Analisis Tema Pada Novel عومدلا نم تارطق /Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ Karya Shamirah

(1)

LAMPIRAN II

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

alif - tidak dilambangkan

ب

bā` b -

ت

tā` t -

ث

śā` ś s (dengan titik di atasnya)

ج

jīm j -

ح

hā` h h (dengan titik di bawahnya)

خ

khā` kh -

د

dal d -

ذ

żal ż z (dengan titik di atasnya)

ر

rā` r -

ز

zai z -

س

sīn s -

ش

syīn sy -

ص

şād ş s (dengan titik di bawahnya)

ض

dād d d (dengan titik di bawahnya)

ط

ţā` t t (dengan titik di bawahnya)

ظ

zā` z z (dengan titik di bawahnya)

ع

‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

غ

gain g -

ف

fā` f -

ق

qāf q -


(2)

ل

lām l -

م

mīm m -

ن

nūn n -

و

wāwu w -

hā` h -

ء

hamzah `

apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata

ي

yā` y -

II. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. Contoh:

ﺔـ ﺪﻤـﺣأ

ditulis Ahmadiyyah

III. Tā` marbūtah di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

Contoh:

ﺔـ ﺎﻤـﺟ

ditulis jamā‘ah

2. Bila dihidupkan ditulis t

Contoh:

ءﺎﻴـﻟوﻷا

ﺔ اﺮآ

ditulis karāmatul-`auliyā`

IV. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.

V. Vokal Panjang

A panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī, dan u panjang ditulis ū, masing - masing

dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.

VI. Vokal Rangkap

Fathah + yā` tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, dan fathah + wāwu mati ditulis au.


(3)

VII. Vokal-Vokal Pendek yang Berurutan dalam satu kata

Dipisahkan dengan apostrof ( ` ) Contoh:

ﻢـﺘـﻧأأ

ditulis a`antum

ﺚـﻧﺆ

ditulis mu`annaś

VIII. Kata Sandang Alif + Lām

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-

Contoh:

نﺁﺮـﻘﻟا

ditulis Al-Qur`ān

2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, huruf 1 diganti dengan huruf syamsiyah yang mengikutinya.

Contoh:

ﺔـ ﻴـ ﻟا

ditulis asy-Syī‘ah

IX. Huruf Besar

Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD.

X. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat

1. Ditulis kata per kata, atau

2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut. Contoh:

مﻼﺳﻹا

ﺦـﻴ

ditulis Syaikh al-Islām atau Syaikhul-Islām


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : PT Sinar Baru Algesindo.

Bisri, Adib. 1999. Kamus Al-Bisri. Surabaya : Pustaka Progressif.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Jabrohim, (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : PT Hanindita Graha Widia.

Joudah, Suroyya Al-Mun’im. 1991. Dirāsatun Tārīkhiyatun Wa Fannīyatun Fi Al-Maqālati Wa Al-Qişşah Wa Al-Masrahiyati. Kairo : Al-Azhar Press.

Mahmud Ad-Dairy, Makarim. 1999. Adab Jahili. Mesir.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sangidu. 2007. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.

Yogyakarta : Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM. ---. 2005. Sastra Anak. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press.

Shamirah. 2003. Musafir Cinta (terjemahan : Darsim Ermaya Imam Fajarudin). Yogyakarta : Navila.

---. 1979. Quţrātun Min Ad-Dumū‘i. Beirut : Mansyurah Zuhair Ba’labaky. Teeuw. 1985. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta : Pustaka

Jaya.

Tim Penyusun, 2005. Pedoman Akademik Prodi Bahasa Arab FS USU. Medan . Wellek, Rene dan Austin Werren. 1956. Teory of Literature. New York : Harcourt,

Brace & World, Inc. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Melani Budiyanto. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia).

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT Hida Karya.


(5)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sinopsis

Di padang pasir Nejed, terdapat sebuah keluarga kecil yang bahagia. Syaikh Mahjub hidup bersama keluarga kecilnya yaitu bersama istri dan seorang anak perempuannya. Istrinya bernama Rukiyah dan anaknya bernama Dzikra. Sebenarnya usia Syaikh Mahjub terpaut jauh dengan istrinya yaitu sekitar dua puluh tahun, sedangkan Dzikra masih berumur sepuluh tahun.

Pada suatu hari ada seorang lelaki yang mendatangi rumah mereka. Lalu Dzikra segera bergegas keluar rumah untuk melihat siapa yang datang. Dibukanya pintu, dan dia melihat sesosok lelaki yang tampan. Dzikra bertanya, “Siapakah engkau?” Lalu lelaki itu menjawab, “Saya Amir”. Tidak lama kemudian Ayahnya terbangun, setelah dilihatnya ternyata lelaki itu adalah Amir. Dia sangat senang melihat kedatangan Amir.

Amir adalah keponakan jauh dari Syaikh Mahjub. Dia datang dari Asyir. Orang tuanya sudah meninggal, dan satu-satunya keluarga yang tersisa adalah Syaikh Mahjub, pamannya. Semenjak itu Amir tinggal dan menetap bersama pamannya. Tapi, ada satu ketentuan dari adat kaum mereka, bahwa perempuan tidak boleh bergaul dengan lelaki lain. Oleh karena itu, istrinya hanya mendengar pembicaraan mereka dari jauh saja.

Setelah kepulangan mereka dari Kharaj, ternyata Syaikh Mahjub telah mempunyai rencana untuk menjodohkan Dzikra dengan Amir. Tetapi istrinya tidak setuju karena Dzikra masih terlalu kecil untuk menikah. Syaikh Mahjub sangat marah atas ketidak setujuan istrinya itu.

Hari demi hari pun berlalu, ketika Rukiyah dan Dzikra sedang mencari kayu bakar, rupanya Amir memperhatikan mereka dari kejauhan. Dengan tidak disengaja, kedua mata antara Amir dan Rukiyah saling bertatapan. Timbullah getar-getar cinta


(6)

di hati mereka. Keduanya merasakan perasaan yang sama yaitu cinta. Sejak kejadian itu, yang bisa mereka lakukan adalah menahan segala perasaan yang ada mengingat status mereka yang tidak mungkin dapat bersama. Amir memang seorang pria yang tampan dan dewasa yang masih berusia delapan belas tahun. Wanita mana yang tidak akan tergoda melihat sosok pria seperti Amir.

Kemudian, Syaikh Mahjub pun mengatakan keinginannya itu kepada keponakannya, Amir. Amir terkejut, apa yang harus dikatakannya. Amir menjawab, dia tidak bisa melakukan permintaan pamannya itu karena menurutnya Dzikra masih terlalu kecil untuk menikah, dan di dalam hatinya dia berkata “Aku mencintai Rukiyah”, istri pamannya itu. Amir jelas-jelas menolaknya. Syaikh Mahjub bingung dan terdiam mendengar penolakan Amir.

Perjodohan yang dilakukan Syaikh Mahjub antara Dzikra dan Amir, dan penolakan yang dilakukan oleh Amir membuat Syaikh Mahjub marah besar. Ternyata Syaikh Mahjub sangat kecewa dan dia mengusir Amir seperti anjing buangan untuk segera keluar dari rumahnya. Amir pun memutuskan untuk meninggalkan rumah pamannya dan meninggalkan semuanya termasuk orang yang dicintainya, Rukiyah.

Amir merenung semalaman dan dia kelihatan bimbang dengan perasaannya. Dia memutuskan sebelum pergi, dia harus bertemu dengan Rukiyah untuk terakhir kalinya. Kebetulan pada saat itu Syaikh Mahjub sedang berada di Kharaj untuk menyelesaikan urusannya. Kemudian Amir langsung menemui Rukiyah di kamarnya untuk mengucapkan salam perpisahan. Tidak disangka-sangka ternyata mereka terlarut dalam pembicaraan mereka. Tiba-tiba Syaikh Mahjub muncul dan mengetahui Amir ada di dalam kamar Rukiyah. Melihat itu, Syaikh Mahjub berubah menjadi seekor singa yang liar. Dia menampar istrinya dengan keras, kemudian dia mencabut sebilah pisau dan menghujamkannya ke ulu hati Amir. Seketika itu juga, Amir tewas. Dia menuduh istrinya berzina dengan Amir sehingga Rukiyah dihukum rajam oleh masyarakat setempat tanpa adanya persidangan.

Dzikra melihat kejadian yang mengerikan itu dengan kedua matanya. Saat itu dia masih kecil dan tidak dapat berbuat apa-apa. Kejadian itu sangat mengguncang


(7)

jiwanya dan membuatnya tertekan sehingga membuatnya menjadi bisu. Para tetangga menyarankan agar Dzikra dibawa ke Riyadh untuk berobat. Sesampai di Riyadh, mereka menuju kediaman sahabatnya, Syaikh Saleh di daerah Syamis. Syaikh Saleh sangat senang dengan kedatangan mereka. Lalu Syaikh Mahjub menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Keesokan harinya mereka membawa Dzikra ke rumah sakit untuk berobat. Hari demi hari pun berlalu, dan keadaan Dzikra masih sama. Dia hanya menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis. Dia dirawat oleh pimpinan panti, ibu Nadhiroh dengan penuh kasih sayang. Di dalam panti, Dzikra merasakan ketenangan dan kebahagiaan, dia mempunyai banyak teman untuk berbagi cerita, dan Nadhiroh terus memberi dukungan dan semangat kepada Dzikra untuk terus menulis.

Suatu hari, seorang dokter datang ke panti itu, Ashim namanya. Dokter Ashim mengetahui tentang keadaan Dzikra. Dia mengikuti perkembangannya dari awal dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Keadaan jiwa Dzikra mulai menunjukkan titik cerah dan kepercayaannya mulai kembali. Tidak lama kebahagiaan menyapa, Dzikra mendengar berita bahwa Nadhiroh telah meninggal dunia, hatinya kembali bersedih. Ashim mengetahui hal itu, lantas dia mengajak Dzikra untuk bekerja di rumah sakit agar dia dapat melupakan kesedihannya itu.

Seiring dengan berjalannya waktu, Ashim dan Dzikra sering bertemu, dan perhatian Ashim semakin besar kepada Dzikra. Semakin lama, keduanya semakin dekat dan akrab. Dzikra merasa senang mendapat perhatian dari Ashim. Keduanya tidak menyadari ada sesuatu yang menyentuh perasaan mereka.

Suatu ketika, Dzikra jatuh sakit, dan Ashim menjenguk Dzikra, kemudian memeriksanya dan memberinya obat. Dia melihat buku yang dipinjamkannya kepada Dzikra, lalu diambilnya buku itu. Tiba-tiba ada secarik kertas jatuh dari buku itu, lalu dipungutnya dan dibacanya. Kertas itu bertuliskan ungkapan hati Dzikra kepadanya yang sangat mengaguminya dan mencintainya. Akan tetapi, dengan keadaannya yang seperti itu sangat berbeda dengan Ashim, dia memendam perasaannya. Dan sebenarnya Ashim juga memiliki perasaan yang sama. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat untuk Dzikra. Melalui surat itu, dia mengungkapkan perasaannya


(8)

dan mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan Dzikra. Semenjak menerima surat Ashim, sikapnya berubah dan selalu berusaha menghindar bukan karena benci atau malu, hanya belum mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam pikirannya. Jiwanya kembali terguncang. Agar dapat terhindar dari siksaan batin, dia bertekad untuk melakukan sesuatu. Dia meminta kepada Dokter Hamid, kepala rumah sakit untuk memindahkannya ke rumah sakit di Hijaz. Permintaannya pun dikabulkan, dan Dzikra pun dipindahkan ke rumah sakit “Mina” di Makkah Al-Mukarramah. Ashim terkejut mendengar kabar Dzikra telah pergi, segera dia menemui Dzikra. Ashim berusaha meyakinkan niatnya itu, akan tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Tekad Dzikra sudah bulat.

Orang tua Ashim mengetahui anaknya mencintai Dzikra, mereka sangat tidak setuju dengan keputusan anaknya itu. Mendengar Dzikra telah pergi, Ashim menyusulnya ke Makkah untuk melihat keadaannya. Di sana, Ashim mengajak Dzikra pergi berobat ke luar negeri untuk menyembuhkan penyakitnya. Dzikra setuju dengan rencana itu. Berkat ketulusan Ashim, timbullah harapan baru di diri Dzikra.

Hari silih berganti, operasi telah dilakukan, namun keadaannya tidak berubah, tidak membawa harapan apapun bagi kesembuhannya. Ashim masih tetap menunggu kabar dari Dzikra. Akhirnya, Dzikra mengirimkan surat kepada Ashim bahwa dia akan segera kembali. Setiap detik Ashim menanti kedatangan Dzikra. Ketika pada suatu malam, di saat tidur, Ashim bermimpi buruk dan menakutkan. Dia melihat sesosok mayat yang dikelilingi banyak orang. Sampai dia mengenali wajah mayat itu dan ternyata mayat itu adalah Dzikra. Ashim tersentak dan terbangun. Esok harinya, akhirnya Dzikra tiba dari London dan Asim sudah menunggunya di bandara.

Dari bandara mereka langsung menuju ke rumah sakit tempat dia bekerja. Tidak lama kemudian, ada seorang lelaki tua yang hendak bertemu dengannya. Segera ditemuinya orang tua itu, dan sepertinya dia mengenali siapa orang tua itu. Tidak salah lagi, dia adalah Ayah Ashim. Kemudian ayahnya memberikan surat kepada Dzikra. Di surat itu tertulis, “Kami berharap engkau sudi meninggalkan dan tidak lagi berhubungan dengan anakku apapun alasannya. Kami sama sekali tidak menyetujui rencana pernikahan kalian sebab pernikahan itu hanya akan membawa


(9)

penderitaan bagi Ashim“. Dzikra berusaha untuk tegar dan tabah. Kemudian Dzikra menuliskan jawaban “Aku benar-benar mencintai Ashim. Demi dialah aku akan pergi menjauh, bukan karena surat ini atau uang yang Anda tawarkan. Aku selalu berharap dapat melihat Ashim berbahagia selamanya. Jika kepergianku dapat membahagiakannya, maka pasti akan kulakukan“.

Ashim mengetahui hal itu, dia sangat marah kepada ayahnya. Dia benar-benar merasa putus asa, tidak mungkin lagi menyadarkan ayahnya. Akhirnya dia pergi ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi, dia mengendarai mobilnya. Tapi Ashim malah mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya tewas. Mendengar berita itu, Dzikra langsung terkulai lemas, jiwanya kembali terguncang bahkan kali ini lebih keras. Dunia seakan hancur. Di dekat jenazah Ashim, Dzikra bersimpuh dan mencium kedua tangannya sebagai ucapan selamat tinggal untuk selamanya dan tanda pengabdian.

Semenjak kematian Ashim, Dzikra kembali ke panti. Dia telah bernazar untuk mengabdikan dirinya di panti. Dia menuliskan kisahnya dalam sebuah buku karyanya yang berjudul “Nasehat Wanita Bisu”. Di luar dugaan, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa dari pembaca. Hal itu membuatnya terkenal dan bergelimang harta. Walaupun begitu, tetapi hati dan jiwanya selalu teringat pada kekasihnya, Ashim. “Kasih, engkau tetap hidup dalam kenanganku”.

3.2. Biografi Pengarang

Harapan Yang Kandas’

ﻲ ﺎ

دو

/Wada‘tu ‘āmalī/, adalah karya pertama dari sastrawati Shamirah binti Al-Jazirah Al-Arabiyah. Beliau adalah salah seorang sastrawati yang terkenal di jazirah Arab, khususnya di kota Makkah. Shamirah binti Al-Jazirah Al-Arabiyah dilahirkan tahun 1943 di Makkah. Ketika buku pertamanya terbit, banyak orang yang meramalkan bahwa dunia kesusastraan, khususnya sastra Arab akan kembali bersinar cerah.

Shamirah adalah seorang gadis Arab, berpendidikan, dan berasal dari keluarga terhormat. Penanya melesat bagaikan anak panah meluncur dari busur. Ia keluar dari


(10)

jazirah Arabia untuk menggores dan merekam realitas kehidupan, dan menghadirkannya dalam bentuk kisah nan abadi. Goresan tangannya sanggup mengobati penyakit dan masalah sosial yang senantiasa membelenggu kalbu dan menggugah jiwa para gadis.

Kini, Shamirah dapat merasa bangga menyandang gelar sastrawati, dan baginya, tidak ada gelar lain yang disukainya selain gelar itu. Kendati dia menyembunyikan identitasnya, karena situasi dan kondisi keluarga dan masyarakat, namun fakta tak dapat dipungkiri, bahwa kini dia telah menjadi idola bagi para gadis di jazirah Arabia. Mereka terharu dan tersentuh oleh pesona kata-kata dan untaian kalimat-kalimat yang dijalin oleh Shamirah, hingga air mata mereka mengalir deras mengikuti alur kisah, dan jiwa mereka hidup bersama kepekaan perasaan sang penulis, yang lahir dari rahim realitas kehidupan. Ciri khasnya sebagai seorang sastrawati yang kritis terhadap kehidupan sosial masyarakat Arab, selalu menampilkan wanita sebagai tokoh utamanya.

Kisah-kisah indah buah karya Shamirah meliputi :

ﻲ ﺎ

دو

/Wada‘tu ‘āmalī/ ‘Harapan Yang Kandas’ (novel, 1958),

اد

تﺎ ﺮآذ

/Dzikrayātun Dāmi’atun/ ‘Kenangan Pahit’ dan

ﻚﻴ ﻴ

ﺮﺑ

/Barīqu Ainaika/ ‘Kulihat Sihir di Matamu’ (novel, 1963),

ﺔﻴﺑﺮ ﻟا

ةﺎﺘﻔﻟا

ﺔ ﻘ

/Yaqzhat Al-Fatāt Al-Arabiyah/

‘Bidadari Arab’ (novel, 1965),

يدﻼﺑ ﻰ

/ Bilādī/ ‘Di Negaraku’ (novel, 1970),

عﻮ ﺪﻟا

و

/Wad’i‘ Ad-Dumū‘i/ ‘Lembah Air Mata’.

Karya-karyanya telah menggemparkan dunia sastra. Para pembaca dari seantero penjuru Arab menyambut kehadiran buah karyanya dengan semangat dan penghargaan yang tinggi. Sambutan sehangat ini termasuk jarang terjadi, khususnya untuk pengarang wanita. Hal ini disebabkan oleh beberapa keistimewaan karya-karyanya, yang antara lain adalah kelembutan perasaan, kehalusan ungkapan dan keindahan gaya bahasa yang digunakan. Keistimewaan tersebut telah membuat pembaca tak bisa mengedipkan mata, membaca dari halaman ke halaman, dan membuat angan mereka hidup dan terbang ke dunia lain yang indah.


(11)

Karya-karya Shamirah mendapat sambutan yang luar biasa dari para pembaca, karena itu hampir seluruh karya-karyanya telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Karya yang sekarang berada di genggaman penulis, adalah karya terakhir Shamirah.

Quţrātun Min Ad-Dumū‘i atau tetesan air mata, dengan berbagai pertimbangan diganti judulnya menjadi “Musafir Cinta”. Karya ini mengisahkan perjuangan seorang gadis belia yang mengalami tekanan batin yang begitu luar biasa, hingga membuatnya menjadi bisu. Namun ia tidak menyerah, justru dengan kondisi itu Dzikra, nama gadis itu, mencoba tegar dan terus berkarya. Ia mempunyai tekad untuk melawan ketidakpedulian masyarakat dengan karya-karyanya.

3.3. Analisis Tema dalam Novel

عﻮ ﺪﻟا

تاﺮ

Quţrātun Min Ad- Dumū‘i

Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan sebenarnya eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya. Tema sebuah cerita tak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar-yang bertugas mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

Di pihak lain, unsur-unsur tokoh, plot, latar dan cerita dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Tokoh-tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat, pelaku, dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, sebenarnya tokoh-tokoh (utama) cerita inilah yang “bertugas” (atau tepatnya “ditugasi”) untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang.


(12)

Plot, di pihak lain berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny, 1966:95) dalam Nurgiyantoro (1995:75).

Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema.

Kehadiran berbagai unsur intrinsik dalam karya fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita. Jadi, sama halnya dengan tema, eksistensi cerita pun tergantung kehadiran unsur-unsur lain yang mendukungnya. Namun, tema tidak sama dengan cerita. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita.

Karena tema adalah kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema, terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan beberapa langkah untuk menentukan sebuah tema sebagai berikut secara cermat :

I. Memahami setting atau latar dalam prosa fiksi yang dibaca.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menunjukkan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Di dalam novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i terdapat ketiga unsur tersebut di atas, yaitu latar tempat, waktu dan sosial, sebagai berikut :


(13)

Bagian 1 : “Syaikh Mahjub”

ءاﺮ

ﺪﺘﻤ

)

ﺪ ﻧ

(

ﺔﻴ ﺎ

ءﺎﻤﺳ

...

و

ﺔ ﺮ

...

ﺎﻬﻟ

ﺎ ﺮﺑ

ﻟﻮﻬﺳو

ءاﺮﻤ ﻟا

اﺰﻟا

ءاﺮ

ﻟا

ﺎﻬ ﺎﺣاو

و

ﺔ ﺳاﻮﻟا

ﺔﻴه

.

/tamtaddu şahrā`u (najd) tahta samā`in şāfiyyatin… wa syamsun musyriqatun… birimālihā al-hamrā`i wa suhūluhā al-wāsi‘atu wa wāhātihā al-khadrā`u al-zāhiyyatu/

Padang pasir Nejed, terbentang luas di bawah naungan langit yang bersih, dan dekapan hangat sinar sang surya, dihiasi pasir yang berwarna merah, daratan luas membentang dan lembah subur berwarna hijau’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu padang pasir nejed yang dijelaskan secara terperinci bagaimana keadaannya.

اﻮﻟا

ىﺪﺣإ

قرﺎ

و

ﻷا

ﺔ ﺎﻤﺟ

تﺎﺣ

ﻢﻬ ﺎﻴ

باﺮ

ﺎ ه ةﺮ ﺎ ﺘﻤﻟا

و

ﻚ ه

/wa ‘alā masyāriqin ihdā al-wāhāti ta‘īsyu jamā‘atun min al-a‘rābi fī khiyāmihim al-mutanāśirati hunā wa hunāka/

‘Mereka hidup di kemah-kemah yang ukurannya hampir sama’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di kemah-kemah tempat mereka tinggal.

ﺎ ﺼﻟا ﺮﻴ ﺎ

أو ﺮ ﻔﻟا ح ﺎ

اذا ﻢهاﺮﺘ

ح

...

اﻮ او ﻢﻬ ﻮﻧ ﻦ

اﻮ ه

ﻢﻬ ﻤ

/fatarāhum iżā mā lāha al-fajru wa aqbalat tabāsyīru al-şabāhi… habū min nawmihim wa aqbalū ‘alā ‘amalihim/

‘Tatkala fajar menyingsing dan seruan subuh berkumandang, mereka akan bergegas bangkit dari tidur untuk memulai bekerja’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu fajar menyingsing di mana mereka bangkit dari tidur.

ﻩﺮﻴ

ﻧو

ﻴ ﻟا

ﻰ ﺳﺎ

اذا

ﻰﺘﺣ

...

ﻢﻬ ﺎﻴ

لﻮﺣ

اﻮ ﻤﺘﺟا

/hattā iżā mā sajā al-lailu wa nasya ‘abīrahu… ijtama‘ū hawla khiyāmihim/


(14)

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu malam mereka mulai berkumpul di sekitar kemah.

درﻮﺘ

ﻷا

اذﺈ

قﺮ ﻟا

ﻮ ﻧ

ﺪﺣو

ىﺮآذ

ﺟﺮ و

...

ﻤ ﻟاو

ﻟا

ءادر

/wa kharajat żikrā wa haddaqat nahwa al-syarqi fa` iżā al-ufuqu mutawaridun… wa al-syamsu khala‘at ridā`a al-layili/

‘Dzikra segera keluar dan memandang ke arah timur. Bumi telah terang dan matahari tengah merangkak bangkit meninggalkan kaki langit’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada pagi hari yang dijelaskan bagaimana matahari mulai muncul.

وأ

آ

نود

ﻢﻬ ﻤ

اﻮ او

/wa aqbalū ‘alā ‘amalihim dūna kullalin aw malalin/

‘Mereka adalah pekerja keras, tidak mengenal lelah atau bosan. Pekerjaan mereka hanyalah mengembalakan ternak’.

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yaitu bagaimana sifat orang Badui dan apa pekerjaan mereka.

لﻮﻘﻟا

ﻟا

ﻚﻟاذ

زﺎﺘ اﺎ

,

ءﺎ ﻮﻟاو

,

ﺔ ﺎﻬ ﻟاو

ﺪﻬ ﻟﺎﺑ

ةءوﺮﻤﻟاو

,

ةﺪ ﻟاو

/mā imtāza bihi żālika al-jinsu min dabţin fī al-qawli, wa al-wafā`i bi ‘ahdi wa al-syahāmati wa al-muru`ati, wa al-najdati/

‘Mereka dikenal sebagai orang-orang hebat. Mereka memiliki daya ingat yang sangat kuat, setia, senantiasa menepati janji, menjunjung tinggi persaudaraan dan pemberani’.

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yaitu bagaimana watak dan sifat orang Badui sehingga mereka dikatakan sebagai orang-orang hebat.

ﺪ ﻟا

ﺪﻴﻟﺎﻘ

ﻢﻜ

,

بﺮ ا

ﻰﺘﺣ

لﺎﺟﺮﻟا

ﻟﺎ

ﺔ دﻮ ﺴﻟا

ةأﺮﻤﻟا

ﻷا

ﺎﻬﻟ

ءﺎﺑﺮ

ﺎﻬﺟوزو

ﺎﻬ ﻮ ا

ﺮﻴ

/fabihukmi taqālīdi al-baladi, al-mar`atu al-sa‘ūdiyyatu muhajjabatun lā tujālisu al-rijāla hattā aqraba al-aqribā’I lahā gaira akhawatihā wa zaujihā/


(15)

‘Menurut ketentuan adat kaumnya, seorang perempuan tidak boleh duduk dan bergaul dengan lelaki lain. Bahkan dengan kerabat paling dekat sekalipun selain dengan saudara kandung atau suami’.

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yang menjelaskan bagaimana ketentuan adat mereka tentang seorang perempuan.

ﺔ وﺪﺑ

ةأﺮ إ

يأ

,

ﺎﻬﺟوﺰﻟ

مﺎ ﻟا

ﺪ و

ﺎﻬﺘﻤﻴ

ﻲﻬ

.

ﺼ و

ﺰ ﻟا

...

ﻦ ﻟا

و

...

ةﺪﺑﺰﻟاو

ﻦ ﻟا

ﺼ و

,

لﺰ و

ﻟﺎ ﻤﻟا

ﺼ و

فﻮﺼﻟا

,

دﺎ ﺴﻟاو

,

ﺮﺑ

مﻮﻘ و

مﺎﻴ ﻟا

.

يﺰﻟا

ﺔ ﻬ

ﻲهو

طﺎ ﻟا

اﺬه

آ

يﺪ ﻟا

...

بﺎ ﻟا

ﻮ ﻟا

...

ﺔ ﻴ ﻟا

ﺎﻬﺳأر

ﺼ و

...

مﺎ ﻟا

ﺎﻬﻬﺟو

و

...

ﺚﻴ

نﺎ ﻴ ﻟا

ىﻮﺳ

ﺮﻬ

/miślu ayyi imra`atin badawiyyatin, fahiya tunazzifu khaymatahā wa tu‘idu al-ţa‘āma lizaujihā. Wa taşna‘u al-khubza… wa tahlibu al-labana… wa taşna‘u minhu al-jubna wa al-zubdata, wa takhzilu al-şūfa wa taşna‘u minhu al-masyāliha, wa al-sajjāda, wa taqūmu biratqi mā fatafu min al-khiyyāmi. kulu hażā al-nasyāti wa hiya muhajjabatun talbisu al-zaiya al-najdīya… al-jilbāba al-ţawīla… wa taşna‘u ‘alā ra`sihā al-syīlata… wa ‘alā wajhihā al-luśāma… mujīśu lā yazharu minhu siwā al-‘aināni faqaţ/

‘Seperti wanita Badui lainnya, Rukiyah selalu menutupi tubuh dengan pakaian ala Nejed, berjilbab panjang, dengan wajah tertutup cadar, hanya kedua matanya yang tampak’.

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yaitu bagaimana seharusnya seorang wanita Badui berpenampilan, seperti Rukiyah.

Bagian 2 : “Dzikra”

ةﺮﻴ آ

ةﺮﺳأ

ﺔ ﺎ

ءاﺮ ﺼﻟاو

,

ﻤﺘ

وا

/ wa al-şahrā`u ‘āmmatan usratun kabīratun, aw mujtama‘un/

‘Secara umum padang pasir merupakan sebuah keluarga besar, atau sebuah masyarakat’.


(16)

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu padang pasir yang didbaratkan seperti sebuah keluarga atau masyarakat.

إ

ىﺮ

يوﺪ ﻟاو

...

ﺎ او

...

ﺎﻬ

ﻮﻬ

زﺮﻟ

ارﺪﺼ

ﻴ ﻟ

ﺎﻬ ادﺎ و

ﺎﻬ ﺎ

فﺮ و

...

ﺮﺳأ

داﺮ أ

تادﺎ و

فﺮ

ﺎﻤآ

/wa al-badawwīyyu yarā fī ibilihi… wa agnāmihi… maşdaran lirizqihi fahuwa yuhibbuhā hubbatan libanīhi wa ya‘rifu ţabā`i‘ahā wa ‘ādātihā… kamā ya‘rifu

ţabā`i‘a wa ‘ādāti afrādi usratihi/

‘Bagi masyarakat Badui, unta dan binatang ternak merupakan sumber kehidupan dan rejeki. Oleh sebab itu, kecintaan orang Badui pada binatang ternak seperti kecintaan mereka pada anak-anak. Mereka hapal sifat dan watak binatang ternak sebagaimana mengetahui sifat dan watak setiap anggota keluarganya’.

Kutipan di atas menunjukkan latar social, yaitu apa yang menjadi sumber kehidupan dan kecintaan masyarakat Badui.

Bagian 3: “Pernikahan”

ﺎﻬ ر

ا ﻤﺑ

ﺔ وﺮ ﻤﻟا

جﺮ ﻟا

/manţiqatu al-kharaji al-ma‘rūfatu bimazā ra‘ihā/

‘Daerah Kharaj terkenal dengan pertaniannya’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di daerah Kharaj yang terkenal dengan pertaniannya.

هﻷا

ﺔﻴﻘﺑ

ﺚﻴﺣ

جﺮ ﻟا

ﻰﻟإ

ﻴﻤ ﻟا

ﻘﺘﻧاو

...

برﺎ ﻷاو

...

نﺎﻜ

ﺚﻴﺣو

حﺮﻔﻟاو سﺮ ﻟا

/wa intaqala al-jamī‘u ilā al-kharaji haiśu baqiyati al-ahli… wa al-aqāribi… wa haiśu makāni al-‘ursi wa al-farahi/

‘Semua turun dan memasuki ruang upacara pernikahan. Di sana telah berkumpul sanak saudara, handai-taulan dan kerabat’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu pada ruang upacara pernikahan yang mereka masuki.

ﻴﻤﺟ

قﺮ

مﻮ


(17)

‘Pagi itu, hari terasa begitu indah’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada pagi hari yang begitu indah.

ﻴ ﻟا

ﺼﺘﻧا

ﺎ ﺪ و

ﺘﺣﺮ

اﺮ

ﺳﺮ

ﺔ ﻴﻟ

ﺮ ﻟا

رو

ﺪ اﻮﻤﻟا

تﺪ

/wa raqaşa al-‘arīsu lailata ‘ursihi mu‘abbirān ‘an farhatihi wa ‘indamā intaşafa al-lailu maddat al-mawā`idu/

‘Malam itu, para pemuda berdansa laksana goyangan pedang, mengikuti irama gendang’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu malam dimana para pemuda berdansa.

ﺪﻴﻟﺎﻘ و

تادﺎ

وﺪ ﻟاو

.

ﻢﻬﺣاﺮ ا

,

نﻮﻘﻔﺘ

ﻟا

نﻮﻔ ﺘ و

ﺎﻬ ﺑ

ا

ﺔ ﺴﻟا

ﺴﺣ

...

ءاﺮ ﻟا

...

ﻩﺎ ﻟاو

/wa al-baduwu ‘ādātun wa taqālīdu. Afrāhuhum, yattafiqūna fī ba‘dihā wa yakhtalifūna fī al-ba‘di al-akhari hasaba al-sa‘ati… al-śarā`i… wa al-jāhi/

‘Ada tradisi Badui yang terus dipertahankan, yaitu tradisi dalam menyambut kebahagiaan, seperti ketika mengadakan upacara pernikahan atau sejenisnya. Orang-orang akan bahu-membahu meringankan beban pihak yang punya hajat, sesuai dengan kemampuannya… kekayaannya… ketenarannya (jabatannya)’.

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yaitu ada tradisi Badui yang terus dipertahankan dalam menyambut kebahagiaan.

Bagian 4 : “Panah Asmara”

ﻰﻟا

دﺎ

.

اﺮﻜﻔ

شاﺮﻔﻟا

ﺘﻤﻟا

ﻩﺪﺴ

ﻰﻘ و

/‘āda ilā khibā`ihi. Wa yulqī yahsuduhu al-mat‘ibu ‘alā al-firāsyi mufakkirān/

‘Sesampai di kemah, ia hempaskan tubuh di atas tempat tidur sambil terus berpikir’. Kutipan di atas menunjukka latar tempat, yaitu di kemah.

ىﺮآذ

ﺎﻬﺘ ﺑاو

ﺘﺟوز

ﻘﻴﺘﺳا

ﺎﻤآ

ﺪ ﺪﺟ

ةﻼﺼﻟ

ﺄ ﻮﺘ

مﺎ و

ﺎﻤﻬ دﺎ آ

ﻲ ﻮﻴﻟا

ﺎﻤﻬ ﻤ

فﺎ ﺘﺳ

/wa qāma yatawddā`u lişalāti fajrin jadīdin kamā istaiqazat zaujatuhu wa ibnatuhā


(18)

‘Dia bangkit berwudhu untuk menunaikan shalat fajar, anak dan isterinya juga telah bangun untuk melakukan pekerjaan seperti biasa’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu fajar dimana mereka bangkit untuk menunaikan shalat fajar dan mulai bekerja.

ﻲﻟﺎﻴ ﻟا

ىﺪﺣا

ﺔﻴﺴ ا

...

ﻰﻟا

ﺎﻤﻬ ﻴﺑ

ﺚ ﺪ ﻟا

قﺮ

ﺮﻤﺴ

ﻮهو

او

ﻢﻴ ﺘﻟا

ﻩﺮ

/fī umsiyati ihdā al-layālī… wa huwa yusmiru ma‘a ‘ammihi taţaraqa al-hadīśu bainahumā ilā al-ta‘līmi wa aşarihi/

‘Malam itu, Amir berbincang-bincang dengan pamannya, tentang berbagai hal dan akhirnya mereka membicarakan masalah pengajaran, pendidikan dan manfaatnya’. Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada malam hari dimana Amir dan pamannya sedang berbincang-bincang tentang berbagai hal.

Bagian 5 : “ Derita jiwa “

ﺔ ﺪﺼﻟا تءﺎ

...

ﻦﻴ ﻴ ﻟا ﻦﻴﺑ

نا ﺎهﺪﺣو

ةدﺎ

...

نوﺪﺑو

ﺎﻴﻘﺘﻟا ﺎﻤﻬﻴ

ﻴ ر

/syā`at al-şudfatu… wahdahā an tajma‘a baina al-habībaini ‘alā gairi ‘ādati… wa bi dūni raqībin ‘alaihimā il-taqayā/

‘Di padang, tanpa sengaja Rukiyah dan Amir bertemu’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di padang pasir tempat Rukiyah dan Amir bertemu.

Bagian 6 : “Korban”

ا

نود

ءﺎ ﻟا

ﺎﻬﺳﻮﻧﺎ

ءﻮ

ﺎهﺪﺟﻮ

ناﺬ ﺘﺳ

لﺰ

/fadkhala al-khabā`u dūna isti`żāni fawajadahā ‘alā daw`i faanwasahā tagzilu/

Tanpa meminta izin lagi, Amir segera masuk ke dalam kamar, didapatinya Rukiyah sedang memintal wool’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di dalam kamar Rukiyah.

ﺎﻴه اﺮﻜﻔ

اﺪﻴﺣو

ﺮ ﺎ و

,

ﻔﻧ

ﺎﻤﺑ

ﻟﻮﺣ

ﺎﻤ


(19)

‘Malam itu, Amir duduk terpekur sendirian memikirkan nasib dirinya’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada malam hari dimana Amir duduk terpekur sambil memikirkan nasib dirinya.

Bagian 7 : “Guncangan Jiwa”

ﺎﻬ ﺎ ا

لﺎﺟﺮﻟا

ىﺮ ﻟ

بﻮ

ﺦﻴ ﻟا

ﺔﻤﻴ

ﻰﻟا

ن ا

ﺪ ﻟو

/wa lina‘uddu al’-āna ilā khaymati al-syaikhi mahjūb linarā ba‘da al-rijāli amāmahā/

‘Di kemah Syaikh Mahjub telah berkumpul beberapa orang tetangga’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di kemah Syaikh Mahjub yang telah berkumpul beberapa orang tetangga.

ﻴﻤ ﻟا

ﺔﻘ ﻤﺑ

ﻟﺎ

ﺦﻴ ﻟا

ﺔﻘ ﺪ

راد

ﻰﻟا

ﺘ ﺑاو

لﺎﺟﺮﻟا

ﺘ و

/wa yattajihu al-rajulu wa ibnatuhu ilā dāri şadīqati al-syaikhi şālih bimanţiqati al-syamīsi/

‘Sesampai di Riyadh, Syaikh Mahjub menuju tempat kediaman sahabatnya, Syaikh Saleh, di kawasan Syamis’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di Riyadh tempat kediaman sahabat Syaikh Mahjub yang tepatnya di kawasan Syamis.

ﻧا حﺎ ﺼﻟ

و

ىﺮآذ ﺎﻤﻬ و ﻰﻔ ﺘﺴﻤﻟا ﻰﻟا نﺎ ﻴ ﻟا

ا

/wa fī al-şabāhi inţalaqa al-syaikhāni ilā al-mustasyfā wa ma‘humāżikrā/

‘Keesokan harinya, mereka pergi ke rumah sakit untuk mengobati Dzikra’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di rumah sakit untuk mengobati Dzikra.

دﺎﻜ

وأ

ﻴ ﻟا

ﺼﺘ و

...

ﻰﻟا

آ

ﻤ ﻟا

ﻔ و

...

ﺦﻴ ﻟا

دﺮﻔ و

ﺘ ﺑﺎﺑ

/wa yantaşifu al-lailu aw yukādu… wa yanfadu al-jam‘a kullun ilā khabā`ihi… wa yanfaridu al-syaikhu bi ibnatihi/

‘Malam hampir larut, tetamu mulai berpamitan untuk pulang ke kemah masing-masing, meninggalkan Syaikh Mahjub sendirian’.


(20)

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada larut malam dimana para tamu berpamitan untuk pulang ke kemah mereka masing-masing.

حﺎ ﺼﻟا

ﺼ و

...

ﺎ ا

ﺔ ﺑﺎﻘﻟا

ﺘ ﺑا

ﺟﺮﻟا

يدﺎ و

/wa yuşbihu al-şabāhu… wa yunādī al-rajulu ‘alā ibnatihi al-qābi‘atu amāmahu falā tujībuhu/

‘Saat subuh, Syaikh Mahjub membangunkan putrinya, namun tak ada jawaban apapun’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada saat subuh Syaikh Mahjub membangunkan putrinya.

Bagian 8 : “Kebahagiaan”

تﺎ ﻮﻤ

ةﺪ

ﻰﻟا

ﺪﻬ ﻤﻟا

تﺎ ﻟﺎ

ﻢﺴ و

/wa qassama ţālibātu al-ma‘hadi ilā ‘idati majmū‘ātin/

Dalam pemeriksaan di panti, dokter Ashim membagi para siswi ke dalam beberapa kelompok’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di panti tempat dokter Ashim melakukan pemeriksaan.

ﻤﻟا

ﻦﻴﺑ

و

ﻴﺑ

تﺎﻧرﺎﻘ

ﺪﻘ

ﻧﺎآﺎ

اﺮﻴ آو

ﺮﻴ ﻜﻟا

ﻲﺟرﺎ ﻟا

ﻤﺘ

...

ﺎﻬﻤ

يﺬﻟا

...

ﺎﻤ اد

ةﺪﺣاو

ﺔ ﻴﺘ ﺑ

جﺮ

ﻧﺎﻜ

...

ﺮﻴﻴ ﺘﻟا

بﻮﺟو

ﺮﻴ ﻜﻟا

ﻤﺘ ﻤﻟا اﺬﻬﻟ ﻢﻴ ﺴﻟا ﻲﻤ ﻟا

ﻤﻟﺎﺑ

ﺎ ﻟا

/wa kaśīrān mā kānat ta‘qidu muqārinātin bainahu wa baina al-mujtama‘i al-khārijī al-kabīri… al-lażī zalamuhā… fakānat takhruju binatījatin wāhidatin dā`imān… wu jubu al-takhyīri al-syāmil bi al-manţiqi al-‘ilmī al-salīmi lihażā mujtami‘i al-kabīri/

‘Dzikra sering membandingkan masyarakat kecil tempat ia hidup sekarang dengan masyarakat lain, dalam masyarakat kecil seperti di panti, para penghuninya dengan tulus ikhlas saling berbagi derita, memupuk dan memelihara cinta kasih. Sedang tempat ia tinggal dahulu, di perkampungan Badui, masyarakatnya berlaku lalim dan kejam’.


(21)

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial, yaitu bagaimana perbedaan kehidupan masyarakat kecil tempat ia hidup sekarang dengan kehidupan masyarakat lain yang sering ia banding-bandingkan..

Bagian 9 : “Rumah Sakit Syamis”

ضﺎ ﺮﻟا

ﺔﻴﺣﺎ

...

ﺔ ﻴﻤ ﻟا

ﺔ دﺎﻬﻟا

ﺎﻬ ﺎﻴﺣا

ﻲﺣ

ﻲ و

.

ﻰ و

ضرﻷا

ﺔ ﺳاو

ﺔ ﻘﺑ

/fī dāhiyatin min al-riyādi… wa fī hayin min ahyā`ihā al-hādi`ati al-jamīlati. Wa ‘alā biq‘atin wāsi‘atin min al-ardi/

Rumah sakit Syamis terletak di Riyadh, di atas dataran tinggi yang luas membentang dengan udara yang teduh dan pemandangan indah’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di rumah sakit Syamis yang terletak di Riyadh.

ﺔهدر

ﻲ و

ىﺮآﺬﻟ

حﺮ

ﻢ ﺎ

رﻮﺘآﺪﻟا

و

ﺔ ﻴﺴﻔﻟاﺎﻬ ﺎهدر

ﻰﻔ ﺘﺴﻤﻟا ﻚﻟاﺬﺑ ﺎﻬ ﻤ

تﺎ ﺘ

/wa fī radhatin min radahātihā al-fasīhati waqafa al-duktūru ‘āşimu yasyrahu li żikrā mutaţallibāti ‘amalihā bi żālika al-mustasyfā/

‘Di salah satu ruangan dalam rumah sakit, Ashim sedang memberikan penjelasan kepada Dzikra tentang segala tugas yang harus dijalankan’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di salah satu ruangan dalam rumah sakit dimana Ashim sedang memberikan penjelasan kepada Dzikra.

Bagian 10 : “Rahasia Terungkap”

ﺎهءاد

فﺮ و

ﺎﻬﺼ ﻔﻴﻟ

ﺎﻬﺘ ﺮ

ﻰﻟإ

هﺬ

رﻮﺘآﺪﻟا

ﻢ و

/wa ‘alima al-duktūru fażahaba ilā gurfatihā liyafhaşahā wa ya‘rifa dā`ahā/ Dokter Ashim masuk ke kamar Dzikra untuk memeriksa keadaannya’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di kamar Dzikra dimana Ashim sedang memeriksanya.

ﻮﻟا

ﺮﺘﺴﻴﻟ

ﺔ ﺘﻜ

دو

...

يﺬﻟا

بﺎﺘﻜﻟا

رﻮﺘآﺪﻟا

وو

ﺔ ﺎ

نوﺪﺑ

ﺘﻜﻤﻟا

ﻩﺪ


(22)

/wa dakhala maktabatan liyastarīha ba‘da al-waqti… wa wadaha al-duktūru al-kitāba al-lażī fī yadihi ‘alā al-maktabi bidūni ‘ināyatin/

‘Dari kamar Dzikra Ashim segera kembali ke ruang kerjanya untuk beristirahat sejenak’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di ruang kerja Ashim dimana dia beristirahat sejenak.

Bagian 11 : “Kepergian”

ﻧﺎﻜ

ﻮهو

...

ﺎﻤﺟاو

...

ادرﺎ

...

ءﺎﻤﺴﻟا

ﻰﻟا

ﻩﺮﺼ ﺑ

اﺮ ﺎﻧ

...

ﻰﻟا

لﻮﻬ

ﻢﻟﺎ

/wa huwa fī makānihi… yaqifu wājimān… syāridān… nāzirān bibaşarihi ilā al-samā`i… ilā ‘ālamin majhūlin/

‘Saat itu, dia sedang berdiri sambil merenung di kamar, memandang langit yang terbentang luas tak berbatas’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu da dalam kamar tempat ia merenung dan memendang ke langit luas.

ﻴ ﻟا فﺎﺼﺘﻧا ﺔ

ﺔ ﺎﺴﻟا

د

/daqqat al-sā‘atu mu‘linata intişāfi al-laili/

‘Jam berdenting tanda tengah malam’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu tengah malam dimana jam telah berdenting.

Bagian 12 : “Air Mata Cinta”

ﺮ ﻔﻟا

ةﻼ

ﻴﻤ ﻟا

ىدأو

تﺎ ﺮ

ﻦﻴﻤ ﺴﻤﻟا

ﻔ وو

/wa waqafat ma‘a al-muslimīna ‘alā ‘arafāti wa addā al-jamī‘u şalāta al-fajri/

‘Di Arafah, ia berdiri bersama kaum muslimin menunaikan shalat’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di Arafah dimana para kaum muslimin menunaikan shalat.

ه

ءﺎﺟرا

ﺎﻬ ﺮ ﺎ ﺑ

ﻟﺎﺟو

ﺮ ﻟا

مﺮ ﻟا

دو

سﺪﻘﻤﻟا

نﺎﻜﻤﻟا

اﺬ

/wa dakhalat al-harama al-syarīfa wa jālat bināzirīhā fī arjā`i hażā al-makāni al-muqaddasi/


(23)

‘Dzikra masuk ke dalam masjid Al-Haram Al-Syarif berkumpul bersama jamaah di tempat yang suci’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di dalam Masjid Al-Haram Al-Syarif tempat para jamaah berkumpul.

ﻰﻔ ﺘﺴﻤﺑ

مﺎ ا

ﺔ ﺑ

و

)

ﺔ ﺮﻜﻤﻟا

ﺔﻜ

(

راﺮﺣ

ﻧﺎآ

ةﺪ ﺪ

ﻮ ﻟا

ة

ىﺮآذ

ﻔ راو

ء

يوﺮﺘﻟ

مﺰ ز

ﺎﻬﺴﻔﻧ

/wa qadat bid‘ata ayyāmin bimustasyfā (makkah al-mukarramah) kānat harārata al-jawwi syadīdah wa irtasyafat żikrā min mā`i zamzam litarwī zam`a nafsihā/

‘Di Makkah, cuaca sangat panas, untuk menghilangkan dahaga, biasanya Dzikra minum dari sumur Zam-zam yang tak pernah kering itu’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di Makkah dimana cuaca di sana sangat panas dan biasanya Dzikra minum dari sumur Zam-zam yang tak pernah kering.

ﺔ ﻟ ﺎﻬﺴﻔ ﺑ تدﺮﻔﻧا ﺎﻤ

ﺎﻬﺴﻔ ﺑ ﺎهداﺮﻔﻧا

/infirādihā binafsihā famā infaradat binafsihā lahzatan/

‘Seperti malam itu, betapa ia rindu untuk berjumpa dengan Ashim’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada waktu malam dimana ia rindu untuk berjumpa dengan Ashim.

ءﺎ ﻴ ﻟا

ﻢﻬﺴﺑﻼﻤﺑ

جﺎ ﻟا

أو

...

ودﺆﻴﻟ

ﺔﻴ ﺎﺼﻟا

ﻢﻬﺳﻮﻔﻧو

ﺔ ﺮ

ا

ﻟا

.

و

ضرأ ﻲ

مﺎﻴ ﻟا ف أ

)

(

او

ز

ﻦﻴﻤ ﺴﻤﻟﺎﺑ

نﺎﻜﻤﻟا ﻢﺣد

نوددﺮ

ﻢﻬ آو ﻢﻟﺎ ﻟا عﺎﻘﺑ

آ ﻦ

ﻦﻴ دﺎﻘﻟا

/wa aqbala al-hujjāju bimalābisihim al-baidā`i… wa nufūsihim al-şāfiyati liyu`dū farīdata al-haji. Wa tunşabu alafu al-khiyyāmi fī ardi (minā) wa izdahama al-makānu zbi al-muslimīna al-qādimīna min kulli biqā‘i al-‘ālami wa kulluhum yuradidūna/

‘Pada saat musim haji, para jamaah datang mengenakan pakaian ihram berwarna putih bersih. Jiwa mereka suci karena menjadi tamu Allah. Beribu-ribu kemah didirikan di tengah-tengah padang Mina. Seantero tempat penuh sesak oleh kerumunan ‘tamu’ Tuhan’.


(24)

Kutipan di atas menunjukkan latar social, yaitu bagaimana keadaan pada saat musim haji dimana para tamu Allah tengah berkumpul dengan memakai pakaian ihram dan jiwa yang suci.

Bagian 13: “Harapan Baru”

ﺪﺣا

ﺘﻜ

ﺎﺴ ﺟو

ى

ءﺎ ﻷا

/wa jalasā fī maktabin ihdā al-aţibā`i/

‘Mereka berdua bertemu di ruangan salah seorang dokter rumah sakit’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di salah satu ruangan seorang dokter rumah sakit tempat mereka berdua bertemu.

مﺰ

ﺄ ﻧ

ﻰﻔ ﺘﺴﻤﻟا

تﺮﺳ

ﻲﻟﺎﺘﻟا

مﻮﻴﻟا

حﺎ

ﻤ ﻟا

قوﺮ

و

ءﺎﺳﺮ ﻟا

ىﺮآذ

جاوﺰﻟا

ﻢ ﺎ

رﻮﺘآﺪﻟا

/wa ma‘a syurūqi al-syamsi fī şabāhi al-yaumi al-tālī sarrat fī al-mustasyfā naba`a ‘azmi al-duktūr ‘āşimu ‘alā al-zawāji min żikrā al-kharsā`i/

‘Bersama terbitnya matahari di pagi berikutnya, tersebarlah berita rencana pernikahan Ashim dengan Dzikra, perawat yang bisu’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada pagi hari dimana tersebarnya rencana pernikahan Ashim dan Rukiyah.

Bagian 14 : “Mimpi”

ﺴﻔ ﺑ

اداﺮ

ﺔ ﺘﻜ

ﺟو

...

ﺴﻔﻧ

...

ﺑﺮ

ﻢﻬ رﻮ

مﺎ ز ﻚ ﻤ

ﺑﺎ

سﺎﺴﺣاو

/wa jalasa fī maktabatin furādān binafsihi… min nafsihi… syu‘ūrun mubhamun garībun yasy‘uru bihi wa ihsāsun qābidun yamliku zimāma qalbihi/

Dia duduk di kantornya. Jiwanya terbang melayang entah kemana. Perasaan asing dan menyesakkan memenuhi dada’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di dalam kantornya.

دﻮ ﻮﻤﻟا

مﻮﻴﻟا

رﺎ ﻤﻟا

ﻰﻟا

هذو

...

ﺎ ﻟا

ﻴ ﻟا

ةدﻮ

ﺮ ﺘ

/wa żahaba ilā al-maţāri fī al-yaumi al-mau‘ūdi… yantaziru ‘audata al-habībi al-gā`ibi/


(25)

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada pagi hari dimana Ashim segera pergi ke bandara untuk menunggu kedatangan sang kekasih.

مﺎ ﻷا

تﺮ و

...

ﻰﻘﻟاو

ىﺮآذ

ةدﻮ

ﺮﺘ

ﻩدوﺮ

ﻢ ﺎ

رﻮﺘآﺪﻟاو

رﺎ ﺘﻧ ا

/wa marrat al-ayyāmu… wa al-duktūr ‘āşimu ‘alā syurūdihi yataraqabu ‘audata

żikrā wa alqā al-intiţāra zilālān/

‘Setelah beberapa minggu berlalu, suatu malam, di saat tidur, Ashim mengalami mimpi buruk dan menakutkan’.

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu, yaitu pada suatu malam dimana Ashim mengalami mimpi buruk dan menakutkan.

Bagian 15 : “Matahari yang Tenggelam”

ﺎﻬﺘ ﻘﺘﺳاو

تﺎ ﺮﻤﻤﻟا

ﻴﺑ

ﻰﻟا

ىﺮآذ

و

ﻘﻴ ر

ﺎﻬ

ﻟﺎﺑ

قﻮ ﺑ

...

و

ﺮهﺎ

نﺎ ﺣو

ﻦﻬﻟ

ﺎﻬ ﺮ ﺑ

ﻴ ﻟا

ﻼ ﻮ

ﺎﺘ و

ﺎﻬ

ﺑ ﺎﻬ اﺪهﺎ

ن

/wa şalat żikrā ilā baiti al-mumarridāti wa istaqbalathā rafīqātuhā bi syaūqin bāligin… wa hanānin zāhirin wa qadaina ma‘ahā waqtān tawīlān min al-laili bihujratihā taşifu lahunna musyāhadātihā bi lunduni/

‘Di perumahan, dengan bahasa isyarat Dzikra menceritakan pengalamannya selama berada di London pada sahabat-sahabatnya hingga larut malam’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di perumahan dimana Dzikra tinggal.

ﻦﻴﺑ

ﻰﻔ ﺘﺴﻤﻟا

ﻰﻟا

ﺘ ﻘﻧو

فﺎ ﺳ ا

ﺔﺑﺮ

تءﺎﺟو

سﺎ ﻟا

لﻮﺣ

ﻤﺘﺟاو

تﻮﻤﻟا

ةﺎﻴ ﻟاو

/wa ijtama‘a haula al-nāsi wa jā`at ‘arabatu al-is‘āfi wa naqalathu ilā al-mustasyfā baina al-mauti wa al-hayāti/

‘Orang-orang yang berada di dekat tempat itu segera berdatangan memberikan pertolongan. Tak berapa lama, datang mobil ambulans membawa tubuh Ashim ke rumah sakit’.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu di rumah sakit dimana Ashim dibawa oleh mobil ambulans.


(26)

Bagian 16 : “Kesetiaan”

دﺎ

ت

ﺟﺮ

يﺬﻟا

ﺪﻬ ﻤﻟا

ﻰﻟا

ىﺮآذ

/‘ādat żikrā ilā al-ma‘hadi al-lażī kharajat minhu/

‘Semenjak kematian Ashim, Dzikra kembali ke panti tempat dia dirawat dahulu’. Kutipan di atas menunjukkan latar tempat, yaitu dip anti dimana Dzikra dirawat dahulu.

II. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan :

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tidak langsung.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal. Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik disebut tokoh antagonis.

Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan dengan tokoh protagonis dan antagonis sering digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama-protagonis, tokoh utama-antagonis, tokoh tambahan protagonis dan tokoh tambahan-antagonis.

Penulis melihat adanya beberapa tokoh yang terdapat dalam novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i sebagai berikut :


(27)

a. Tokoh Utama-Protagonis, yaitu :

Dzikra, merupakan buah kasih sayang Rukiyah dan Syaikh Mahjub. Dzikra adalah anak yang rajin, selalu membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan. Dzikra adalah Badui kecil dan dia mewarisi kesabaran dan semangat perjuangan yang kuat.

b. Tokoh Tambahan-Protagonis, yaitu :

Rukiyah, adalah seorang wanita yang suka bekerja. Ia tak pernah mengeluh dalam mengerjakan tugas dan kewajiban sebagai seorang istri dan seorang ibu. Begitulah watak wanita Badui. Rukiyah selalu menutupi tubuh dengan pakaian ala Nejed, berjilbab panjang, dengan wajah tertutup cadar, hanya kedua matanya yang tampak. Dia selalu setia dan ikhlas mendampingi Syaikh Mahjub, suaminya itu dan selalu berusaha membahagiakan suami dan putrinya melebihi kebahagiaannya sendiri.

Amir, adalah seorang pemuda dewasa yang sudah berusia 18 tahun, dikaruniai paras yang tampan, bertubuh tinggi, berbadan tegap, dadanya bidang, kokoh, perkasa, kulitnya bersih, rambutnya hitam legam dan ikal, lidahnya fasih, ahli bersyair.

Syaikh Saleh, adalah sahabat Syaikh Mahjub. Dia adalah seorang pedagang sayur-mayur dan tinggal tidak jauh dari kios dagangannya, dan sangat sederhana.

Nadhiroh, adalah seorang pimpinan panti dimana tempat Dzikra dirawat yang penuh dengan perhatian dan kasih sayang kepada semuawarga panti terutama Dzikra.

Ashim, adalah seorang dokter yang tinggal di Hijaz, berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar. Ashim adalah seorang manusia yang berjiwa besar, berakhlak mulia dan berperilaku halus. Dia memiliki segudang keistimewaan, di antaranya senang menyantuni fakir, mengasihi yang miskin, menolong yang lemah, dan sederet sifat terpuji lainnya.

Sama’ dan Kamilah, adalah sahabat-sahabat Dzikra di rumah sakit Syamis yang menaruh perhatian pada dirinya.

Dr. Hamid, adalah kepala rumah sakit Syamis yang mempunyai rasa kasihan terhadap Dzikra, dan dia juga sahabat Ashim.


(28)

Syaikh Mahjub, adalah seorang laki-laki Badui yang usianya sudah tidak muda lagi dan usianya terpaut dua puluh tahun dengan istrinya, Rukiyah. Akan tetapi, penampilannya masih meniratkan sisa-sisa kesehatan dan kegesitan. Walau sudah berusia senja, tapi ia masih sanggup menanggung segala kebutuhan hidup keluarganya. Dia mempunyai sifat otoriter, yang selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain baik kepada keluarganya sendiri. Dengan sifatnya yang kejam itu, dia telah membunuh istri dan keponakannya sendiri dan menyebabkan anaknya menjadi cacat.

Ayah Ashim, adalah seseorang yang berasal dari keluarga kaya raya dan terhormat, yang sangat menentang hubungan anaknya, Ashim dan Dzikra. Sifatnya suka merendahkan orang miskin seperti Dzikra.

III. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.

Dalam novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i terdapat enambelas bagian cerita yang masing-masing bagian cerita memiliki tahapan-tahapan peristiwa dan pokok pikiran. Setelah penulis baca berulang-ulang, maka penulis dapat memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap bagian cerita, yang penulis rangkum sebagai berikut :

a. Bagian 1 : “Syaikh Mahjub”

Pada bagian ini, dijelaskan latar di mana keluarga Saikh Mahjub tinggal, dan bagaimana latar sosial masyarakat Badui. Di sini diperkenalkan beberapa tokoh yaitu Syaikh Mahjub, Rukiyah, Dzikra dan Amir. Dalam bagian ini belum terjadi peristiwa-peristiwa yang berarti, hanya saja masing-masing tokoh sudah memperkenalkan keberadaan mereka.

b. Bagian 2 : “Dzikra”

Pada bagian ini, dijelaskan bagaimana sosok Dzikra yang merupakan kebanggaan orang tuanya, terutama Syaikh Mahjub, di tengah-tengah masyarakat Badui.


(29)

Pada bagian ini, dijelaskan beberapa peristiwa yang terjadi dengan terlebih dahulu menjelaskan latar daerah Kharaj yang akan didatangi oleh keluarga Syaikh Mahjub. Selanjutnya dijelaskan bagaimana perjalanan mereka ke Kharaj, dan bagaimana tradisi Badui di sana dalam menyambut kebahagiaan. Tujuan kedatangan mereka ke sana adalah untuk menghadiri pesta pernikahan kerabat mereka. Ketika mereka pulang ternyata Syaikh Mahjub mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan putrinya itu dengan Amir, tetapi tidak disetujui oleh istrinya, karena Dzikra masih terlalu kecil untuk menikah, sehingga terjadi pertengkaran kecil antara Syaikh Mahjub dan Rukiyah.

d. Bagian 4 : “Panah Asmara”

Pada bagian ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi bisa saja sangat mengejutkan. Di sini telah terjadi hubungan perasaan yang pada saat itu membuat mereka tidak menyadarinya antara Amir dan Rukiyah. Perasaan itu terjadi begitu cepat, dan perasaan itu adalah ‘cinta’. Syaikh Mahjub juga mengutarakan rencananya itu kepada Amir untuk menjodohkannya dengan Dzikra, akan tetapi tetap ditolak oleh Amir. Pada saat itu Rukiyah dan Amir hanya dapat memendam perasaan mereka masing-masing.

e. Bagian 5 : “Derita Jiwa”

Pada bagian ini, hubungan yang terjalin antara Rukiyah dan Amir tidak diketahui oleh orang lain selain Tuhan. Mereka merasakan penderitaan jiwa yang teramat dalam karena mereka benar-benar telah dimabuk cinta yang tidak akan mungkin dapat membuat mereka bersatu. Rukiyah tidak dapat menahan kesedihannya, sampai pada suatu hari kesedihannya itu diketahui oleh Dzikra. Dia merasakan bahwa jiwa ibunya sedang menderita. Rukiyah dan Amir hanya bisa merenung dan berkhayal tentang nasib kisah cinta mereka. Pada saat itu ternyata Syaikh Mahjub memperhatikan tingkah laku Amir yang aneh dan tetap ingin menikahkan Amir dengan putrinya. Tetapi Amir tidak mau. Di sinilah awal terjadinya konflik antara Syaikh Mahjub dan Amir, sehingga Amir diusir oleh Syaikh Mahjub.


(30)

Pada bagian ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi lebih memilukan dan menyedihkan. Amir telah diusir oleh pamannya sendiri, ini berarti bahwa dia harus meninggalkan wanita yang dicintainya. Tapi, pada saat Amir berpamitan dengan Rukiyah tiba-tiba Syaikh Mahjub melihat keberadaan mereka berdua di dalam kamar Rukiyah, dan Syaikh Mahjub bertambah murka berubah menjadi seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Lalu dia manampar istrina dan membunuh Amir dengan sebilah pisau. Konflik yang terjadi sudah sangat parah yang menyebabkan kematian Amir dan Rukiyah. Yang lebih mnyedihkan lagi adalah Dzikra mengalami tekanan jiwa sehingga membuatnya menjadi bisu akibat ulah ayahnya sendiri. Mulai saat itu Dzikra selalu mengalami kesedihan.

g. Bagian 7 : “Guncangan Jiwa”

Pada bagian ini, Dzikra mengalami guncangan jiwa yang cukup keras setelah kejadian yang dialami oleh ibunya. Pada akhirnya ada beberapa masyarakat yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, mengapa tidak ada peradilan terlebih dahulu sebelum dilakukan hokum rajam. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena semuanya sudah terlambat. Setelah kejadian yang memilukan itu, Dzikra benar-benar mengalami gangguan jiwa yang mengguncang syaraf kesadarannya. Syaikh Mahjub sedih melihat keadaan anaknya hingga dia membawa Dzikra ke Riyadh untuk berobat. Dzikra dirawat di sebuah panti yang memang khusus menangani penyakit seperti yang diderita Dzikra.

h. Bagian 8 : “Kebahagiaan”

Pada bagian ini, Dzikra mulai mendapat kehidupan baru di panti. Banyak orang yang menyayangi dan memperhatikannya. Dzikra telah berubah menjadi seorang gadis dewasa, semakin besar, semakin terlihat cantik dan memikat. Di panti, dia bertemu dengan seorang dokter yaitu dokter Ashim yang akan merawat dirinya. Ashim menaruh perhatian pada Dzikra. Di sana, setelah keadaannya mulai membaik, dia diangkat sebagai pegawai dip anti. Dzikra semakin bahagia dan lebih percaya diri.


(31)

Pada bagian ini, Dzikra kembali mengalami kesedihan, dia diberitahu bahwa Nadhiroh, kepala panti yang begitu menyayanginya telah meninggal dunia. Untuk menghilangkan kesedihannya, Ashim menyarankan Dzikra bekerja di rumah sakit dan dia pun setuju. Dzikra telah bekerja di Rumah Sakit Syamis yang terletak di Riyadh. Dzikra bertemu dengan orang-orang baru lagi dan di sana dia mempunyai dua orang sahabat yaitu Sama’ dan Kamilah.

j. Bagian 10 : “Rahasia Terungkap”

Pada bagian ini, Dzikra dan Ashim semakin dekat dan akrab karena mereka sering bertemu. Sampai-sampai mereka tidak menyadari kalau mereka memiliki perasaan satu sama lain. Pada suatu hari, Ashim mengambil buku yang pernah dipinjamkannya kepada Dzikra, ternyata ada secarik kertas di dalamnya. Kertas itu merupakan goresan tangan Dzikra yang berisikan bahwa dia menyayangi dan mencintai Ashim.

k. Bagian 11 : “Kepergian”

Pada bagian ini, Ashim memutuskan untuk menulis surat buat Dzikra bahwa sebenarnya dia juga mencintai Dzikra dan ingin menikahinya. Tapi, Dzikra menganggap Ashim hanya menaruh rasa iba dan belas kasih bukan mencintai dengan sepenuh hati. Untuk menghindari Ashim, akhirnya Dzikra meminta dipindahkan ke Rumah Sakit Mina di Makkah Al-Mukarramah.

l. Bagian 12 : “Air Mata Cinta”

Pada bagian ini, Dzikra merasa tenang berada di Makkah, melihat para jamaah haji dan Ka’bah. Jiwanya terasa sejuk. Dalam hatinya, sebenarnya Dzikra tidak sanggup berjauhan dengan Ashim karena dia begitu mencintainya. Lalu, Dzikra menulis surat untuk Ashim dan menyampaikan apa yang terpendam dalam hatinya.

m. Bagian 13 : “Harapan Baru”

Pada bagian ini, Ayah Ashim sangat tidak suka dan menentang keras hubungan anaknya dengan Dzikra. Ayahnya beranggapan bahwa Dzikra tidak


(32)

pantas untuk anaknya itu, karena Dzikra adalah gadis cacat dan dari keluarga miskin, sedangkan mereka adalah orang terhormat dan berpendidikan. Ashim sangat kecewa dengan sikap ayahnya itu dan dia tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Ashim segera pergi ke Makkah untuk menemui Dzikra dan kembali meyakinkannya bahwa dia akan sembuh. Ashim mengajak Dzikra pergi berobat ke luar negeri dan Dzikra pun setuju. Dzikra kembali menemukan harapan baru.

n. Bagian 14 : “Mimpi”

Pada bagian ini, Ashim menerima surat Dzikra dari London dan akan segera kembali. Ashim dengan setia menunggu kedatangan Dzikra walaupun pengobatannya di sana sia-sia. Setelah keduanya bertemu, mereka langsung berpelukan melepaskan rasa rindu yang sekian lama terpendam. Hati keduanya telah bertemu kembali.

o. Bagian 15 : “Matahari Yang Tenggelam”

Pada bagian ini, Dzikra kembali ke perumahan rumah sakit tempat ia bekerja. Keesokan harinya, ada seorang lelaki tua yang hendak bertemu dengannya dan orang tua itu adalah ayah Ashim. Ayah Ashim meminta Dzikra untuk meninggalkan anaknya. Dzikra sangat terpukul sekali, tapi dia berusaha untuk tetap tegar dan tabah. Ashim mengetahui hal itu dan dia sangat marah dan kecewa terhadap ayahnya. Segera Ashim pergi menyusul Dzikra dalam keadaan marah dengan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Namun, kenyataan berkata lain, Ashim mengalami kecelakaan, yang pada akhirnya menyebabkan dirinya meninggal dunia. Mendengar kabar itu, jiwa Dzikra kembali terguncang bahkan kali ini lebih keras, keras sekali. Kekasih hatinya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

p. Bagian 16 : “Kesetiaan”

Pada bagian ini, semenjak kematian Ashim, Dzikra kembali ke panti dan dia ingin mengabdikan dirinya di panti. Di sana Dzikra menuangkan semua kisahnya dalam sebuah buku. Di luar dugaan, bukunya mendapat sambutan yang luar biasa dari pembaca, yang membuatnya menjadi terkenal dan mendatangkan rejeki


(33)

baginya. Sekarang Dzikra hidup serba kecukupan dan menjadi orang terhormat. Orang-orang yang dahulu memandang rendah dirinya kini berlomba-lomba mendekatinya termasuk ayah Ashim. Walaupun begitu, Dzikra tetap dan akan selalu mengenang Ashim di dalam hatinya untuk selamanya.

IV. Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

Stanton (1965:14) dalam Nurgiyantoro (1995:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, kesatuan (Unity), antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antara peristiwa tersebut hendaklah jelas, logis, dapat dikenali hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya dalam teks cerita yang mungkin di awal, di tengah atau akhir. Plot yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan tentu saja akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah

(middle), dan tahap akhir (end). Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika bermaksud menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan.

Dalam novel Quţrātun Min Ad-Dumū’i, penulis menemukan adanya ketiga tahapan plot di atas, yang penulis jabarkan sebagai berikut :

1. Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah tahap informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Ia misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadiannya, dan lain-lain, yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting.


(34)

cerita, mungkin berwujud deskripsi fisik bahkan mungkin juga telah disinggung perwatakannya.

Tahap awal dari novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i yang berkaitan dengan unsur pelataran :

ءاﺮ

ﺪﺘﻤـ

)

(

ﺔـﻴ ﺎ

ءﺎـﻤﺳ

..

ﺔ ﺮ

ﻤ و

..

ﺎ ﺮﺑ

ﺎﻬـﻟ

و

ﺔ ﺳاﻮﻟا

ﺎﻬـﻟﻮﻬﺳو

ءاﺮﻤ ﻟا

و

ﺔﻴهاﺰﻟا

ﻟا

ﺎﻬـ ﺎﺣا

.

رﺎ

ﻰ و

ق

ﺪﺣإ

ى

ﺎ ه

ةﺮ ﺎ ﺘﻤﻟا

ﻢﻬ ﺎﻴ

باﺮ ا

ﺔـ ﺎﻤـﺟ

تﺎﺣاﻮﻟا

كﺎ هو

..

/tamtaddu şahrā`u (najd) tahta samā`in şāfiyyatin… wa syamsin musyriqatin… birimālihā al-hamrā`i wa suhūlihā al-wāsi‘ati wa wāhātuhā al-khadrā’u al-zāhiyyatu. wa ‘alā masyāriqi ihdā al-wāhāti ta‘īsyu jamā‘atun min al-a‘rābi fī khiyāmihim al-mutanāśirati hunā wa hunāka…

‘Padang pasir Nejed, terbentang luas di bawah naungan langit yang bersih dan dekapan hangat sinar sang surya, dihiasi pasir yang berwarna merah, terbentang luas membentang dan lembah subur berwarna hijau. Di salah satu kawasan lembah itulah sekelompok orang Arab Badui menetap. Mereka hidup di kemah-kemah yang ukurannya hampir sama’. (bagian 1: Syaikh Mahjub).

Tahap awal dari novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i yang berupa pengenalan tokoh-tokoh cerita :

مﺪﻟا

ﺔﻔﻴﻔ

ىﺮآذ

ﻧﺎآ

..

و

مﻼﻜﻟا

.

ةﺬﻟ

ﺎﻬـﻧا

ﺎﻬ أ

ﻰﻟا

ﺎﻬﻴﺑا

رﺎ أ

ﻘﻧ

ةﺮ ﺎ

.

/kānat żikrākhafīfatu al-dammi… lā takifu ‘an al-kalāmi wa lā tat‘abu. Innahā tajidu lażżatan gāmiratan fī taqli akhbāri abīhā ilā ummihā/

‘Dzikra adalah gadis periang dan menyenangkan sehingga mudah kenal dan akrab dengan siapapun. Selain itu, dia juga pandai berbicara, ia tidak pernah tahan untuk tidak berbicara sedetikpun. Dengan banyak bicara, dia menemukan kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri. Demikian juga ketika menceritakan pembicaraan ayahnya dengan Amir, Dzikra menemukan kesenangan dan kebahagiaan’. (bagian 1: Syaikh Mahjub).


(35)

ﻧﺎآ

)

ﺔﻴ ر

(

ﺎﻬـ ﺎ ﺟاو

ءادا

ﻲﻧاﻮﺘ

ﺔ ﺎ ﻟ

ﺔ ﻴ ﻧ

ىﺮآذ

مأ

و

ﺔﺟوﺰآ

مأ

.

ﺪﺴ ﻟا

ﺔ ﻴ ﻧ

ﺔﻴ ر

ﻧﺎآ

..

ﺔ ﺎﻘﻟا

ةﺮﻴﺼ

,

ﻦﻴ ﻴ ﻟا

ءادﻮﺳ

ﺎ ﻮﻤ و

اﺮ ﺳو

ءﺎآذ

نﺎ

.

/kānat (ruqayyah) ummun żikrā nasyīţatan lil gāyati lā tatawānī ‘an adā`i wājibātihā kazaujatin wa ummin. Kānat ruqayyatu nahīlat al-jasadi… qaşīrata al-qāmati, sawdā`u al-‘ainaini tasy‘āni żakā`u wa saharān wa gamūdān/

‘Rukiyah, nama ibu Dzikra dan istri Syaikh Mahjub, adalah seorang wanita yang suka bekerja. Ia tidak pernah mengeluh dalam mengerjakan tugas dan kewajiban sebagai seorang istri dan seorang ibu.

ﻧﺎآ

)

ىﺮآذ

(

ﻴ ﻟا

اد

ﺎﻬ ﻤ

ءﺎ أ

ﺎﻬ أ

مزﻼ

,

ﺟرﺎ و

,

ةدﺎ

ةﺮﻴ

ﺔ وﺪﺑ

ﻲﻬ

وﺪ ﻟا

..

ﺮ ﺼﻟا

هاﻮ

ﺎﻬ أ

ﺎﻬﻴ

..

حﺎﻔﻜﻟاو

.

/kānat (żikrā) tulāzimu ummuhā ‘aśnā’a ‘amalihā dākhila al-baiti, wa khārijahu, ‘alā ‘ādati al-baduwwi fahiya badawiyatun şakhīratun… fīha min ummihā mawāhib al-şabri… wa al-kafāhi/

‘Dzikra adalah anak yang rajin, selalu menemani dan membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan baik pekerjaan di dalam rumah maupun di luar rumah sesuai dengan tradisi Badui. Dzikra adalah Badui kecil di tengah hamparan luas padang pasir. Dari ibunya dia mewarisi kesabaran dan semangat perjuangan yang kuat’. (bagian 2: Dzikra).

2. Tahap Tengah

Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan seperti telah dikemukakan di atas, dapat berupa konflik internal (konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh), konflik eksternal (konflik atau pertentangan yang terjadi antara tokoh cerita, antara tokoh protagonis dan antagonis). Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan yaitu ketika konflik utama telah mencapai titik intensitas tertinggi.


(36)

Dalam novel Quţrātun Min Ad-Dumū‘i, konflik-konflik yang terjadi mulai tampak, yaitu sebagai berikut :

ﻲ ـﻴ ﺑ

ﻩﺎ ﻴ

ﻘﺘﻟا

نا

ﺎ و

ز

ﺔﺟو

..

تﺰه

ﺔ ر

ﺘﺑﺎ أ

ﻰﺘﺣ

ﺔ اﺮ

ﺎ ﺎﻬﺳ

ﺎﻬ ﺎ ﻟ

نﺎآو

ﻧﺎﻴآ

..

ﻘﻟا

لﺎ ﺘﻟ

ﺎﻬﺳﻮ

ﻘ ا

.

/wa mā an iltaqat ‘aināhu bi‘ainai zaujati ‘ammihi… hattā aşābathu ra‘isyatan hazzat kiyānahu wa kāna lihāzihā sihāmān mirāsyatan… aţlaqat min qawsihā li tanālu minhu al-qalba/

‘Begitu kedua mata bertemu, muncul getar-getar ajaib yang mengguncang jiwa. Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Rukiyah. Tatapan mata Rukiyah tajam laksana mata pedang dan langsung menembus jiwa, menggetarkan sukma, bahkan matahari pun tak akan sanggup menahan tajamnya tatapan mata Rukiyah’.

اﺬه

نﻮﻜ ا

..

ةﺮﻴ

ﺰ ﻮﺑ

ﺣا

ﻜﻟو

؟ ﻟا

ﻮه

..

اذﺎﻤﻟ

ﻦﻜﻟو

..

ﻧا

؟

ﺔﻴ ر ﺔ ؤر ﺪ

ﺎﻴ

وأ ﺎﻔﻴ

ﻮﻟو

ﺔﺟوز

.

/ayyakūnu hażā… huwa al-hubbu? Wa lakinahu ahassu biwakhzin şagīratin…wa lakin limāżā…? Innahu yurīdu ru`yata ruqayyata zaujata ‘ammahi wa lau ţīfān aw khayālān/

‘Oh, apakah ini yang dinamakan cinta…? Inikah cinta ? Amir bertanya-tanya dalam hati. Sejak pertemuan itu Amir merasakan kegelisahan. Jiwanya melayang, dan sejak pertemuan itu ia selalu berharap dapat melihat Rukiyah, perempuan yang telah melepaskan panah asmara ke dalam jiwa. Pikirannya terus membayangkan Rukiyah, berkhayal seolah-olah wanita itu hadir dan menatap matanya’. (bagian 4 : Panah Asmara).

Dari cerita di atas, Rukiyah dan Amir mulai merasakan getar-getar cinta di hati mereka, sejak pertemuan mereka pertama kali, dan jiwa mereka seperti melayang-layang dan terus berkhayal tentang orang yang dicintainya.

مﻮﻴﻟا

بﺎ

اﺬﻜه

ﻢﺘﻧا

..

ىﺮآذ

جاوﺰﻟا

ﻧا

..

ﻴﻟأ

حﺎﻴ را

لﺎ و

ﺮ ﺎ

بﺎﺼ ا

راو

؟ﻚﻟﺬآ

:

ﻟاز

ىﺮآذ

نا

ةﺮﻴ

.

/antum hakażā yā syabāba al-yaumi… anta targabu fī al-zawāji min żikrā… ‘alaysa każalika? Wa artakhat i‘şāba ‘āmirin wa qāla fī irtiyāhi : inna żikrā lā zālat


(1)

UCAPAN TERIMA KASIH

Berkat ridha dan rahmat Allah SWT, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin sekali mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, beserta bapak Drs. Aminullah, M.A., Ph.D. selaku Pembantu Dekan I, bapak Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II dan bapak Drs. Parlaungan, M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

2. Ibu Dra. Khairawati, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Mahmud Khudri, M.Hum. selaku sekretaris Program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Aminullah, M.A, Ph.D. selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Syauri Syam, Lc selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikirannya untuk membimbing penulis dan memberikan inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

5. Para staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya program studi bahasas Arab FS USU yang telah banyak menyumbangkan dan mengajarkan ilmunya kepada penulis selama mengecap pendidikan di bangku perkuliahan.

6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Hanafi Wibowo dan Ibunda Suharti, S.pd yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi. Allahumma igfir lana żunubana wa liwalidaina warhamhuma kama rabbayana sagira.


(2)

7. Saudaraku tersayang : Ari , Angga Moumar dan Adi Ghuna Wibowo, kasih dan sayang yang kalian berikan sebagai penyemangatku untuk tetap tegar menyelesaikan penulisan ilmiah ini. Semoga kita dapat meraih cita-cita serta memberikan yang terbaik bagi kedua orangtua yang kita cintai. Amin.

8. Sahabatku Rahma dan Odi Saleh

9. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab (IMBA) dan Ikatan Keluarga Alumni IMBA terima kasih atas jalinan persahabatan serta Ukhuwahnya. Semoga IMBA tetap eksis dan mampu mewujudkan cita-citanya.

10.Teman-teman Angkatan 2004 IMBA yang telah lebih dahulu menyelesaikan studi : (Mr. “Popo” Andika, Amiril, Aswin, Izul “leha”, Dinul, “Kang” Ghofar, Eka “kurus”, Itho “pesek”, Lina, Vina “gendut”, Amraini, Zikri, Ema, Andi “kiting”, Nia “Bocor”, Indra, Ijur, Sani, Minartini, Bimbi, Ableh, Latif, Munawir, Reza, Wahyu, Silvi, Fakrah) I love you all…. Bibeh….good luck.

11.Serta seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang tidak terhingga kepada penulis dan penulis tidak dapat menyebutkannya satu persatu yang pasti anda memberikan ruang

memory tersendiri didalam kapasitas hard disc penulis. Thank’s a lot of every think.

Penulis tidak dapat membalas jasa baik yang telah diberikan, hanya kepada Allah SWT penulis meminta semoga diberikan ganjaran dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.Amin.


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Metode Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pesan Moral ... 15

2.2. Kritik Sosial ... 18

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

3.1. Sinopsis ... 20

3.2. Biografi Pengarang... 23

قطرات

من

الدموع

... 29

3.3. Analisis Tema pada Novel

قطرات

من

الدموع

... 39

3.4. . Tingkatan Tema pada Novel BAB IV PENUTUP ... 46

4.1. Kesimpulan ... 46

4.2. Saran... 48

DAFTAR PUSTAKA... 50

LAMPIRAN ... 52


(4)

صورة

تجريدية

صورة

تجريدية

أستريد

ميشرة

.

٢٠٠٨

.

تحليل

الفكرة

فى

ﺔـﺼﻘﻟا

قطرات

من

الدموع

تأليف

سميرة

.

قسم

اللغة

العربية

كلية

الأداب

جامعة

سومطرة

الشمالية

:

ميدان

.

الفكرة

ﻩي

الأساس

ىﺬﻟا

يقوم

عليﻩا

البناء

ﻲ ﻔﻟا

ﺔـﺼﻘ ﻟ

.

والﻩدف

من

ﻩذا

البحث

ﻩو

معرفة

الأساس

ىﺬﻟا

يقوم

عليﻩا

ﺔـﺼ

قطرات

من

الدموع

تأليف

سميرة

,

ومعرفة

مستوي

الفكرة

فى

ﺔـﺼ

قطرات

من

الدموع

.

استخدمت

الكاتبة

الدراسة

المكتبية

(Library

Research)

بالطريقة

الإستنتاجية

(Metode Deskriptif)

في

ﻩذا

التحليل

.

قامت

الباحثة

بإستخدام

نظرية

نورغينطورو

بتوطيد

نظرية

أمين

الدين

كمراجع

ثانى

في

البحث

.

و

نتائج

ﻩذا

البحث

التي

استنتجت

الكاتبة

ﻩي

:

أحزن

الحياة

ليست

نﻩاية

كل

شيئ

و

لكن

الحب

يستطيع

ان

يغير

الأحزن

إلى

السعادة

و

لا

شيئ

يستطيع

ان

يفرق

الحب


(5)

وفى

ﺔـﺼ

قطرات

من

الدموع

اربعة

مستويات

فكريات

ﻩي

مستوى

الجسد

(Fisik)

,

و

مستوى

الإجتماعي

(Social)

,

و

مستوى

الأنانى

(Egoik)

,

و

مستوى

مخلوقات

عالية

. (Divine)


(6)

ABSTRAKSI

Astrid Maysarah, 2008. Analisis Tema Pada Novel

قطرات

من

الدموع

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ Karya Shamirah. Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara : Medan.

Tema adalah ide pokok atau gagasan utama yang mendasari sebuah cerita yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca untuk memaparkan karya sastranya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tema utama yang terdapat pada Novel

قطرات

من

الدموع

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/, dan untuk mengetahui tingkatan tema yang terdapat di dalam Novel

قطرات

من

الدموع

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ karya Shamirah tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Metode Deskriptif dengan studi kepustakaan (Library Research), penulis menggunakan teori Nurgiyantoro, dan didukung oleh teori Aminuddin.

Dari hasil penelitian didapati bahwa tema utama yang terkandung pada novel

قطرات

من

الدموع

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ karya Shamirah adalah: “Penderitaan hidup bukanlah akhir dari segala-galanya, akan tetapi cinta sejatilah yang dapat merubah seluruh penderitaan menjadi sebuah kebahagiaan, serta cinta sejati hanya dapat dipisahkan oleh kematian”.

Di dalam novel قطرات

من

الدموع

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ karya Shamirah terdapat empat tingkatan tema yaitu : tingkatan tema fisik, sosial, egoik dan divine.