27
BAB II PENGATURAN PENGADAAN TANAH
A. Regulasi Pengadaan Tanah
Sejumlah peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait lainnya telah diterbitkan untuk menjadi landasan yuridis pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, antara lain:
19
1.
2. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
3. Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4. Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya.
5. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
6. Undang-undang Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
7. Keppres Nomor 34 tahun 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Kebijakan
Pertanahan.
8. Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
19
Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 128
Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
28
9.
10. Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
11. Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 tahun 1994 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 2007 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006
Seringkali kegiatan pengadaan tanah dilakukan dengan cara-cara di luar musyawarah sehingga hasilnya seringkali tidak menguntungkan pemilik tanah,
melainkan seringkali menguntungkan pemerintah atau swasta yang mendompleng pemerintah secara sembunyi-sembunyi.
20
Dalam realitas empris harus diakui bahwa pelaksanaan pengadaan tanah di lapangan masih ada persoalan yang sering mengganjal, yaitu sulitnya menentukan
nilai ganti rugi. Alasannya, karena pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah meminta harga yang sangat tingi melebihi harga pasaran dan Nilai Jual Objek
Pajak NJOP. Adanya permainan para calo tanah baik kalangan warga maupun oknum pejabat dan sebatasnya anggaran pemerintah melalui panitia pengadaan
tanah, sehingga sering terjadi konflik tanah antara pemerintah yang membutuhkan tanah dengan rakyat pemegang hak atas tanah yang dipicu perbedaan permintaan
harga ganti rugi tersebut.
21
20
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 166
21
Mustofa dan Suratman, Op.Cit, hlm 183
Persoalan lain mungkin timbul, adalah pencairan anggaran pengadaan tanah yang dilakukan terlebih dahulu, sementara pembicaraan dengan pemilik tanah
Universitas Sumatera Utara
29
masih belum final. Ketika proses musyawarah dilakukan, ternyata pemilik tanah meminta harga tinggi, sehingga dana yang sudah dicairkan tidak mencukupi untuk
membayar ganti rugi. Akhirnya dilakukan “pemaksaan” kepada pemilik tanah agar menerima ganti rugi yang telah dipatok oleh panitia pengadaan tanah.
22
Dalam Keppres No.55 tahun 1993 disebutkan bahwa pengadaan tanah hanya digunakan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan, sedangkan dalam Perpres No.36 tahun 2005 hal ini tidak jelas. Ini berarti pengadaan tanah tidak saja semata-mata untuk pembangunan,
tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum dalam perpres telah dimodifikasi, yaitu untuk
sebagian lapisan masyarakat, sementara dalam keppres disebut untuk semua lapisan masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah jelas apa yang dimaksud dengan
kepentingan umum. Keppres No.55 tahun 1993 hanya dikenal satu cara untuk pengadaan tanah,
yaitu melalui pelepasan hak atas tanah. Sementara dalam Perpres No.36 tahun 2005 terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah
dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam Undang-undang No.20 tahun 1961. Pencabutan hak atas tanah seperti yang diatur dalam undang-
undang tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa. Adapun dalam Perpres No.36 tahun 2005 ini pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan mengenai ganti
rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan.
22
Ibid
Keppres No.55 tahun 1993 telah membatasi pembangunan yang dibangun, yaitu pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak
Universitas Sumatera Utara
30
digunakan untuk mencari keuntungan. Adapun dalam proses pengaturan ini tidak ada lagi. Hal ini berarti bisa saja pembangunan akan digunakan untuk mencari
keuntungan. Tidak jelas juga apakah bangunan yang dibangun tersebut akan dimiliki oleh pemerintah atau tidak, asal pembangunan itu dilaksanakan oleh
pemerintah, maka dapat diperoleh pengadaan tanah. Keberadaan Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang disahkan tanggal 14 Januari 2012, “tenggelam” oleh kasus-kasus sengketakonflik pertanahan yang begitu
masif dan kompleks. Pengaturan pengadaan tanah dalam undang-undang ini memang tepat. Namun, dari segi substansi, undang-undang yang strategis dan
berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan.
23
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun
2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc. Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran.
Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih penting lagi,
pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan
kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan, karena peraturan
23
Ibid, hlm 227
Universitas Sumatera Utara
31
perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut
diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini antara
lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah;
ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan
umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum.
Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya, tidak
dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari peraturan sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Sebagai contoh, ketentuan Pasal
35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di
peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang
Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo”
dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
32
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan
tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak
yang berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling
lama maksimal 583 hari. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan
pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah RTRW, letak tanah, luas
tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana
letak tanah berada. Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan
soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan
tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk
Universitas Sumatera Utara
33
pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
B. Hakikat Pengadaan Tanah