Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
EKSISTNSI HAK ULAYAT DALAM PEMAHAMAN DAN SIKAP MASYARAKAT DI KECAMATAM PANGURURAN BUHIT KABUPATEN SAMOSIR, DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
(UUPA)
SIKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
SANTONI LUMBANRAJA 010200069
Departemen Hukum Administrsi Negara Program Kehususan Hukum Agraria
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
EKSISTNSI HAK ULAYAT DALAM PEMAHAMAN DAN SIKAP MASYARAKAT DI KECAMATAM PANGURURAN BUHIT KABUPATEN SAMOSIR, DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
19960 (UUPA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
SANTONI LUMBANRAJA 010200069
Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kehususan Hukum Agraria
Disetujui Oleh
KETUA DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DR. PENDASTAREN TARIGAN, SH, MS NIP. 131410462
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
TAMPIL ANSHARI SIREGAR, SH, MS MARIATI ZENDRATO, SH, MH
NIP. 130 250 421 NIP. 131 661 438
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITSA SUMATERA UTARA MNEDAN
(3)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hukum agraria nasional merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat 3 UUD dan hal- hal yang sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 yang menyatakan; bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatannya tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organ kekuasaan seluruh rakyat.
Dengan hal tersebut di atas maka Undang-Undang Pokok Agraria mempunyai dua substansi dari segi berlakunya yaitu mencabut hukum agraria kolonial dan membangun hukum agraria nasional. Sehingga dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria terjadi perombakan hukum agraria di Indonesia yaitu penjebolan hukum agraria kolonial dan pembangunan hukum agraria nasional.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hukum nasional, hukum adat tentang tanah dijadikan sebagai dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Disamping itu hukum adat merupakan manifestasi dari aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional mempunyai dua kedudukan yaitu:
1. Hukum Adat Sebagai Dasar Utama.
Penunjukan hukum adat sebagai dasar utama dalam pembentukan hukum agraria nasional, dalam konsideran Undang- Undang Pokok Agraria di bawah perkataan berpendapat huruf a, yaitu: “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan- pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional yang
(4)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
berdasarkan atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama”.1
2. Hukum Adat Sebagai Hukum Pelengkap.
Di samping itu juga dapat dilihat dalam penjelasan umum III No. 1 alinea 2 ayat 2 yaitu: “Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat itu, sebagai hukum yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Pembentukan hukum agraria nasional menuju kepada tersedianya perangkat hukum yang tertulis yang mewujudkan kesatuan hukum, memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah merupakan suatu proses yang memakan waktu selama proses tersebut belum selesai hukum yang tertulis yang suda ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan perlengkapan agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Dalam hubungannya dengan hukum agraria nasional tertulis yang belum lengkap itulah norma-norma hukum adat berfungsi sebagai pelengkapnya. Hal ini telah dinyatakan dalam pasal 56 Undang- Undang Pokok Agraria yang berbunyi “selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan- ketentuan hukum adat setempat dan peraturan- peraturan lainnya mengenai hak- hak atas tanah yang memberi wewenangnya”. Hukum adat sebagai pelengkap dalam pembentukan hukum agraria nasional juga dapat kita lihat dari ketentuan pasal 5 UUPA yaitu: “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
1
(5)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
peraturan- peraturan yang tercantum dalam undang- undang ini dan dengan peraturan perundang- undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Sehingga dengan hal- hal tersebut di atas jelaslah bahwa berlakunya hukum adat dalam hukum agraria nasional dengan persyaratan dan pembatasan-pembatasan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam pembangunan nasional berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Berlakunya Undang- Undang Pokok Agraria sebagai produk hukum nasional di negara Indonesia sejak semula sudah mengandung berbagai tanggapan dan pendapat baik positif maupun negatif. Tanggapan dan pendapat tersebut ada yang menyangkut eksistensi dari pada Undang- Undang Hukum Pokok Agraria itu sendiri dalam kaitannya dengan hukum adat, sebagaimana Soedikno Mertokusumo menjeleskan:
“Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam yang ada di dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut”.
Dan lebih jelas lagi dapat kita lihat dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan; dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi.2
2
Urip Santoso , Hukum Agraria dan Hak-hak atas tanah, h. 20-70
Dan dalam kenyataannya bahwa dengan masih diakuinya hak ulayat dalam masyarakat adat di samping belun adanya peraturan perundang- undangan yang khusus mengaturnya secara spesifik menjadi kendala dimana kadang- kadang terjadi
(6)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
benturan antara hak ulayat tersebut di satu poihak dan pemanfaatan tanah- tanah untuk kepentingan pembangunan dipihak lain sehingga menghambat lajunya pembangunan.
Disamping itu, yamg menjadi sebuah dilema yang sering kita jumpai dalam masyarakat hukum adat adalah kurangnya pemahaman tentang ulayat dan kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah sehingga menimbulkan berbagai permasalahan dalam wewenang pengelolaan hak ulayat tersebut.
Dengan adanya kendala- kendala tersebut di atas ditambah keinginan untuk mempelajarinya, maka penulis tertarik untuk mengangkat dalam suatu karya ilmiah berupa skripsi dengan judul: “EKSISTENSI HAK ULAYAT DALAM PEMAHAMAN DAN SIKAP MASYARAKAT KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR, DIKAITKAN DENGAN UNDANG- UNDANG POKOK AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960”.
B. Permasalahan.
Dengan berpedoman pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan membahas dan menganalisis tentang eksistensi Hak Ulayat: Pemahaman dan Sikap Masyarakat Kecamatan Pangururan Siogung- Ogung Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang- Undang Pokok Agraria dengan menggunakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman masyarakat Kecamatan Pangururan Buhit tentang eksistensi hak ulayat dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria?
2 Bagaimana sikap masyarakat Kecamatan Pangururan Buhit tentang eksistensi Hak Ulayat dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 dan peraturan Pemerintah?
(7)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Suatu karya ilmiah sebaiknya harus didukung oleh data, agar karya ilmiah tersebut sedapat mungkin mendekati kesempurnan. Demikian juga dalam penelitian skripsi ini, peneulis mengumnpulkan data maupun bahan-bahan yang diperlukan dengan mempergunakan metode sebagai berikut:
1. Penelitian Kepustakaan.
Dengan penelitian kepustakaan ini penulis berusaha meneliti dan mengumpulkan
data maupun bahan- bahan yang diperlukan baik itu dari buku- buku, brosur-
brosur, dan publikasi- publikasi lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi ini.
Hasil penelitian ini bersifat teoritis dan merupakan pembuka jalan untuk meneliti
data yang dijumpai di lapangan.
2. Penelitian Lapangan.
Penelitian lapangan ini penulis lakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Obsevasi, yaitu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek penelitian.
Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab
dengan responden yang terdiri dari tokoh- tokoh masyarakat Kecamatan
Pangururan Buhit, Pejabat Kantor Pertanahan, yang mengetahui hal ini dan
dianggap memeberikan keterangan yang diperlukan.
Selanjutnya mengenai cara mengadakan analisa terhadap data yang ditemukan dilakukan derngan cara cara-cara sebagai berikut:
a. Melalui metode deskriptif, yakni mengetengahkan dan menerangkan data sebagaimana adanya pada saat penelitian tentang obyek yang dipelajari.
b. Melalua metode komperatif, yakni: membandingkan kenyataan di lapangan dengan peraturan- peraturan perundangan yang berlaku, serta uraiannya
(8)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Di samping daripada tujuan pokok penulisan skripsi ini yaitu, sebagai persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, maka berdasarkan permasalahaan yang dikemukakan tersebut di atas, penelitian skripsi ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dari masyarakat Kecamatan Pangururan Buhit tentang eksistensi hak ulayat dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Untuk mengetahui sejauh mana sikap masyarakat Kecamatan Pangururan Buhit tentang eksistensi hak ulayat dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. E. Manfaat Penelitian.
Di atas telah disebutkan yang menjadi tujuan penelitian skripsi ini, selanjutnya penulis akan megetengahkan beberapa hal sebagai faedah dari pada penelitian skripsi ini. Adapun yang menjadi faedah daripada penelitian skripsi adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis.
Secara teoritis, yang menjadi faedah dari pada penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah, penulis dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya di lapangan itu. Selain dari pada itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk mendapatkan data-data yang akurat untuk melengkapai penuisan skripsi ini dengan melakukan tinjauan langsung terhadap objek serta melakukan wawancara terhadapa masyarakat bersangkutan.
2. Secara praktis.
Pada dasarnya, teori dihasilkan oleh praktek. Dalam istilah hukum, untuk penetapan suatu peraturan haruslah terlebih dahulu dilakukan uji materiil. Oleh karena itu, teori dengan praktek adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sehingga dengan adanya penelitian skripsi ini, secara praktisnya sangatlah mempunyai faedah yang sangat berguna. Sebagaimana dengan adanya penelitian ini penulis dapata
(9)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
behubungan langsung dengan subyek. Disamping itu, penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini, secara praktisnya juga bermanfaat sebagai media komunikasi dengan masyarakat sekaligus memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran tentanga hak ulayat, yang dapat menambah wawasan masyarakat itu sendiri.
Pembahasan ini dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengumpulkan data awal, dimana keterangan tentang masalah hak ulayat di Kecamatan Pangururan Buhit Samosir belum ada secara lengkap. Data awal ini dapat digunakan sebagai sebagai dasar untuk mengadakan penelitian- penelitian yang lebih mendalam terhadap ruang lingkup yang sama yaitu di Kecamatan Pangururan Buhit Smosir.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan maka tujuan dari pada pembahasan ini ditujukan dalam rangka pembentukan- pembentukan hypotesa- hypotesa, diaman nantinya dapat diuji melalui penelitian- peneliatian yang lebih mendalam. Dalam prakteknya, hasil penelitian akan dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menerapkan dan untuk efektifikasi dari kebijakan- kebijakan hukum oleh pemerintah daerah. Dengan adanya penulisan dan penelitian skripsi ini penulis berharap kiranya memberi manfaat dalam pembangunan hukum khususnya dalam penyejahteraan masyarakat.
F. Keaslian Penelitian
“Eksistensi hak ulayat: pemahaman dan sikap masyarakat kecamatan
pangururan kabupaten samosir, dikaitkan dengan undang- undang pokok agraria”,
yang diangkat menjadi judul sikripsi ini belum pernah ada penulis lain yang
mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretaris
Depertemen Hukum Agraria.
Permasalahan yang dibahas dalam sikripsi ini adalah murni hasil
pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan perundang-undangan, teori-teori
hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada melalui refrensi
buku-buku, pendapat hukum, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak,
(10)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
dalam rngka melemngkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh
gelar Sarjan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Sehubungan dengan itu, perlu juga penulis jelaskan bahwa penelitian
dalam rangka pemenuhan data-data yang falid untuk memlengkapi skripsi ini
murni dilakukan oleh penulis sendiri. Apabila ternyata dikemudian hari terdapat
kepalsuan data dalam skripsi ini, maka penulis akan
mempertanggungjawabkannya.
G. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. Pengertian dan isi hak ualayat dalam konsepsi hukum adat.
A. Pengertian hak ulayatHak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi: Dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa dan masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehinggga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi.
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupan, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.3
3
Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999.
(11)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Para sarjana memberi arti yang saling berbeda terhadap pengertian hak ulayat baik pengertian secara harafiah maupun dalam pemakaian istilah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat ialah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.4
a. Mengenai istilah.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraiakan mengenai istilah, subyek, obyek- obyek fungsionaris- fungsionaris serta batasan- batasan hak ulayat itu sebagai berikut:
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat- masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan Hukum Adat yang berbahasa Belanda, mengikuti penamaannya oleh Van Vollenhoven, lembaganaya disebut
beschikkingsrech.5
“Nama hak atau perhubungan hukum (Rechtsbetrekking) sendiri dalam bahasa Indonesia kiranya tidak ada atau jarang terdapat, tetapi tentang wilayahnya (beschikkingskring) dimana- mana ada namanya. Nama itu untuk menguasai lingkungan yang dikuasai, baik sebagai milik (patuanan di Ambon), maupun sebagai daerah untuk makanan (pewatasan di Kalimantan), wewengkon di Jawa, prabumian di Bali, atau sebagai tanah larangan bagi orang- orang lain (tatabuan di Bolang Mangondow). Lain dari pada itu terkenal dengan
Sebenarnaya istialah hak ulayat sebagai terjemahan dari “beschikkingsrecht” adalah milik ilmu pegetahuan dan bukan milik masyarakat. Oleh karena di lingkungan masyarakat hukum adat pada umumnya tidak mengenal istilah tersebut. Hal ini terlihat sesuai dengan pernyataan. Ter Haar sebagai berikut:
4
Boedi Harsono(1), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,2003,h. 8.
5
(12)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
nama- nama seperti: Torluk (Angkola), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Pajar (Bali) dan Ulayat (Minangkabau).6
Subyek dari pada hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat. Yang dimaksud degan masyarakat hukum adat ialah sekolompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagi warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar turun temurun.
Jadi istila hak ulayat adalah merupakan istilah tehnis yuridis yang pada pokoknya dikenal dan dipergunakan di lingkungan para sarjana hukum serta para petugas agraris. b. Subjek hak ulayat.
7
Kadang- kadang hak ulayat itu meliputi juga perairan misalnya pantai laut yang dikuasai oleh suatu desa, contohnya di daerah Aceh. Demikian pula di daerah Jambi, seperti terbukti dari hasil penelitian A. P. Parlindungan, dalam disertasi beliau, dimana disebutkan bahwa hak ulayat di Jambi ke laut luas juga berlaku dengan selokanya “Sepembedilan dari tepi pantai waktu air surut, hak Rajo”, artinya batas terluar hak ulayat adat ialah satu mil dihitung dari tepi pantai jika air surut.
c. Objek hak ulayat
Objek hak ulayat meliputi baik hutan belukar dan tanah liar disekelilingi desa yang belum dikerjakan manusia maupun tanah- tanah yang sudah dikerjakan. Di daerah- daerah dimana hak ulayat itu masih kuat, maka tanah garapan yang ditinggalkan begitu saja jatuh dibawah kekuasaan hak ulayat desa dan putusan desa akan menentukan kepada siapa diantara anggota desa yang memerlukan.
8
d. Fungsionaris pelaksanaan hak ulayat.
6
Dirman, Perundang- undangan Agraria di Seluruh Indonesia, J.B.Wpolters, Jakarta, Cetakan kedua,1959.h. 41
7
Pasal 1 Angka 3 Permen Agraria/ Kepala BPN. No. 5 Tahun 1999 8
A.P.Parlindungan, , Pandangan Kritis Berbagai Aspek dalam Undang- Undang Pokok
(13)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Dalam bentuk aslinya hak ulayat dipandang sebagai hak suaru kelompok mansusia atas tanah dan sebagainya, yang adakalanya dilaksanakan/ dinyata kan oleh kelompok dimaksud dan ada kalanya oleh kepala suku atas nama kelompok itu, kepada suku mana sesuai dengan akibat yang kembar dari hak ualayat: keluar sebagai wakil dari persekutuan terhadap orang asli (yang mendatang), sedangkan kedalam sebagai pengatur dari cara bagaimana anggota persekutuan itu dapat menyatakan haknya.
Selain daripada itu diberbagai tempat dikenal adanya “wali tanah” yang berbeda istilahnya daerah ke daerah. Pada pokoknya fungsi wali tanah ini sangat menentukan di dalam menjalankan kewenangan atas tanah. Hal ini disebabkan karena wali tanah ini dipandang sebagai orang yang paling mengenal mitos serta adat istiadat setempat, sehingga kehadirannya dalam masyarakat sangat dihormati.
e. Batas-batas Hak Ulayat.
Batas-batas hak ulayat ini dikenal/diketahui oleh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan, kecuali di daerah- daerah yang penduduknya jarang. Batas- batas ini pada umumnya ditentukan dengan batas- batas alami seperti, sungai, gunung, jalan- jalan umum dan jurang.
B. Isi Hak Ulayat.
Untuk memudahkan uraian selanjutanya mengenai hak ulayat ini maka akan kita lihat gejala- gejala penjelmaannya yang pada pokoknya dibagi atas:
a. Gejala- gejala penjelmaan ke dalam daerah persekutuan hukum. b. Gejala- gejala penjelmaan ke luar daerah persekutuan hukum
Gejala- gejala penjelmaan hak ulayat itu ke dalam daerah persekutuan hukum, tampak dalam hal- hal sebagai berikut:
a. Anggota- anggota masyarakat hukum mempunyai hak- hak tertentu atas obyek- obyek hak ulayat, yakni:
(14)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
1 Atas tanah; hak membuka tanah, hak memungut hasil, hak menarik hasil, mendirikan tempat tinggal, hak menggembala.
2 atas air; hak memakai air, menangkap ikan, pengairan dan sebagainya. 3 atas hutan; hak berburu, hak mengambil hasil hutan dan sebagainya.
b. Kembalinya hak ulayat atas tanah dalam hal pemiliknya pergi tak tentu, meninggal tanpa waris atau tanda- tanda tanah yang telah dibukanyanya itu telah punah.
c. Persekutuan menyediakan tanah- tanah untuk keperluan- keperluan persekutuan umpanya: tanah pekuburan, tanah jabatan dan sebagainya.
d. Bantuan kepala persekutuan dalam hal transaksi- trsansaksi tanah dan dalam hal ini dapat dikatakan mengenai gejala- gejala penjelmaan ke dalam dari hak ualayat ini, kepala persekutuan bertindak sebagai pengatur.
Gejala- gejala penjelmaan ke luar daerah persekutuan hukum, terutama ditujukan terhadap warga luar dari persekutuan hukum itu dalam hal sebagai berikut:
a. Melarang untuk membeli menerima gadai tanah (terutaman dimana hak ulayat itu masih kuat)
b. Untuk mendapat hak memungut hasil atas tanah, memerlukan izin membayar “recognatie” atau “retribusi”.
c. Tanggung jawab persekutuan atas reaksi- reaksi adat, dalam hal terjadinya sesuatu delik dalam wilayahnya yang sepembuatnya tidak diketahui.
Bilamana kita ingin lebih jauh memahami apa yang menjadi latar belakang timbulnya penguasaan masyarakat hukum adat dahulu kala terhadap tanah yang berada dilingkungannya itu, maka kita harus megetahui tentang pandangan masyarakat hukum adat terhadap tanah.
Mr. B. Ter Haar mengatakan, bahwa di dalam masyarakat hukum adat kita jumpai adanya alam pikiran yang “participeren denken” (serba berpasangan), yang
(15)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
sekaligus dianggap sebagai pertalian umat manusia drngan tanah.9
Oleh Ter Haar, tentang menguncup dan mengembangnya hak ulayat dan hak perseorangan ini, telah ditunjuk slah satu contoh konkrit, yaitu “salipi natartar” di tapanuliselatan, sebagai tanah adat yang ditinggalkan begitu saja oleh penguasanya, Yang dimaksud dengan ungakpan- ungkapan di atas adalah hubungan antara umat manusia yang sudah teratur susunannya dan bertalian satu sama lain disatu pihak, dengan tanah dipihak lainnya, yang mana tanah merupakan tempat tinggal bagi mereka, yang memberi makan dan penghidupan bagi mereka, yang juga sebagai tempat mereka bersemayam di akhir hayat nanti.
Hubungan semacam ini adalah serba ketergantungan kepada faktor tanah, sehingga karena terdapatlah kelompok- kelompok mansusia sebagai satu kesatuan hidup yang berdiam di pusat- pusat kediaman, yang kemudian dikenal sebagai masyarakat hukum. Kelompok masyarakat ini berhak atas tanah dan menjalankan wewenang hak tersebut baik kedalam yaitu terhadap anggota masyarakat itu, maupun keluar, terhadap orang yang bukan anggota masyarakat hukum tersebut.
Kelompok yang teratur yang berdiam di atas tanah itu mengatur sendiri cara- cara bagaimana pemungutan hasil tanah itu harus dilakukan, membatasi tuntutan anggota yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Masyarakt adat itu membatasi kebebasan anggotanya berbuat sekehendaknya atas tanah itu yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Hubungan antara hak perseorangan yang melekat diatas tanah itu, menguncup dan mengembang silih bergantisecara terus menrus. Bila hak perseorangan tambah kuat, maka hak ulayat menjadi lemah, demikian sebaliknya bila hak perseorangan itu menyusut menjadi lemah, maka hak ulayat menjadi muncul kembali dengan nyata.
9
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, 1960. h. 56.
(16)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
kemudian tanah itu dapat diberikan kepada orang baru dengan hak pakai.10
Pada waktu Indonesia dijajajh oleh kolonial Belanda dapat dilihat dalam perundang- undangan pemerintah Hindia Belanda yang menyangkut pengaturan tanah ini
Hak untuk membuka tanah dapat dijalankan oleh anggota masyarakat, sepanjang diolahnya terus menerus maka hubungan perseorangan dengan tanahnya tetap diakui, akan tetapi sebaliknya bila ada sebahagian tanah yang dibuka tidak diolah lagi, maka hak perseorangan akan lemah kembali.
Hak perseorangan dapat dipertahankan lebih kuat dan seseorang dapat memegang teguh haknya atas sebidang tanah pertanian, bila tanah tersebut ditanami dengan pohon buah- buahan, karet dan lain- lain tanaman keras, sehingga satu areal merupakan satu kebun yang nyata, dan bukan hanya ditanami hanya satu dua batang saja. Apabila usaha demikian sudah dilakukan oleh seorang anggota masyarakat, maka seharusnya itu sudah harus diakui sebagai hak milik atau inlands bezirrecht. Akan tetapi apabila suatu masa kebun itu dibiarkan dan ditinggalkan, maka hak ulayat akan muncul kembali. Demikian juga tentang tanah pertanian atau pekarangan yang dibuka perseorangan bila ditinggalkan sama halnya.
Apakah sesorang yang telah ditunjuk menunjukkkan usahanya diatas sebidang tanah, sehingga hubungan tersebut sudah pantas digolongkan sebagai hak milik? Hal ini tergantung kepada sifat pengolahan dari tanah ulayat itu sendiri, namun satu syarat umum dikenal didalam hak- hak adat bahwa pengalihan hak (menjual) sebidang tanah dapat dilakukan apabila sipembeli adalah anggota dari masyarakat hukum setempat.
2. Kedudukan Hak Ulayat dalam Perundang- undangan Pemerintah
Jajahan
10
(17)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
bahwa yang intinya dapat kita lihat yaitu, bagaimana cara mereka untuk menggunakan tanah- tanah rakyat Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri melalui aturan- aturan yang secara formal melindungi hak- hak rakyat akan tetapi pada hakekatnya tanpa mengindahkan hak- hak yang ada pada rakayat Indonesia.
Sebagai dasar hukum dari pengaturan tanah di Indonesia pada zaman kolonialisme adalah pasal 51 IS11
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah .
, yang lengkapnya berbunyai sebagai berikut:
2. Dalam hubungan ini tidak termasuk bagian- bagain tanah yang tidak luas yang diperlukan untuk perluasan kota dan desa untuk pembangunan perusahaan- perusahaan.
3. Gubernur Jenderal dapat mempersewakan tanah menurut aturan- aturan yang ditetapkan oleh Ordonansi. Kedalam ini tidak termasuk tanah- tanah yang telah diusahaknan oleh anak Bumi Putra atau yang telah digunakan desa untuk temapat pengembalaan umum ataupun atas dasr lainnya.
4. Menurut perturan yang akan ditetapkan dengan Ordonansi, akan diserahkan tanah dengan hak erfpacht selama waktu yang tidak lebih dari 75 tahun.
5. Gubernur Jenderal menjaga agar penyerahan tanah- tanah itu jangan sampai melanggar hak- hak dari penduduk Indonesia asli.
6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah- tanah yang telah dibuka oleh orang- orang Indonesia asli untuk kepentingan mereka sendiri atau tanah- tanah kepunyaan desa sebagai tempat pengembalaan ternak umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan berdasarkan pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan npemberian ganti rugi yang layak.
11
(18)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
7. Tanah yang dipunyai oleh orang Indonesia asli dengan hak milik (hak pakai dengan turun temurun = erfelijkindivi dueel bezit), atas dasar permintaan pemiliknya yang sah diberikan kepadanya dengan hak eigendom pembatasan- pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan di dalam surat eigendomnya, yaitu megenai kewajiban- kewajibannya terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjual kepada bukan orang Indonesia asli.
8. Menyewa tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang- orang Indonesai asli kepada orang yang bukan Indonesai asli dilakukan menurut peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.12
Jika kita mempehatikan pasal 15 I.S. ini yang menjadi landasan dari politik agraris pemerintah Hindia Belanda, ada emapat ayat yang menarik perhatian, dimana terdapat dua macam kepentingan yang bertentangan yaitu:
Ayat – 4 : pemberian tanah dengan hak erfpacht untuk 75 tahun. Ayat – 5 : perlindungan terhadap rakayat asli,
Ayat – 7 : memberikan kemungkinan bagi rakayat untuk mendapatkan yang lebih kuat atas tanahnya,
Ayat – 8 : persewaan tanah oleh bangsa Indonesia asli kepada bangsa asing.
Disni kita dapat melihat adanya kepentingan asing, dan kepentingan rakyat asl.Kedua- dua kepentingan itu harus mendapat perlindungan dari pemerintah Hindia Belanda, yang di dalam perjalanan sejarah kepentingan pemerintah Belanda itu sendiri.
Namun, walaupun dengan ditegaskan bahwa jangan sampai melanggar hak- hak dari pada penduduk Indonesia asli, dalam kenyataannya hak- hak rakayat itu diabaikan. Kemudian sebagai tindak lanjut dari ketentuan di atas oleh Pemerintah Hindia Belanda,
12
(19)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
dikeluarkan pula perataturan yang terkenalal yaitu; “Domein Verklaring” atau “ Pernyataan Domein” yang terdapat dalam Agrarische Besluit (Staatblad: 1870/ 118), dimana pasal 1 dari Agrarische Besluit ini berbunyi sebagai berikut:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan tersebut kedua dan ketiga dari undang- undang tersebut (Agrarische Wet) tetap dipertahankan azas bahwa semua tanah dimana orang lain tidak dapat hak eigindomnya, adalah domein negara”.
Berdasarkan pasal 1 Agrarische Besluit ini dapat dilihat bahwa semua tanah dapat dilihat bahwa semuah tanah dianggap tanah negara, atau negaralah yang menjadi eigesarnya kecuali jika orang lain dapat membuktikan bahwa ia dapat membuktikan bahwa ia mempunyai hak eigindom atas tanah itu menurut hukum perdata barat, atau hak agrarische eigindom sebagaimana yang diperoleh atas dasar ketenteuan pasal 7 I.S.
Sedangkan bangsa Indonesia asli tidak tunduk kepada hukumperdata barat, tetap hukum adat, maka berarti bahwa semua tanah rakyat Indonesia menjadi tanah negara. Juga tanah- tanah yang dikuasai oleh msyarakat- masyarakat hukum asli, yang lazimnya disebut dengan hak ulayat menurut domein verklaring itu adalah tanah- tanah negara. Perlindungan hak- hak rakayat asli seperti yang dicantumkan pada I. S tersebut di atas, bukanlah tujuan primer dari pemerintah Hindia Belanda. Dcantumkannya pengaturan itu hanya untuk menghilangkan kekhawatiran, dimana rakayat akan kehilangan tanahnya sama sekali, mungkin dapat menimbulkan akibat yang membahayakan pemerintah Belanda.
3. Hak Ulayat Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960
Undang- undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang diundangkan pada tangga 24 September 1960, adalah merupakan kaidah yang mengatur hubungan antara manusia/ penduduk Indonesia dengan tanah. Undang- undang yang meletakkan dasar-
(20)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
dasar pokok daripada hukum agraria nasional yang memuat ketentuan- ketentuan yang baru. Isi dari UUPA tersebut mestinya sudah terealisasi terhadap seluruh jajaran rakayat Indonesia, bukan saja sarjana hukum, pejabat- pejabat hukum, pejabat pemerintah, tetapi harus meliputi seluruh lapisan masyarakat khususnya para petani karena dalam kehidupan sehari- hari mereka akan berhadapan dngan peraturan hukum positif di bidang agraria.
UUPA ini secara tegas memberikan sikap terhadap kedua sistem hukum yang pernah berlaku sebelumnya di negara Indonesia sebagai berikut:
a. Terhadap Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam masa penjajahan, oleh pemerintahHindia Belanda berdasarkan tujuan dari sendi- sendi pemerintah jajahan disusun hukum barat yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Terjadilah dualisme dalam hukum agraria di Indonesia, denganberlakunya hukum adat disamping hukum agraris yang berdasarkan hukum barat.
Perlu kita ketahui bahwa hukum agraria kolonial adalah hukum yang timpang dan sepihak sebagaimanahalnya kita ketahui bahwa hukum agraria kolonial itu hanya mengabdi kepada kepentingan pemerintah/ bangasa penjajah pada saat itu dan pengusaha swasta lainnya, tetapi bagi rakyat Indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum atau merugikan bagi rakayat Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Sokerno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dimana dngan adanya proklamasi kemerdekaan ini mempunyai 2 arti yang penting bagi penyusunan hukum agraria nasional, yaitu pertama:, Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria Kolonial, dan kedua: Bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum Agraria Nasional.
Walaupun bangsa Indonesia telah merdeka, namun untuk membentuk Hukum Agraria nasional tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Sehingga untuk menunggu terbentuknya hukum agraria nasioanal dan agar tidak terjadi kekosongan
(21)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
hukum, maka diberlakukanlah Pasal II aturan peralihan UUD 1945 yaitu: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belun diadakan yang baru berdasarkan Undang- Undang Dasar ini”.
Dengan diundamgkannya UUPA pada tanggal 14 September 1960 yaitu sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria Kolonilal dengan keadaan dan kebutuhab setelah merdeka, maka beberapa undang- undang agraria kolonial yang di cabut yaitu antara lain:
1. “Agrarische Wet” (S. 1870 – 55) sebagai yang temuat dalam Pasal 51 “Wet op de Staatsinrichhting van Nederlands Indie” (S. 1925 – 447) dan ketentuan dalam ayat- ayat lainnya dari pasal itu,
2. a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch Besluit” (S. 1870 – 118),
b. “Algemene Domoinverklaring” tersebut dalam S. 1875 – 119 1a,
c. “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam pasal 1 dari S. 1874 – 94f, d. “Domeinverklaring untuk untuk karesidenan Manado” tersebut dalam pasal 1
dari S. 1877 – 55,
e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo” tersebut dalam pasal 1 dari S. 1888 – 58.
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872 – 117) dan peraturan pelaksanaannya.
4. Buku ke- II Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang memgenai bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan- ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai mulai berlakunya undang- undang ini.
Agrarische Wet yang dciptakan pemerintah kolonial Beland, sangat jauh berbeda dengan UUPA, baik ditinjau dari segi tujuannya maupun materi undang- undangnya.
(22)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Dilihat dari segi tujuannya, Agrerische wet bertujuan untuk kepentingan kolonial Belanda dengan melakukan exploitasion del’homme parl’homme bangsa dan rakyat Indonesia, sedangkan UUPA bertujuan sebagaimana digariskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 2 UUPA, yaitu sebesar- besarnya kemakmuran rakyat Indonesia seluruhnya.
Dilihat dari beberapa materi undang- undang Agrerische wet tidak mengakui tanah adat sebagai milik rakyat Indonesia tetapi adalah domein negara tidak bebas. Sedangkan menurut UUPA, tanah adat/ hak ulayat adalah kepunyaan pengosongan- pengosongan sebagaimana ditentukan oleh pasal 3 dan 5 UUPA.
b. Terhadap hukum adat.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Tegasnya, hukum adat dijaikan dasar hukum agraria yang baru. Hal ini secara tegas dirumuskan dalam pasal 5 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut “Hukum agraria yang berlaku atas bumu, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan- peratiran yang tercantum dalam undang- undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu degan mengindahkan unsur- unsur yang besandar pada hukum agama”.13
13
A.P. Parlindungan, Laporan Landreform Indonesia, Suatu Study Pembanding, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984, h.66.
Didalam penjelasan umum angaka III/ 1, dikatakan bahwa hukum adat itu adalah hukum rakyat Indonesia asli. Sebahagian rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat, oleh karena itu hukum agraria yang didasarkan atas ketentuan- ketentuan hukum adat akan sesuai dengan kesadaran rakyat banyak.
Walaupun secara berlibahan disebutkan di dalam pasal 5 tersebut bahwa hukum adat tersebut merupakan dasar daripada UUPA, akan tetapi tidak begitu saja keentuan- ketentuan hukumadat itu diambil, melainkan masih harus sisempurnakan dengan kepentingan masyarakat negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional serta dengan sosialisme Indonesia.
Hukum adat yang dmaksud dalam pasal 5 tersebut jelas berbeda dengan hukum adat yang lama (dahulu) yang oleh Van Volenhoven dibagi kedalam 19 daerah lingkungan hukum adat itu.
(23)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Ketentuan- ketentuan konkrit dari aturan- aturan adat itu di dalam masyarakat suku- suku bangsa Indonesia adalah berbhineka atau berbeda- beda. Dibalik perbedaan itu terdapat banyakpersamaan yang merupakan azas- azas umum dari hukum adat secara nasional di Indonesia. Berdasarkan hemat penulis azas- azas yang umum inilah yang dijadikan sebagai bahan dalam pembentukan UUPA dimaksud.
Demikian pula bilamana kita membalik- balik memori penjelasan UUPA, dalam penjelasan umum sub III/ 1, ternyata bahwa hukum adat itu dalam sejarahnya pada masa penjajahan telahdipengaruhi oleh politik kolonial yang kapitalistis, sehingga menciptakan masyarakat yang kolonial yang kapitalistis, kemudian terdapat pula pengaruh swapraja yang feodal. Pengaruh ini semuanya harus dibersihkan hingga sesuai dengan tujuan daripada UUPA dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang dicita- citakan.
Oleh karena itulah bahwa didalam hal implemantasi UUPA, maka sepanjang yang telah diatur oleh UUPA serta peraturan- peraturan pelaksanaannya seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Intruksi Presiden (Inpres), Kepurtusan Menteri (Kepmen), Intruksi Menteri, dan lain sebagainya, maka peraturan inilah yang berlaku, jadi bukan hukum adat kedaerahan yang dimaksud. Hukum adat itu dapat berlaku apabila belum ada ketentuan- ketentuan atau peraturan tertulis yang mengaturnya, dan harus tunduk kepada persyaratan- persyaratan yang disebutkan dalam pasal 5 dan 58 UUPA tersebut.
Azas- azas atau prisip hukum agraria nasional kita (Indonesia) adalah
tercantum dalam Undang- Undang Pokok Agraria: Bab I, Pasal 1 s/d 15. Dalam
(24)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
skripsi ini penulis tidak menguraikan semua azas- azas tersebut secara mendeteil,
namun penulis merasa cukup hanya dengan menyinggung beberapa azas saja yang
sangat erat hubungannya degan masalah hak ulayat. Adapun prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1. Prinsip Nasionalitas.
Prinsip nasionalitas diletakkan dalam ketentuan yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesiadan seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional.
Bumi, air dan ruang angkasa dalam ulayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi bukan semata- mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula, tanah- tanah di daerah- derah dan pulau- pulau tidaklah semata- mata hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja.14
1.1 Kedalam (di antara warga negara Indonesia) sendiri tidak ada diskriminasi yang berdasarkan kesukuan, jenis kelamin, warga negara asli dan warga negara turunan, melainkan semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama artas tanah.
Prinsip nasionalitas ini telah jelas menentukan, baik kedalam mupun keluar wilayah Indonesia sebagai berikut:
1.2. Ke luar (dunia internasioanal), dimana jelas berbeda dengan sistem Domein Verklaring Pemerintah Hindia Belanda yang memuat azas terbuka, artinya setiap orang siapa saja di dunia ini dapat mempunyai hak atas tanah dengan syarat menundukkan diri kepada hukum perdata barat (B.W) di Hindia Belanda.
Dari uraian diatas jelaslah prinsip nasionalitas ini membawa konsekuensi bahwa kemutlakan hak ulayat itu tidak dibenarkan dalam suasana UUPA sekarang. Sebagaimana
14
(25)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
A. P. Parlindungan, memberi komentar sebagai berikut “Hubungan Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan lagi berdasarkan atas kesukuan atau anggota sesuatu masyarakat hukum adat tertentu, dan dimanapun di Indonesia setiap warga negara Indonesia harus diperlakukan sama derajadnya dan hanya undang-undang saja yang dapat mengadakan perkecualian/ pembatasan khusus.15
15
Prof. DR. A.P. Parlindungan, Op. cit, h.75. 2. Prinsip Hak Menguasai Negara.
Ketentuan dasar yang menentukan prinsip ini adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan kemudian diatur secara terperinci baik mengenai pengerian dan luasnya hak penguasaan itu telah ditentukan melalui penafsiran yang autentik oleh UUPA pasal 2, dimana pasal ini menegaskan mengenai hak menguasai negara tersebut sebagai berikut: “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal- hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1; bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sedangkan objektif dari penguasaan tersebut ditentukan dalam ayat 2, yaitu antara lain:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasatersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
(26)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
3. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang- orang
dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Selanjutnya tujuan dari penguasaan ituditegaskan dalamayat (3) yaitu, untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukumIndonesia yang merdka, berdaulat dan makmur. Sehingga dengan adanya penegasan pasal 2 UUPA ini jelas membawa konsekuensi bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat itu sebagai hak orginair sudah terbatas ruang hidupnya, oleh karena keseluruhan dari hak- hak ulayat daerah itu telah diadsorbsi/ diserap kedalam hak ualayat negara, yang disebut hak menguasai negara.
Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi kalau ketentuan pasal 2 ayat 1 dan 2 ini kita hubungkan dengan ayat 4_nya, yang menyatakan bahwa hak menguasai negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
A. P. Parlindungan, telah menguraikan mengenai pengertian Hak Menguasai Negara ini, megatakan bahwa pegertian hak menguasainegara itu tidak dapat kita teliti dikamus, akan tetapi harus kita cari dalam rumusan undang- undang itu sendiri dan dalam praktek undang- undang. Pengertian dikuasai, menurut kamus mempunyai pengertian yang lain, suatu hak yang berasal dari orang lain dan diberikan wewenang untuk melakukan tindakan hukum atas namanya, sedangkan bila kita telaah UUPA sendiri dan undang- undang pelaksanaannya maka “Hak Menguasai Negara” mencakup:
a. Pengertian yang dituangkan oleh pasal 2 ayat 2 UUPA maupun pasal 8 UUPA baik terhadap bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b. Konstatasi dari hak- hak yang sudah pernah ada sebelum berlakunya UUPA, yaitu tanah- tanah ex B.W, dan tanah- tanah ex hukum adat yang kemudian dikonversi
(27)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
kepada hak- hak tanah yang diatur oleh UUPA. Demikian juga konstatasi dari hak- hak dari badan pemerintah yang dahulu berstatus hak eigendom, kemudian dikonvresi menjadi hak pengelolaan atau hak pakai (khusus).
c. memberikan hak-hak yang diatur oleh UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan.
d. Megesahkan sesuatu perjanjian pendirian hak guna bangunan atau hak pakaidi atas hak milik dan kemudian mendaftarkannya dan menerbitkan sertifikatnya.
Disamping itu hak menguasai negara tersebut dapat pula ditinjau daripembagian yang lain dari segi hukum atau keluasannya, yaitu:
a. Dalam bidang keperdataan, dengan memberikan hak- hak keperdataan baik kepada perorangan ataupun badan hukum privat, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai ataupun mengakui kemungkinan persewaan tanah oleh perorangan kepada perorangan atau kepada badan hukum tersebut.
b. Mengakui suatu hukum publik yang sudah ada, seperti yang diatur oleh pasal 3 UUPA, pengakuan akan adanya hak ualayat sebagai suatu lembaga dalam sistem UUPA.
c. Menetapkan suatu hukum publik yang baru diberikan kepada daerah- daerah otonom atau lembaga- lembaga pemerintah, yaitu yangkita kenal dengan hak pegelolaan, suatuhak dimana pemegang hak dapat pula memberikan hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai. Hak pengelolaan ini sebagai suatu pelimpahan wewenang hak menguasai darinegara kepada daerah otonom atau lembaga- lembaga pemerintah.
d. Memberikan suatuhak atas tanah yang digolongkan hukum publik internasional, yaitu hak pakai yang diberikan kepada perwakilan negara- negara asing untuk perkantoran dan gedung kedutaan dan konsulatnya, dengan ketentuan hak pakai tersebut diberikan selama masih terbina hubungan diplomatik dengan negara yang
(28)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
bersangkutan dan diberikan untuk jangka waktu dipergunakan untuk kegiatan diplomatiknya. Begitu berakhit hubungan diplomatik tersebut ataupun akan menutup kantor/ bangunan tersebut, maka tanahnya kembali kepada negara dan bangunan yang ada di atasnya menjadi bangunan yang jatuh menjadi hak menguasai negara.
e. Memberikan hak pakai (khusus)
1) kepada lembaga- lembaga pemerintahan yang mempergunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya dan waktunya selama dipergunakan untuk pelaksanaan tugas tersebut. Contoj hak pakai yang diberikan kepada lembaga- lembaga pendidikan.
2) kepada lembaga- lembaga sosial dan keagamaan, untuk pelaksanaan tujuannya dan diberikan waktu selam dipergunakan melaksanakan tujuannya.16
3. Wujud pengakuan UUPA terhadap hak ulayat.
Sebagai konsekuensi daripada hukum adat yang dijadikan dasar hukum agraria nasional, maka dalam penjelasan umum II/ 1 UUPA ditegaskan bahwa, “… hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara”. Hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas itu kemudian dalam pasal 2 UUPA dinamakan Hak Menguasai Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Apabila kita teliti, antara Hak Menguasai Negara (hak ulayat negara) sebagai atribut dari negara kesatuan Republik Indonesia, dengan hak ulayat sebagai atribut dari masyarakat hukum adat, terdapat kemiripan khususnya dinidang keperdataan. Azas- azas yang yang tergambar dalam proses hubungan hak ulayat dengan hak pribadi telah
16
A. P. Parlindungan, Landreform Indonesia Strategi dan Sasarannya, Medan, 1983, h.38.
(29)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
tercermin dalam UUPA, antara lain misalnya, “hak warga persekutuan/ negara berhak menikmati hak terpenenuhi; tanah mempunyai fungsi sosoial dan karena tidak boleh ditelantarkan; tujuan penguasaan dari kedua lembaga tersebut adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dari seluruh warga Indonesia, dan lain sebagainya.
Perbedaannya hanya terletak pada luas ruang lingkup subyek penduduk, wilayah kekuasaan serta luas isinya kekuasaantersebut. Perbedaan lain dari sudut bidang hukum yang dikembangkan, dapat kiranya kita ikuti pendapat dari A. P. Parlindungan, SH yang menyatatakan sebagai berikut:
“Memang ada kemiripan hak menguasai negara tersebut dengan hak ulayat, dalam perwujudannya secara keperdataan. Apa yang merupakan perwujudan dari hak ulayat tersebut meliputi baik keperdatan, artinya bertanggung jawabnya negara atas kepidanaan tidak termasuk dalam objektif dari hak menguasai negara. Apakah ini masih berlaku untuk hak ulayat tersebut, tentunya perlu suatu penelitian yang mendalam.17
17
A. P. Parlidungan, SH, Op. cit, 1987, h. 96.
Mengenai adanya perbedaan tersebut tentunya bersesuaian dengan apa yang disebutkan dalam pasal 5 UUPA bahwa hukum adat yang dijadikan dasar hukum agraria yang baru “masih harus disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”.
Dari uraian tersebut di atas, ternyata bahwa hak ulayat dari masyarakat- masyarakat hukum adat sebelumnya telah beralih dan diteruskan oleh Negara Republik Indonesia melalui hak menguasainegara, sehingga hak menguasai negara itu tidak lain dari pada hak ulayat negara.
(30)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Sehubungan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan, apakah dengan peralihan/ perlanjutan tersebut diatas mengakibatkan dihapuskannya hak ulayat dari masyarakat- masyarakat hukum adat?. Pada prinsipnya memang demikian, akan tetapi tidaklah mungkin menghapuskannya secara spontan pada saat diberlakukannya UUPA, kalau nyatanya masyarakat hukum adat itu memegang teguh hak ulayat.
Dalam kaitan ini perlu kita catat pandangan yang dikemukakan oleh A. P. Parlindungan, SH, bahwa:
“penyesuaian hukum adat kepada perkembangan masyarakat tidak mungkin dipaksa, tetapi harus dilaksnakan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan perkembangan itu sendiri”.18
18
A. P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akte Tanah, Alumni, Bandung, 1985, h.2.
Oleh karana itu sudah sepantasnya UUPA memberikan pengakuan terhadap hak ulaya itu sepanjang masih ada, akan tetapi bilaman sudah lenyap dari masyarakat yang bersangkutan tidak akan dihidupkan kembali. Pada awal penjelasan umum II/ 3 UUPA dikemukakan bahwa “dalam pasal 3 diadakan ketentuan megenai hak ulayat, yang dimaksudnya akan mendudukkan hal itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini”. Pasal 3 UUPA menentukan bahwa
“Dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bolehh bertentangan dengan undang- unmdang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi”.
(31)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Pengaturan hak ulayat dalam pasal 3 ini yang merupakan juga pengakuan dari hak tersebut, dipandang sebagai suatu kemajuan, sebab dizaman Hindia Belanda tidak ada perundang- undangan yang mengatr secara tegas di dalam undang- undang.
Selanjutnya penjelasan umum II/3 memberi penjelasan lagi mengenai pembatasan- pembatasan berlakunya hak ulayat ini bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan luas. Hak ulayat pelaksanaannya harus sesuai dan tidak bertentangan dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dibenarkan jika di dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaannya secara mutlak, seakan- akan masyarakat hukum dan daerah- daerah lainnya di dalamlingkungan negara sebagai kestuan. Seakan- akan anggoa masyarakat hukum itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu. Sikap yang demikian oleh UUPA diangap bertentangan dengan azas-azas yang tercantum dalam padal 1 dan 2.
Sungguhpun demikian, kepentingan masyarakat hukum yang nersangjutanpun akan selalu diperhatikan, sebagai perwujudan dari pemgakuan haknya itu. Misalnya dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaaha), masyarakat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie” yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hak ulayat yang ada dalam kenyataan masih ada, telah mengalami perubahan bentuk, karena ditingkatkan, (diabstraksikan) kedudukannya menjadi hak ulayat negara (hak menguasai negara). Jadi dalam hal ini masyarakat hukum adat tersebut melaksanakannya, kepentingan yang lebih luas harus dijadikan dasar pertimbangan bahkan pada azasnya harus diutamakan dari pada kepentingan sendiri.
(32)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Tentang bagaimana kelanjutan hidup dari pada hak ulayat ini di masa yang akan datang, kiranya dapat kita renungkan dari pernyataan beberapa ahli hukum sebagai berikut:
A. P. Parlindungan, SH mengatakan bahwa pasal 3 UUPA ini harus dikaitkan dengan pasal 58 UUPA, yang mengakui masih berlakunya hak- hak ulayat lain yang bertentangan dengan pembatasan yang diatur oleh pasal 3 tersebut.19
Pernyataan lainnya yang perlu kita catat sehubungan dengan hak ulayat, adalah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abdulrahman, SH, sebagai berikut bahwa dalam hubungan ini yang perlu juga mendapat perhatian akan adanya suatu kebijaksanaan yang terselebung dari pada pemerintah kita, yang dapat kita simpulkan dari beberapa peraturan hukum yang berlaku yang menginginkan hak ulayat yang ada ini dimatikan secara diam- diam dan berangsur-angsur, sehingga pada akhirnya eksistensinya akan lenyap dengan sendirinya sebagai akibat dari pada perubahan situasi yang justru diciptakanoleh pemerintah sendiri.
Apabila kita hubungkan dengan pasal 58, maka tenggang waktu berlakunya hak ulayat itu adalah hingga pada saat diundangkannya peraturan- peraturan pelaksanaannya UUPA, yang akan mengatur materi- materi yang berhubungan dengan hak- hak ulayat tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan didsini, misalnya: peraturan pelaksanaan dari pasal- pasal: 22 UUPA (terjadinya hak milik menurut hukum adat); pasal 46 UUPA (hak membuka tanah dan memungut hasil hutan) dan lain sebagainya.
20
19
A. P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1986, h.14.
20
Abdulrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang- undangan Agraria Indonesia, Akademik Presindo, 1984, h. 104.
Dari padangan- pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun pasal 3 UUPA UUPA pada hakikatnya masih mengakui eksistensi hak ulayat, akan tetapi karena jiwa daripada UUPA itu berdasarkan
(33)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
kenasionalan, maka hak ulayat itu cenderung akan dibiarkan hapus dalam rangka pembaharuan masyarakat Indonesia yang dipelopori oleh UUPA.
BAB II
PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG EKSISTENSI HAK ULAYAT
A.Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Kondisi Wilayah
Secara georafis Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir terletek antara 20 32’ - 20 Lintang Utara dan 980 42’ - 980 47’Bujur Timur, dengan luas wilayah 121,43 km2 plus luas Danau Toba 50,37 km2. Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir sebagian besar terdiri dari dataran tinggi dan berbukit- bukit dengan kemiringan tanah yang bervariasi.
Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir terdiri dari duapuluh delapan (28) desa/keluruhan, antara lain:
1. Riniate 2. Parmonangan 3. Huta Namora 4. Pintu Sona 5. Huta Tinggi 6. Pardomuan I 7. Pasar Pangururan 8. Tanjung Bunga 9. Siogung-ogung
(34)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
10. Parsaoran I 11. Sait Nihuta 12. Lumban Pinggol 13. Sianting-anting 14. Parlondut 15. Aek Nauli 16. Pardugul 17. Panampangan 18. Sitoluhuta 19. Sinabulan 20. Siopat Sosor 21. Huta Bolon 22. Situngkir 23. Sialanguan 24. Parhorasan 25. Paedomuan Nauli 26. Lumban Suhi-suhi Dolok 27. Lumban Suhi-suhi Toruan
Berikut perincian luas wilayah menurut desa/kelurahan dengan rasio terhadap luas kecamatan.
(35)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Tabel 1: Luas Wilayah Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2005.
No Desa/ Kelurahan Luas (Km2)
Rasio Terhadap Luas Kecamatan (0/0)
01 Riniate 6,75 5,6
02 Parmonangan 3,00 2,5
03 Huta Namora 7,00 5,8
04 Pintu Sona 2,80 2,3
05 Huta Tinggi 3,00 2,5
06 Pardomuan I 2,50 2,1
07 Pasar Pangururan 0,50 0,4
08 Tanjung Bunga 6,50 5,4
09 Siogung- Ogung 4,00 3,3
10 Parsaoran I 1,50 1,2
11 Sait Nihuta 1,40 1,2
12 Lumban Pinggol 1,50 1,2
13 Sianting- Anting 1,80 1,5
14 Parlondut 1,50 1,2
15 Aek Nauli 5,36 4,4
16 Pardugul 5,44 4,5
17 Panampangan 2,65 2,2
18 Sitoluhuta 0,80 0,7
19 Sinabulan 1,23 1,0
20 Siopat Sosor 1,00 0,8
21 Huta Bolon 2,00 1,6
22 Situngkir 2,00 1,6
23 Sialanguan 2,00 1,6
(36)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
25 Pardomuan Nauli 9,50 7,8
26 Lumban Suhi- Suhi Dolok 6,30 5,2 27 Lumban Suhi- Suhi Toruan 3,50 2,9
28 Parbaba Dolok 20,50 16,9
Jumlah 121,43 100,00
Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir berbatasan dengan antara lain: 1. Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Palipi
3. Sebelah Barat : Kecamatan Sianjur Mulamula 4. Sebelah Timur : Kecamatan Ronggur Nihuta.21
21
Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, Panururan, Dalam, Angka, 2006.
2. Keadaan Demografi/ Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir pada tahun 2005 sebanyak duapuluh delapan ribu empat ratus duapuluh delapan (28.428) jiwa dengan kepadatan penduduk dua ratus tigapuluh empat koma sebelas (234,11) jiwa per km2.
Berikut tabulasi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci menurut desa/ kelurahan pada tahun 2005.
(37)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Tabel. 2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2005
No Desa/ Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/ Km2
01 Riniate 2 499 370,22
02 Parmonangan 899 296,33
03 Huta Namora 1 395 199,29
04 Pintu Sona 1 277 438,21
05 Huta Tinggi 985 328,33
06 Pardomuan I 3 329 1331,60
07 Pasar Pangururan 2 210 4420,00
08 Tanjung Bunga 1 863 286,62
09 Siogung- Ogung 1 170 292,50
10 Parsaoran I 997 664,67
11 Sait Nihuta 677 483,57
12 Lumban Pinggol 515 343,43
13 Sianting- Anting 630 350,00
14 Parlondut 636 424,00
15 Aek Nauli 397 74,07
16 Pardugul 692 127,21
17 Panampangan 608 229,43
18 Sitoluhuta 670 837,50
19 Sinabulan 486 395,12
20 Siopat Sosor 518 518,00
21 Huta Bolon 579 289,50
22 Situngkir 679 339,50
23 Sialanguan 445 222,50
24 Parhorasan 637 41,36
25 Pardomuan Nauli 396 41,48
26 Lumban Suhi- Suhi Dolok 1 142 181,27 27 Lumban Suhi- Suhi Toruan 1 655 472,86
(38)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
28 Parbaba Dolok 502 24,49
Jumlah 28 428 234,11
Apabila diperinci lagi maka penduduk Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, laki- laki terdiri dari tigabelas ribu sembilan ratus limapuluh enam (13.956) jiwa dan perempuan empatbelas ribu empat ratus tujupuluh dua (14.472) jiwa.
Tabel.1.3. Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Jenis Kelamin dari Desa/Kelurahan Tahun 2005.22
No
Desa/ Kelurahan Laki- Laki(Jiwa) Perempuan (Jiwa)
01 Riniate 1 247 1252
02 Parmonangan 428 461
03 Huta Namora 656 739
04 Pintu Sona 636 591
05 Huta Tinggi 479 506
06 Pardomuan I 1 062 1 727
07 Pasar Pangururan 1 138 1 072
08 Tanjung Bunga 962 901
09 Siogung- Ogung 604 566
10 Parsaoran I 476 521
11 Sait Nihuta 323 354
12 Lumban Pinggol 248 267
13 Sianting- Anting 293 337
14 Parlondut 297 339
15 Aek Nauli 186 221
16 Pardugul 316 376
17 Panampangan 286 322
18 Sitoluhuta 324 346
19 Sinabulan 241 245
20 Siopat Sosor 247 271
21 Huta Bolon 283 296
22 Situngkir 328 351
23 Sialanguan 202 243
24 Parhorasan 306 331
25 Pardomuan Nauli 191 205
26 Lumban Suhi- Suhi Dolok 581 561
27 Lumban Suhi- Suhi Toruan
817 838
28 Parbaba Dolok 259 243
Jumlah 13 956 14 472
22 Ibid
(39)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
3. Mata Pencaharian
Pada umumnya Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir berpotensi sebagai pertanian yang cukup luas. Hal ini dapat kita lihat bahwa masyarakat samosir pada umumnya hidup atau berpenghasilan dari pertanian. Namun Kecamatan Pangururan yang letaknya sangat strategis yang mana sekarang ini boleh dikatakan sebagai pusat perdagangan Kabupaten Samosir. Sehingga dengan dengan demikian sedikit banyak sudah dipengaruhi oleh nilai- nilai perbisbinisan.
Di Kecamatan Pangururan selain dari pada pertanian juga sudah banyak yang hidupnya dari pada perdagangan. Sebagain kecil sebagai pegawai, peternakan, perikanan, dll.
Adapun mcam-macam pertanian dalam masyarakat Kecamatan Pangururan adalah sebagian besar persawahan, dimana persawahan (padi) di Kecamatan Pangururan pada umumnya sudah melakukan pengairan (irigasi).
Pertanian lainnya yang menjadi mata pencaharian masyarakat Kecamatan Pangururan adalah tanaman- tanaman plawija dan tanaman-tanaman tua.
Di samping daripada pertanian, masyarakat Kecamatan Pangururan juga bermata penghasilan dari wiraswasta, pedagang, peternakan, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dan sebagian kecil masyarakat Kecamatan Pangururan yang berada dekat pinggiran Danau Toba juga memanfaatkannya untuk pemeliharaan ikan (keramba) baik menjadi mata pencaharian tetap maupun mata pencaharian tambahan.
Penggolangan- penggolongan mata pencaharian tersebut di atas tidaklah mutlak seluruhnya dalam kenyatannya. Sebagaimana bahwa masyarakat Kecamatan Pangururan yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau kariawan maupun wiraswasta juga masih melakukan usaha- usaha lainnya sebagai mata pencaharian tamabahan, yang
(40)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
mana mereka masih melakukan pekerjaan- pekerjaan seperti dalam pertanian, peternakan, dan lain- lainnya.
Demikian juga mereka yang mata pencahariannya dari pertanian (bertani), mereka juga melakukan pekerjaan- pekerjaanyang lainnya sebagai mata pencaharian tambahan untuk menambah inkom perekonomoan mereka, seperti misalnya berdagang dan peternakan serta lain- lainnya.
Namum demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kecamatan Pangururan yang pada umumnya dilihat dari mata pecahariannya masih lebih cenderung di pertanian dan wiraswasta.
4. Penggunaan Tanah
Berdasarkan data yang thersedia (badan pusat statistik Kabupaten Toba Samosir) tahun 2006 adalah, seratus duapuluh satu koma empatpuluh tiga kilometer persegi (121,43 km2) ditambah denga luas Danau Toba limapuluh koma tigapuluhtujuh kilo meter persegi (50, 37 km2).
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Toba Samosir (waktu penulisan skripsi ini BPS masih kabupaten toba samosir yang tersedia) tahun 2006 bahwa penggunaan tanah adalah sebagai beriukut:
a. Tanaman Plawija antara lain:
1. Jagung : 134,5 hektar 2. Ubi Kayu : 105,5hektar 3. Ubi Jalar : 58,5 hektar 4. Kacang Tanah : 12,5 hektar b. Luas Tanaman Keras, meliputi:
1. Kelapa : 5,0 hektar 2. Kopi : 484, 5 hektar 3. Kemiri : 18,7 hektar
(41)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Sedangkan untuk penggunaan lahan terhadap holtikultural, perkebunan, kehutanan, peternakan dan padi tidak dirinci berdasarkan luas penggunaan lahannya, namun berdasarkan jumlah rumahtangga pengguna lahan atau tanah tersebut, yakni a. Holtikultural : 1.387 Rumah Tangga
b. Perkebunan : 1.295 Rumah Tangga c. Kehutanan : 161 Ruamah Tangga d. Peternakan : 1.284 Rumah Tangga
e. Padi : 2.387 Ruamah Tinggi
Klasifikasi penggunaan tanah tersebut di atas adalah berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Toba Samosir yaitu dalam angka 2006. Artinya bahwa telah banyak terjadi perubahan- perubahan terhadap penggunaan tanah dalam kurun waktu yang agak singkat yaitu antara tahun 2006 hingga penulisan skripsi ini yaitu tahun 2008.
Sebagai mana halnya berhubung dengan perkembangan pendudukdan juga perkembangan pembangunan yang juga akan mempengaruhi penggunaan tanah. Hal ini dapoat kita lihat dengan penggunaan tanah dengan pembangunan perhotelan, perkantoran dan juga rumah- rumah, pertanian serta sarana- sarana lainnya.
B. Pengertian Hak Ulayat Menurut Masyarakat Kecamatan Pangururan.
Seperti halnya bahwa setiap daerah di Indonesia mempunayi istilah yang berbeda- beda mengenai hak ulayat. Demikian halnya di Kecamatan Pangururan bahwa istilah hak ulayat di daerah ini lebih dikenal dengan istilah tanah adat atau tanah marga, dan di lain pihak ada juga yang memakai istilah tanah golat.
Berdasarkan judul skripsi ini, bahwa yang menjadi objek wilayah penelitian penulisan skripsi ini adalah desa Siogung- Ogung yaitu sebuah desa yang berada dalam teritorial kecamatan pangururan kabupaten samosir. Oleh karena itu, dalam melakukan
(42)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini, lebih memfokuskan pada daerah/ obyek tersebut
Namun walaupun demikian untuk mendapatkan informasi dan data yang lebih sempurna dalam rangka penulisan skripsi ini juga dilakukan riset terhadap diluar dari pada obyek tersebut yaitu di luar dari pada daerah Siogung- Ogung tetapi masih dalam teritorial Kecamatan Pangururan.
Dalam bab sebelunya telah diuraikan tentang istilah hak ulayat. Sebagai mana telah kita ketahui bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai istilah yang berbeda- beda mengenai hak ulayat.
Melihat sejarah, bahwa pada umunya (dahulu) Samosir adalah merupakan tanah adat, sebagaimana bahwa pada zaman dulu orang batak tidaj boleh memperjual belikan tanah, dan sifatnya turun temurun. Dimana bahwa tanah adat tidak hanya untuk yang mengelola yang mempunyai melainkan generasi ke generasi. Artinya bahwa tanah adat di samosir tidak hanya dimiliki oleh yang mengelola, melainkan untuk kegenerasi berikutnya.
Karena tanah boleh dijadikan hak milik asal jangan diperjual belikan, sehingga sekarang ini tanah adat sudah semakin langkah atau jarang karena di atasnya sudah berdri hak milik.23
Adapun pemberian kepada orang yang berasal dari kesatuan adat tersebut adalah dengan pemberian dimana harus memberi debban tiar sebagai ganti rugi. Debban tiar artinya pemberian ganti rugi dalam konteks adat. Diamana ganti rugi ini hanya berupa Samosir adalah tanah Batak. Dimana di tanah Batak atau samosir tidak dikenal apa itu ulayat, tetapi yang dikenal adalah tanah adat, yaitu hak bersama masyarakat yang ada dalam daerah tersebut. Dimana tanah adat tidak boleh diperjualbelikan. Tanah adat ini boleh dikelola oleh siapapun termasuk orang diluar dari kesatuan adat tersebut tetapi dengan persetujuan raja-raja adat.
23
(43)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
simbolik belaka. Ganti rugi ini biasanya berupa uang yang diletakkan di atas beras dalam cawan atau piring.24
2. Adanya obyek, yaitu:
Bahwa Istilah hak ulayat digunakan atau berasal dari Sumatera Barat (Minang Kabau). Sedangkan orang batak tidak dikenal dengan yang namanya hak ulayat. Adapun yang di identikkan dengan hakulayat dalam istilah di samosir adalah tanah adat, di lain pihak tanah golat. Pada zaman dulu di Samosir masih banyak terdapat tanah- tanah adat atau tanah golat, karena pada masa penjajahan, yang berkuasa dalam daerah tertentu adalah nagari, raja bius, araja pandua, tetapoi perkembangan sekarang ini raja- raja tersebut tidak aksis lagi karena sudah diganti dengan kepala desa, kepala lingkungan dan lain- lain.
Dengan adanya perbedaan istilah ini bukan berartu bahwa kita mengesampingkan hak tersebut. Apakah itu dikatakan hak ulayat, hak adat, atau tanah golat. Yang jelas kita harus memperhatikan pasal 2 ayat 2 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 yang menentukan ada tidaknya hak tersebut adalah antara lain:
1. Adanya subyek, yaitu:
Terdapat sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan- ketentuan perekutuan tersebut dalam kehidupan sehari- hari.
Terdapat tanah ulyat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari- hari
3. Terdapatnya tatanan hukum adat mnegenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan dutaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.25
24
Wawancara dengan Bapak Op. Putri Naibaho, Ketua Adat, Desa Siogung-ogung, Pangururan.
25
(44)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
BAB III
SIKAP MASYARAKAT TENTANG EKSISTENSI HAK ULAYAT
A. Struktur Pemilikan, Perolehan dan Pelepasan/Peralihan Hak Atas Tanah Adat/Ulayat di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir
Struktur pemilikan, perolehan dan pelepasan/peralihan hak atas tanah adat di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir dilihat dari segi sejarah lahirnya tanah adat ini terjadi dengan:
1. Berdasarkan penemuan oleh nenek moyang (orang yang pertama kali tinggal/mendiami) daerah tersebut.
2. Karena kemenangan perang.
1. Berdasarkan Penemuan Oleh Nenek Moyang (Orang yang Pertama kali Tinggal/Mendiami) Daerah tersebut.
Pada umumnya Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir dihuni oleh suku batak yang terdiri dari marga- marga. Sehingga adapun tanah adat adalah didasarkan atau sifatnya kemargaan. Apa bila ditelusuri dari sejarah dari pada struktur penguasaan tanah adat tersebut adalah dikarenakan ketika dahulu kala marga tersebut adalah orang yang
(45)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
pertama kali membuka lahan atau bertempat tinggal ke daerah tersebut yang pada waktu itu masih kosong (semak belukar).
Dengan waktu yang sangat lama marga tersebut beranak cucu dan tetap tinggal di daerah tersebut, dan lama kelamaan tebentuklah sebuah perkampungan atau komunitas manusia yang dihegemoni oleh satu marga. Dan oleh dikarena bahwa wilayah/ daerah tersebut masih dalam penguasaan satu garis keterurunan, tidak ada pembagaian antara anak, melainkan untuk sebagai tempat mencari nafkah generasi ke generasi.
Dan dengan waktu yang tak terhitung waktunya, marga tersebut terus berkembang hingga sampai beberapa keturunan (beberapa suddut), singga tak memungki nkan adanya lagi tuk melakukam pembagia. Karena hal tersebut maka dijadikanlah sebagai tanah adat yang berlaku secara terus menerus generasi ke generasi sebagai tempat mereka mencari nafkah.
2. Karena Kemenangan Perang
Penguasaan terhadap tanah adat berdasarkan penemuan nenek moyang terdahulu terjadi di berbagai daerah atau di beberapa lahan serta oleh marga- marga yang saling berbeda pula. Seperti halnya dalam bab sebelunya telah di jelaskan, bahwa pada umumnya daerah samosir pada zaman dahulu adalah tanah adat. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa samosir merupakan tanah adat dari berbagai marga- marga.
Oleh karena adanya klaim marga- marga tersebut atas tanah adat tersebut sehingga menimbulkan perkelahian antar marga. Yang mana marga yang berbeda tersebut saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah kekuasaan mereka. Marga- marga tersebut saling mengkliam bahwa tanah tersebut adalah merupakan peninggalan atau warisan nenek moyang mereka.
(1)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
c. Terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah wilayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
d. Dengan ketentuan tersebut di atas, maka keberadaan Hak Ulayat/tanah adat di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir semakin kuat. Sebagaimana ketentuan- ketentuan tersebut di atas masih dijumpai di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Sebagai pendukung dan sekaligus kepalitan skripsi ini penulis melampirkan 1 (satu) lembar foto copy surat penyerahan (hibah) masyarakat Pangururan Desa Siogung-ogung atas tanah adat kepada pemerintah untuk keperluan nasional (Negara).
3. Dalam hal wewenang masyarakat hokum adat di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir dalam mengelola masalah- masalah pertanahan sampai saat ini masih terus berjalan, hal ini dapat dilihat apabila ada pemindahan/peralihan hak atas tanah (tanah adat atau tanah marga) maka harus dilakukan dengan prosedur adat dihadapan pengetua- pengeua adat yang tersusun dalam masyarakat adat tersebut. Barulah pemindahan/ peralihan hak tersebut dianggap sah.
B. Saran.
Dalam uraian analisa, penulis telah memaparkan bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan besar hapusnya atau hilangnya status Hak Ulayat dikarenakan penguasaan atau pengelolaannya oleh satu garis keturunan (satu darah) yang hingga waktu yang sangat lama atau sudah beberapa keturunan.
Disamping itu, bahwa sesuai dengan perkembangan pembangunan yang semakin pesat bahwa hingga saat penulisan skripsi ini (Tahun 2008) sangat banyak terjadi kasusu-kasus perampasan atas Hak Ulaya/tanah adat oknum atau lembaga- lembaga tertentu baik
(2)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
secara langsung ataupun tidak langsung (berdalih bagi hasil) dengan masyarakat adat tersebut.
Selain hal tersebut di atas penulis juga sangat prihatin atas nasib Hak Ulayat di negeri tercinta ini, sebagaimana halnya kita ketahui bahwa adanya ketentuan peraturan perundang- undangan yang menegaskan bahwa keberadaan Hak Ulayat tetap diakui yang sewaktu- waktu dapat dicabut demi kepentingan Negara/ nasional.
Dalam hal ini penulis sedikit kontradiktif terhadap ketentuan tersebut. Sebagaimana yang penulis khawatirkan bahwa nantinya pemerintah akan gampang mencabut Hak Ulayat itu dengan dalih kepentingan nasional, namun akhirnya jatuh kepada tangan para pemilik modal (kepentingan pribadi).
1. Semua hal tersebut di atas hendaknya pemerintah mengmbil suatu sikap atau kebijakan agar lebih memperjelas dari pada Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum adat seperti yang tersebut dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) yaitu pengakuan terhadap adanya Hak Ulayat), dan lebih pasti kiranya jika dibuat suatu ketentuan hukum mengenai apakah Hak Ulayat itu harus ditiadakan fungsinya ataukah dipertegas sepanjang masih ada.
2. Pemerintah hendaknya menciptakan perundang-undangan Hak Ulayat yang lebih kongkrit yang dapat melindungi dan lebih beroihak kepada masyarakat hkum adat tersebut, dan juga para akademisi seharusnya dalam hal ini harus ikut berperan serta memberi sumbangsih untuk kemajuan dan keberasan dalam penataan dan pelaksanaan peraturan pertanahan umumnya dan Hak Ulayat khususnya. Srhingga dengan demikian bahwa para akademisi tidak lagi hanya nekutak atau nerteori belaka selaku salah satu pihak yang paling berkompeten dalam bidang pertanahan (agraria). 3. Pemerintah Hendaknya malaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5
Tahun 1960) itu sendiri., sebagaimana seperti yang kita ketahui bahwa UUPA menghendaki bahwa tanah untuk rakyat (petani) yang nyatanya kita lihat bahwa
(3)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
sebahagian besar di negri ini tanah dikuasai oleh orang- orang tertentu melewati batas yang telah ditentukan oleh perundang- undangan sementara disisi lain petani tidak mempunyai tanah. Bukankah demikian juga Hak Ulayat adalah merupakan yang sangat dekat atau paling menyentuh kehidupan masyarakat hukum adat?. Sebagai amanah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan juga Undang- Undang Dasar sudah merupakan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia tidak terkecuali masyarakat hukum adat.
4. Melihat bahwa Hak Ulayat adalah sebagai tempat masyarakat hukum adat tersebut untuk mencari kehidupan sehari-hari, sementara Hak Ulayat itu sendiri banyak masih dalam keadaan hutan belukar atau alang- alang, maka agar tanah tersebut semakin berproduksi sesuai sesuai dengan fungsinya mestinya pemerinta harus melakukan suatu pemberdayaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut demi peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdulrahman., 1984, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang- undangan
Agraria Indonesia, Akademik Presindo.
Parlindungan, A. P., 1983, Landreform Indonesia Strategi dan Sasarannya,
Medan.
(4)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
--- 1984, Laporan Landreform Indonesia, Suatu Study
Pembanding, Fakultas Hukum USU, Medan.
---1986, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,
Alumni, Bandung,.
---1984, Pandangan Kritis Berbagai Aspek dalam
Undang-Undang Pokok Agraria di Daerah Jambi, Bandung.
---1985, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabat
Pembuat Akte Tanah, Alumni, Bandung.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, Pangururan, Dalam, Angka,
2006.
Harsono Budi.,2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Dirman.,1959, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, J. B. Wpolters,
Cetakan Kedua, Jakarta.
Santoso Urip.,2005 Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Fajar Interpratama
Offset, Jakarta.
---.,2005, Hukum Agraria dan Hak- Hak Atas Tanah, Kencana,
Jakarta.
Siregar Tampil Ansari.,2007, Pendaftaran Tanah. Kepastian Hak. Cetakan
Pertama, Medan.
Supriadi.,2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Ter Haar., 1960, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramait, Jakarta.
B. PERATURAN-PERATURAN
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN, Nomor 5 Tahun 1999.
C. LAIN-LAIN
Data statistik Badan Pusat Statistik Kabupateb Toba Samosir, Pangururan, Dalam
Angka 2006.
(5)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009
Wawancara dengan, Tokoh Adat Kecamatan Pangururan. Bapak A. Juni Naibaho,
Op. Putri Naibaho (Ketua Adat, Desa Siogung-ogung, Pangururan)
Wawancara dengan Kepala Badan Pertanahan Nasioanal Kabupaten Samosir.
Wawancara Tokoh Pemerintah (Kepala Desa Hariara), Pak Nainggolan
Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Kecamatan Samosir (Pak Vera
Simbolon).
DAFTAR LAMPIRAN
---Surat Riset, Departemen Pendidikan Nasional Universitas Sumatera Utara,
Fakultas Hukum,
---Surat Riset, Badan Pertanahan Nasional , Kantor Pertnahan Nasional
Kabupaten Samosir.
(6)
Santoni Lumbanraja : Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemahaman Dan Sikap Masyarakat Di Kecamatam Pangururan Buhit Kabupaten Samosir, Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), 2008. USU Repository © 2009