Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di Tv One

(1)

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM ACARA DEBAT

KONTROVERSI SURAT KEPUTUSAN BERSAMA

AHMADIYAH DI TV ONE

TESIS

Oleh:

ELVITA YENNI

077009006

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Judul Tesis : KESANTUNAN BERBAHASA DALAM ACARA DEBAT KONTROVERSI SURAT KEPUTUSAN BERSAMA AHMADIYAH DI TV ONE

Nama Mahasiswa : Elvita Yenni Nomor Pokok : 077009006 Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(3)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di Tv One”. Penelitian ini bertujuan memaparkan strategi kesantunan yang digunakan oleh para pelaku debat dan mengkaitkannya dengan etika berbicara di dalam Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis strategi – strategi kesantunan yang terdiri atas strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif, serta kaitannya dengan etika berbicara di dalam Islam. Data korpus penelitian ini berupa transkripsi sebuah program televisi yang ditayangkan pada tanggal 11 Juni 2008.

Dari hasil penelitian Strategi kesantunan berbahasa pelaku debat direpresentasikan melalui strategi kesantunan, yaitu: (1) mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta; (2) penggunaan penanda identitas kelompok; (3) mencari persetujuan; (4) menghindari ketidaksetujuan dengan berpura-pura setuju; (5) menunjukkan kesamaan; (6) paham akan keinginan pendengar; (7) memberikan tawaran dan berjanji; (8) melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas, sedangkan wujud strategi kesantunan negatif direpresentasikan melalui: (1) menggunakan ujaran tidak langsung; (2) penggunaan kata berpagar; (3) meminimalkan tekanan; (4) memberikan penghormatan; (5) memakai bentuk impersonal; (6) menyatakan tindak pengancaman muka sebagai aturan umum; (7) nominalisasi.

Apabila di bandingkan antara strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif di dalam temuan penelitian ini, tampak bahwa strategi meminimalkan jarak (kesantunan positif) lebih dominan di bandingkan strategi menciptakan jarak (kesantunan negatif). Dari kajian budaya, terdapat keselarasan bahwa strategi distancing memang lebih berakar pada budaya Eropa, sementara mendekatkan jarak berakar pada budaya Asia, termasuk juga Indonesia.

Dengan mengaitkan temuan penelitian dengan etika berbicara di dalam Islam, secara umum dapat di katakan tidak terdapat banyak kesamaan antara strategi kesantunan positif, strategi kesantunan negatif Brown dan Levinson dengan etika berbicara Al – Ghazali. Dari 15 etika berbicara di dalam Islam, terdapat 3 kesamaan yaitu etika ke-2 sama dengan strategi kesantunan ke-3 (SKP-3). Kemudian etika ke-8 dengan SKP-8, kemudian etika ke-12 dengan SKP-6. Kajian etika berbicara tidak begitu nampak parameter linguistik nya yaitu aturan linguistik untuk tuturan verbal nya. Yang tampak adalah konteks situasi non verbal, seperti etika berbicara untuk tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tidak memotong pembicaraan dan sebagainya, tidak akan di temukan unsur verbal nya, tetapi unsur non verbal nya dapat di lihat pada saat acara debat tersebut.


(4)

ABSTRACT

This thesis entitled ”Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di TV One. This study aimed to describe the politeness strategy used by the debaters concerned with the speech ethics in Islam. The current study using the qualitative method in analyse the politeness strategies, such as the positive and negative politeness strategi, and its concern with the television programme on June 11, 2008.

Based on the result of politeness strategy, the debatters represented the positive politeness strategy by ;(1) intesify interest of the listnener by the dramatisation of fact and event; (2) use in – group identity markers; addressed forms, dialect, jargon or slang); (3) seek agreement; (4) avoid agreement’ token agreement, pseudo-agreement, while lies, hedging, opinions; (5) presuppose/rasise/assert common ground; gossip, small talk; (6) joke; (7) assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants); (8) offer, promise; (9) include both S and H in the activity.

By comparing the positive and negative politeness strategy, the study shows that the positive politeness minimizer the gap than negative one in creating the gap. From the culture study, there is the indemnity that distancing strategy more closedly rooted from Europe culture.

By conducted the sudy result with speech ethic in Islam, generally there is a few similarity between positive and negative politeness strategy of Brown’s and Levinson’s and Al-Ghazali speech ethics. From the 15 of speech ethics in Islam, there are 3 of similarity, they are: the second ethics and the third politeness strategy (SKP-3). Then, the 8 ethics and the 8-SKP, the 12-ethics and the 6-SKP. The linguistic parameter does not appear in the speech ethich study, namely the lingusitic role and verbal speech. But the non-verbal situation context is emerged, such as the speech ethics – not to haze in speaking, not intterupt, etc.


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………... i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR………. iii

UCAPAN TERIMA KASIH……… iv

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI……… vii

DAFTAR SINGKATAN………. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian……….. 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian……… 6

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Praktis……….. 6

1.3.2 Tujuan Teoritis……….... 6

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis……… 7

1.4.2 Manfaat Teoritis....………... 7


(6)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori………... 9

2.1.1 Definisi Kesantunan………. . 9

2.1.2 Jenis Kesantunan……… 11

2.1.3 Kesantunan Berbahasa……… 12

2.1.4 Tinjauan Umum Debat………... 17

2.1.4.1 Definisi Debat... 17

2.1.4.2 Tujuan Debat... 18

2.1.4.3 Topik Debat... 19

2.1.4.4 Langkah- langkah Debat... 19

2.1.4.5 Beberapa Patokan Dalam Berdebat... 21

2.1.5 Teori Pragmatik………. 22

2.1.6 Kesantunan Brown dan Levinson……….. 25

2.1.7 Strategi Kesantunan Positif……… 27

2.1.8 Strategi Kesantunan Negatif……….. 36

2.1.9 Etika Berbicara Di dalam Islam……… 44

2.2 Kajian Terdahulu……….. 52

2.3 Kerangka Konsep……….. 57

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian……… 58


(7)

3.3 Prosedur Penelitian……… 59

3.4 Instrumen Penelitian………. 60

3.5 Teknik Analisis Data………. 60

3.6 Teknik Penyajian Hasil Analisis………... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Strategi Kesantunan Positif……….62

4.1.2 Strategi Kesantunan Negatif………...96

4.1.3Hubungan Antara Strategi Kesantunan Positif Dan Strategi Kesantunan Negatif Dengan Etika Berbicara Di dalam Islam………...113

4.2 Pembahasan……….122

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan……….129

5.2 Saran………...131


(8)

DAFTAR SINGKATAN

SKB : Surat Keputusan Bersama SKP : Strategi Kesantunan Positif SKN : Strategi Kesantunan Negatif


(9)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di Tv One”. Penelitian ini bertujuan memaparkan strategi kesantunan yang digunakan oleh para pelaku debat dan mengkaitkannya dengan etika berbicara di dalam Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis strategi – strategi kesantunan yang terdiri atas strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif, serta kaitannya dengan etika berbicara di dalam Islam. Data korpus penelitian ini berupa transkripsi sebuah program televisi yang ditayangkan pada tanggal 11 Juni 2008.

Dari hasil penelitian Strategi kesantunan berbahasa pelaku debat direpresentasikan melalui strategi kesantunan, yaitu: (1) mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta; (2) penggunaan penanda identitas kelompok; (3) mencari persetujuan; (4) menghindari ketidaksetujuan dengan berpura-pura setuju; (5) menunjukkan kesamaan; (6) paham akan keinginan pendengar; (7) memberikan tawaran dan berjanji; (8) melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas, sedangkan wujud strategi kesantunan negatif direpresentasikan melalui: (1) menggunakan ujaran tidak langsung; (2) penggunaan kata berpagar; (3) meminimalkan tekanan; (4) memberikan penghormatan; (5) memakai bentuk impersonal; (6) menyatakan tindak pengancaman muka sebagai aturan umum; (7) nominalisasi.

Apabila di bandingkan antara strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif di dalam temuan penelitian ini, tampak bahwa strategi meminimalkan jarak (kesantunan positif) lebih dominan di bandingkan strategi menciptakan jarak (kesantunan negatif). Dari kajian budaya, terdapat keselarasan bahwa strategi distancing memang lebih berakar pada budaya Eropa, sementara mendekatkan jarak berakar pada budaya Asia, termasuk juga Indonesia.

Dengan mengaitkan temuan penelitian dengan etika berbicara di dalam Islam, secara umum dapat di katakan tidak terdapat banyak kesamaan antara strategi kesantunan positif, strategi kesantunan negatif Brown dan Levinson dengan etika berbicara Al – Ghazali. Dari 15 etika berbicara di dalam Islam, terdapat 3 kesamaan yaitu etika ke-2 sama dengan strategi kesantunan ke-3 (SKP-3). Kemudian etika ke-8 dengan SKP-8, kemudian etika ke-12 dengan SKP-6. Kajian etika berbicara tidak begitu nampak parameter linguistik nya yaitu aturan linguistik untuk tuturan verbal nya. Yang tampak adalah konteks situasi non verbal, seperti etika berbicara untuk tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tidak memotong pembicaraan dan sebagainya, tidak akan di temukan unsur verbal nya, tetapi unsur non verbal nya dapat di lihat pada saat acara debat tersebut.


(10)

ABSTRACT

This thesis entitled ”Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di TV One. This study aimed to describe the politeness strategy used by the debaters concerned with the speech ethics in Islam. The current study using the qualitative method in analyse the politeness strategies, such as the positive and negative politeness strategi, and its concern with the television programme on June 11, 2008.

Based on the result of politeness strategy, the debatters represented the positive politeness strategy by ;(1) intesify interest of the listnener by the dramatisation of fact and event; (2) use in – group identity markers; addressed forms, dialect, jargon or slang); (3) seek agreement; (4) avoid agreement’ token agreement, pseudo-agreement, while lies, hedging, opinions; (5) presuppose/rasise/assert common ground; gossip, small talk; (6) joke; (7) assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants); (8) offer, promise; (9) include both S and H in the activity.

By comparing the positive and negative politeness strategy, the study shows that the positive politeness minimizer the gap than negative one in creating the gap. From the culture study, there is the indemnity that distancing strategy more closedly rooted from Europe culture.

By conducted the sudy result with speech ethic in Islam, generally there is a few similarity between positive and negative politeness strategy of Brown’s and Levinson’s and Al-Ghazali speech ethics. From the 15 of speech ethics in Islam, there are 3 of similarity, they are: the second ethics and the third politeness strategy (SKP-3). Then, the 8 ethics and the 8-SKP, the 12-ethics and the 6-SKP. The linguistic parameter does not appear in the speech ethich study, namely the lingusitic role and verbal speech. But the non-verbal situation context is emerged, such as the speech ethics – not to haze in speaking, not intterupt, etc.

Keywords: politeness, politeness strategy, speech ethics.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bahasa memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa dijadikan sarana komunikasi dan interaksi masyarakat. Dalam kaitan ini Nababan (1986: 38) mengatakan bahwa setiap bahasa mempunyai empat golongan fungsi, yakni (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Sementara itu, Silalahi mengutip pandangan Levi-Strauss (2004:89) mengatakan bahwa bahasa merupakan persyaratan kebudayaan yang meliputi pengertian bahwa bahasa merupakan persyaratan kebudayaan secara diakronis karena kita mempelajari kebudayaan melalui bahasa yang merupakan sebuah sistem komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi manusia dalam suatu kelompok masyarakat, dengan demikian bahasa dapat dikatakan merupakan satu wujud kebudayaan yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.

Berkaitan dengan fungsi bahasa ini juga, Simpen mengutip pandangan Tampubolon (2008: xiii) mengatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat berpikir dan berasa, alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dan alat untuk memahami pikiran dan perasaan. Sebagai alat berfikir, bahasa dapat meningkatkan kecerdasan intelektual dan sebagai alat berasa, bahasa dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya.


(12)

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi penutur dan pendengar tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan pendengar tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan kata lain, baik penutur maupun pendengar memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Berkaitan dengan hal ini, Muslich (2006) memberi pandangan bahwa kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun, atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Kesantunan tercermin dalam bertutur kata (berbahasa), cara berbuat (bertindak), dan cara berdandan (berpakaian).

Penerapan kesantunan berbahasa dalam tuturan masyarakat akan menghindarkan ketersinggungan bahkan kesalahpahaman penuturnya sehingga memperkecil munculnya konflik dan kekerasan di masyarakat. Maraknya konflik dan kekerasan di masyarakat akhir- akhir ini yang diwarnai oleh sikap saling menghujat, menjelek- jelek kan dan bahkan caci maki menjadi indikator bahwa sesungguhnya masyarakat telah kehilangan rasa kemuliaan dalam hidupnya. Bahkan, agama yang semestinya menjadi unsur yang dapat menumbuhkan kemuliaan manusia, sering kali menjadi alat politik untuk memenuhi ambisi pribadi dan kelompok yang mengatasnamakan rakyat.


(13)

Di masa sekarang melalui berbagai tayangan televisi dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk meninggalkan norma- norma kesantunan, salah satunya kesantunan berbahasa. Setiap orang bebas untuk berbicara tanpa batas. Saling mengejek, mengumpat, menghina dan bahkan mencaci maki dianggap sebagai perilaku berbahasa yang pantas.

Dalam tayangan televisi berupa wawancara, dialog, debat dan sebagainya, dapat kita lihat bahwa sering kali fenomena menghujat, menghina dan mencaci maki ini terjadi. Penulis menelaah lebih lanjut tentang fenomena debat saja. Debat sendiri adalah suatu cara untuk menyampaikan ide secara logika dalam bentuk argumen disertai bukti–bukti yang mendukung kasus dari masing–masing pihak yang berdebat.Berbagai reaksi masyarakat tentang fenomena debat di televisi diantaranya.

“Saya baru dua kali menonton program Debat (malam) di sebuah stasiun TV swasta. Acara itu ramai, gaduh, saling adu argumen. Terkesan tak tertib, saling berebut, ingin menonjolkan diri, mengedepankan emosi, dan tak jelas ujung pangkalnya. Ya, seperti debat kusir saja. Pertanyaan saya, tontonan semacam itukah contoh berdebat yang sehat sehingga TV perlu menayangkannya. Bukankah TV mestinya menyuguhkan tontonan yang patut dan pantas bagi penontonnya?”

RUBIYANTO Jalan Rawa Jaya No 50, Pondok Kopi, Jakarta

“Saya minta agar pemerintah dan badan yang berwenang mengawasi jalannya tayangan televisi terutama program dialog, debat agar lebih berhati- hati terhadap tayangannya yang menjurus ke anarkis, hujat menghujat. Lakukan tertutup. Tidak semua persoalan dapat di dialogkan,didebatkan di televisi.

Maretha, Dinoyo Malang

“Saya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat yang menyaksikan debat itu. Apakah juga sama dengan apa yang ada di benak saya? Entahlah...!


(14)

para penyiar televisi yang menayangkan acara tersebut, mencoba mengejar, memancing, menambah panas, dan menambah arah pembicaraan menjadi semakin tak berlogika. Mereka tidak lagi menjadi “moderator” yang asal katanya adalah “moderat”, yang berarti bijaksana. Sesekali mereka bertepuk tangan untuk sebuah argumen yang dangkal, yang disambut pula riuh tepuk tangan dan sorak para pendukung yang hadir di acara tersebut. Acara itu pun menjadi lebih mirip sebuah pertandingan, bukan lagi debat calon pemimpin bangsa. Pada saat itu, pendangkalan itu semakin terasa. Maaf, kawan. Saya “risau” melihat acara itu. Saya jadi teringat apa yang dikatakan Pak Enceh di facebook, "Katakan pada rakyat, demokrasi harus berganti aturan main. Yang menang bukan suara terbanyak. Tapi, yang mendapat suara paling sedikit. Agar setiap kandidat dapat berkampanye dengan santun. Jangan pilih saya. Pilihlah si anu, pilihlah si polan, dia baik, dia memiliki kemampuan... Saya mendukung dia”

Goenawan Muhammad, Tempo

Ketiga komentar masyarakat tentang fenomena debat di televisi merupakan komentar yang kontra terhadap tayangan debat di televisi. Berbagai alasan bagi mereka untuk tidak mendukung tayangan debat di televisi diantaranya karena debat sangat mengedepankan kegaduhan, keributan, memicu pertikaian tanpa ada solusi diakhir debat, kemudian juga mereka menganggap bahwa debat di televisi lebih mirip seperti sebuah pertandingan

“Di era reformasi ini kan zaman keterbukaan. Debat sah- sah aja. Pelaku debat pun bukan orang sembarangan, orang- orang berpendidikan”

Gianto, Jakarta

“Debat oke lah. Jangan lihat rusuhnya tapi lihat manfaatnya menambah wawasan masyarakat”

Anita, Ciganjur, Jabar

Kedua komentar masyarakat diatas mendukung acara debat di televisi dengan alasan bahwa sekarang zaman reformasi, zaman keterbukaan, kebebasan berbicara


(15)

dan kepercayaan pada tokoh atau pun pelaku debat yang menurut mereka adalah orang yang ahli dibidangnya.

Inilah beberapa komentar dari masyarakat tentang fenomena debat di televisi. Ada yang pro dan kontra tentang fenomena debat. Dari berbagai komentar tersebut adalah sangat menarik untuk menganalisis tentang bahasa yang digunakan para pelaku debat, khususnya bila dikaitkan dengan kesantunan berbahasa para pelaku debat tersebut. Berbahasa yang santun dapat meminimalkan kerusuhan, pertikaian, pertengkaran serta menimbulkan keharmonisan dan kesinergian bagi masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini perlu adanya suatu strategi yang dilakukan oleh para pemakai bahasa khususnya orang- orang yang berkecimpung didalam bidang bahasa untuk mengetahui fenomena kesantunan berbahasa. Strategi- strategi kesantunan apa saja yang digunakan para pelaku debat menurut teori Brown dan Levinson , inilah yang menjadi masalah penelitian didalam tesis ini. Kemudian bagaimana relevansi antara strategi kesantunan berbahasa tersebut dengan etika berbicara didalam Islam juga menjadi permasalahan didalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa topik debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah di TV One berbicara tentang Islam, kemudian para pelaku debat merupakan muslim.

Beranjak dari paparan latar belakang tersebut diatas, akhirnya penulis mengetengahkan judul tesis penelitian yakni Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah Di TV One.


(16)

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan di atas, masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

(1) Strategi kesantunan positif apakah yang digunakan oleh para pelaku debat ? (2) Strategi kesantunan negatif apakah yang digunakan oleh para pelaku debat ? (3) Bagaimanakah hubungan strategi kesantunan berbahasa dengan etika

berbicara di dalam Islam ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian dalam tesis ini dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu tujuan praktis dan dan tujuan akademis.

1.3.1 Tujuan Praktis

Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk menunjukkan fenomena berbahasa, khususnya kesantunan berbahasa para pelaku debat. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teori kesantunan berbahasa dalam berbagai disiplin ilmu dan aplikasinya.

1.3.2 Tujuan Teoritis

Sejalan dengan masalah penelitian di atas, tujuan akademis penelitian ini dirinci sebagai berikut.


(17)

(1) Mendeskripsikan strategi kesantunan positif yang digunakan oleh para pelaku debat

(2) Mendeskripsikan strategi kesantunan negatif yang digunakan oleh para pelaku debat

(3) Mendeskripsikan hubungan strategi kesantunan berbahasa dengan etika berbicara di dalam Islam

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan umum kepada masyarakat tentang fenomena penggunaan bahasa para pelaku debat di TV, khususnya tentang kesantunan berbahasa para pelaku debat. Penelitian ini juga diharapkan dapat meminimalkan pertikaian dan perselisihan dengan adanya penggunaan bahasa yang santun para pelaku debat. Secara umum juga diharapkan kualitas dan kuantitas penggunaan bahasa santun dalam acara debat akan meningkat..

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori linguistik, khususnya kajian pragmatik. Selain itu, manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan teori kesantunan berbahasa dalam berbagai disiplin ilmu. Bagi peneliti dan orang- orang yang berminat mengkaji kesantunan berbahasa, diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.


(18)

1.5Batasan Dan Keterbatasan Penelitian

Di dalam penelitian tesis ini hanya dibicarakan perihal kesantunan berbahasa para pelaku debat kontoversi surat keputusan bersama Ahmadiyah yang diadakan di TV One pada tanggal 11 juni 2008. Penulis beranggapan bahwa para pelaku debat telah santun, dan apa yang akan dibahas adalah strategi santun manakah yang digunakan oleh para pelaku debat tersebut. Berbicara perihal ketidak santunan bukan merupakan objek kajian dari penelitian ini.


(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

2.1.1 Definisi Kesantunan

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut ‘tatakrama’.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari- hari.

Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari- hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara


(20)

baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa).


(21)

2.1.2 Jenis Kesantunan

Kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu.

Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan) ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan ditempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu, misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk


(22)

gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan "jigrang" ketika mengikuti kuliah dosen, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum. Untuk jenis yang ketiga tentang kesantuanan bahasa dibahas khusus pada satu sub bab selanjutnya.

2.1.3 Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses


(23)

belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.

(1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu. (2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. (3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan. (4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.

(5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.

(6) Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya, faktor- faktor sosial seperti status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan kesantunan berbahasa.


(24)

Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya penutur. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk kedalam kesantunan nonverbal di antaranya unsur suprasegmental, paralinguistik dan proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi. Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik. Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal (kebahasaannya) saja tanpa mempertimbangkan faktor nonverbal yang mempengaruhi.

Beberapa skala pengukur tingkat kesantunan berbahasa yang banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan yaitu skala kesantunan menurut Leech dan skala kesantunan menurut Brown dan Levinson.

A Skala Kesantunan Leech

Leech (1983) menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut.


(25)

(1) Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.

(2) 0ptionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.

(3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

(4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya,


(26)

semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

(5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

B Skala Kesantunan Brown and Levinson

Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan kultural.

(1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

(2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur


(27)

(3) Skala peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Misalnya menelpon seseorang lewat jam 10 malam akan dianggap tidak sopan dan bahkan melanggar norma kesantunan. Namun hal yang sama dapat dianggap santun pada situasi genting seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, dan sebagainya.

2.1.4 Tinjauan Umum Debat 2.1.4.1 Definisi Debat

Istilah debat berasal dari bahasa Inggris, yaitu debate. Istilah tersebut identik dengan istilah sawala yang berasal dari bahasa Kawi yang berarti berpegang teguh pada argumen tertentu dalam strategi bertengkar atau beradu pendapat untuk saling mengalahkan atau memenangkan lidah. Jadi, definisi debat sendiri adalah suatu cara untuk menyampaikan ide secara logika dalam bentuk argumen disertai bukti–bukti yang mendukung kasus dari masing–masing pihak yang berdebat.

Debat di Indonesia sendiri di bagi menjadi dua aliran, yang pertama adalah aliran konvensional atau aliran yang jarang dipakai, dan yang kedua adalah aliran yang mengikuti standar internasional atau aliran yang yang sekarang sedang digalakkan pemakaiannya di Indonesia.


(28)

Secara umum debat sendiri dapat dilakukan dengan cara berkelompok, yaitu ada dua pihak yang di sini masing–masing memegang peranan sebagai pihak positif dan negatif. Selain itu, mereka mencoba mempertahankan argumen mereka dengan di dukung oleh bukti–bukti serta fakta–fakta yang mendukung kasus mereka, namun terlebih dahulu sebelum mereka melakukan hal tersebut kedua belah pihak harus memberikan suatu parameter yang jelas mengenai kasus (motion) mereka atau memberikan suatu definisi yang menjelaskan kemana arah dari kasus mereka.

2.1.4.2 Tujuan Debat

Tujuan dari debat sendiri adalah upaya kedua belah pihak yang mencoba membangun suatu kasus dengan didukung oleh argumen–argumen yang mendukung kasus mereka di mana cara membuat satu argumen yang baik dan benar adalah suatu argumen selalu berdasarkan pada pertanyaan–pertanyaan dasar berupa; Apa (What),Mengapa (Why), Bagaimana (How), dan Kesimpulannya (So What is the conclusion). Di sini selain diperlukan kemampuan berbahasa yang baik dan benar juga dibutuhkan pula logika dan analogi pola pikir yang benar mengenai pengetahuan pengetahuan umum atau kasus – kasus yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Selain hal–hal tersebut juga diperlukan kemampuan merespon suatu masalah dikarenakan di sini terjadi adanya suatu proses saling mempertahankan pendapat antara kedua belah pihak. Di dalam debat dilarang menyangkutpautkan suku, agama, ras, dan adat, disebabkan di dalam debat sendiri kita masih menggunakan etika sebagai seorang manusia untuk berpendapat.


(29)

2.1.4.3 Topik Debat

Topik debat, atau yang biasa disebut motion, adalah suatu permasalahan umum yang terjadi di dalam masyarakat dan diketahui secara global oleh setiap orang. Dalam membuat suatu topik diperlukan adanya suatu kejelian karena pada dasarnya sebuah topik harus mengikuti analogi “Kacang di dalam kulit”, artinya suatu topik debat harus memiliki kemampuan untuk dapat dikupas atau ditelaah secara mendalam. Hal ini diperlukan karena pada saat proses berdebat mulai para pihak baik positif maupun negatif akan memberikan suatu parameter kasus disertai dengan definisi untuk memeperjelas arah debat tadi. Di dalam memberikan parameter atau definisi dari sebuah topik sendiri ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan diantaranya adalah; Kebenaran alam atau nyata yang tak terbantahkan (Truistic), tidak memiliki hubungan logika yang jelas (Tautological), definisi yang melenceng atau tidak masuk akal (Squirelink) dan memberikan patokan waktu atau tempat yang menguntungkan salah satu pihak (Time and Place Setting). Hal ini tidak boleh dilakukan dikarenakan dalam berdebat kita juga menggunakan kaidah “Fair and Square” atau menang secara adil.

2.1.4.4 Langkah-langkah Debat

Di dalam melakukan debat kita juga memiliki langkah – langkah yang harus ditempuh di dalam aplikasinya, di sini kami akan mengambil satu contoh dari sistim yang biasa digunakan sebagai standar nasional maupun internasional. Adapun sistim ini bernama sistim Australasian Parliamentary System, di mana tiap tim mempunyai


(30)

tiga orang anggota dengan tugas masing – masing, adapun langkah – langkahnya adalah sebagai berikut.

1. Sebelum debat dimulai kedua tim akan diberikan kesempatan untuk melakukan suatu proses penyusunan kasus selama 30 menit.

2. Pembicara pertama dari tim positif maju kemudian memberikan definisi dari topik yang diberikan kemudian memberikan parameter kasus yang akan dibahas, setelah itu kemudian dia akan menjelaskan bagian – bagian yang akan dibahas oleh pembicara pertama dan kedua, baru setelah itu dia akan membahas kasusnya disertai landasan kasus selama 7 menit.

3. Pembicara pertama dari tim negatif maju kedepan kemudian memberikan tanggapan dari topik positif yang diberikan kemudian memberikan parameter kasus yang akan dibahas, setelah itu kemudian dia akan menjelaskan bagian – bagian yang akan dibahas oleh pembicara pertama dan kedua, baru setelah itu dia akan membahas kasusnya disertai landasan kasus selama 7 menit.

4. Pembicara kedua dari tim positif maju dan kemudian merespon kasus dari pembicara pertama negatif kemudian dia akan mencoba menghubungkan kasus yang ia bawa dengan kasus pembicara pertama, kemudian dia akan memberikan perpanjangan dari kasus timnya disertai dengan implementasi dari timnya selama 7 menit.

5. Pembicara kedua dari tim negatif maju dan kemudian merespon kasus dari pembicara pertama dan kedua dari positif kemudian dia akan mencoba


(31)

menghubungkan kasus yang ia bawa dengan kasus pembicara pertama, kemudian dia akan memberikan perpanjangan dari kasus timnya disertai dengan implementasi dari timnya selama 7 menit.

6. Pembicara ketiga dari positif maju dan tugasnya adalah membuat suatu respon terhadap semua kasus dari negatif dan memberikan kesimpulan dari kasus yang dibawakan oleh timnya. Disini seorang pembicara ketiga dilarang untuk membawakan kasus baru selama 7 menit.

7. Setelah itu sekarang adalah waktu untuk memberikan pandangan terhadap kasus dari masing – masing tim dimulai dari negatif terlebih dahulu kemudian positif dimana disini yang melakukannya adalah pembicara pertama atau kedua dan yang harus dilakukan disini oleh tiap tim selain memberikan pandangan terhadap kasus masing–masing juga memberikan suatu komparasi antara kedua tim dan menjelaskan apa – apa saja yang terjadi di dalam debat tersebut serta menunjukkan poin – poin yang menguntungkan dan mendukung kasus mereka selama 5 menit.

2.1.4.5 Beberapa Patokan Dalam Berdebat

Berikut ini adalah beberapa tips yang bisa dilakukan ketika anda berdebat atau beberapa patokan yang harus anda perhatikan ketika berdebat.

(1) Buatlah suatu definisi dan parameter dari suatu topik yang adil dan dapat diperdebatkan


(32)

(3) Susunlah selalu argumen dan respon anda menggunakan kaidah apa, mengapa, bagaimana, dan kesimpulannya.

(4) Pelajarilah selalu kasus–kasus yang berkembang di masyarakat.

(5) Kerjasama tim dan buatlah alur penyusunan argumen yang baik secara mengalir antar para pembicara di dalam tim.

2.1.5 Teori Pragmatik

Pragmatik (Pragmatics) merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam pemakaian bahasa. Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti pragmatik, diantaranya.

Levinson (1983: 9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Levinson, 1983: 9)

Beberapa Definisi Pragmatik menurut Yule (2006: 3- 4) sebagai berikut. 1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang


(33)

dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri

2 Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual

Tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang didalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakana yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa.

3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan

Pendekatan ini juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan. Dapat dikatakan bahwa studi ini adalah studi pencarian makna yang tersamar.

4. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi


(34)

tentang seberapa dekat atau jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan.

Leech (1983: 8) menyatakan bahwa fonologi, sintaksis dan semantik merupakan bagian tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa (language use). Selanjutnya pakar ini menunjukkan bahwa pragmatik dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis melalui semantik

Pragmatik sebagai suatu kajian bidang ilmu memilki suatu batasan yang berterima oleh para ahli linguistik yaitu bahwa bidang ini adalah bidang di dalam linguistik yang mengkaji maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan itu. Makna kalimat dikaji di dalam semantik, sedangkan maksud atau daya (force) ujaran dikaji dalam pragmatik. Sebagai contoh, kalimat saudara dapat berbahasa mandarin?, bermakna penanya ingin tahu apakah yang ditanya itu mempunyai kemampuan berbahasa Mandarin, ini adalah kajian semantik. Bahwa ujaran “saudara dapat berbahasa mandarin?” itu dimaksudkan oleh si penanya sebagai permintaan untuk menerjemahkan sebuah kata, kalimat bahasa Mandirin, misalnya, ini adalah kajian pragmatik

Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Pragmatik juga mengkaji fungsi ujaran, yaitu untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Seperti yang telah dibahas di atas bahwa satuan analisis pragmatik bukan lah kalimat ( karena kalimat adalah satuan tata bahasa ), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur (speech act). Sebagaimana tindak ujaran bukan kalimat, ia juga tidak persis


(35)

sama dengan ujaran. Dengan satu ujaran “saya lapar” misalnya sebenarnya kita melakukan dua tindak ujaran yaitu memberitahu dan meminta. Apa yang akan dikaji didalam tesis ini adalah tindak ujar atau tindak tutur dari para pelaku debat yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa yang dipakai dalam acara debat di TV One.

2.1.6 Kesantunan Brown and Levinson

Teori kesantunan berbahasa diungkapkan oleh Brown dan Levinson (1987) dalam tulisannya yang berjudul Universal in Language Usage: Politeness Phenomena. Brown dan levinson mengungkapkan derajat kesantunan berdasarkan nosi muka. Muka diartikan sebagai keadaan emosional atau citradiri setiap orang yang tidak boleh dipermalukan. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Saragih (2008) yang membahasa kesantunan. Kesantunan adalah situasi dalam interaksi yang di dalamnya pembicara menyadari muka (face) / marwah lawan atau mitrabicaranya. Dengan kata lain, kesantunan berhubungan dengan marwah penutur. Seseorang yang berbicara santun menghormati atau menghargai marwah mitrabicara. Hanya dengan menghormati mitrabicara, kita dihormati orang lain.

Kesantunan dicapai berdasarkan jarak (distance) atau kedekatan (closeness) sosial antara pembicara dan mitrabicara. Kesantunan yang berorientasi kepada jarak sosial antar pembicara akan menimbulkan sikap hormat (respect) dan kesantunan yang berorientasi untuk menjaga muka/ marwah karena kedekatan disebut akrab, persahabatan (friendliness) dan solidaritas (solidarity).


(36)

Tindak ancaman terhadap muka/ marwah (face threaning act) adalah ucapan yang mengancam penghargaan atau pengharapan seseorang atas muka/ marwahnya. Tindak penyelamatan marwah (face saving act) merupakan ucapan yang menyelamatkan atau mengurangi ancaman terhadap marwah seseorang. Sebagai contoh adik dan abang yang jenuh dengan aksi maling si botak di kampungnya dan si Adik berniat untuk menghajar si botak. Adik melakukan tindakan ancaman marwah sedang si Abang melakukan tindak penyelamatan marwah.

Adik : Biar kuhajar dulu si botak itu. Kerjanya maling saja di kampung ini Abang : Mungkin keluarganya tidak tahu aksinya, besok kita beritahu ke

luarganya supaya menasehatinya.

Muka/ marwah adalah citra diri seseorang di khalayak umum (public self- image of a person). Setiap orang memiliki naluri menjaga muka/ marwahnya. Jika seseorang kehilangan muka/ marwah, dia dianggap tidak memilki harga diri sebagai satu individu dalam komunitasnya. Berkenaan dengan hal itu, muka/ marwah terdiri atas muka/ marwah positif (positive face) dan muka/ marwah negatif (negative face).

Muka/ marwah positif mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilkinya atau apa yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, diterima, dan seterusnya. Muka/ marwah negatif mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dihargai dengan cara membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (Sibarani, 2004: 180)


(37)

Tindak penyelamatan muka yang berorientasi pada muka/ marwah negatif akan menghasilkan dan berasosiasi dengan ucapan hormat, ucapan maaf dan pengakuan atas keunikan dan kekuasaan seseorang. Kesantunan berdasarkan orientasi ini disebut Kesantunan Negatif (negative politeness). Tindak penyelamatan muka/ marwah yang berorientasi ke muka/ marwah positif menghasilkan ucapan solidaritas, kesamaan nasib/ tujuan, keakraban disebut Kesantunan Positif (positive politeness). Lebih lanjut tentang Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif akan dibahas pada sub bab 2.1.7 dan 2.1.8.

2.1.7 Strategi Kesantunan Positif

Menurut Brown dan Levinson (1987: 95), melakukan strategi tertentu untuk meminimalkan ancaman muka dapat dilakukan secara on- record (menyatakan secara terus terang) dan off- record (menyatakan secara tidak terus terang). On- record sering digunakan di dalam komunikasi dengan tujuan komunikasi jelas di fahami dan tidak ambigu. Ujaran On- record dapat dilakukan dengan dua cara yakni melakukan ujaran secara terus terang tanpa upaya menebus atau memperbaiki keadaan (without redress action, baldly) dan melakukan ujaran secara terus terang dengan upaya menebus atau memperbaiki keadaan (with redress action). Cara pertama menunjukkan bahwa ancaman muka tidak diminimalkan, ancaman muka diabaikan atau dianggap tidak relevan, sedangkan cara kedua penutur meminimalkan ancaman muka dengan implikasi. Kesantunan positif dan kesantunan negatif merupakan merupakan bagian dari cara yang kedua.


(38)

Kesantunan Positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, diterima dan seterusnya. Pemilihan bentuk- bentuk tuturan untuk menyelamatkan muka sering disebut strategi. Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan 15 strategi kesantunan positif yang digunakan oleh penutur.

Strategi 1: memperhatikan kesukaan, keinginan dan kebutuhan pendengar (Notice, attend to H : his interests, wants, needs, goods)

Pada umumnya hasil ini menyatakan bahwa penutur harus memperhatikan aspek-aspek dari kondisi pendengar (perubahan dapat juga diperhatikan, kepemilikan yang biasa, dan segala sesuatu yang pendengar ingin diperhatikan dan diakui oleh penutur). Misalnya biasa digunakan sebagai perbaikan FTA dalam bahasa Inggris.

Goodness, you cut your hair! (…) By the way, I came to borrow some flour

Ya ampun, kamu potong rambut! (…) Ngomong-ngomong, saya datang untuk meminjam tepung.


(39)

Strategi 2: membesar- besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada pendengar (Exaggerate: interests, symphaty with H)

Strategi ini sering dilakukan dengan intonasi yang melebih-lebihkan, tekanan, dan aspek lainnya dari prosodic.

What a fantastic garden you have! betapa luar biasa taman anda ini!

Wah bagus sekali bajunya. Kamu pintar sekali memilihnya. Masakanmu benar- benar enak. Hebat sekali kamu

Strategi 3: mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta (Intensify interest to H)

Cara lain bagi penutur untuk berkomunikasi dengan pendengar yakni dengan mengemukakan beberapa keinginannya untuk memperkuat minat yang ia miliki sendiri (S’s) yang berpengaruh terhadap percakapan, dengan ‘menciptakan suatu cerita yang bagus’. Ini merupakan ciri yang biasa dari percakapan positif yang sopan, karena menarik pendengar ke tengah-tengah kejadian yang dibicarakan, secara metaforis pada tingkat tertentu, sehingga meningkatkan minat intrinsik mereka terhadapnya. Misalnya

Saya turun tangga, dan kamu tahu apa yang saya lihat…semua berantakan


(40)

Strategi 4: menggunakan penanda identitas kelompok: bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang (Use in- group identity markers: addressed forms, dialect, jargon or slang)

Dengan menggunakan cara yang tidak terhingga untuk menyampaikan keanggotaan kelompok, penutur secara implisit dapat mengklaim bidang yang sama dengan pendengar yang disampaikan melalui definisi kelompok tersebut. Bentuk didalam bahasa Inggris untuk menyampaikan keanggotaan dalam kelompok termasuk nama-nama generik dan istilah-istilah seperti mac, mate, buddy, pal, honey, dear, duckie, luv, babe, Mom, blondie, brothe, sister, cutie, sweetheart, guys, fella. Didalam bahasa Indonesia seperti sebutan kawan, sayang, say,bo’, eke, ye,dsb.

Here mate, I was keeping that seat for a friend of mine… Kesini, kawan.

Bawakan saya kue ya, sayang

Strategi 5: mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran (seek agreement:safe topics, repetition)

Persetujuan dapat ditekankan dengan perulangan sebagian atau seluruh apa yang dimaksud oleh penutur dalam suatu percakapan. Untuk menunjukkan bahwa dia telah mendengar secara tepat apa yang diucapkan. Perulangan digunakan untuk menekankan persetujuan emosional dengan gagasan (atau menekankan minat dan kejutan).


(41)

A: John went to London this weekend! B : To London!

A: Saya sudah dua kali berobat ke dokter B: Oh..sudah dua kali ke dokter

Strategi 6: menghindari ketidak setujuan dengan berpura- pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong untuk kebaikan, kata berpagar (Avoid agreement: Token agreement, pseudo- agreement, white lies, hedging opinions) Token Agreement keinginan untuk sepakat atau menunjukkan kesepakatan terhadap pendengar juga mengacu pada mekanisme untuk berpura-pura menyetujui. Sack (1973) telah mengumpulkan sejumlah contoh dalam bahasa Inggris yang menandakan tingkat dimana penutur bisa menerima pemutaran gagasan mereka untuk memperlihatkan kesepakatan atau menyembunyikan ketidaksepakatan – untuk merespon gagasan sebelumnya dengan kata “Yes, but………” ketimbang mengingkari dengan kata “No”.

A: Have you got friends?

B: I have friends. So- called friends. I had friends. Let me put that way (tidak menjawab secara pasti ada atau tidak)

A: Gimana, enak kan tinggal di medan?


(42)

Saya tidak tahu, sepertinya, saya rasa setiap orang punya hak untuk menyampaikan pendapatnya

Strategi 7: menunjukkan hal- hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi dan presuposisi (Presuppose/raise/assert common ground: gossip, small talk)

Nilai dari waktu dan upaya yang digunakan oleh penutur bersama dengan pendengar sebagai tanda persahabatan atau minat atas dirinya, meningkatkan strategi tujuan FTA dengan membicarakan sedikit tentang topik yang tidak berhubungan. Dengan demikian penutur menekankan minat umumnya atas pendengar, dan menunjukkan bahwa dia belum ingin melihat bahwa pendengar melakukan FTA (misalnya, membuat permintaan), bahkan keinginannya untuk melakukan hal itu tampak jelas dilakukan dengan membawa sebuah hadiah. Strategi ini dilakukan untuk menghaluskan permintaan- setidaknya meminta kesediaan.

I had a really hard time learning to drive, didn’t I?

Ok now, let’s stop the chatter and get on with our little essays Gimana, kemarin malam kamu nonton bola kan?

Strategi 8: menggunakan lelucon (joke)

Karena lelucon didasarkan pada latar belakang pengetahuan dan nilai-nilai timbal-balik, maka lelucon dapat digunakan untuk menekankan latar


(43)

belakang yang dibagikan atau nilai-nilai yang dibagikan. Lelucon merupakan teknik dasar kesopanan positif. Lelucon dapat meminimalkan FTA atas suatu permintaan, misalnya dalam

How about lending me this old heap of junk? (H’s new Cadillac)

Motormu butut itu sebaiknya untukku saja (sepeda motor baru) Gimana kalau kamu pinjam kan saya kekasih barumu (sebenarnya mobil baru)

Strategi 9: menyatakan paham akan keinginan pendengar (Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants )

Satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa penutur dan pendengar bekerjasama, dan sehingga secara potensial meletakkan tekanan pada pendengar untuk bekerjasama dengan penutur, yang menilai atau menyiratkan pengetahuan akan keinginan pendengar dan kemauan untuk mencocokkan keinginan seseorang dengan mereka.

Look, I know you want the car back by 5.0, so shouldn’t I go to town now? (request)

Aku tahu kamu tidak suka pesta. Tapi yang ini lain. Kamu pasti suka. Datang ya?


(44)

Strategi 10: memberikan tawaran, janji (offer, promise)

Untuk meredakan ancaman potensial dari beberapa FTA, penutur dapat memilih untuk menekankan kerjasamanya dengan pendengar dengan cara yang lain. Ia dapat mengakui bahwa (dalam keadaan tertentu yang relevan) apapun yang diinginkan pendengar, yang diinginkan penutur darinya dan akan membantu pendengar untuk mendapatkannya. Penawaran dan janji merupakan akibat alami dari pemilihan strategi ini.

I’ll drop by sometime next week

Aku akan kirimkan uangnya besok. Jangan kuatir

Strategi 11: menunjukkan keoptimisan (be optimistic)

Penutur mengasumsikan bahwa pendengar menginginkan apa yang diinginkan penutur dan akan membantu dia untuk memperolehnya. Yakni, bagi penutur menjadi begitu berani untuk mengasumsikan pendengar akan berkerjasama dengan dia yang akan menghasilkan sebuah komitmen bahwa pendengar akan berkerjasama dengan penutur karena itu merupakan kepentingan yang saling menguntungkan.

Wait a minute, you haven’t brushed your hair! (as husband goes out of the door) (Istri ingin agar sang suami bekerjasama menuruti keinginannya agar suami menyisir rambutnya sebelum pergi)


(45)

Strategi 12: melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas (include both S and H in the activity)

Dengan menggunakan suatu bentuk inklusif ‘we’ atau ‘kita’ pada saat penutur memaksudan ‘you(kamu)’atau ‘me(saya)’, maka dia dapat mengasumsikan suatu kerjasama dan dapat meredakan FTA. Penekanan let’s dalam bahasa Inggris merupakan bentuk ‘we’ inklusif, sebagai contohnya.

Let’s have a cookie, then (i.e. me) Ayo kita makan malam

Sebaiknya kita istirahat dulu sebentar

Strategi 13: memberikan pertanyaan atau meminta alasan (Give or ask for reasons)

Aspek lainnya yang mencakup pendengar dalam kegiatan adalah penutur memberikan alasan mengapa dia menginginkan apa yang dia inginkan dengan menyertakan pendengar

Why not lend me your cottage for the weekend? Bagaimana kalau aku bantu kamu bawa tas mu? Kenapa kita tidak pergi saja ke pantai besok!


(46)

Strategi 14: menyatakan hubungan secara timbal balik (Assume or assert reciprocity)

Keberadaan kerjasama antara penutur dan pendengar dapat juga diklaim atau dipaksa dengan memberikan bukti dari hak timbal balik atau kewajiban yang terkandung diantara penutur dan pendengar. oleh sebab itu, penutur dapat mengatakan ‘I’ll do X for you if you do Y for me’, atau ‘I did X for you last week, so you do Y for me this week’ (atau sebaliknya).

Aku akan datang kerumahmu kalau kamu buatkan aku kue yang lezat

Strategi 15: memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama (give gifts to H (goods, symphaty, understanding, cooperation)

Penutur dapat memenuhi keinginan positif pendengar (penutur ingin memenuhi keinginan pendengar, pada tingkat tertentu) dengan memenuhi beberapa keinginan pendengar.

Saya yakin kamu bisa lulus ujian dengan baik

Saya turut menyesal atas apa yang terjadi padamu kemarin

2.1.8 Strategi Kesantunan Negatif

Kesantunan Negatif mengacu pada citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar ia dihargai dengan cara membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.


(47)

Menurut Brown dan Levinson (1987: 129), kesantunan negatif adalah jantung dari tingkah laku menghormati orang lain (the heart of respect behaviour).

Kesantunan positif meminimalkan jarak, sementara kesantunan negatif justru menciptakan jarak sosial. Kedua ahli merumuskan 5 mekanisme dalam strategi kesantunan negatif yaitu. a) langsung berbicara pada inti persoalan (be direct), b) tidak mengira- ngira (don’t presume/ assume), c) jangan memaksa (don’t coerce), d) komunikasikan keinginan untuk tidak menekan pendengar (communicate S’s want to not impinge on H), e) penuhi keinginan lain pendengar (redress other wants of H’s). Selanjutnya 5 mekanisme tersebut dibagi menjadi 10 strategi kesantunan negatif sebagai berikut.

Strategi 1: menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect) Ini merupakan mekanisme pertama dari kesantunan negatif yakni ‘be direct’, berbicara langsung tanpa bertele- tele. Strategi ini merupakan jalan keluar bagi dua keadaan yang saling bertentangan satu sama lain, yakni keinginan untuk tidak menekan penutur di satu sisi dan keinginan untuk menyatakan pesan secara langsung tanpa bertele- tele serta jelas maknanya disisi lain. Oleh karena itu, strategi ini menempuh cara penyampaian pesan secara tidak langsung namun makna pesan harus jelas dan tidak ambigu berdasarkan konteksnya. Contohnya, “bisakah tolong saya membukakan pintu?”. Sisipan kata ‘tolong’ pada kalimat permintaan diatas menunjukkan adanya keinginan untuk meminta langsung sekaligus keinginan untuk memberi ruang pilihan bagi penutur.


(48)

Strategi 2: pertanyaan, pagar (question, hedge)

Dalam strategi kesantunan ini jangan mengedepankan pra-anggapan dan jangan berasumsi bahwa segala hal yang terlibat dengan ancaman muka dipercaya oleh pendengar (Brown dan Levinson, 1987: 144). Hedge dapat berupa partikel tetapi juga berupa frasa seperti I wonder, wil you, if you allow me dsb. Didalam bahasa Indonesia seperti: menurut saya, menurut hemat kami, saya ingin tahu, sejak tadi saya bertanya- tanya, dsb.

Saya ingin tahu apakah bapak bisa menolong saya Menurut hemat kami rapat ini belum bisa dimulai

Strategi 3: bersikap pesimis (be pessimistic)

Didalam strategi kesantunan ini dapat memperbaiki keterancaman muka dengan cara secara eksplisit mengungkap kan keraguan mengenai apakah tindakan yang dimaksudkan penutur dapat dipenuhi pendengar (Brown dan Levinson, 1987: 173). Sebagai contoh penggunaan strategi tidak langsung dalam permohonan yang ditandai dengan penggunaan kata negasi: You couldn’t possibly, by any chance dalam kalimat You couldn’t possibly/ by any chance lend me you money. Didalam bahasa Indonesia seperti

Saya ingin minta tolong, tetapi saya takut anda tidak mau

Sebenarnya saya ingin datang, tetapi saya khawatir ayahmu akan marah kepada saya


(49)

Strategi 4: meminimalkan tekanan (minimize the imposition)

Strategi ini merupakan bentuk implementasi dari mekanisme kesantunan negatif ketiga yakni jangan memaksa. Pilihan strategi ini dipakai untuk mengurangi derajat keterancaman muka, misalnya didalam bahasa Inggris menyisipkan kata “just” dalam kalimat “I just want to ask if I can borrow your pen”. Didalam bahasa Indonesia seperti.

Kinerja anggota legislatif saat ini belumlah maksimal

Anda dapat saja berbicara seperti itu, tetapi kami belum tentu setuju Boleh saya mengganggu barang sebentar?

Strategi 5: memberikan penghormatan (give deference)

Menurut Brown dan Levinson (1987: 178) realisasi dari memberikan penghormatan terhadap pendengar ada dua jenis yang hubungan keduanya mirip dengan dua sisi mata uang. Pertama, penutur merendahkan dan mengabaikan dirinya dihadapan pendengar; kedua, penutur meninggikan posisi pendengar yang merupakan pemenuhan keinginan wajah positif manusia yakni untuk diperlakukan lebih tinggi.

Dari kedua cara ini, yang dilakukan penutur sebenarnya adalah memberikan penghormatan kepada pendengar. Penggunaan kata honorifics seperti Sir dalam kalimat I’m sorry, Sir. Didalam bahasa Indonesia dalam situasi penutur merendahkan diri dan sebaliknya meninggikan posisi pendengar, dapat dilihat beberapa contoh berikut.


(50)

Kami mengharapkan agar perbaikan jembatan ini segera selesai Saya memohon bantuan anda karena saya tahu anda orang baik

Strategi 6: meminta maaf (Apologize)

Strategi ini merupakan implementasi dari mekanisme kesantunan negatif yang keempat yakni mengkomunikasikan keinginan penutur untuk tidak menekan pendengar. Strategi memohon maaf dilakukan dengan cara menyampaikan keseganan penutur atau rasa maaf nya kepada pendengar. Hal ini dilakukan demi menjaga muka negatif pendengar. Terdapat empat cara yang dapat dilakukan dalam menyampaikan permohonan maaf yaitu 1)mengakui tekanan dan gangguan yang diberikan, 2) menunjukkan keseganan dan penggunaan ekspresi tertentu, 3) menyampaikan alasan yang memaksa penutur melakukan hal tersebut dan 4) memohon kemaafan dan memohon penutur menunda keterancaman mukanya dari ujaran yang disampaikan

Sebelumnya saya minta maaf atas peristiwa kemari

Maaf, saya mungkin salah, tetapi saya tidak bermaksud begitu

Strategi 7 : memakai bentuk impersonal (impersonalize S and H)

Strategi ini dilakukan dengan menyatakan seolah- olah diri penutur adalah orang lain, atau bukan penutur, atau bukan hanya penutur sendiri. Demikian juga pendengar yang dituju seolah- olah adalah pendengar yang lain atau justru hanya pendengar sendiri (only inclusive of H).


(51)

Didalam strategi ini memakai bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar. Strategi yang ditempuh adalah dengan menghindari penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’, menggandakan kata ganti ‘saya’ menjadi ‘kami’, mengganti kata ‘kamu’ dengan ‘pak’ atau ‘bu’. Didalam bahasa Inggris kalimat you shouldn’t do things like that mengganti subjek you sehingga menjadi One shouldn’t do things like that. Kemudian contoh lain untuk menghindari kata you adalah excuse me, sir dibandingkan dengan excuse me, you. Di dalam bahasa Indonesia seperti kalimat berikut.

Penanggulangan bencana alam sumatera barat kita harapkan segera Tampaknya komputer ini perlu diperbaiki

Strategi 8: menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum (state the FTA as a general rule)

Strategi ini menyatakan bahwa tindakan mengancam muka yang dilakukan bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan penutur terhadap pendengar, tetapi adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan dengan alasan peraturan atau kewajiban. Salah satu cirinya adalah dengan menghindari kata ganti sebagaimana perbandingan dua contoh berikut (Brown dan Levinson, 1987: 206).

Passangers will please refrain from flushing toilets on the train You will please refrain from flushing toilets on the train

Pilihan pertama yang digunakan didalam strategi ini. Didalam bahasa Indonesia diantaranya.


(52)

Penonton dilarang membawa makanan kedalam bioskop

Ciri kedua adalah dengan menggunakan kata kelompok bukan individu, seperti. The committee requests the President…

DPR berkewajiban menyelesaikan kasus Bank Century

Ciri ketiga adalah dengan menyatakan ujaran sebagai aturan yang berlaku bagi siapa saja termasuk penutur dan pendengar.

We don’t sit on tables, we sit on chairs, Johny Dilarang merokok ditempat ini

Strategi 9: nominalisasi (nominalize)

Strategi ini dilakukan dengan merubah kata tertentu menjadi kata benda. Menurut Brown dan Levinson (1987: 207) bahwa derajat kesantunan negatif adalah sejajar dengan derajat perubahan kata tertentu menjadi kata benda. Menurut kedua ahli, semakin dibendakan sebuah ujaran semakin jauh seorang aktor dari melakukan atau merasakan atau menjadi sesuatu. Sebagai konsekuensinya, bukan predikat yang menjadi atribut terhadap aktor tetapi aktor lah yang menjadi atribut terhadap tindakan. Contoh yang diberikan adalah sebagai berikut.

You performed well on the examinations and we…

Your performing well on the examinations impressed us… Your good performance on the examination impressed us…

Menurut kedua ahli kalimat ketiga lebih formal dibandingkan kalimat kedua, kalimat kedua lebih formal dibandingkan kalimat pertama. Kata performed yang diganti


(53)

menjadi performing dan kemudian performance merupakan strategi merubah kata kerja menjadi kata benda menjadikan ujaran ini termasuk didalam kategori nominalisasi yang menjadi bagian dari strategi kesantunan negatif. Didalam bahasa Indonesia dapat kita lihat sebagai berikut.

Kami sarankan untuk kelancaran setiap kegiatan agar…. Kami sarankan untuk melancarkan setiap kegiatan agar…

Pada kalimat diatas kata ‘kelancaran’ dipilih ketimbang kata ‘melancarkan’ yang merupakan nomina.

Strategi 10: menyatakan diri berhutang budi (go on record as incurring a debt, or as not indebting H)

Strategi ini merupakan bagian dari mekanisme kelima dari kesantunan negatif dan disebut sebagai strategi kesantunan negatif tertinggi yakni memenuhi keinginan pendengar untuk dihormati. Didalam strategi ini intinya adalah seorang penutur, ketika melakukan tindakan pengancaman muka, menyatakan diri berhutang budi kepada pendengar dan bahkan menambahi hutang budi yang telah ada sebelumnya (Brown dan Levinson, 1987: 209). Contoh yang diberikan.

I’d be eternally grateful if you would… I’ll never be able to repay you if you…

Dari contoh diatas penutur meletakkan dirinya berhutang budi kepada pendengar karena telah melakukan kesulitan baginya.


(54)

Sebaliknya dinyatakan kepada lawan bicara dimana penutur menyatakan bahwa pendengar tidak berhutang budi sama sekali kepadanya. Contoh ujaran ini sebagai berikut.

I could easily do it for you

It wouldn’t be any trouble; I have to go right by there anyway…

Dari kalimat diatas penutur menyatakan bahwa pendengar sama sekali tidak berhutang budi padanya, sebab apa yang dilakukannya tidak menimbulkan kesulitan sama sekali. Didalam bahasa Indonesia, beberapa contoh sebagai berikut.

Saya tidak akan pernah bisa membalas budi baikmu jika kamu bisa membawakan buku ini untukku

Saya akan berterima kasih sekali padamu jika kamu datang ke pestaku

Tidak jadi masalah, saya senang melakukannya Saya tidak keberatan untuk membantumu

2.1.9 Etika Berbicara didalam Islam

Berbicara adalah salah satu sarana komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Al-qur’an disebutkan bahwa kemampuan berbicara adalah fitrah manusia.

“Tuhan yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Alqur’an. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara” (QS Ar Rahmaan (55): 1-4).


(55)

Dalam berbicara hendaknya diperhatikan beberapa etika yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan. Tidak semua orang yang berbicara itu memperhatikan etika dalam menyampaikan pesan melalui pembicaraan. Begitu pula khususnya bagi setiap muslim harus memperhatikan etika berbicara yang juga berkaitan dengan kesantunan berbahasa seorang muslim.

Dalam salah satu hadis disebutkan “muslim yang baik itu adalah muslim yang menyelamatkan muslim lainnya dari gangguan tangan maupun lisannnya” (HR Bukhari). Keyakinan bahwa diri kita tidak boleh menjadi seseorang yang merugikan orang lain, harus lah selalu dihujamkan kedalam hati.Termasuk didalamnya adalah dalam berbicara.

Dalam hal berbicara, Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja, yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengandung bahaya. Selanjutnya Imam Al- Ghazali menyebutkan “pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan”. Beberapa etika berbicara seorang muslim dapat dilihat sebagai berikut.

(1) Hendaknya pembicaraan selalu di dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia." [QS An Nisaa’ (4): 114].


(56)

Bagi setiap umat manusia didunia, tidak perduli beragama apapun mengajarkan kebaikan termasuk juga dalam hal berbicara. Topik pembicaraan harus baik, tujuan pembicaraan harus baik dan memberi manfaat kebaikan.

(2) Sebaiknya jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah SAW bersabda“Termasuk kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” [HR Ahmad dan Ibnu Majah]. Salah satu yang tidak berguna dalam pembicaraan, dan bahkan bisa merugikan diri sendiri yang perlu kita hindari adalah bergunjing (ghibah) dan memfitnah. Bergaul dengan sesama memang baik dalam kaitan silaturahmi, dan orang bijak akan membatasi memasuki suatu kumpulan untuk menghindari ‘mulut yang berbahaya’.

(3) Hendaknya orang yang berbicara tidak membicarakan semua apa yang pernah didengar, sebab bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.” [HR Muslim]. (4) Menghindari perdebatan dan saling membantah, meskipun kita berada di

pihak yang benar, dan menjauhi perkataan dusta meskipun bercanda. Rasulullah SAW bersabda ”Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) meskipun ia


(57)

benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta meskipun bercanda.” [HR Abu Daud].

(5) Berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah RA menuturka "Sesungguhnya Nabi SAW apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya." Karena jika berbicara dengan tergesa-gesa, maka bisa mengakibatkan salah ucap, pembicaraan menjadi kurang jelas, dan bisa menimbulkan salah paham. (6) Hindari memotong pembicaraan. Hendaknya kita memberikan kesempatan

yang wajar kepada seseorang yang menguraikan sesuatu dengan tuntas. Bila ada hal-hal yang tidak sesuai atau perlu dikoreksi, lakukankah kemudian setelah selesai uraian itu, bukan dengan cara memotong pembicaraan untuk terus berbicara. Memotong pembicaraan adalah salah satu pengejawantahan dari sifat suka banyak bicara dan berpura-pura fasih, yang berarti pula kesombongan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang mutafaihiqun. Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa arti mutafaihiqun? Rasulullah menjawab: Orang-orang yang sombong." [HR Tirmidzi]. Jadi jika kita ingin mengkoreksi isi pembicaraan seseorang, hendaknya kita lakukanlah koreksi atau menyela pembicaraan dengan cara yang baik dan pada saat yang tepat di sela-sela pembicaraan.


(58)

(7) Janganlah berbicara bohong. Cukup banyak kerugian bagi pembohong yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadis, antara lain. ● “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. [QS An Nahl (16): 105]. “Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang keterlaluan dan suka berbohong”. [QS Al Ghaafir (40): 28]. ”Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." [HR Muslim]. “Celaka bagi orang yang bercerita kepada satu kaum tentang kisah bohong dengan maksud agar mereka tertawa. Celakalah dia, celaka dia.” [HR Abu Dawud dan Ahmad]. "Suatu khianat besar bila kamu berbicara kepada kawanmu dan dia mempercayai kamu sepenuhnya padahal dalam pembicaraan itu kamu berbohong kepadanya." [HR Ahmad dan Abu Dawud].

(8) Hindari berbicara yang bernuansa penghinaan, ucapan apapun yang bersifat merendahkan, mengejek dan menghina seseorang atau kelompoknya dalam bentuk apapun, baik tentang kepribadian, postur tubuh, maupun keadaan ekonomi-sosialnya. Tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan melakukan celaan apalagi dengan sikap penghinaan, dan merendahkan orang lain. Akibat yang muncul dari perbuatan ini adalah sakit hati dan dendam. Untuk itu, berusahalah menahan diri dari untuk tidak memberikan komentar


(59)

atau bersikap sembarangan yang bisa membuat orang lain merasa direndahkan.

(9) Hindari ikut campur urusan pribadi orang lain, apalagi kalau memang kita tidak berkepentingan dan tidak memberikan manfaat. Setiap orang pasti mempunyai masalah pribadi yang sensitif. Jika kita usik batas pribadi orang lain, bisa menimbulkan ketidaksenangan terhadap kita. Maka janganlah kita usil, menanyakan tentang hutang, aib, masa lalu, kekurangan orangtua atau masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pribadi orang lain.

(10) Jangan mengungkit masa lalu tentang kesalahan, aib atau kekurangan seseorang. Siapa tahu kelamnya masa lalu itu sudah terhapus melalui taubatan nasuha-nya. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki kesalahan, aib, atau kekurangan, yang ingin disembunyikannya, dan kitapun memiliknya. Maka, janganlah pernah ada keinginan untuk mengungkit masa lalu, apalagi menyebarkan luaskannya. Hal ini sama halnya dengan mengajak bermusuhan karena mencemarkan kekurangannya. Belajarlah untuk bersama-sama memulai lembaran-lembaran baru yang lebih putih bersih dan bersemangat untuk mengisi lembaran baru tersebut dengan kebaikan

(11) Jangan membela musuh seseorang. Setiap orang mempunyai kawan yang disukai. Jika membela musuhnya, kita bisa dianggap bergabung dengan musuhnya itu, dan sebaliknya janganlah mencaci kawannya, bisa diartikan kita juga sedang mencaci dirinya. Karena itu hendaknya kita berhati-hati berbicara dengan seseorang antara lain dengan mencoba mengetahui terlebih


(60)

dahulu siapa kawan atau musuhnya, dan bersikaplah netral sepanjang kita menghendaki kebaikan bagi semua pihak dan sadar bahwa untuk berubah kita harus siap menjalani proses dan tahapan. Dalam bergaul, yang harus kita prioritaskan adalah memperbanyak teman, bukan memperbanyak musuh. (12) Jangan merusak kegembiraan orang lain atau orang yang sedang bersuka-cita.

Misalnya ada seseorang yang merasa gembira mendapat hadiah barang bagus dari luar negeri, padahal kita tahu bahwa hadiah tersebut buatan Indonesia yang dijual di pasaran dunia, maka tidak perlu kita sampaikan fakta tersebut hanya karena ingin bicara. Biarkan dia bergembira dengan hadiah tersebut (13) Hindari membandingkan, baik berupa jasa, kebaikan, penampilan, harta dan

kedudukan seseorang dengan orang lain, yang jika mendengarnya, akan menyebabkan dia merasa tidak berharga atau diremehkan, menjadi rendah diri dan terhina. Termasuk apabila seseorang itu sudah berumahtangga, janganlah sekali-kali membandingkan isteri / suami dengan perempuan / laki-laki lain.

(14) Pandai-pandailah dalam mengendalikan amarah. Bila kita marah, maka waspadalah. Kemarahan yang tidak terkendali biasanya menghasilkan kata-kata dan perlaku keji yang bisa melukai orang lain. Tentu perbuatan ini akan menghancurkan hubungan di lingkungan manapun. Maka, sudah seharusnya kita melatih diri untuk mengendalikan amarah sekuat upaya. Jika kemarahan itu tetap terjadi, pilihlah kata-kata yang paling tidak melukai. Sederhanakanlah kata-kata itu. Persingkat kemarahan dan jangan malu untuk


(1)

AA:

“ya saya pikir sangat menarik ya. Kita bisa lihat ya. Jadi biar tidak ada perbedaan….itu yang pertama ya. Dan itu di kemukakan secara ya…”

Tuturan di atas dengan melakukan perulangan kata ‘ya’ yang banyak sekali. Bukan merupakan strategi santun bahasa, tetapi merupakan gaya bahasa seseorang yang menjadi ciri berbicara seseorang. Ciri ini tidak di temui pada pelaku debat yang lain.


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian di temukan beberapa simpulan sebagai berikut.

(1) Strategi kesantunan berbahasa pelaku debat direpresentasikan melalui strategi kesantunan positif, yaitu: (1) mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta; (2) penggunaan penanda identitas kelompok; (3) mencari persetujuan; (4) menghindari ketidaksetujuan dengan berpura- pura setuju; (5) menunjukkan kesamaan; (6) menggunakan lelucon; (7) paham akan keinginan pendengar; (8) memberikan tawaran dan berjanji; (9) melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas, sedangkan wujud strategi kesantunan negatif direpresentasikan melalui: (1) menggunakan ujaran tidak langsung; (2) penggunaan kata berpagar; (3) meminimalkan tekanan; (4) memberikan penghormatan; (5) memakai bentuk impersonal; (6) menyatakan tindak pengancaman muka sebagai aturan umum; (7) nominalisasi.

(2) Apabila di bandingkan antara strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif di dalam temuan penelitian ini, tampak bahwa strategi meminimalkan jarak (kesantunan positif) lebih dominan di bandingkan strategi menciptakan jarak (kesantunan negatif). Dari kajian budaya, terdapat keselarasan bahwa strategi distancing memang lebih berakar pada budaya


(3)

Eropa, sementara mendekatkan jarak berakar pada budaya Asia, termasuk juga Indonesia.

(3) Dengan mengaitkan temuan penelitian dengan etika berbicara di dalam Islam, secara umum dapat di katakan tidak terdapat banyak kesamaan antara strategi kesantunan positif, strategi kesantunan negatif Brown dan Levinson dengan etika berbicara Al- Ghazali. Dari 15 etika berbicara di dalam Islam, terdapat 3 kesamaan yaitu etika ke-2 sama dengan strategi kesantunan ke- 3 (SKP-3). Kemudian etika ke-8 dengan SKP-8, kemudian etika ke- 12 dengan SKP- 6 (4) Kajian etika berbicara tidak begitu nampak parameter linguistik nya yaitu

aturan linguistik untuk tuturan verbal nya. Yang tampak adalah konteks situasi non verbal, seperti etika berbicara untuk tidak tergesa- gesa dalam berbicara, tidak memotong pembicaraan dan sebagainya, tidak akan di temukan unsur verbal nya, tetapi unsur non verbal nya dapat di lihat pada saat acara debat tersebut.

(5) Dari hasil penelitian SKP yang paling menonjol untuk di cermati adalah tentang perilaku bahasa atau pun gaya bahasa penutur, seperti seringnya melakukan perulangan kata. Untuk sebagian di kategorikan kesantunan berbahasa, tetapi juga sebagian di kategorikan sebagai perilaku normal di dalam tuturan.


(4)

5.2 Saran

Sehubungan dengan simpulan di atas, beberapa saran di sampaikan sebagai berikut.

(1) Para pelaku debat hendaknya memperhatikan penggunaan bahasa di dalam acara debat agar tidak terjadi kesalahpahaman dan perselisihan, terutama berusaha untuk menggunakan bahasa yang santun

(2) Para pelaku debat yang muslim hendaknya juga memperhatikan penggunaan bahasa yang santun dengan mengetahui dan mempelajari etika berbicara di dalam Islam, sehingga dapat dijadikan pedoman berbicara dan berbahasa tidak hanya pada saat debat, tetapi juga dalam kehidupan sehari- hari

(3) Para pembaca yang menaruh perhatian pada kajian pragmatik, khususnya tentang kesantunan berbahasa disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dalam berbagai konteks situasi tuturan, seperti pada orasi, program acara radio, seminar, dan sebagainya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya. Brown, F dan Levinson, S. 1987.Politeness, Some Universals of Language Usage.

London: Cambridge University Press.

Chaer, A. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A dan Agustine, L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Djajasudarma, F. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian Dan Kajian. Bandung: Eresco.

Hasan, Kailani. 2001. Butur- butir Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Riau: Unri Press.

Kushartanti, Yuwono, U dan Lauder, M. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Minda, Sri. 2008. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwaki lan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Disertasi Universitas Suma tera Utara.

Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

M.S, Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muslich, M. 2006. Kesantunan Berbahasa. Malang.

Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(6)

Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.

Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Saragih, Amrin. 2008. Pragmatik. Medan, Program Pascasarjana USU. Sibarani, R. 2004. Antropolinguistik. Medan: PODA Medan.

Simpen, I Wayan. 2008. Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa Kambera Di Sumba Timur. Disertasi Universitas Udayana Denpasar.

Sumarsono dan Partana, P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA & Pustaka Pelajar.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.

Thomas, L dan Wareing, S. 2007. Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Yogyakar ta: Pustaka Pelajar.

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas- Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yule, G. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Terjemahan). ………Kesantunan Berbahasa.

Http://www.google.com. diakses 8 juni 2009

………Tanggapan Debat Di Televisi. Http://www.google.com. Diakses 8 juni 2009