasi bahwa tempat yang lebih disukai akan lebih banyak digunakan oleh harimau sumatera untuk beraktivitas.

D.3.2. Analisis Hubungan Parameter Penduga

Selanjutnya data aktivitas harimau sumatera akan dianalisis menggunakan metode uji chi-kuadrat yaitu antara tipe aktivitas harimau sumatera dengan karakteristik habitat yang digunakan. Langkah pengiujian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Hipotesis

Ho : tidak ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat H1 : ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat 2.Kriteria Pengujian

Jika X² hitung kurang dari X²tabel maka terima H0 pada taraf nyata, dengan

derajat bebas (v) = (b-1) (k-1) dimana b dan k masing-masing menyatakan baris dan kolom.

Keterangan : Oi =Frekuensi hasil pengamatan ke-i Ei = Frekuensi harapan ke-i


(27)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Karakteristik Habitat A. Kondisi Vegetasi

Kawasan hutan di wilayah SPTN V Lubuk Linggau terdiri dari: hutan dataran rendah (low land forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane forest), hutan montana rendah (lower montane forest), hutan montana sedang ( mid-montane forest), hutan montana tinggi (upper montane forest), dan padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket), lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai-sungai besar.

Hutan yang cukup luas dengan keanekaragaman yang tinggi tentunya akan sangat mendukung bagi kehidupan satwaliar yang tinggal di dalamnya. Dengan kondisi hutan yang seperti ini tentunya sangat dibutuhkan oleh harimau sumatera untuk kehidupanya karena tersedianya komponen habitat seperti pakan, air dan cover.

A.1. Hutan Dataran Rendah

Hutan dataran rendah merupakan ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayatinya baik tumbuhan maupun satwaliarnya. Hutan dataran rendah yang ditemukan dilokasi penelitian ada yang kondisi vegetasinya masih baik dan juga sudah rusak akibat perambahan dan illegal logging. Pada tingkat pohon terdapat 13 jenis tumbuhan, 10 jenis tingkat tiang, 10 jenis tingkat pancang, dan 6 jenis tingkat semai.

Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis meranti ( Shorea spp.), keruing (Dipterocarpus spp.), dan medang (Michelia spp.). Jenis meranti cukup mendominasi dengan kerapatan (20%) dan penyebaran (15%). Pada tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu, medang, dan bandotan (Polyalthi rumphii). Untuk tingkat pancang yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia malaccensis) dan meranti, dengan kerapatan (18,75 %). Sedangkan pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu, medang, dan meranti dengan kerapatan (25%). Pada tingkat semai dan pancang jenis yang masih mendominasi adalah jenis meranti dan jambu-jambu. Hal ini menunjukkan ada


(28)

kemungkinan jenis meranti dan jambu-jambu akan terus mendominasi pada masa yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi, bahwa jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae dan Myrtaceae adalah jenis yang mendominasi vegetasi hutan dataran rendah (Tabel 3).

Tabel 3 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan dataran rendah

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Semai 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 25 22.22 - 47.22

2 Medang Michelia spp. 25 22.22 - 47.22

3 Meranti Shorea spp. 25 22.22 - 47.22

Pancang 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 18.75 0.67 - 33.04

2 Meranti Shorea sp. 18.75 0.67 - 33.04

Tiang 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 25 26.67 32.27 74.44

2 Medang Michelia spp. 18.75 16.67 17.57 52.99

3 Bandotan Polyalthi rumphii 12.5 8.33 9.6 30.43

Pohon 1 Meranti Shorea spp. 20 15 41.97 76.97

2 Keruing Dipterocarpus spp. 11.43 15 24.92 51.35

3 Medang Michelia spp. 8.57 10 11.95 30.52

Struktur vegetasi di Taman nasional kerinci Seblat terdiri dari berbagai strata. Strata A merupakan lapisan teratas dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari 30 meter, strata B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 15-30 meter, strata C dengan tinggi 5-15 meter, strata D merupakan lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1-4 meter dan strata E merupakan lapisan tumbuhan penutup tanah dengan tinggi 0-1 meter (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Pada hutan dataran rendah terdapat strata yang cukup lengkap (Gambar 4). Strata A antara lain terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang. Strata B terdiri dari jenis pasang, jengkol, berangan dan melangir. Strata A dan B merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar yang berfungsi sebagai lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk. Jenis yang termasuk strata C dan D antara lain kopi-kopi, arang-arang, dan salam. Strata ini dapat berfungsi sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa harimau yang merupakan satwa herbivora atau pemakan tumbuhan.


(29)

Gambar 4 Strata pada hutan dataran rendah.

Selain cover dan pakan (satwa mangsa) , hal yang dibutuhkan harimau untuk kebutuhan hidupnya adalah air. Berbeda dengan keluarga kucing yang lain, harimau sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Saat cuaca panas, keberadaan air sangat diperlukan sekali untuk menstabilkan suhu badannya. Harimau sumatera akan memilih tempat-tempat yang menyediakan air untuk kebutuhan minumnya, sehingga tidak perlu banyak tenaga yang dikeluarkan untuk mencari sumber air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setijati et al (1992), yang menyatakan harimau sumatera menyukai daerah yang basah seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam. Sumber air yang ditemukan pada waktu pengamatan adalah sungai (Gambar 5). Pada hutan dataran rendah arusnya tenang dan airnya jernih. Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal (Alikodra, 2000). Iklim lokal tidak hanya menentukan banyaknya curah hujan yang turun tetapi juga akan menentukan merata atau tidaknya hujan yang turun setiap bulan.


(30)

Gambar 5 Sungai pada hutan dataran rendah.

Sungai pada hutan dataran rendah memiliki ciri aliran airnya tenang atau tidak terlalu deras, dangkal, airnya jernih dan berbatu dengan ukuran yang kecil. Sungai-sungai di hutan dataran rendah sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mencari ikan, bahkan ada yang digunakan sebagai tempat mencari emas.

A.2. Hutan Perbukitan

Hutan perbukitan memiliki kondisi topografi yang datar dan bergelombang. Sungai-sungai serta cekungan-cekungan yang menampung air juga banyak dijumpai pada tipe hutan perbukitan. Kondisi seperti ini yang menyebabkan udara di sekitarnya menjadi lebih lembab bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang panas karena sudah terbuka akibat perambahan dan illegal logging. Kondisi tutupan hutannya mulai dari yang jarang sampai yang sangat rapat serta lantai hutan yang ditutupi oleh serasah. Pada tingkat pohon terdapat 21 jenis tumbuhan, 15 jenis tingkat tiang, 10 jenis tingkat pancang, dan 12 jenis tingkat semai.

Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis meranti, jambu-jambu, dan keruing (Tabel 4). Jenis meranti cukup mendominasi dengan kerapatan (29,17%) dan penyebaran (18,52%). Pada tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu, meranti, dan kulit manis. Untuk tingkat pancang yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (27,27%) dan meranti (25%). Sedangkan pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu (INP 27,19%),


(31)

medang (INP 23,03%), meranti (INP 23,03%) dan kopi-kopi (INP 23,03%). Pada tingkat semai dan pancang jenis yang masih mendominasi adalah jenis jambu-jambu. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis jambu-jambu akan terus mendominasi pada masa yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis dari family Myrtaceae dan Dipterocarpaceae adalah jenis yang mendominasi vegetasi hutan perbukitan.

Tabel 4 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan perbukitan

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Semai 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 16,67 10,53 - 27,19

2 Medang Michelia spp. 12,50 10,53 - 23,03

3 Meranti Shorea spp. 12,50 ,53 - 23,03

4 Kopi-kopi 12,50 10,53 - 23,03

Pancang 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 27,27 18,52 - 45,79

2 Kopi-kopi 25 18,52 - 43,52

Tiang 1 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 25 17,24 25,90 68.14

2 Meranti Shorea spp. 9,38 10,34 11,04 30,76

3 Kulit manis Cinnamomum spp. 9,38 10,34 8,94 28,66

Pohon 1 Meranti Shorea psp. 29,17 18,52 45,32 93,01

2 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 19,44 14,81 14,14 48,40

3 Keruing Dipterocarpus sp. 6,94 7,41 8,14 22,49

Pada hutan perbukitan terdapat strata yang cukup lengkap. Strata A antara lain terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang. Strata B terdiri dari jenis kulit manis, kopi-kopi, semut-semut, kayu gasing, pening-pening dan kayu pasang. Strata A dan B merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar yang berfungsi sebagai lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap panas. Jenis yang termasuk strata C dan D antara lain bandetan, air-air, kabau, balam, dan nibung. Strata ini dapat berfungsi sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa harimau yang merupakan satwa herbivora atau pemakan tumbuhan. Kerapatan pada strata ini juga dapat berfungsi sebagai penghalang sinar matahari yang masuk ke lantai hutan, sehingga lantai hutan menjadi teduh.


(32)

Gambar 6 Vegetasi hutan perbukitan.

Sumber air yang ditemukan di hutan perbukitan yaitu sungai dan cerukan di tanah yang menampung air hujan dan sungai (Gambar 7). Kondisi sungainya berarus deras dan juga berbatu-batu. Selain sungai sebagai sumber kebutuhan air yang utama, cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk kebutuhan air. Bila kondisi sungai yang curam, maka alternatif satwa mencari air adalah pada cerukan-cerukan di tanah yang menampung air hujan.

Gambar 7 Sungai di hutan perbukitan.

Hutan perbukitan yang memiliki kerapatan tajuk yang cukup rapat yang membuat teduh lantai hutannya merupakan habitat yang dibutuhkan oleh harimau saat ini. Ketersediaan satwa mangsa cukup melimpah serta topografi yang landai membuat pergerakan harimau menjadi lebih mudah. Sumber air yang tersedia cukup


(33)

banyak menyediakan kebutuhan yang cukup untuk harimau sumatera dan satwa mangsanya. Hasil penelitian Endri (2006) di Blok hutan sipurak (TNKS) yang menyatakan bahwa pada hutan perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau sumatera. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan perbukitan merupakan habitat yang memiliki daya dukung paling tinggi untuk harimau sumatera bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang semakin rusak, yang menyebabkan menyempitnya habitat bagi harimau sumatera dan satwa mangsanya.

A.3. Hutan Subpegunungan

Seperti pada tipe hutan dataran rendah dan perbukitan, hutan subpegunungan juga memiliki strata yang lengkap. Ada ciri khas yang membuat beda dengan kedua hutan tersebut yaitu pada hutan subpegunungan terdapat berbagai jenis epifit, liana, paku-pakuan dan tumbuhan bawah. Selain itu, ditumbuhi oleh pohon-pohon berlumut dan juga tutupan serasah yang tebal. Dengan kondisi yang seperti ini, hutan subpegunungan merupakan daerah yang cocok bagi harimau sumatera untuk tempat beristirahat dan bermalas-malasan. Hal ini juga didukung dari ditemukannya sungai yang merupakan tempat untuk minum dan beristirahat yang sesuai.

Secara umum hutan subpegunungan merupakan tipe hutan yang memiliki strata tajuk yang rapat serta iklim yang selalu basah. Kondisi lantai hutan yang tertutup serasah dan juga tajuk-tajuk pohon yang rapat, membuat iklim di bawahnya menjadi lembab dan sejuk. Pada tingkat pohon terdapat 9 jenis tumbuhan, 7 jenis tingkat tiang, 5 jenis tingkat pancang, dan 4 jenis tingkat semai. Sedikitnya jenis tumbuhan yang ditemukan menandakan bahwa vegetasi tumbuhan sudah mulai seragam.

Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis kelat, meranti, dan beringin (Tabel 5). Jenis kelat cukup mendominasi dengan kerapatan (20%) dan penyebaran (20%). Pada tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah kabau dan meranti dengan nilai INP masing-masing (70,15% dan 49,07%). Untuk tingkat pancang seluruh jenis memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama, yaitu untuk kerapatan 20% dan penyebaran 20%. Adapun jenis pada tingkat pancang


(34)

adalah kabau, gondang, kelat, plangas, dan air-air. Begitu juga pada tingkat semai memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama dari semua jenis yang ditemukan, yaitu dengan nilai kerapatan dan penyebaran 25%. Adapun jenis yang ditemukan pada semua tingkatan tumbhan adalah jenis kelat, plangas, gondang dan kabau. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis-jenis tersebut akan terus mendominasi pada masa yang akan datang.

Tabel 5 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan subpegunungan

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Semai 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 - 50

2 Plangas Aporosa aurita 25 25 - 50

3 Kelat Eugenia spp. 25 25 - 50

4 Meranti Shorea spp. 25 25 - 50

Pancang 1 Kabau Archidendron bubalinum 20 20 - 40

2 Gondang Mangiletia giauca 20 20 - 40

3 Kelat Eugenia spp. 20 20 - 40

4 Plangas Aporosa aurita 20 20 - 40

5 Air-air 20 20 - 40

Tiang 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 20.15 70.15

2 Meranti Shorea spp. 12.5 12.5 24.07 49.07

Pohon 1 Kelat Eugenia spp. 20 20 16.93 56.93

2 Meranti Shorea spp. 10 10 20.22 40.22

3 Beringin Ficus spp. 10 10 11.11 31.11

Sungai masih dijumpai pada hutan subpegunungan, dengan cirri aliran airnya deras, airnya jernih dan berbatu-batu besar (Gambar 8). Selain sungai sebagai sumber kebutuhan air yang utama, cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk kebutuhan air. Cerukan tanah ini menampung air yang berasal dari air hujan.


(35)

Gambar 8 Sungai di hutan subpegunungan.

Kondisi tutupan tajuk yang rapat, sungai yang masih ditemukan pada tipe hutan subpegunungan akan sangat memungkinkan sekali keberadaan harimau sumatera dapat ditemukan di tipe hutan subpegunungan. Namun, kondisi seperti ini juga harus didukung oleh tersedianya satwa mangsa. Karena harimau sumatera merupakan satwa pemakan daging, yang kebutuhannya akan terpenuhi bila satwa mangsanya masih ada di tipe hutan subpegunungan.

A.4. Hutan Pegunungan

Komposisi vegetasi hutan pegunungan atas memiliki pohon-pohon yang ditutupi oleh lumut (Gambar 9) serta pada lantai hutannya juga sangat rapat ditumbuhi oleh tumbuhan bawah berduri, rotan dan pandan. Selain itu, lantai hutannya juga ditutupi oleh serasah yang tebal. Pada tipe hutan ini, jenis pohonnya mulai seragam,ini dapat diketahui dari hasil inventarisasi vegetasi yang hanya menemukan 6 jenis. Jenis pohon yang ditemukan antara lain: jamuju, kelat (Eugenia spp. ), plangas (Aporosa aurita ), semut-semut, air-air, dan gondang. Untuk jenis pohon yang mendominasi antara lain jamuju dan plangas. Pada tipe hutan pegunungan, untuk tingkat semai ditemukan 3 jenis, pancang 4 jenis, tiang 6 jenis. Untuk tingkat pohon tidak ditemukan pada hutan pegunungan, karena pada plot pengamatan vegetasi tidak ditemukan pohon dengan diameter 20 cm.


(36)

Gambar 9 Vegetasi hutan pegunungan yang tertutup oleh lumut. Di hutan ini juga masih ditemukan sungai yang menyediakan air untuk kebutuhan satwa. Ciri sungainya adalah berarus sangat deras dan dalam, airnya jernih dan dingin, ada batu-batu besar, serta aliran sungai yang membentuk air terjun (Gambar 10). Dengan kondisi tutupan tajuk yang rapat, masih adanya sungai sebagai sumber air masih dapat memungkinkan harimau dapat ditemukan pada tipe hutan pegunungan.

Gambar 10 Sungai di hutan pegunungan.

V.2. Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak (independent), mengelompok (dependent), dan sistematis (homogen). Pola penyebaran tersebut


(37)

merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono (2000), pola penyebaran satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.

Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan perilaku) dari satwa itu sendiri.

Pada penelitian studi sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di TNKS ini, pengambilan data dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Untuk pengambilan data secara langsung yaitu didapatkan dari perjumpaan langsug, namun saat pengamatan tidak ditemukan perjumpaan secara langsung, sedangkan pengamatan tidak langsung bersumber dari penemuan jejak yang ditinggalkan oleh harimau sumatera seperti tapak kaki, kotoran, cover, cakaran di tanah (scrape), dan cakaran di pohon (scratch).

Tabel 6 Frekuensi kontak dengan harimau sumatera

No. Tipe Vegetasi Tanda Keberadaan Harimau Sumatera

1 Hutan Dataran Rendah 0

2 Hutan Perbukitan 13

3 Hutan Subpegunungan 8

4 Hutan Pegunungan 7

Jumlah 28

Dari data yang didapatkan tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan nilai Indeks Dispersi (ID) dan uji chi-square. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai x²hitung (7,227) memiliki nilai lebih besar daripada x²0,025


(38)

spasial aktivitas mengelompok (dependent). Hal ini juga dibuktikan dari temuan jejak diseluruh tempat mengelompok pada daerah-daerah tertentu yang kondisi habitatnya hampir sama. Dalam hal ini harimau lebih mengelompok pada hutan perbukitan. Sebaran spasial aktivitas ini dimungkinkan saja karena dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi biologis dan perilaku harimau sumatera, sedangkan faktor eksternal seperti kondisi ekologis TNKS. Pada kondisi lapangan juga terlihat jelas bahwa tanda-tanda keberadaan harimau yang ditemukan mengelompok di suatu daerah pada hutan perbukitan.

Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan dapat menentukan kemampuan satwaliar untuk bertahan hidup. Kondisi lingkungan yang berbeda-beda disetiap tempat akan direspon pula dengan tingkat adaptasi yang berbeda pula. Harimau sumatera akan menanggapi pengaruh lingkugan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan tingkat bahaya yang ditimbulkan.

Salah satu faktor yang paling dominan dalam pola sebaran spasial harimau sumatera adalah sifat biologis dan perilaku satwa dari individu harimau sumatera. Sifat biologis antara lain proses metabolisme tubuh, kepekaan, ekspresi, reproduksi, adaptasi, dan komposisi fisik dan kimia tubuh. Sifat inilah yang akan menentukan tingkat kemampuan harimau sumatera dalam mempertahankan kelestariannya baik persaingan dengan sesama jenis maupun dengan lingkungannya.

Kegiatan penelitian ini dilakukan di empat tipe ekosistem berbeda, yiatu berdasarkan ketinggian: hutan dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan (300-800 mdpl), hutan subpegunungan ((300-800-1400 mdpl), dan hutan pegunungan (>1400 mdpl) (Laumonier, 1994). Selama kegiatan penelitian ditemukan lima aktivitas harimau sumatera, yaitu: berjalan, membuang kotoran, mencakar di tanah, mencakar di pohon, dan berlindung (Tabel 7).


(39)

Tabel 7 Jenis aktivitas harimau sumatera di empat tipe ekosistem

No. Tipe Ekosistem Jenis Aktivitas* Jumlah

A B C D E

1 Hutan Dataran Rendah 0 0 0 0 0 0

2 Hutan Perbukitan 3 1 8 1 0 13

3 Hutan Subpegunungan 4 1 3 0 0 8

4 Hutan Pegunungan 2 2 1 0 2 7

Jumlah 9 4 12 1 2 28

*Keterangan: A. Berjalan

B. Membuang kotoran C. Mencakar di tanah D. Mencakar di pohon E. Berlindung

Dari sejumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera yang ditemukan di lokasi penelitian, tipe hutan perbukitan merupakan habitat yang paling bayak ditemukan tanda keberadaan harimau sumatera (13 jejak). Selanjutnya hutan subpegunungan (8 jejak), hutan pegunungan (7 jejak) sedangkan di hutan dataran rendah tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatera. Adapun jenis aktivitas dan sebaran harimau sumatera pada tiap tipe hutan berdasarkan ketinggian, yaitu hutan dataran rendah (warna hijau tua), hutan perbukitan (warna kuning), hutan subpegunungan (warna hijau muda), dan hutan pegunungan (warna jingga) dapat dilihat pada gambar 11.


(40)

Gambar 11 Peta sebaran aktivitas harimau sumatera.

V.2. a. Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di empat tipe hutan

Seluruh jejak atau tanda yang ditinggalkan oleh satwa memiliki gambaran dan informasi mengenai satwa yang meninggalkannya (Knight, 1968). Jika jejak tersebut tidak ditemukan maka akan sulit untuk menentukan apakah satwa yang dimaksud ada di lokasi tertentu.

1. Hutan dataran rendah

Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera pada tipe hutan dataran rendah tidak ditemukan selama pengamatan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerapatan tumbuhan yang tidak terlalu rapat dan merata pada setiap jenis. Kondisi vegetasi seperti ini menyebabkan sinar matahari yang masuk tidak terhalang oleh tajuk pohon. Menurut Tilson et al. (1997) harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan sengatan matahari langsung. Waktu siang hari digunakan untuk


(41)

beristirahat di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Kondisi hutan dataran rendah yang terbuka menyebabkan kondisi lingkungan habitat harimau sumatera menjadi berubah panas. Hal ini yang menyebabkan harimau sumatera tidak ditemukan pada tipe hutan dataran rendah di lokasi penelitian. Bila tidak ada tempat untuk berlindung, kemungkinan harimau tidak akan berada di tempat tersebut. Harimau sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan (Lekagul dan McNeely, 1997). Karena memiliki sifat tersebut, harimau sumatera tentu akan mencari tempat yang lebih sesuai agar dapat bertahan hidup.

Berbeda dengan harimau, kondisi hutan yang terbuka merupakan habitat yang baik bagi satwa mangsa harimau karena menyediakan banyak makanan khususnya rumput dan tumbuhan bawah. Di hutan datarn rendah ditemukan sebanyak 7 jenis satwa mangsa harimau sumatera; 4 jenis dijumpai secara langsung dan 3 jenis secara tidak langsung (Tabel 8).

Tabel 8 Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada hutan dataran rendah

Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah Langsung 1 Pelanduk napu Tragulus napu 1

2 Simpai Presbytis melalophos 3

3 Ungko Hylobates agilis 1

4 monyet ekor panjang Macaca fascicularis 1

Jejak kaki 1 Babi hutan Sus sp. 1

2 Rusa sambar Cervus unicolor 2

3 Beruang madu Helarctos malayanus 1

Dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002). Dari 7 jenis satwa mangsa yang ditemukan, ada 3 jenis yang merupakan satwa mangsa utama harimau sumatera yaitu pelanduk napu, rusa sambar dan babi hutan, sedangkan simpai, ungko, monyet ekor panjang, dan beruang madu merupakan makanan cadangan atau potensial. Menurut Karanth dan Sunquist (1995), bahwa satwa mangsa utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae. Sedangkan menurut Dinata (2002), menyatakan bahwa harimau sumatera di TNKS biasanya lebih menyukai memakan


(42)

babi hutan, rusa, kijang, kancil, napu, kambing hutan, dan landak sebagai makann utama, sedangkan beruk dan tapir sebagai makanan pendukung.

2.Hutan perbukitan

Pada hutan perbukitan banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatera (Tabel 9). Tanda tersebut berupa jejak kaki, kotoran (feses), cakaran di tanah (scrape) dan cakaran di pohon (scratch). Scrape dibuat untuk memberi tanda daerah jelajah harimau dan biasanya terdapat di jalan yang biasa dilewati satwa. Tabel 9 Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di hutan perbukitan

No. Tanda Keberadaan Harimau Sumatera Jumlah Letak

1. Jejak kaki 3 Tanah

2. Kotoran 1 Tanah

3. Cakaran (scrape) 8 Tanah

4. Cakaran (scratch) 1 Pohon

Harimau memiliki kecenderungan membuang kotoran (feses) pada tempat yang terkonsentrasi dan umumnya terbuka (Gambar 12). Rapatnya vegetasi menyebabkan lantai hutan menjadi teduh dan sejuk karena sinar matahari terhalang masuk. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya ditemukan tanda keberadaan harimau sumatera di hutan perbukitan. Selain itu, kondisi topografi yang landai memudahkan pergerakan harimau dalam mencari mangsa.


(43)

Keberadaan harimau sumatera lebih banyak dijumpai pada hutan perbukitan bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hal yang sama juga pada penelitian Endri (2006) di Blok Hutan sipurak (TNKS), yang menyatakan bahwa pada hutan perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau sumatera, karena satwa mangsa yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada tipe hutan lainnya.

Jumlah satwa mangsa harimau sumatera yang ditemukan di hutan perbukitan ada 10 jenis, 3 jenis di jumpai secara langsung dan 7 jenis secara tidak langsung (Tabel 10). Satwa mangsa yang ditemukan di hutan perbukitan lebih banyak dibandingkan dengan hutan dataran rendah.

Tabel 10. Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada vegetasi hutan perbukitan

Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah

Jejak Kaki 1 Kuau raya Argusianus argus 1

2 Ungko Hylobates agilis 1

3 Siamang Sympalhangus syndactilus 5

Langsung 1 Babi hutan Sus sp. 4

2 Rusa sambar Cervus unicolor 15

3 Tapir Tapirus indicus 13

4 Kijang Muntiacus muntjak 10

5 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 4

6 Pelanduk napu Tragulus napu 1

7 Macan dahan Neofelis nebulosa 1

Satwa mangsa seperti babi hutan, rusa sambar, kijang, kambing hutan, dan pelanduk napu merupakan makanan utama (preferred foods) bagi harimau sumatera, sedangkan kuau raya, ungko, tapir, dan macan dahan merupakan makanan cadangan atau potensial (emergency foods). Banyaknya jejak yang ditemukan dari jenis rusa sambar dan kijang serta jenis yang lain menandakan bahwa kebutuhan pakan utuk harimau sumatera di hutan perbukitan cukup tersedia. Rusa sambar dan kijang merupakan pakan harimau sumatera. Seidensticker et al (1999) menyatakan bahwa pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar satwa mangsa harimau sumatera adalah kijang dan kadang-kadang kambing hutan.


(44)

3. Hutan subpegunungan

Keberadaan harimau di hutan subpegunungan dapat dideteksi melalui jejak kaki, kotoran dan cakaran di tanah (scrape) (Tabel 11). Scrape dibuat untuk memberi tanda daerah jelajah harimau dan biasanya terdapat di jalan yang biasa dilewati satwa. Ditemukan jejak kaki pada hutan ini adalah karena adanya sungai yang menyebabkan kondisi tanah disekitarnya menjadi gembur sehingga membuat jelas cetakan kaki harimau sumatera di tanah. Jejak kaki yang ditemukan tidak jauh dari pinggir sungai, yaitu berjarak 2 meter.

Tabel 11 Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di hutan subpegunungan

No. Tanda Keberadaan Harimau Sumatera Jumlah Letak

1. Jejak kaki 4 Tanah

2. Kotoran 1 Tanah

3. Cakaran (scrape) 3 Tanah

Harimau memiliki kecenderungan membuang kotoran (feses) pada tempat yang terkonsentrasi dan umumnya terbuka. Ini diketahui dari hasil pengamatan di lapangan, kotoran yang ditemukan berwarna hitam dan letaknya berada pada jalur lintasan satwa. Selain jejak kaki dan kotoran yang ditemukan, tanda keberadaan harimau yang ditemukan adalah cakaran di tanah (scrape). Jumlah scrape yang ditemukan adalah 3 buah dengan ukuran panjang 20-50 cm dan lebar 14-26 cm. Dari 3 buah scrape yang ditemukan, satu diantaranya ada yang masih berbau urin. Kemungkinan scrape ini baru berumur 3 hari karena masih tercium baunya. Harimau melakukan cakaran sebagai penanda daerah jelajahnya dan juga untuk mengasah kukunya.


(45)

Gambar 13 Jejak kaki harimau di hutan subpegunungan.

Keberadaan satwa mangsa juga menentukan keberadaan harimau di suatu lokasi. Satwa mangsa yang ditemukan di hutan subpegunungan antara lain babi hutan, tapir, kijang, landak dan kambing hutan. Bila dibandingkan dengan hutan perbukitan, pada hutan subpegunungan satwa mangsa yang ditemukan lebih sedikit. Jenis satwa mangsa yang ditemukan pada hutan subpegunungan dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12 Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada vegetasi hutan subpegunungan

Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah

Langsung 1 Simpai Presbytia melalophos 4

2 Macan dahan Neofelis nebulosa 1

3 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 1

Jejak kaki 1 Babi hutan Sus sp. 1

2 Tapir Tapirus indicus 20

3 Kijang Muntiacus muntjak 7

4 Landak raya Hystrikx brachyura 1

5 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 1

Satwa mangsa yang ditemukan berjumlah 7 jenis. Adapun satwa mangsa utama harimau sumatera di hutan subpegunungan adalah kijang dan kambing hutan. Menurut Dinata (2002), harimau sumatera di TNKS biasanya lebih suka mengkonsumsi babi hutan, rusa, kijang, kancil, napu, kambing hutan sebagai satwa mangsa utama, sedangkan beruk dan tapir sebagai mangsa pendukung. Meskipun


(46)

tapir lebih banyak dijumpai di hutan subpegunungan, namun harimau sumatera akan memilih satwa mangsa utamanya terlebih dahulu untuk diburu. Menurut beberapa ahli, harimau tidak terlalu suka tapir (Kawanishi dan Sunquist, 2004).

4. Hutan pegunungan

Pada tipe hutan ini juga masih dapat dijumpai tanda keberadaan harimau sumatera, yaitu berupa cover dan kotoran. Ditemukannya tanda keberadaan harimau pada ketinggian 1648 mdpl sesuai dengan yang dinyatakan Borner (1978) bahwa harimau dapat hidup dengan ketinggian antara 0 – 2000 mdpl. Tanda-tanda keberadaan harimau pada hutan pegunungan dapat dilihat pada tabel 13.

Tabel 13. Tanda-tanda Keberadaan Harimau Sumatera di Hutan Pegunungan

No. Tanda Keberadaan Harimau Sumatera Jumlah Letak

1. Jejak kaki 2 Tanah

2. Kotoran 2 Tanah

3. Cakaran (scrape) 1 Tanah

4. Cover 2 Tanah

Hutan pegunungan memiliki lantai hutan yang tertutup serasah tebal dan lumut yang tumbuh pada pohon. Akan tetapi tanda keberadaan harimau sumatera berupa jejak kaki masih bisa ditemukan. Hal ini dimungkinkan saja, karena jejak yang ditemukan jaraknya tidak jauh dari sungai yaitu 1 meter. Jejak kaki yang tercetak cukup jelas pada media pasir sungai (Gambar 14). Media pasir basah sangat baik mencetak jejak kaki harimau, jejak kaki yang tercetak cukup jelas.


(47)

Gambar 14 Jejak kaki harimau yang tercetak pada media pasir sungai. Kotoran yang ditemukan berjumlah 2 dan diperkirakan sudah sebulan lebih. Terbukti dari warna kotoran yang hitam dan tidak berbau lagi. Biasanya kotoran yang segar masih berbau. Harimau membuang kotorannya di jalur terbuka sebagai penanda daerah jelajah.

Cakaran (scrape) yang ditemukan hanya satu dengan ukuran panjang 30 cm dan lebar 20 cm. pada cakaran ini juga masih tercium bau urin dari harimau sumatera. Hal ini menandakan bahwa cakaran tersebut masih baru, diperkirakan umur cakaran 3 hari. Biasanya harimau mencakar di tanah dibarengi dengan membuang urin, ini dilakukan untuk menandai daerah jelajahnya agar lebih jelas.

Cover merupakan salah satu kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendukung kehidupan harimau sumatera. Cover biasanya digunakan untuk berlindung, beristirahat, tidur ataupun berburu. Pada penelitian ini cover harimau sumatera ditemukan di hutan pegunungan, yaitu berupa cover berlindung (Gambar 15). Keberadaan cover berlindung sangat penting kaitannya dalam hal berlindung dari panas matahari dan hujan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tilson (1997), yang menyatakan bahwa harimau sumatera pada siang hari untuk beristirahat dan tidur di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Cover berlindung bisa berupa tutupan vegetasi yang rapat, batang pohon roboh, batu besar, dan gua asalkan sinar matahari dapat terhalangi.


(48)

Gambar 15 Cover harimau berupa batu besar.

Kerapatan vegetasi dan kelembaban udara disekitar cover juga sangat dibutuhkan oleh harimau sumatera untuk berlindung dari sinar matahari. Cover yang ditemukan pada penelitian, di temukan di tipe vegetasi hutan pegunungan dengan ketinggian 1440 mdpl dan 1648 mdpl dengan tutupan vegetasi yang rapat, udara lembab, dan adanya sungai sebagai sumber air. Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson, 1997). Dalam hal ini tentu kebutuhan cover sangat penting untuk kebutuhan harimau sumatera. Cover yang ditemukan berupa batu besar yang membentuk cekungan seperti gua, sehingga di bawah batu tersebut tidak terkena sinar matahari langsung. Kondisi seperti ini sangat cocok dijadikan sebagai tempat istirahat bagi harimau sumatera.


(1)

64

Lampiran 1 Rekapitulasi data pengamatan harimau sumatera Nomor

Kontak

Waktu Koordinat Ketinggian

(mdpl)

Jumlah Aktivitas

X Y

1. 9-7- 2008, pukul 09:18

0240518 9663170 528 1 Mencakar

di tanah 2. 9-7- 2008,

pukul 14:06

0237540 9662066 594 1 Mencakar

di tanah 3. 12-7- 2008,

pukul 16:37

0235348 9657327 1140 1 Mencakar di tanah 4. 13-7- 2008,

pukul 11:26

0223325 9657544 1638 1 Mencakar di tanah 5. 13-7- 2008,

pukul 13:05

0232279 9656957 1224 1 Berjalan

6. 15-7- 2008, pukul 12:28

0223320 9656120 1648 1 Membuang

kotoran 7. 15-7- 2008,

pukul 12:28

0223320 9656120 1648 1 Berlindung

8. 2-8- 2008, pukul 11:26

0208735 9686409 805 1 Membuang

kotoran 9. 2-8- 2008,

pukul 13:15

0208185 9686690 954 1 Membuang

kotoran 10. 2-8- 2008,

pukul 14:00

0207913 9686077 829 1 Mencakar

di tanah 11. 2-8- 2008,

pukul 14:15

0207723 9685546 805 1 Berjalan

12. 4-8- 2008, pukul 09:01

0211497 9682808 687 1 Mencakar

di tanah 13. 4-8- 2008,

pukul 09:01


(2)

65

14. 5-8- 2008, pukul 10:55

0209064 9680636 770 1 Berjalan

15. 5-8- 2008, pukul 10:55

0209064 9680636 770 1 Mencakar

di tanah 16. 5-8- 2008,

pukul 11:30

0208268 9680125 770 1 Mencakar

di pohon 17. 5-8- 2008,

pukul 11:56

0207912 9679948 870 1 Mencakar

di tanah 18. 22-8- 2008,

pukul 08:39

222764 9686840 634 1 Mencakar

di tanah 19. 23-8- 2008,

pukul 16:00

226422 9685098 425 1 Mencakar

di tanah 20. 25-8- 2008,

pukul 08.35

0189929 9704092 803 1 Mencakar

di tanah 21. 25-8- 2008,

pukul 09.24

0189938 9704052 860 1 Berjalan

22. 25-8- 2008, pukul 11:55

188023 9703383 550 1 Mencakar

di tanah 23. 17-10-2008,

pukul 11.20

0827748 9702246 1380 1 Berjalan

24. 17-10- 2008, pukul 11.20

0828224 9701418 1440 1 Berjalan

25. 17-10- 2008, pukul 11.20

0828224 9701418 1440 1 Berlindung

26. 17-10- 2008, pukul 13.30


(3)

66

27. 18-10-2008, pukul 10.00

0828710 9699275 1600 1 Membuang

kotoran 28. 25-10-

2008, pukul 10.51


(4)

SUMMARY

Study of Spatial Dispersion on Sumatran Tiger Activities (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) in SPTN V Lubuk Linggau, South Sumatera, Kerinci Seblat National Park. By Marlan under supervision Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

Sumatran tiger is one of the three subspecies that still exist in Indonesia. This species was protected by the law. Estimation of their population in the nature about 400-500 individuals (Siswomartono et al , 1994). Sumatran tiger is carnivore animal and it means their life dependent on existence of their preys and it became one condition for life persistence of sumatran tiger.

This research was held in SPTN V Lubuk Linggau, Kerinci Seblat National Park, South Sumatra, from June 29th until December 9th 2008. The aims of research are to knowing type of spatial dispersion pattern on sumatran tiger activities, to acknowledge a relationship between type of activities with habitat characteristic and also to mapping spatial dispersion pattern on Sumatran Tigers activities in each type of forests. Data collection using line transect method and indirect encountered method (footprints, scrape, scratch, feces and cover) monitoring was done in four type of forests, that are lowland forest (0-300 mdpl), hill forest (300-800 mdpl), submountain forest (800-1400 mdpl) and mountain forest >1400 mdpl).

There are 28 data collected from indirect encountered method. It shows how many activities of Sumatran Tigers, which are walking, scraping, scratching, defecating and taking cover. Result from data analysis shows that chi square (7,227) is biggers than x² table (5,99). The relation between tiger activities with habitat characteristic is show using chi square test. Calculation result using chi square (21,16) and x² table = 15,507 proving type of activities has a relationship with habitat characteristic in research area. Result of the research also showing the activities have cluster spatial dispersion. It is related with components of habitat like preys, water and cover (structure of vegetation and forests formation), disturbance like hunting, logging and natural resources exploitation.

The conclusion of these research shows that spatial dispersion on Sumatran tiger activities are clumped. Result from Sumatran tiger activities shows that tiger is more active on hill forest. Sumatran tiger activities are influence by habitat characteristic. Walking activities can be known on the area near the river because of the soil tecsture are sand and clay.

Keywords : Sumatran Tiger, Spatial Dispersion on Activities, Kerinci Seblat National Park.


(5)

RINGKASAN

Studi Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat. Oleh Marlan di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

Harimau sumatera merupakan satu dari tiga subspesies harimau yang masih hidup di Indonesia saat ini. Harimau sumatera merupakan satwa yang dilindungi karena populasinya terus berkurang. Jumlah populasi harimau sumatera di alam diperkirakan 400-500 ekor (Siswomartono et al.,1994). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan satwa mangsa. Oleh karena itu, keberadaan satwa mangsa sangat penting sebagai syarat lestarinya harimau sumatera.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Juni sampai 9 Desember 2008 di SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera, membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas harimau sumatera dengan karakteristik habitat, dan memetakan sebaran spasial aktivitas harimau sumatera pada tiap tipe hutan. Pengambilan data dilakukan dengan transek jalur dengan pengambilan data berupa perjumpaan tidak langsung yaitu berupa data jejak kaki, cakaran di tanah (scrape), cakaran di pohon (scratch), kotoran dan cover. Pengamatan dilakukan di empat tipe hutan, yaitu hutan dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan (300-800 mdpl), hutan subpegunungan (800-1400 mdpl) dan hutan pegunungan (>1400 mdpl) (Laumonier, 1994).

Terdapat 28 data perjumpaan secara tidak langsung yang berupa lima aktivitas. Data tersebut menunjukkan beberapa aktivitas yang dilakukan oleh harimau sumatera yaitu, berjalan, mencakar di tanah, mencakar di pohon, membuang kotoran dan berlindung. Dari hasil analisis data didapatkan hasil bahwa nilai x² hitung (7,227) memiliki nilai lebih besar dari pada x² tabel (5,99). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebaran spasial aktivitas harimau sumatera menyebar secara mengelompok. Untuk mengetahui hubungan antara tipe aktivitas harimau sumatera dengan karakteristik habitat dilakukan uji chi kuadrat. Dari uji tersebut didapatkan hasil yaitu x² hitung (21,16) lebih besar dari x² tabel (15, 507). Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa tipe aktivitas harimau sumatera terbukti memiliki hubungan dengan karakteristik habitat yang ada di lokasi penelitian. Hal ini terkait dengan komponen habitat yang tersedia seperti, satwa mangsa, ketersedian air, dan cover berupa struktur vegetasi maupun formasi hutan dan potensial gangguan seperti, perambahan, perburuan, dan pengambilan sumber daya alam.


(6)

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa harimau sumatera di lokasi penelitian memiiliki sebaran spasial aktivitas mengelompok. Aktivitas harimau sumatera lebih banyak ditemukan pada hutan perbukitan. Dan tipe aktivitas harimau sumatera dipengaruhi oleh karakteristik habitat yang ada. Aktivitas berjalan dpat diketahui pada daerah yang berdekatan dengan sungai atau kondisi lantai hutan yang tanahnya lembek.

Kata kunci : Harimau Sumatera, Sebaran spasial aktivitas, Taman Nasional Kerinci Sebalat