Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Acara Debat TV One serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA

(1)

BAHASA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh: Rully Pratistya 1111013000069

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

PELANGGARAN

PRINSIP

KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR

DALAM ACARA

DEBATTV

ONE

SERTA

IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

P ersyaratan Mempero leh Gelar S arj ana Pendidikan

Oleh

RULLY PRATISTYA NIM: 1111013000069

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

JURUSAN

PENDIDIKAI{ BAHASA DAN

SASTRA

INDONESIA

FAKULTAS

ILMU

TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(3)

di

SMA" disusun oleh Rully Pratistya, NIM 111013000069, diajukan kepada Fakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tarrggal 15 Oktober 2015 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia.

Jakart4 20 Oktober 2015 Panitian Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua

Jurusan/Prodi)

Tanggal

L3t

Makvqn Qubuki.

M.frum.

,.{.lg.Li*,s-NiP. 19800305 200901 1 015

Sekretaris Panitia (Sekretaris JurusailItod$

glZ

,

Dona Aii Karunia Putra"

M.A

..(.\?...1*ts

NrP. 19840409201101 1 015

Penguji

I

Dr. Nuryani. M.A..

NIP. 19820628 2009t2 2 003 Penguji II

Dr. EIvi Susanti. M.Pd.

NrP. 19680801 200801 2 016

a$,?''


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

:RullYPratistYa

Tempat/Tgl.Lahir : Bandung, 22 Mei 1992

NIM

: 1111013000069

Jurusan I

Prodi

: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul

Skripsi

: *Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Acara DebatTY One serta Implikasinya

terhadap Pembelajarau Bahas* Indonesia di SMII.

ksflr Pemhimhing

:

Duru,qii Kanmia Putra"

tt{'A

dengan ini menyatakan bahwa skripai yang $a-va buat benar-benar hasil karya sendiri

dan saya bertanggung jawab secara akademis atas *pa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syatatmenempuh wisuda.

RuttyPmtistya

NrM-

IIlt$t3ffi0069

Jakarta" 28 Oktofuer 201 5


(5)

Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dona Aji Karunia Putra, M.A.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara Debat TV One dengan judul Adu

Aksi KPK−Polri. Penelitian ini pun mendeskripsikan implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip kerja sama tersebut serta fungsi dari implikatur itu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori prinsip kerja sama dan implikatur yang dikemukakan oleh H.P. Grice. Prinsip kerja sama dan implikatur merupakan bagian dari ilmu pragmatik. Percakapan sebagai objek penelitian dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat penelitian kualitatif. Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan menjelaskan secara apa adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi selama percakapan disesuaikan dengan sasaran dan tujuan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa maksim yang sering dilanggar dalam format debat TV One yaitu maksim kuantitas dengan jumlah tujuh pelanggaran. Urutan kedua ditempati oleh maksim relevansi dengan jumlah tiga pelanggaran. Berikutnya, yaitu maksim cara dengan jumlah dua pelanggaran. Maksim di urutan terakhir yaitu maksim kualitas dengan jumlah satu pelanggaran. Penelitian ini pun menemukan adanya pelanggaran maksim gabungan, yaitu pelanggaran maksim cara dan maksim kualitas serta pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara. Masing-masing pelanggaran tersebut berjumlah satu. Jumlah keseluruhan pelanggaran maksim yaitu lima belas.

Adapun fungsi implikatur yang paling banyak muncul yaitu untuk menyatakan, dengan jumlah enam tuturan. Posisi kedua ditempati oleh fungsi implikatur untuk menyarankan dengan jumlah lima tuturan. Berikutnya, yaitu fungsi implikatur untuk menegaskan dengan jumlah tiga tuturan. Terakhir, yaitu fungsi implikatur untuk menyindir dengan jumlah satu tuturan.

Debat dapat digunakan sebagai metode pembelajaran, pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maupun pada Kurikulum 2013 di tingkat SMA khususnya kelas X. Melalui hasil penelitian ini, guru dapat menjelaskan cara membangun komunikasi yang efektif dan santun dalam debat. Guru dapat juga menjelaskan kesalahan-kesalahan yang tidak boleh dilakukan dalam debat. Peserta didik pun menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi dan pembelajaran dalam mengembangkan keterampilan berbicara, khususnya debat.

Kata Kunci : Pelanggaran, Prinsip Kerja Sama, Implikatur, Debat TV One, Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA


(6)

Indonesian Language and Literature, Faculty of Education and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Dona Aji Karunia Putra, M.A.

This research to describe forms violation of the cooperative principle in a

Debate TV One with the tittle “Adu Aksi KPK−Polri”. In addition, this research

also describes implicatures contained in violation of the cooperative principle as well as the function of implicature it.

The theory used in this research is the theory of the cooperative principle and implicature suggested by H.P. Grice. The cooperative principle and implicature is part of the pragmatics. Conversation as an object in this research, accordingly this research is qualitative research. The design of this research is descriptive to explain what the events that occurred during a conversation aligned with the goals and objectives of research.

The result showed that maxim is often violated in a debate format TV One is maxim of quantity with seven violated. The second sequence is occupied by maxim of relevance with three violated. Furthermore, maxim of manner with two violated. The latter is maxim of quality with one violated. In this research found also the combination maxims violation that is the violated maxim of manner and maxim of quality and then the violated maxim of quantity and maxim of manner. Each of these violations amounted one violated.

As for the function implicature often in this research is purpose to declare with amount is six utterances. The second position is purpose to recommend with amount is five utterances. Furthermore, the function of implicature is purpose to emphasize with amount is three utterances. The last, is purpose to quip with amount is one utterances.

The research result can be used in the learning Indonesian language Senior High School, especially in the first class of Senior High School. Debate can be used as a learning method, in the KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) or in Kurikulum 2013. Through this research, the teacher can explain how to build manners an effective communications and polite in debate. Then, The teacher can explain the mistakes that should not be done in the debate. The students also make this research result as a reference and learning in developing speaking skills, especially the debate.

Keywords: Violation, Cooperative Principle, Implicature, Debate TV One, Learning Indonesian Language in Senior High School


(7)

i

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas sifat rahman dan rahim-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Acara Debat TV One serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Selawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Baginda Nabi Muhammad SAW, dan kesejahteraan serta keberkahan semoga selalu menaungi keluarga Beliau, para sahabatnya, dan para umatnya yang selalu berharap syafa‟at darinya.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, saran, materi, doa serta motivasi dari proses hingga terselesaikannya skripsi ini. Adapun pihak-pihak tersebut yaitu:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas kesabaran Bapak dalam membimbing saya. Terima kasih atas ilmu dan saran-saran yang diberikan.

4. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Dosen Penasehat Akademik. Terima kasih atas waktu yang selalu diluangkan kepada penulis untuk berkonsultasi permasalahan dan kegiatan perkuliahan.

5. Kepada segenap Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Dosen FITK yang telah memberikan ilmunya sehingga ilmu tersebut dapat turut serta dalam membantu pembuatan skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis, yaitu Endang Sukendar, MM. dan Kokom Komariyah, BA., yang selalu mencurahkan kasih sayangnya dan mendoakan penulis tiada henti.


(8)

ii

7. Kedua kakak penulis, yaitu Rendy Prasetya Supandar, SE. dan Riza Primajaya Sutandar, ST., yang banyak memberi bantuan materi dan memberi motivasi untuk menyelesaikan studi tepat waktu dan atau secepatnya.

8. Sahabat terbaik penulis, yaitu Muhammad Fikri Firdaus yang banyak membantu dalam pengeditan skripsi serta selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi S1 agar dapat menjadi anak band kembali dan pensiun dini menjadi guru (kemungkinan bisa kembali jadi guru lagi kalau gagal jadi anak band).

9. Kepada Devi Aristiyani dan Pratiwi, terima kasih banyak atas pinjaman buku-buku pragmatik dan metode penelitian sehingga penulis tidak kesusahan dalam menyelesaikan Bab 2 dan Bab 3. 10.Kepada teman-teman yang istimewa bagi penulis, yaitu Ustad Fauzi,

Daeng Sofyan, Bang Aris, Wenti Frisca Septiani Putri terima kasih telah menjadi teman yang selalu ada untuk penulis menyampaikan keluh kesah selama menyusun skripsi ini.

Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal kebaikan dan memberikan balasan kebaikan pula atas bantuan yang diberikan kepada penulis. Aaamiin allahumma aamiin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat digunakan dan bermanfaat.

Jakarta, 07 Oktober 2015


(9)

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Pragmatik ... 9

B. Situasi Tutur ... 15

C. Prinsip Kerja Sama ... 19

D. Implikatur ... 23

E. Implikatur Percakapan ... 25

F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat SMA... 34

G. Debat ... 38

H. Penelitian yang Relevan ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian ... 48

B. Desain Penelitian ... 48

C. Prosedur Pengumpulan Data ... 49

D. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur ... 52

1. Pelanggaran Maksim Kuantitas... 55

2. Pelanggaran Maksim kualitas ... 63

3. Pelanggaran Maksim Relevansi ... 65

4. Pelanggaran Maksim Cara ... 69

5. Pelanggaran Maksim Cara dan Kualitas ... 73


(10)

iv

B. Fungsi Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ... 80

1. Menyatakan ... 80

2. Menyarankan ... 86

3. Menegaskan... 92

4. Menyindir ... 95

C. Implikasi Acara Debat TV One dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 98

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 101

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 : RPP

Lampiran 2 : Transkripsi Percakapan Debat TV OneAdu Aksi

KPK−Polri


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan interaksi dengan media bahasa merupakan kegiatan yang mutlak dilakukan oleh manusia. Dengan adanya interaksi dengan media bahasa, setiap individu dapat menyampaikan perasaan dan sesuatu yang diinginkannya. Komunikasi yang dibangun oleh seorang individu harus bisa dipahami oleh lawan bicaranya atau petuturnya karena hal tersebut merupakan syarat sukses tersampaikannya perasaan atau hal yang ingin individu tersebut sampaikan.

Begitupun sebaliknya petutur ketika kemudian balik memberi tanggapan (berarti dalam posisi ini menjadi penutur) haruslah dimengerti dan dipahami atau sifatnya mengakomodasi tujuan dari komunikasi yang terlebih dahulu dibangun oleh kawan bicaranya. Inilah yang kemudian dinamakan cooperative principle atau dalam bahasa Indonesianya Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan oleh seorang filsuf dan juga linguis yaitu H. Paul Grice.

H. Paul Grice mengemukakan gagasan prinsip kerja sama dan implikatur pertama kali pada saat mengisi kuliah umum di Universitas Harvard pada tahun 1967. Kemudian, gagasannya tersebut dimasukkan bersama dengan tulisan para penulis lainnya dalam satu buku. Buku antologi tersebut diberi judul Syntax and Semantics, Volume 3 : Speech Acts dengan Peter Cole dan Jerry L. Morgan sebagai editor pada buku tersebut.

Menurut Grice, komunikasi akan berjalan sesuai harapan jika para partisipan dalam komunikasi tersebut mematuhi empat prinsip atau maksim yang dicetuskannya. Empat maksim tersebut yaitu maksim kualitas, kuantitas, hubungan, dan pelaksanaan. Secara singkat dari empat maksim tersebut, Grice menuntut setiap partisipan untuk; memberikan kontribusi seperti yang diperlukan, pada saat yang diperlukan,


(12)

berdasarkan tujuan yang disepakati atau arah pergantian percakapan yang anda terlibat di dalamnya.

Prinsip kerja sama juga dibutuhkan dalam debat karena debat juga merupakan salah satu bentuk interaksi komunikasi. Pada awalnya debat merupakan wahana adu argumentasi antara dua kelompok yang memiliki perspektif berbeda dalam sebuah tema atau topik. Debat pada awalnya berasal dari lingkup parlemen. Pihak pemerintah akan berhadapan dengan pihak oposisi (pihak yang berseberangan dengan pemerintah) untuk membahas suatu tema atau topik. Pihak pemerintah berada di pihak afirmatif atau selaku pihak yang mendukung tema atau topik tersebut. Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, pihak oposisi berada di pihak yang negatif terhadap tema atau topik tersebut.

Debat tidak hanya ada di parlemen, melainkan juga digunakan di kampus dan di sekolah (umumnya sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama). Format debat bisa beragam, misalnya debat yang ada di parlemen memiliki format debat yang berbeda-beda. Format tersebut yaitu; Australasian Parliamentary System, British Parliamentary System dan Asia Parliamentary System. Selain format debat di parlemen, ada juga format debat Karl Popper dan World Schools.

Selain itu, debat juga sering dijadikan sebuah acara untuk membahas suatu topik atau tema yang sedang menjadi sorotan utama publik. Salah satunya yaitu acara Debat di salah satu TV swasta yaitu di TV One. Acara Debat TV One berlangsung dan tayang setiap hari Senin dimulai pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB. Awalnya, acara Debat TV One dipimpin oleh dua pembawa acara yang masing-masing pembawa acara berada di salah satu pihak yang berdebat. Kini acara Debat TV One hanya dipandu oleh satu orang pembawa acara yang juga bertindak sebagai moderator.

Acara Debat TV One diikuti oleh dua tim atau dua kelompok yang masing-masing tim terdiri dari dua orang. Sama halnya dengan debat pada umumnya tentu kedua tim ini memiliki posisi yang berseberangan


(13)

terhadap tema atau topik yang diajukan. Kedua tim yang berseberangan dan berhadapan ini nantinya akan mengungkapkan argumennya masing-masing terhadap tema atau topik yang diajukan tersebut. Moderator bertugas memimpin dan mengatur jalannya debat.

Pada debat di TV One tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh seorang moderator kepada setiap pembicara dalam tim untuk menyampaikan argumentasinya ketika menjawab pertanyaan. Moderator pun terkadang memotong pembicaraan di tengah jalan dengan memberikan pertanyaan sebagai tanggapan/penegas dari informasi yang sudah disampaikan oleh pembicara. Sanggahan pun seringkali dilakukan ketika tim lawan sedang dalam posisi bicara (diberikan hak oleh moderator untuk menyampaikan argumentasi) sehingga membuat moderator harus menghentikan pihak tersebut dan mempersilakan kembali pihak yang sedang diberikan hak untuk menyampaikan argumentasi melanjutkan argumentasinya. Hal itu dilakukan hingga salah satu tim dapat meruntuhkan argumen lawannya serta lebih meyakinkan dan mempengaruhi penonton dengan argumen yang dibangunnya terhadap tema atau topik yang diajukan tersebut.

Lantas timbul pertanyaan, bagaimana kemudian prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh H. Paul Grice dijalankan oleh para individu tersebut di dalam arena perdebatan. Sejatinya di dalam praktik berkomunikasi tidak sepenuhnya prinsip kerja sama itu dipatuhi. Partisipan dalam sebuah interaksi komunikasi terkadang melanggar ketetapan prinsip kerja sama tersebut. Melanggar sebuah prinsip kerja sama bukanlah hal yang tidak boleh dilakukan dikarenakan prinsip kerja sama sifatnya aturan atau pedoman.

Pada hakikatnya setiap tuturan menghasilkan implikatur atau dapat mengimplikasikan tuturan lain begitupun halnya dengan pelanggaran prinsip kerja sama yang dapat menghasilkan implikatur atau dapat mengimplikasikan tuturan lain. Ada alasan yang membuat seorang partisipan melanggar ketetapan prinsip kerja sama. Alasan-alasan tersebut


(14)

di antaranya terkait aspek etika atau kesopanan, tidak ingin menyampaikan maksudnya secara terang-terangan, dan ingin menyindir secara halus.

Salah satu tema yang dibahas dalam acara Debat TV One yaitu berkenaan dengan KPK dan Polri. Pada pertengahan hingga menjelang akhir Januari semua perhatian masyarakat tertuju kepada KPK dan Polri. Pada awalnya hanya soal penetapan tersangka calon Kapolri yaitu Budi Gunawan oleh KPK hingga kemudian asumsi berkembang terjadi kisruh

atau meminjam istilah Presiden terjadi “gesekan” di kedua institusi ini

setelah ditetapkannya salah satu Komisioner KPK yaitu Bambang Widjojanto menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri.

Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait

“dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian”.1 Pada kasus lainnya, Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri terkait dugaan memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan tidak benar dalam sidang perkara sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi.

Beranjak dari situlah kemudian peneliti tergerak untuk melakukan penelitian terhadap acara Debat dengan tema tersebut. Dalam penelitian kali ini peneliti mengambil edisi yang pertama atau judul yang pertama (tema tentang KPK dan Polri) yaitu Adu Aksi KPK−Polri yang berlangsung dan tayang pada hari Senin, 26 Januari 2015. Alasannya yaitu sebagai dasar pengetahuan terhadap sesuatu yang terjadi antara KPK dan Polri sehingga diharapkan ini menjadi fondasi awal pengetahuan bagi peneliti serta pembaca yang terjadi antara KPK dan Polri.

Peneliti tergerak ingin mengetahui kepatuhan para narasumber tersebut terhadap prinsip kerja sama. Jika terjadi pelanggaran prinsip kerja sama maka apa implikatur atau hal yang diimplikasikan dalam

1

RYO dkk, “Presiden Pertimbangkan KPK” , Surat Kabar Harian Kompas, 14 Januari, 2015, Hlm. 1 dan Hlm. 15 kol 5-7


(15)

pelanggaran tersebut. Tentunya ini akan dapat menambah informasi sehingga mengetahui lebih dalam hal-hal yang terjadi dalam arena perdebatan tersebut khususnya tentang yang terjadi antara KPK dan Polri, suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat luas. Disertakan pula fungsi implikatur dari pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan. Pada akhirnya akan dapat diketahui maksim yang sering dilanggar oleh partisipan dalam interaksi komunikasi debat khususnya model debat TV One, fungsi implikatur yang paling banyak digunakan serta kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam interaksi komunikasi debat tersebut.

Hal ini (penelitian) nantinya turut serta dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan, khusunya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Debat merupakan sarana yang baik bagi peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuannya, tidak hanya dari aspek retorikanya atau kemampuan berbicaranya melainkan juga melatih daya analisa berpikirnya ; logis, sistematis, dan kritis. Debat bisa diimplementasikan baik pada Kurikulum 2013 maupun pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Pada Kurikulum 2013 khususnya pada materi pelajaran kelas X SMA ada materi tentang teks eksposisi yang menuntut peserta didik mampu membuat teks eksposisi dengan struktur teks eksposisi yaitu ; pernyataan pendapat (tesis)^argumentasi^penegasan ulang pendapat. Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terdapat juga pada materi pelajaran kelas X SMA yaitu materi tentang paragraf argumentatif.

Jadi ketika metode debat dipakai sebagai metode pembelajaran maka peserta didik tidak hanya sekadar mampu membuat teks eksposisi atau paragraf argumentasi secara tulisan melainkan mampu mengemukakan pendapat dan argumentasi yang ditulisnya itu serta mempertanggungjawabkan dan meyakinkan bahwa pendapat dan argumentasinya itulah yang paling logis dan ideal. Mengingat suatu permasalahan yang terjadi atau yang ada dalam realitas kehidupan tidak


(16)

mungkin peserta didik seragam dan serempak, pasti di dalamnya terdapat perbedaan pendapat dan pandangan.

Dari acara Debat TV One inilah peserta didik dapat melihat dan belajar cara membangun sebuah argumentasi terhadap sebuah pandangan yang diyakini. Selain hal tersebut peserta didik juga dapat belajar cara berkomunikasi yang efektif dan santun. Peserta didik juga dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan dalam debat yang tentunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun teman kelompok dalam suatu debat yang akan dilakukan oleh peserta didik nantinya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut:

1. Adanya bentuk-bentuk pematuhan prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

2. Adanya bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

3. Adanya Implikatur yang terkandung dalam bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

4. Adanya implikatur konvensional, implikatur skala, dan hedges atau pembatas dalam tuturan para partisipan Debat TV One

5. Adanya fungsi implikatur dalam bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dilakukan pembatasan masalah sesuai dengan apa yang menjadi sasaran awal peneliti dan keinginan peneliti. Penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One beserta dengan implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip kerja sama tersebut serta fungsinya.


(17)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka dilakukan perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dan implikaturnya dalam acara Debat TV One?

2. Apa fungsi implikatur dalam acara Debat TV One?

3. Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dan implikaturnya dalam acara Debat TV One

2. Mendeskripsikan fungsi implikatur dalam pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One

3. Mendeskripsikan implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat-manfaat dalam penelitian ini baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap bidang linguistik khususnya dan pembelajaran bahasa di SMA.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan di antaranya :

a. Pembaca

Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One serta implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi implikatur tersebut.


(18)

b. Guru

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One serta implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi implikatur tersebut. Dalam hal tersebut, bisa disertakan penjelasan cara membangun sebuah komunikasi yang efektif dan santun serta menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan debat sebagai pelajaran untuk peserta didik.

c. Peserta didik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi siswa dalam mempelajari cara membangun sebuah komunikasi yang efektif dan santun dalam sebuah debat. Peserta didik pun dapat mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan debat yang dapat merugikan diri sendiri maupun teman kelompok dalam debat. Peserta didik dapat mempraktikannya ketika terlibat atau mengikuti lomba debat.


(19)

9 A. Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang dari ilmu linguistik.

Kunjana Rahardi menyebutkan bahwa “cabang-cabang ilmu di dalam entitas linguistik itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:

(1) fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantik, (5) pragmatik”.1

Pragmatik merupakan cabang ilmu yang paling muda di antara cabang

ilmu yang lainnya sehingga “ilmu pragmatik sering dikatakan sebagai young science”.2

Nuri Nuraidah dalam bukunya menyatakan bahwa “pragmatik

telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak 1970-an”.3Lebih lanjut Nuri Nuraidah menjelaskan bahwa “seorang tokoh bernama Morris dianggap sebagai peletak dasar lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang:

sintaksis, semantik, dan pragmatik”.4

Morris atau yang lebih lengkapnya

Charles Morris “mendasarkan pemikirannya pada gagasan filsuf-filsuf pendahulunya, seperti Charles Sanders Pierce dan John Locke yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya. Ilmu tanda dan ilmu lambang yang mereka pelajari itu dinamakan semiotika (semiotics)”.5 Dengan kata lain, pragmatik lahir dari tangan Charles Morris, ia mengembangkan pemikiran para filsuf-filsuf pendahulunya dengan membagi ilmu tanda (semiotika) tersebut yang salah satunya yaitu pragmatik.

1

R. Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Jakarta : Erlangga, 2009), hlm. 20.

2

R. Kunjana Rahardi, Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia), (Jakarta : Erlangga, 2006), hlm. 47.

3

Nuri Nuraidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia,(Yogyakarta: Smart Writing, 2014), hlm.27.

4

Ibid.

5


(20)

Hal tersebut akhirnya membuat adanya pembagian atau dikotomi dalam dunia linguistik. Meskipun demikian dikotomi tersebut tidak menyebabkan pertelingkahan. Keduanya justru saling melengkapi. Leech

mengungkapkan pendapatnya bahwa “tata bahasa (sistem bahasa yang

abstrak-formal) dan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam linguistik”.6 Lebih

lanjut Leech menyatakan bahwa “fonologi, sintaksis, dan semantik

merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik itu merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa (language use)”.7 Pada akhirnya dikenal istilah kompetensi dan performansi.

Tata bahasa merupakan aspek kompetensi sedangkan pragmatik merupakan aspek performansi. Hamid Hasan Lubis menjelaskan bahwa

“kompetensi adalah pengetahuan kita tentang sesuatu bahasa yang ada

dalam pikiran kita, sedangkan performansi adalah implikasi dari pengetahuan kita itu yang berbagai-bagai ragamnya dan berbeda antar

pribadi”.8

Jadi dengan kata lain kompetensi berkaitan dengan pengetahuan ilmu tata bahasa dalam hal ini fonologi, sintaksis, dan kemudian semantik yang tersimpan dalam memori, sedangkan performansi lebih kepada aspek kemampuan diri dalam mengaplikasikan atau mengimplementasikan kompetensi yang ada tersebut di dalam wujud praktik berkomunikasi atau di dalam penggunaan bahasa. Verhaar menyebut pragmatik sebagai ekstralinguistik.9

Kridalaksana dalam Fatimah Djajasudarma menerangkan tentang etimologi pragmatik yaitu :

Kata Pragmatika sendiri berasal dari bahasa Jerman <PRAGMATISCH> yang diusulkan oleh seorang filsuf Jerman Immanuel Kant. PRAGMATISCH dari

6

Geoffrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik terj. M.D.D Oka, (Jakarta : UI- Press, 1993) hlm. 6

7

Rahardi. loc. cit.

8

A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, ( Bandung : Angkasa, 2011), hlm. 21

9

J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 14


(21)

<PRAMATICUS> (bahasa Latin) bermakna „pandai berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani PRAGMATIKOS dari <PRAGMA> artinya „perbuatan‟ dan <prasein> „berbuat‟.10

Berdasarkan pengertian di atas, arti dari kata „berbuat‟ dan

„perbuatan‟ mengacu kepada penggunaan bahasa oleh seseorang individu. Merujuk lagi kepada pengertian „pandai berdagang‟ dengan arti lainnya

bahwa bagaimana bahasa itu diaksikan, diekspresikan dan atau digunakan oleh seorang individu. Bahasa diaksikan, diekspresikan, dan atau digunakan oleh seorang individu tentu ini mengandung hakikat pragmatik itu sendiri yaitu performansi.

John I Saeed dalam bukunya yang berjudul Semantics menyatakan

bahwa “ in this view semantics is concerned with sentence meaning and pragmatics with speaker meaning”.11 Kurang lebih terjemahannya yaitu bahwa semantik berpusat pada arti kalimat sedangkan pragmatik berpusat kepada arti pembicara.

Cruse menyatakan definisi pragmatik sebagai berikut:

pragmatik berkaitan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan, oleh konvensi yang diterima secara umum, dalam linguistik yang digunakan. Namun juga muncul secara alamiah dan tergantung makna-makna yang dikodekan secara konvensional dalam konteks.12

Jacob L. Mey masih dalam Nuri Nuraidah menjelaskan pragmatik

yaitu “sebagai ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian dan penggunaan

bahasa, yang ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatar-belakanginya”.13

Levinson sendiri secara singkat menyatakan bahwa “pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya”.14

George Yule lebih jelas dan lebih luas lagi dalam mendefinisikan atau

10

T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 71

11

John I Saeed, Semantics (Second Edition), (United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd, 2003), hlm. 18

12

Nuraidah, op. cit, hlm. 21

13

Ibid

14


(22)

memaknai pragmatik. Menurutnya pragmatik itu: (1) pragmatics is the study of speaker meaning ; (2) pragmatics is the study of contextual meaning ; (3) pragmatics is the study of how more gets communicated than is said ; dan (4) pragmatics is the study of the expression of relative distance.15 Dengan kata lain bahwa: (1) pragmatik yaitu ilmu tentang arti/maksud pembicara; (2) pragmatik yaitu ilmu tentang arti berdasarkan konteksnya; (3) pragmatik yaitu ilmu tentang maksud atau arti lain yang didapatkan dari apa yang dituturkan/diujarkan; serta (4) pragmatik yaitu ilmu tentang ekspresi yang muncul oleh pengguna bahasa didasarkan oleh jarak sosial.

Dari berbagai penjelasan di atas maka pragmatik sebuah subdisiplin ilmu dari linguistik yang mengkaji makna sama halnya dengan semantik. Hal yang membedakannya yaitu pragmatik bersifat performansi yaitu ketika sebuah bahasa sudah diaktualisasikan menjadi tuturan dan menafsirkan makna tuturan tersebut tidak bisa hanya berdasar dari apa yang dituturkan saja melainkan harus melibatkan konteks. Konteks merupakan titik sentral dari pragmatik.

B. Situasi Tutur

Berdasarkan uraian sebelumnya, konteks merupakan titik sentral dari pragmatik. Dilihat dari berbagai pendefinisian yang diberikan oleh sejumlah pakar mengenai pragmatik. Berdasarkan pendefinisiannya Levinson menyebut dengan istilah konteks. George Yule pun sama yaitu menyebut konteks. Jacob L. Mey dalam hal ini menyebut konteks situasi ujar. Pada bukunya Louise Cummings menyebut konteks. Hampir mirip dengan Jacob L.Mey, Leech menyebut situasi ujar sedangkan Wijana dalam bukunya menyebutnya dengan situasi tutur meski Wijana mengutip dari apa yang dinyatakan oleh Leech berkenaan dengan situasi ujar.

Mulyana dalam bukunya menyatakan bahwa “konteks ialah situasi

atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai

15


(23)

sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu”.16

Ada empat jenis konteks yang dijelaskan oleh Fatimah Djajasudarma dalam bukunya. Konteks yang pertama yaitu konteks fisik. Konteks fisik yaitu tempat terjadinya konversasi (tindak ujar). Konteks yang kedua yaitu konteks linguistik yang maksudnya yaitu tuturan yang dipertimbangkan sebelumnya. Hal yang ketiga yaitu konteks epistemik adalah latar belakang pengetahuan baik pembicara maupun kawan bicara (hubungan speaker-hearer). Terakhir atau konteks sosial yaitu hubungan sosial yang ada (setting) antara penyapa-pesapa.17

Jadi dalam penjelasan Mulyana konteks itu melihat tujuan komunikasi seseorang dengan seseorang lainnya dengan melibatkan latar/situasi di mana terjadinya interaksi komunikasi tersebut. Lebih ditambahkan lagi oleh Fatimah Djajasudarma yaitu dengan melihat juga relasi sosial di antara penutur dan petutur serta latar belakang pengetahuan di antara keduanya.

Leech memasukkan konteks ke dalam salah satu bagian dari aspek-aspek ujar. Aspek-aspek situasi ujar menurut Leech yaitu sebagai berikut: (1) yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa); (2) konteks sebuah tuturan; (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar; (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.18

Penyapa atau yang disapa tentu maksudnya yaitu penutur dengan petutur. Untuk konteks sendiri, Leech memasukkan pendapatnya. Konteks dalam pengertian Leech bukanlah sebagai gambaran fisik atau sosial sebuah tuturan melainkan Leech menganggap bahwa konteks itu sebagai

16

Mulyana, Kajian Wacana : Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 21

17

Djajasudarma, op.cit., hlm. 76

18


(24)

latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur. Tujuan sebuah tuturan merupakan apa yang diharapkan oleh penutur dengan mengadakan interaksi komunikasi dengan petutur. Adanya interaksi komunikasi berarti tentu ada tuturan atau tindak ujar dan tindak tutur itu biasanya menghasilkan tuturan menurut Leech “untuk mengacu

pada produk linguistik tindakan tersebut”.

Leech tidak memasukkan waktu dan tempat dalam unsur-unsur situasi ujar yang dicetusnya melainkan waktu dan tempat sebagai salah

satu unsur yang wajib dipertimbangkan juga. Leech menyatakan “kita

dapat menyusun konsep SITUASI UJAR yang mencakup semua unsur ini, dan mungkin juga unsur-unsur lain seperti waktu dan tempat ketika

tuturan dihasilkan”.19

Untuk itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa tidak menjadi suatu masalah yang besar jika mempergunakan istilah konteks atau situasi ujar/tutur. Hal yang terpenting di dalamnya yaitu melibatkan tempat atau situasi serta waktu berlangsungnya proses komunikasi tersebut, siapa penutur dan petutur di dalam proses komunikasi tersebut dan kemudian relasi sosial keduanya. Perlu dipertimbangkan juga latar belakang pengetahuan antara penutur dan petutur tersebut dan tujuan dari diadakannya komunikasi tersebut. Hal-hal inilah yang kemudian dapat menarik makna dari sebuah tuturan yang melibatkan atau menjadi wilayah dari pragmatik. Untuk lebih memahaminya, perhatikan contoh berikut ini: (1) Rudi : “Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih”.

Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu”.

Berdasarkan contoh di atas jika berdasarkan tuturan yang tampak, Rudi tidak meminta Ihsan untuk mengambilkan charger, tetapi Ihsan dengan bergegas ingin mengambil charger yang dimaksud. Untuk menjawab kasus ini maka dilihat situasi tutur atau konteks keberlangsungan ujaran tersebut. Rudi dan Ihsan pada saat itu sedang berada di kantin kampus dan Rudi sedang mengerjakan tugas kuliah

19


(25)

manajemen bisnis dengan meminjam notebook milik Ihsan. Rudi hanya memiliki sisa waktu 45 menit untuk mengerjakan tugas itu dikarenakan setelah itu merupakan waktu atau sudah saatnya jam mata kuliah manajemen bisnis. Berdasarkan hal itu Ihsan mengetahui bahwa tuturan Rudi tersebut tidak semata hanya bersifat informasi, tetapi juga memintanya untuk mengambil charger notebook miliknya. Rudi pun mengetahui bahwa Ihsan akan mengerti tujuan pembicaraannya berdasarkan situasi atau konteks yang ada. Inilah yang kemudian bisa dikatakan adanya latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur maupun petutur.

Bisa dilihat juga rumusan Dell Hymes yang disingkat SPEAKING yang dapat juga dipakai untuk menentukan makna sebuah tuturan melalui kajian pragmatik. Dell Hymes dalam Mulyana menyatakannya sebagai berikut:

S : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.

P :participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dsb, juga menjadi perhatian.

E :ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).

A :act sequences, pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik, bentuk pesan meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

K :key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan. Semangat


(26)

percakapan antara lain, misalnya: serius, santai, akrab.

I :instrumentalities, atau sarana, yaitu sarana percakapan. maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan, misalnya: dengan cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.

N :norms, atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan sebagainya.

G :genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya: wacana telepon, wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.20

Berkaitan dengan rumus SPEAKING di atas, Preston mengungkapkan pendapatnya. Adapun pendapatnya sebagai berikut:

unsur-unsur sosiolinguistik penentu percakapan di atas, merupakan penjabaran dari konteks nonlinguistik, yang terdiri dari: (1) konteks dialektikal, yang meliputi partisipan dan jenis wacana, (2) konteks diatipik, yaitu latar, hasil, dan amanat, dan (3) konteks realisasi, yakni sarana (saluran), norma, dan cara berkomunikasi.21

Jadi dengan kata lain meskipun konsep SPEAKING yang diungkapkan oleh Dell Hymes ini diperuntukkan sebagai unsur-unsur sosiolinguistik namun hakikat keberadaannya dapat digunakan dalam kajian pragmatik untuk menentukan makna. Konsep SPEAKING hakikatnya sama dengan konteks nonlinguistik. Menentukan sebuah makna di dalam pragmatik, tidak hanya berdasarkan aspek linguistiknya saja melainkan juga aspek nonlinguistiknya.

Berikut diberikan sebuah contoh bahwa konsep SPEAKING dapat menentukan sebuah makna dalam sebuah percakapan:

A: “ Rina itu orangnya baik tidak sih?” B: “Oh iya, Rina itu baik sekali”

20

Mulyana, op. cit., hlm. 23-24

21


(27)

Tuturan B yang tampak,mempunyai makna bahwa Rina merupakan orang yang baik sekali. Hal tersebut bukanlah makna sebenarnya dari maksud tuturan B. Nada dan sikap yang ditunjukkan oleh penutur B dalam mengungkapkan tuturannya seperti orang yang sedang menyindir. Jadi, maksud sebenarnya penutur B yaitu Rina bukanlah orang yang baik. Berdasarkan hal tersebut, nada dan sikap dapat menentukan sebuah makna tuturan.

C. Prinsip Kerja Sama

Sebelumnya sudah disinggung bahwa prinsip kerja sama merupakan buah pemikiran dari Herbert Paul Grice yang disampaikan pertama kali pada kuliah umum di Universitas Harvard yaitu pada tahun 1967. Leech dalam Asim Gunarwan membagi pragmatik ke dalam dua cabang yaitu pragmatik interpersonal dan pragmatik tekstual.22 Leech membagi pragmatik ke dalam dua cabang tidak lepas dari pembagian fungsi bahasa menurut Halliday. Dua fungsi bahasa yang ada yaitu fungsi

interpersonal dan fungsi tekstual. Fungsi interpersonal “berkaitan dengan

pengungkapan sikap penutur serta pengaruhnya pada sikap dan perilaku

petutur”. Fungsi tekstual “berhubungan dengan cara-cara membangun

teks, baik lisan maupun tulis”.23

Prinsip kerja sama merupakan bagian dari pragmatik interpersonal.

Elizabeth Black dalam bukunya menjelaskan alasan atau dasar dari

Grice membentuk prinsip kerja sama yaitu “he considers, underlies successful verbal communication”.24 Jadi kurang lebih artinya yaitu Grice membentuk prinsip kerja sama sebagai dasar untuk suksesnya interaksi komunikasi yang terjalin. Lebih lanjut Elizabeth Black menjelaskan rumusan dari prinsip kerja sama sehingga interaksi komunikasi yang

22

Asim Gunarwan, Pragmatik (Teori dan Kajian Nusantara), (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007), hlm. 162

23

Ibid, hlm. 161-162

24

Elizabeth Black, Pragmatic Stylistics, ( United Kingdom : Edinburgh University Press, 2009), hlm. 23


(28)

terjalin berjalan sukses. Rumusan tersebut yaitu “ The co-operative principle states: Make your conversational contribution such as is required, as the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged”.25 Rumusan

tersebut bermakna “berikanlah kontribusi anda dalam percakapan sesuai

dengan kebutuhan, pada tingkat di mana percakapan tersebut berlangsung, sesuai dengan maksud dan tujuan di mana anda terlibat”.26

Berdasarkan rumusan tersebut terbentuklah empat maksim sebagai pelaksana terwujudnya rumusan prinsip kerja sama. Keempat maksim

tersebut yaitu “maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).27

Adapun penjelasan hakikat dari keempat maksim tersebut yaitu sebagai berikut:

Kuantitas : Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu: 1. Sumbangan informasi Anda harus

seinformatif yang dibutuhkan.

2. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.

Kualitas : Usahakan agar sumbangan informasi anda benar, yaitu:

1. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar.

2. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

Hubungan : Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya.

Cara : Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu: 1. Hindarilah pernyataan-pernyataan

yang samar.

2. Hindarilah ketaksaan

25

Ibid

26

F.X Nadar, Pragmatik&Penelitian Pragmatik, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm. 24

27


(29)

3. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele).

4. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.28

Berdasarkan uraian di atas, maksim kuantitas erat kaitannya dengan muatan jumlah dalam hal ini berkaitan dengan informasi, sampaikanlah informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dalam percakapan atau yang dibutuhkan oleh petutur. Wijana dalam bukunya memberikan

contoh dari maksim kuantitas, yaitu: “(a) Tetangga saya hamil ; (b) Tetangga saya yang perempuan hamil”.29 Menurut Wijana, “ujaran (a) di samping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (b) sifatnya berlebih-lebihan”. Dengan kata lain, Wijana ingin menyampaikan bahwa tuturan (b) bersifat tidak kooperatif atau melanggar maksim kuantitas karena informasi yang diberikan terlalu berlebihan dan tidak dibutuhkan oleh petutur. Perhatikan kembali contoh yang diberikan oleh Wijana dalam bukunya:

(108) + siapa namamu - Ani

+ Rumahmu di mana? - Klaten, tepatnya di Pedan + Sudah bekerja?

- Belum masih mencari-cari (109) + Siapa namamu?

- Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum bekerja. Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya berhenti kuliah.30

Berdasarkan contoh di atas, tuturan (108) bersifat kooperatif dan mematuhi maksim kuantitas. Berbeda halnya dengan tuturan (109) yang

28

Leech, Op.Cit., hlm. 11-12

29

Wijana. loc. cit.

30


(30)

tidak bersifat kooperatif dan melanggar maksim kuantitas. Tuturan (108) menjawab sesuai dengan informasi yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya atau kawan bicaranya. Sementara tuturan (109) memberi informasi jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya atau kawan bicaranya.

Maksim yang kedua yaitu maksim kualitas, berhubungan dengan aspek kebenaran tuturan. Jangan bertutur jika tuturan tersebut mengandung kebohongan atau kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Hal tersebut dapat merugikan petutur karena pada dasarnya petutur berharap mendapat informasi yang benar atau yang dibutuhkan mengandung kebenaran. Contohnya sebagai berikut :

A : “Apa Ibu Kota India sekarang?” B : “New Delhi”

berdasarkan contoh di atas, penutur B telah mematuhi prinsip kerja sama maksim kualitas dengan memberikan informasi yang benar.

Louise Cummings dalam bukunya memberikan contoh sifat

kooperatif atau pematuhan terhadap maksim kualitas lainnya, yaitu: “The students have passed all their examination. (para siswa telah lulus semua ujian mereka).”31

Menurut Louise Cummings penutur ujaran tersebut meyakini apa yang dikatakannya itu benar bahwa para siswa telah lulus semua ujian mereka.

Maksim ketiga yaitu maksim relevan berharap adanya kesinambungan atau keterhubungan antara tuturan yang satu dengan tuturan yang lainnya antara tuturan penutur dengan tuturan petutur. Contohnya sebagai berikut:

A : “Mah, lihat buku catatan kerja papah tidak?” B : “Mamah sudah simpan di tas kerja papah.”

31

Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner), Terj. dari Pragmatics

AMultidisciplinary Perspective oleh Eti Setiawati dkk, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.


(31)

bandingkan dengan contoh di bawah ini:

A : “ Acara Debat TV One dimulai jam berapa sih?”

B : “ Novel saya kalau sudah baca, letakkan di tempat semula dong!” Penutur B bersikap tidak kooperatif atau melanggar maksim relevansi dikarenakan tuturannya tidak mengakomodasi dari yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya yaitu penutur A. Penutur B mungkin kesal dengan penutur A akibat penutur A meminjam novel penutur B tetapi tidak meletakkan kembali di tempat semulanya. Meskipun demikian, jika tidak ingin dinyatakan melanggar maksim relevansi maka penutur B seharusnya mengakomodasi terlebih dahulu dari yang dibutuhkan oleh penutur A. Setelah itu, penutur B mengungkapkan kekesalannya terhadap penutur A.

Maksim terakhir yaitu maksim cara yang berkaitan dengan persoalan bahwa tuturan yang disampaikan harus jelas dan dapat dimengerti sehingga tidak membuat kesalahpahaman bagi lawan tutur. Contohnya sebagai berikut:

A : “Bisa ambilkan saya sambal yang ada di dekatmu?” B : “Oh, baik.”

Adapun contoh yang diberikan oleh Louise Cummings dalam

bukunya, yaitu “she dusted the shelves and washed the walls. (Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan membersihkan

dinding-dindingnya dengan air.).”32

Berdasarkan tuturan di atas, penutur bersikap kooperatif dengan menjelaskan secara teratur atau sistematis dalam menceritakan peristiwa-peristiwa yang penutur tersebut lihat.

Untuk lebih jelasnya Grice memberikan analogi dari maksim-maksim prinsip kerja sama ini, yatu :

32


(32)

1. Quantity. If you are assisting me to mend a car, I expect your contributionto be neither more not less than is required; if, for example, at a particular stage I need four screws, I expect you to hand me four, rather than two or six.

2. Quality. I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I need sugar as an ingredient in the cake you are assisting me to make, I do not expect you to hand me salt; if I need a spoon, I do not expect a trick spoon made of rubber.

3. Relation. I expect a partner‟s contribution to be appropriate to immediate needs at each stage of the transaction; if I am mixing ingredients for a cake, I do not expect to be handed a good book, or even an oven cloth (thought this might be an appropriate contribution at a later stage). 4. Manner. I expect a partner to make it clear what

contribution he is making, and to execute his performance with reasonable dispatch.33

Wijana dalam bukunya memberikan terjemahan dari analogi maksim-maksim prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh Grice ini, yaitu:

1. Maksim Kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan saya empat bukannya dua atau enam.

2. Maksim Kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh, bukanlah sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan anda memberi saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan sendok-sendokan, atau sendok karet.

3. Maksim Relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan

33

H.P. Grice, “Logic and Conversation”, dalam Cole et al, Syntax and Semantics 3: Speech


(33)

buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.

4. Maksim Cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya, dan melaksanakannya secara rasional.34

D. Implikatur

Selain prinsip kerja sama, implikatur juga buah dari pemikiran Grice. J Meibauer menjelaskan hakikat implikatur dalam pemikiran Grice sebagai berikut:

In Grice‟s approach, both „what is implicated‟ and

„what is said‟ are part of speaker meaning. „What is said‟ is that part of meaning that is determined by

truth-conditional semantics, while „what is

implicated‟ is that part of meaning that cannot be

captured by truth conditions and therefore belong to pragmatics.35

dengan kata lain (jika diterjemahkan) dalam pendekatan Grice, ada yang

diistilahkan dengan „apa yang terimplikasi‟ dan „apa yang dikatakan‟ yang keduanya merupakan bagian dari makna pembicara. „ Apa yang dikatakan‟

merupakan bagian dari arti kondisi kebenaran secara semantik, sedangkan

„apa yang terimplikasi‟ merupakan bagian dari arti yang bukan dari

kondisi kebenaran (secara semantik) dan ini merupakan bagian dari pragmatik.

Mey dalam FX Nadar menyatakan bahwa “implikatur “implicature” berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang

34

Wijana, Op.Cit., hlm. 52-53

35 J. Meibauer, “ Implicature”, dalam Jacob L. Mey (ed.),

Concise Encyclopedia of


(34)

berarti to fold “melipat” sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau

disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya”.36

Berdasarkan penjelasan di atas, implikatur dihasilkan atau produk

dari sebuah tuturan atau „apa yang dikatakan‟ dan untuk mengetahui implikatur dari sebuah tuturan maka seseorang harus „membukanya‟.

Untuk membuka, tentunya melibatkan konteks. Bisa merujuk kembali kepada contoh yang sudah diberikan sebelumnya yaitu contoh kasus Rudi dan Ihsan. Berikut kembali disajikan contoh kasusnya:

Rudi : “ Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih.” Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu.”

Dalam kasus di atas, jika memakai rumus Grice “apa yang

dikatakan” maka yang dikatakan Rudi hanyalah sebuah informasi yang

memberitahukan bahwa sebuah notebook sudah mau mati. Ketika melihat

atau melibatkan konteksnya maka sebenarnya ada yang “disimpan” atau “dilipat” oleh Rudi melalui tuturannya tersebut atau dengan kata lain “apa yang diimplikasikan” oleh Rudi dalam tuturan tersebut. Ihsan pun „membuka‟ apa yang „disimpan‟ atau „dilipat‟ oleh Rudi dengan

melibatkan konteks. Seperti yang dinyatakan oleh Leech dalam FX Nadar sebagai berikut:

interpreting an utterance is ultimately a matter of guesswork, or (to use a more dignified term) hypothesis formation (“menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu

pembentukan hipotesa”).37

Lebih lanjut Nadar menjelaskan bahwa “menduga “guessing” tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta pertuturan

dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya”38

.

36

Nadar, Op.Cit., hlm. 60

37

Ibid

38


(35)

Jadi bisa disimpulkan implikatur merupakan bagian dan ada dalam setiap tuturan yang maujud serta untuk mengetahuinya dengan jalan melibatkan konteks tuturan tersebut.

E. Implikatur Percakapan

Implikatur terbagi ke dalam dua jenis. Levinson dalam Meibauer menunjukkan tipologi makna pembicara dari Grice yaitu sebagai berikut:

speaker meaning

what is said what is implicated

conventionally conversationally

generalized (GCI) particularized (PCI)39

Adapun bagan di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut:

maksud Pembicara

apa yang dikatakan apa yang diimplikasi

konvensional konversasi

umum khusus

Berdasarkan bagan di atas “apa yang diimplikasi” dari ujaran atau implikatur dari ujaran terbagi menjadi dua yaitu implikatur konvensional

39


(36)

dan implikatur percakapan (konversasi). Penelitian ini tidak akan meneliti implikatur konvensional melainkan hanya membahas implikatur percakapan, tetapi tetap dijelaskan mengenai pengertian implikatur konvensional sebagai penjelas perbedaan dari implikatur percakapan.

Implikatur konvensional merupakan implikatur yang “secara konvensional terkait dengan butir-butir leksikal tertentu yang

menghasilkannya, meskipun secara kondisional tidak benar.”40

Lebih

jelasnya George Yule menjelaskan bahwa “conventional implicatures are associated with specific words and result in additional conveyed meanings when those words are used”.41 Jadi bisa dikatakan bahwa implikatur konvensional merupakan implikatur yang muncul disebabkan penggunaan kata leksikal tertentu sehingga dalam penggunaannya menyebabkan makna tambahan.

Contohnya sebagai berikut :

A : “Nanti pada datang ya Bapak-bapak ke acara pernikahan anak saya bahkan katanya Pak Menteri pun siap datang.”

Penggunaan kata „bahkan‟ dalam ujaran di atas mengimplikasikan

bahwa tidak sembarang orang bisa mengundang menteri dalam acara pernikahan maka jika seorang menteri datang bisa dikatakan bahwa pernikahan tersebut sangat berarti.

Berbeda halnya dengan implikatur percakapan yang ada akibat timbal balik percakapan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa implikatur percakapan dibagi menjadi dua yaitu generalized conversationally implicature atau dalam bahasa Indonesianya yaitu implikatur percakapan umum dan yang kedua particularized conversationally implicature atau implikatur percakapan khusus. Menurut

Yule, implikatur percakapan umum yaitu “when no special knowledge is

40

Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner), Terj. dari Pragmatics,

A Multidisciplinary Perspective oleh Eti Setiawati dkk, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007),

hlm.20

41


(37)

required in the context to calculate the additional conveyed meaning”.42 Jadi dengan kata lain sesuatu disebut implikatur percakapan umum ketika kita tidak membutuhkan pengetahuan yang khusus dalam mengetahui makna tambahan. Yule pun memberikan contohnya sebagai berikut:

Doobie : “Did you invite Bella and Cathy?” Mary : “I invited Bella”43

(Doobie : “Apakah kamu mengundang Bella dan Cathy?” Mary : “ Saya mengundang Bella”)

Dari contoh di atas bisa diketahui kemudian bahwa implikatur dalam tuturan Mary yaitu Cathy tidak turut serta diundang oleh Mary.

Untuk Implikatur percakapan khusus dijelaskan oleh Yule sebagai berikut:

However, most of the time, our conversations take place in very specific contexs in which locally recognized inferences are assumed. Such inferences are required to work out the conveyed meanings which result from particularized conversational implicatures.44

Dengan kata lain, implikatur percakapan khusus berada dalam konteks yang khusus menghasilkan sebuah inferensi yang kemudian inferensi tersebut menjadi hasil untuk mengetahui makna tambahan dalam tuturan yang maujud. Perhatikan contoh Yule berikut ini :

Rick : “Hey, coming to the wild party tonight?” Tom : “My parents are visiting.”

(Rick : “ Hei, bisakah datang ke acara pesta nanti malam?” Tom : “Orangtuaku datang berkunjung”)

42

Ibid, hlm. 41

43

Ibid, hlm. 40

44


(38)

berikut penjelasan Yule mengenai contoh di atas :

In order to make Tom‟s response relevant; Rick has to draw on some assumed that one college student in this setting expects another to have. Tom will be spending than evening with his parents, and time spent with parents is quiet (consequently +> Tom not at party).45

Berdasarkan contoh di atas, Rick haruslah berkeyakinan bahwa Tom tetap bersifat kooperatif meski memang dalam jawaban yang sederhana untuk mematuhi maksim relevansi jawabannya antara yes atau no. Untuk itulah kemudian Rick harus mendayagunakan pengetahuannya serta mempergunakan konteksnya sehingga implikatur yang dihasilkan dalam tuturan Tom yaitu Tom secara tidak langsung menyatakan no. Ini berdasarkan asumsi yang diperoleh dari pengetahuan dan konteks bahwa Tom merupakan seorang mahasiswa ketika orangtuanya berkunjung maka kemudian Tom akan lebih menghabiskan malamnya bersama orangtuanya. Berbeda halnya dengan contoh sebelumnya yaitu antara Doobie dan Mary yang tidak membutuhkan konteks yang khusus, ketika Doobie menanyakan “Did you invite Bella and Cathy?” maka Mary menjawab “I invited Bella”, maka implikatur yang muncul yaitu Cathy tidak diundang oleh Bella. Yule lebih lanjut menyatakan bahwa implikatur percakapan

khusus merupakan yang disebut “implikatur”, berikut pernyataannya: “

because they are by far the most common, particularized conversational implicatures are typically just called implicatures”.46 Terjemahan pernyataan Yule tersebut yaitu mereka (implikatur percakapan khusus) yang paling umum (sering ditemukan dalam interaksi komunikasi) untuk itu implikatur percakapan khusus merupakan tipikal dari implikatur.

Sesuai uraian sebelumnya bahwa jika memegang teguh maksim relevansi maka Tom seharusnya menjawab yes atau no tetapi Tom melakukan penyimpangan. Hal itu tidak membuatnya bisa dikatakan

45

Ibid,hlm. 43

46


(39)

sepenuhnya tidak kooperatif karena implikatur buah dari tuturannya menghasilkan sesuatu yang relevan terhadap yang dibutuhkan oleh Rick.

Hal semacam di atas sering terjadi, prinsip kerja sama dengan maksimnya sering dilanggar. Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah hal yang haram untuk dilakukan. Prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh Grice bukanlah sebagai bentuk baku layaknya sebuah konstitutif-jika meminjam istilah yang dipakai oleh Leech- yang menjadi sifat tata bahasa. Prinsip atau maksim merupakan kaidah atau rambu-rambu dalam praktik berkomunikasi atau jika meminjam istilah yang dipakai oleh Leech yaitu yang bersifat mengatur atau regulatif.47

Untuk itu terkadang prinsip kerja sama melalui keempat maksimnya sering dilanggar dengan masing-masing bentuk pelanggaran. J Meibauer mengutip dari Grice dan Levinson menggambarkan contoh bentuk pelanggaran terhadap setiap maksim serta kemudian menuangkannya ke dalam sebuah tabel, yaitu sebagai berikut:

(1) War is war. +> „There is nothing one can do about it (2) Some men were drunk.+> „Not all of them were drunk.” (3a) He is a fine friend. +> „He is not a fine friend.”

(3b) You are the cream in my coffee.+>„You are my best friend

(4) There is life on Mars. +> „Speaker believes that there is Life on Mars

(5) Speaker A : I‟m out of petrol.

Speaker B : There is a garage round the corner.

+> „The garage is open.‟‟

(6) Speaker A : Look, that old sprinter over there! Speaker B : Nice weathertoday, isn‟t it?. +> „No

Comment‟ (7) She produced a series of noises that resembled

Si, mi chiamano Mimi”. +> „ Her singing

47


(40)

was a complete disaster

(8) Anna went to the shop and bought jeans.

+> „ She bought the jeans

Table 1Typical cases of Implicature

Maxims Exploitation Observation

Quantity Tautology (1) Scalar Implicature (2)

Quality Irony, Metaphor, Belief Implicature Sarcasm (3) in assertions (4)

Relevance Implicatures due to Bridging (6) Thematic switch (5)

Manner Implicatures due to Conjuction obscurity, etc. (7) buttressing (8)48 Adapun tabel di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut:

(1) Perang adalah perang.+>’Tidak ada yang bisa dilakukan tentang hal itu

(2) Beberapa pria yang mabuk.+>’Tidak semua dari mereka mabuk

(3a) Dia (laki-laki) adalah teman yang baik. +>‟ Dia (laki-laki) bukan teman yang baik.”

(3b) Kamu itu seperti krim dalam kopi saya.+>‟ Kamu merupakan teman terbaik saya.”

(4) Ada kehidupan di Mars.+>‟ Pembicara percaya bahwa ada kehidupan di Mars.”

(5) Pembicara A : Saya kehabisan bensin.

Pembicara B : Ada sebuah garasi di tikungan.

48


(41)

+> „Garasi itu buka (bisa dipakai).” (6) Pembicara A : Lihat, atlet pelari yang sudah tua itu

berada di sana!

Pembicara B : Cuaca hari ini bagus, bukan begitu?

+> „Tidak menanggapi

(7) Dia (perempuan) menghasilkan serangkaian suara yang

menyerupai “ Si, mi chiamano Mimi”. +>‟ Nyanyian perempuan itu seperti bencana yang dahsyat

(8) Anna pergi ke toko dan membeli celana jeans.

+> ‘ Perempuan itu membeli celana jeans‟ Tabel 1 Tipikal Kasus Implikatur

Maksim Eksploitasi Observasi

Kuantitas Pengulangan (1) Implikatur berskala (2) yang tak berguna

Kualitas Ironi, Metafora, Percaya pada implikatur Sarkasme (3) yang terkandung

dalam pernyataan (4) Relevansi Implikatur (5) Menjembatani (6)

karena beralih tematik

Cara Implikatur dari Menunjang kata ketidakjelasan (7) sambung (8)

Pada tabel di atas tertulis exploitation atau dalam bahasa Indonesianya eksploitasi. Memang ada yang menyebutkannya mengeksploitasi maksim-termasuk dalam hal ini Louise Cummings-, ada yang juga menyebutkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama seperti halnya Wijana. Grice sendiri dalam artikelnya menyebutkan dengan istilah flouting atau mencemoohkan.

Selain contoh Tom dan Rick maka contoh no (5) pun sebagaimana yang dituliskan di atas merupakan jenis pelanggaran terhadap maksim


(42)

relevansi atau sifatnya mengeksploitasi dari maksim relevansi. Implikatur diperoleh dari akibat peralihan tetapi masih menyangkut tema pembicaraan (tematik). Contoh kasus Tom dan Rick, ketika Rick mengundang Tom, kemudian Tom malah menginformasikan Ayahnya yang akan berkunjung nanti malam. Meskipun terjadi peralihan, peralihan ini masih menyangkut tema pembicaraan, dilihat dari implikatur yang diperoleh kemudian yaitu saya tidak bisa datang.

Pada kasus maksim cara, eksploitasi atau pelanggaran terhadap maksim ini dilakukan dengan cara membuat tuturan yang taksa, tidak jelas, dan bisa membuat lawan tutur kebingungan. Dari situlah kemudian muncul implikatur yang disebabkan dari ketaksaan atau ketidakjelasan. Selain contoh di atas, Wijana dalam bukunya memberikan contoh sebagai berikut:

(+) Let‟s stop and get something to eat ( - ) Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S49 ( (+) Ayo berhenti dan cari makan

( - ) Oke, tapi jangan M-C-D-O-N-A-L-D-S)

Pada contoh di atas menurut Wijana “tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata McDonalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan

anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya”. 50

Dari penyimpangan ini kemudian diperoleh implikatur kata McDonalds yang sebenarnya ingin dituturkan oleh tokoh (-). Jika merujuk ke contoh Grice dan Levinson yang dikutip oleh J Meibeur, pada contoh kasus maksim cara maka sebenarnya maksud penutur ingin menyatakan bahwa suara perempuan itu ketika menyanyi seperti bencana yang dahsyat. Ini hasil dari implikatur tuturannya yang menyatakan bahwa suara perempuan

itu menyerupai “Si, mi chiamano Mimi”.

49

Wijana, op. cit., hlm. 51

50


(43)

Maksim kualitas sering dieksploitasi dengan menghubungkannya melalui gaya bahasa yang digunakan yaitu ironi, metafor, dan sarkasme. Lebih dari itu, Grice dalam artikelnya menyebutkan juga meiosis dan hiperbol sebagai bagian dari pencemoohan-jika meminjam istilah Grice- terhadap maksim kualitas.51 Pada contoh di atas, pelanggaran terhadap maksim kualitas ditunjukkan dengan contoh tuturan “He is a fine friend”.

Yang sebenarnya maksud dari tuturannya atau implikaturnya yaitu “He is not a fine friend”. Mengingat prinsip dasar dari maksim kualitas yaitu

“jangan mengatakan sesuatu yang anda tidak yakini kebenarannya” tetapi

penutur melakukan pelanggaran tersebut untuk menyampaikan maksudnya dengan memanfaatkan gaya bahasa ironi.

Hal yang sama juga dicontohkan oleh Louise Cummings dalam bukunya, yaitu sebagai berikut :

The players were lions on the pitch

( Pemain-pemain itu laksana singa-singa di atas puncak)52

Menurut Louise Cummings “penutur telah sengaja melanggar

maksim kualitas dengan tujuan untuk mencapai efek komunikasi

tertentu”.53

Pemain itu bukan singa melainkan pemain itu diasosiasikan seperti singa. Ini seperti sebuah metafor yang dihasilkan oleh penutur. Implikaturnya kemudian pemain-pemain itu diibaratkan seperti singa yang bisa dikatakan bahwa singa itu buas, kuat, dan cepat.

Pelanggaran terhadap maksim kuantitas yaitu „tautologi‟. Jika

menilik KBBI maka tautologi merupakan pengulangan yang tidak

berguna. Seperti halnya contoh di atas yaitu “war is war” yang implikasinya menyerupai ujaran maujudnya sehingga penjelasan di atas

there is nothing one can do about it”. Grice pun menyatakan bahwa tautologi bersifat uninformative atau tidak bersifat informatif dan tidak bisa tidak dikatakan melanggar maksim kuantitas. Grice pun

51

Cole et al, op. cit., hlm. 53

52

Cummings, op. cit., hlm. 18

53


(44)

menambahkan kecuali ada maksud yang ingin disampaikan dari ujaran tersebut maka ini membutuhkan tautologi yang khusus.54

Untuk itu prinsip kerja sama terkadang dilanggar oleh partisipan dengan sebuah alasan tertentu. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mengandung implikatur di dalamnya atau ada hal yang diimplikasikan dalam pelanggarannya. Dalam hal ini semua tuturan juga mempunyai/dapat mengimplikasikan sesuatu, beranjak dari pemikiran Louise Cummings. Implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip kerja sama mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan alasan seorang partisipan dalam melakukan pelanggaran prinsip kerja sama.

F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat SMA

Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang wajib dimiliki oleh peserta didik. Nida dan Harris dalam

Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa “Keterampilan berbahasa

mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan kemampuan menulis (writing skill).”55 Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, standar kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik di tingkat SMA mencakup keempat komponen

keterampilan berbahasa yaitu peserta didik mampu “menunjukkan

keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa

Indonesia dan Inggris.”56

Berbeda dengan Kurikulum 2013, pembelajaran tidak berdasarkan kepada pembagian keempat komponen keterampilan berbahasa. Pada Kurikulum 2013 pembelajaran berdasarkan kepada teks dan keempat komponen keterampilan berbahasa tersebut diintegrasikan masuk ke dalamnya. Berikut pernyataan dari Muhammad Nuh selaku

54

Cole et al, op. cit., hlm. 52

55

Henry Guntur Tarigan, Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), (Bandung : Penerbit Angkasa, 2008), hlm. 1

56

Tuszie Widhiyanti, KTSP : Berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, 2015, (http://www.file.upi.edu)


(45)

penggagas kurikulum 2013 dan ketika itu menjabat sebagai menteri pendidikan:

Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berbahasa yang dituntut tersebut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang jenis, kaidah dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan baik terencana maupun spontan, dan bermuara pada pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta sikap penghargan terhadap Bahasa Indonesia sebagai warisan budaya bangsa.57

Berdasarkan pendapat Muhammad Nuh di atas, hal yang dituntut dalam kurikulum 2013 yaitu aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Peserta didik dituntut untuk mengetahui berbagai jenis teks yang ada disertakan dengan kaidah dan konteks teks tersebut. Kemudian peserta didik diharapkan dapat menyajikan berbagai teks tersebut secara tulis maupun secara lisan. Dalam hal tersebut, secara lisan berarti sama halnya dengan melihat kompetensi keterampilan berbicara.

Imber dan Klingler mencetuskan gagasan kurikulum nasional keterampilan berbahasa yang terdiri atas delapan unit dasar. Adapun delapan unit dasar tersebut yaitu sebagai berikut:

8. Aneka Pemahaman

7. Mengomentari, menanya(i), memperbaiki (membetulkan, membenarkan), melaporkan, menganalisis.

6. Mengingatkan, menyarankan, menganjurkan, meyakinkan, menegaskan, memaksakan.

5. Mengkritik, memperingatkan, menghina, menuduh (menyalahkan), mengancam.

4. Memberi pujian, mengucapkan selamat merayu (menyanjung), membanggakan (menyombongkan diri).

57

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru : Bahasa Indonesia (Ekspresi diri


(46)

3. Menghindarkan (mengelakkan), membelokkan percakapan (mengalihkan arah pembicaraan), menyangkal (mengingkari).

2. Menyetujui, membantah, menyatakan simpati (mengucapkan belasungkawa), menentang (memperdebatkan), mendamaikan (menentramkan)

1. Aneka Kesalahpahaman.58

Salah satu unit dasar keterampilan berbahasa yang ada dalam kurikulum nasional yaitu menentang atau memperdebatkan. Henry Guntur Tarigan dalam bukunya menjelaskan betapa pentingnya berdebat diajarkan di dalam kegiatan pembelajaran. Adapun pendapat Henry Guntur Tarigan tersebut sebagai berikut:

para guru memang wajar mendidik para siswa berpikir logis; yang benar harus dibenarkan, yang salah harus disalahkan. Dalam hal ini penalaranlah yang diutamakan. Walaupun suatu pendapat muncul dari teman karib, tetapi apabila pendapatnya itu tidak masuk akal, harus ditentang atau didebat demi kebenaran. Begitu pula sebaliknya, pendapat yang logis, walaupun dikemukakan oleh orang yang tidak kita senangi, haruslah diterima karena memang masuk akal. Berdebat, berbantah tentang sesuatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat atau pendirian, berguna untuk mendidik para siswa berpikir logis, dapat memilih mana yang benar dan mana yang salah.59

Pendapat Henry Guntur Tarigan tersebut bisa diimplementasikan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maupun dalam Kurikulum 2013 khususnya untuk pembelajaran keterampilan berbicara. Standar kompetensi untuk keterampilan berbicara dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yaitu salah satunya peserta didik mengungkapkan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Kompetensi dasar dari standar kompetensi tersebut yaitu: (1) memberikan kritik terhadap informasi dari media cetak dan atau elektronik; (2) memberikan

58

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung : PT. Angkasa, 2009), hlm. 136

59


(47)

persetujuan/dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik.60

Memberikan kritik berarti tidak setuju dengan isi informasi atau berita sedangkan memberikan persetujuan berarti ikut mengafirmasi isi informasi atau berita. Hal tersebut tentu sama dengan hakikat debat yang mempertemukan pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju atau kontra. Guru dapat menggunakan metode debat dalam pembelajaran untuk kompetensi dasar tersebut. Dalam implementasinya, guru mempunyai dua pilihan yaitu: (1) memulai dari kompetensi dasar yang pertama dilanjutkan kompetensi dasar yang kedua dan terakhir melakukan evaluasi dengan menggunakan metode debat dalam pembelajaran; (2) menggabungkan kedua kompetensi dasar tersebut dalam satu rancangan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode debat dalam pembelajaran.

Dalam kurikulum 2013 metode debat sebagai keterampilan berbicara bisa digunakan dalam pembelajaran materi teks eksposisi. Dalam buku Bahasa Indonesia SMA Kelas X (buku pelajaran dengan menggunakan kurikulum 2013 yang dikeluarkan pemerintah) disajikan

teks “untung rugi perdagangan bebas”.61

Peserta didik diminta untuk menentukan sikap: setuju atau tidak setuju dengan adanya perdagangan bebas. Dengan demikian, ada dua kelompok yang terbentuk dalam kelas yaitu kelompok yang setuju dengan perdagangan bebas dan kelompok yang tidak setuju dengan perdagangan bebas. Jadi, metode debat dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut karena debat mempertemukan dua pihak yang berbeda pendapat dan mencari pendapat yang paling logis dan ideal.

Perlu diketahui sebelumnya, kompetensi dasar dalam pembelajaran tersebut memang dituntut hanya pada aspek keterampilan menulis saja.

60

Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

Menengah : Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA, 2015, hlm.110,

(http://www.mansurmok.files.wordpress.com)

61

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bahasa Indonesia (Ekspresi Diri dan


(1)

(2)

(3)

(4)

KEMENTERIAN AGAMA

UIN JAKARTA FITK

Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia

FORM (FR)

No. Dokumen

:

FITK-FR-AKD-081

Tgl.

Terbit :

1 Maret 2010

No.

Revisi: :

01

Hal 1t1

SURAT BIMBINGAN

SKRIPSI

Nomor : Un.0 llF. l/I(M .01.3 13242/2014

Lamp.

:-Hal

: Bimbingan Skripsi

Nama NIM Jurusan Semester Judul Skripsi Tembusan:

l.

Dekan FITK

2.

Mahasiswa ybs.

Rully Pratistya I 1 I 1013000069

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

VII (Tujuh)

Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Debat

Jakarta, 12 Desember 2014

Kepada Yth.

Dona Aji Karunia Putra,M.A Pembimbing Skripsi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

As s alamu' alaikum wr.wb.

Dengan

ini

ciiharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing

l/ll

(materi/teknis) penulisan skipsi mahasiswa:

Capres-Cawapres 2014 serta Implikasinya terhadap Pendidikan

Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal

I

Desember 2014,

abstraksi/oztline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut.

Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan

terlebih dahulu.

Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang

selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.

Atas perhatian dan

ll/ass al antu' al aikum wr.wb.

kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

. Bahasa dan Sastra Indonesia

i.rn. M.Pd


(5)

BIOGRAFI PENULIS

Rully Pratistya lahir di Bandung, 22 Mei 1992. Masa kecilnya sebagian dihabiskan di wilayah timur Indonesia. Selama lima tahun ia tinggal di Manokwari, Papua. Ia sempat merasakan bangku sekolah Taman Kanak-kanak di daerah tersebut. Kemudian ia pindah ke

Parepare (Sulawesi Selatan) dan melanjutkan

pendidikan sekolah Taman Kanak-kanaknya di Taman Kanak-kanak Kartika VII-39. Selepas itu, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia tercatat sebagai peserta didik di SDN 03 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Namun, menginjak kelas lima ia pindah ke tempat kelahirannya, yaitu Bandung. Ia melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Bojongloa 4, Kota Bandung. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di SMPN 22 Kota Bandung dan setelah itu di SMA Kartika Siliwangi I Kota Bandung. Sempat diterima dan kuliah selama tiga bulan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ia memutuskan untuk keluar dan ingin merasakan kehidupan di Jakarta. Akhirnya, ia pun diterima sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Anak ketiga dari pasangan Endang Sukendar, MM. dan Kokom Komariyah, BA ini dari kecil gemar dengan musik dan film, khususnya film India. Itu yang membuat ia kemudian dinobatkan sebagai sutradara dan penulis naskah drama bahasa Sunda terbaik kelas XI SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Ia pun terpilih sebagai salah satu penulis naskah drama terbaik di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 dalam mata kuliah Kajian Drama 2 pada tahun 2014.


(6)

Selain berkecimpung di dunia seni, ia pun gemar belajar dan membaca. Hal tersebut berpengaruh untuk mengantarkannya menjadi juara I lomba debat yang diadakan oleh SMPN 22 Bandung pada tahun 2004. Ia pun mengulang kesuksesan dengan kembali menjadi juara I lomba debat yang diadakan oleh HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2013. Ia juga pernah dinobatkan sebagai siswa terbaik I program IPA pada Pra UN-1 dan Pra US pada tahun 2010.

Kini, ia banyak menghabiskan waktunya di bidang seni. Ia bersama teman-teman SMA nya membentuk sebuah band dan ia didapuk sebagai vokalis di band tersebut. Ia juga menulis naskah drama dan atau naskah film. Salah satu naskah

film yang telah selesai ditulisnya yaitu berjudul “I Want India You Want


Dokumen yang terkait

Prinsip kerja sama dalam humor dialog cekakak-cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia

3 14 165

IMPLIKATUR KONVENSIONAL DALAM STRUKTUR JOKE ACARA STAND UP COMEDY SEASON 5 DI KOMPAS TV DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

6 36 75

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM ACARA SHOW_ IMAH DI TRANS TV YANG DITAYANGKAN Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Dan Prinsip Kesopanan Dalam Acara SHOW_IMAH Di Trans TV Yang Ditayangkan Pada Bulan Februari 2013 (Tinjauan Pragmatik)

0 2 12

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM ACARA SHOW_ IMAH DI TRANS TV YANG DI TAYANGKAN Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Dan Prinsip Kesopanan Dalam Acara SHOW_IMAH Di Trans TV Yang Ditayangkan Pada Bulan Februari 2013 (Tinjauan Pragmatik

1 3 20

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR WACANA HUMOR DALAM RUBRIK “MESEM” Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Dan Implikatur Wacana Humor Dalam Rubrik “Mesem” Surat Kabar Harian Warta Jateng.

0 1 12

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR WACANA HUMOR DALAM RUBRIK “MESEM” Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Dan Implikatur Wacana Humor Dalam Rubrik “Mesem” Surat Kabar Harian Warta Jateng.

0 0 14

Jenis Tindak Tutur, Pelanggaran Prinsip Kerja Sama, dan Implikatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Kepenuhan Riau.

0 0 17

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PEMATUHAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMK PELAYARAN "AKPELNI" SEMARANG.

0 0 16

KETIDAKPATUHAN MAKSIM PRINSIP KERJA SAMA DALAM ACARA “OPINI” DI TV ONE: SEBUAH KAJIAN PRAGMATIK

0 0 95

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM TALK SHOW SATU JAM LEBIH DEKAT DI TV ONE

0 0 14