Strategi Kesantunan Negatif HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Strategi 15: memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama give gifts to H goods, symphaty, understanding, cooperation Penutur dapat memenuhi keinginan positif pendengar penutur ingin memenuhi keinginan pendengar, pada tingkat tertentu dengan memenuhi beberapa keinginan pendengar. Tidak ditemukan data untuk strategi kesantunan positif ini.

4.2 Strategi Kesantunan Negatif

Kesantunan Negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan cara membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Menurut Brown dan Levinson 1987: 129. Kesantunan positif meminimalkan jarak, sementara kesantunan negatif justru menciptakan jarak sosial. Brown dan Levinson merumuskan 5 mekanisme dalam strategi kesantunan negatif yaitu. a langsung berbicara pada inti persoalan be direct, b tidak mengira- ngira don’t presume assume, c jangan memaksa don’t coerce, d komunikasikan keinginan untuk tidak menekan pendengar communicate S’s want to not impinge on H, e penuhi keinginan lain pendengar redress other wants of H’s. Selanjutnya 5 mekanisme tersebut dibagi menjadi 10 strategi kesantunan negatif. Hasil temuan pada penelitian ini dapat di lihat sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara Strategi 1: menggunakan ujaran tidak langsung be conventionally indirect Ini merupakan mekanisme pertama dari kesantunan negatif yakni ‘be direct’, berbicara langsung tanpa bertele- tele. Strategi ini merupakan jalan keluar bagi dua keadaan yang saling bertentangan satu sama lain, yakni keinginan untuk tidak menekan penutur di satu sisi dan keinginan untuk menyatakan pesan secara langsung tanpa bertele- tele serta jelas maknanya disisi lain. Oleh karena itu, strategi ini menempuh cara penyampaian pesan secara tidak langsung namun makna pesan harus jelas dan tidak ambigu berdasarkan konteksnya. Strategi ini juga di ikuti oleh keinginan untuk memberikan ruang pilihan bagi pendengar. Hasil temuan dapat di lihat sebagai berikut. Data 69 UH: “…tetapi saya kira yang paling penting sekarang bagaimana agar kita semua bisa menyerukan semua pihak untuk tidak melakukan tindakan kekerasan…” Penggunaan kata ‘bisa’ di tengah- tengah kalimat dikategorikan ke dalam strategi 1 dengan alasan bahwa penutur sebenarnya berkeinginan untuk menyampaikan pesan secara tidak bertele- tele namun tetap memberi ruang pilihan bagi pendengar untuk melakukan atau tidak melakukan isi ujaran yang di sampaikan. Strategi 2: pertanyaan, pagar question, hedge Universitas Sumatera Utara Dalam strategi kesantunan ini jangan mengedepankan pra-anggapan dan jangan berasumsi bahwa segala hal yang terlibat dengan ancaman muka dipercaya oleh pendengar Brown dan Levinson, 1987: 144. “Hedge” dapat berupa partikel tetapi juga berupa frasa seperti “I wonder, wil you, if you allow me” dsb. Didalam bahasa Indonesia seperti: menurut saya, menurut hemat kami, saya ingin tahu, sejak tadi saya bertanya- tanya, dsb. Pagar adalah sebuah partikel, kata atau frasa yang memodifikasi derajat keanggotaan sebuah predikat atau frasa kata benda di dalam satu kalimat. Pagar menyatakan bahwa keanggotaan tersebut hanya bersifat sebagian dan hanya benar untuk keadaan tertentu. Hasil temuan dapat di lihat sebagai berikut. Data 70 MD: “namun, walaupun bagaimana SKB ini kami akui sebagai langkah maju” Pada data di atas, ujaran ‘namun,walaupun bagaimana’ merupakan ‘pagar’ yang membatasi kebenaran pernyataan atau isi ujaran sebatas pendapat penutur saja. Dengan kata lain, penutur tetap diberi pilihan untuk menyetujui atau tidak menyetujui pendapat dimaksud. Universitas Sumatera Utara Data 71 MD: “gini mengenai tadi masalah bahwa Negara tidak ikut campur masalah Ketuhanan” Pada data di atas, ujaran ‘gini mengenai tadi masalah bahwa’ merupakan ‘pagar’ sebelum masuk ke inti persoalan. Ujaran atau tuturan hanya sebatas pendapat penutur saja, artinya penutur tetap diberi pilihan untuk setuju ataupun tidak terhadap tuturan Data 72 MD: “Jadi dengan demikian mulai besok polisi harus segera mengamati, mengawasi apakah ada pelanggaran terhadap masih mengajari” Penutur memakai kalimat berpagar ‘jadi dengan demikian’ menunjukkan bahwa ujaran yang dikemukakan oleh penutur tidak sepenuhnya tepat. Data 73 UH: “dalam konteks pandangan tadi saya kira pendapat itu ingin mengedepankan bahwa Negara lah yang harus mengambil sikap secara netral” Pada data di atas, ujaran ‘dalam konteks pandangan tadi’ merupakan kalimat berpagar dengan pengertian bahwa ujaran tersebut sebatas pendapat penutur saja. Penutur masih diberi ruang pilihan terhadap pendapatnya. Universitas Sumatera Utara Data 74 UH: “pada kenyataannya pada setiap prose see..peradaban ada masa- masa dimana Negara tidak mengambil sikap yang netral” Penutur menggunakan kalimat berpagar ‘pada kenyataannya’ yang menunjukkan apa yang dikatakan penutur tidak sepenuhnya tepat, hal tersebut hanya pendapat penutur saja. Belum tentu kenyataan. Data 75 UH: “dan kalau berbicara tentang Ahmadiyah, jangan kita hanya bicara tentang pimpinan- pimpinan Ahmadiyah..” Pada kalimat di atas kalimat berpagar di temukan pada awal tuturan yaitu ‘dan kalau’. Penutur hanya menyampaikan pendapatnya dan belum tentu benar. Data 76 UH: “yang kedua yang ingin saya tegaskan setiap agama sebenarnya membawa satu upaya untuk membangun peradaban yang lebih baik dan…” Kalimat ‘yang kedua yang ingin’ merupakan kalimat berpagar berdasarkan konteks tuturan percakapan di dalam penelitian ini. Dalam konteks tuturan tersebut hanya sekedar pendapat penutur saja. Bisa saja bukan yang kedua, tetapi pertama, ketiga, dst, terserah dari pendapat penutur sendiri. Universitas Sumatera Utara Data 77 MG: “oleh karena itu dari sudut teologi sebenarnya, saya sama dengan…” Data 78 MG: “oleh karena itu Negara tidak bisa masuk kedalam persoalan yang ada didalam dada manusia…” Data 79 MG: “oleh karena itu saya kira ini menjadi tantangan bagi sebagian besar umat Islam yang non Ahmadiyah untuk…” Data 77 sama dengan data 78 dan data 79 yaitu menggunakan kalimat berpagar ‘oleh karena itu’. Penutur seolah- olah yakin akan pendapatnya, padahal pendapatnya tidak sepenuhnya tepat. Ini sering ditemui dalam tuturan sehari- hari dan menurut kedua ahli Brown dan Levinson, ini merupakan strategi kesantunan negatif. Strategi 3: bersikap pesimis be pessimistic Didalam strategi kesantunan ini dapat memperbaiki keterancaman muka dengan cara secara eksplisit mengungkap kan keraguan mengenai apakah tindakan yang dimaksudkan penutur dapat dipenuhi pendengar Brown dan Levinson, 1987: 173. Strategi kesantunan negatif ini tidak di temukan dalam acara debat kontroversi SKB Ahmadiyah ini. Universitas Sumatera Utara Strategi 4: meminimalkan tekanan minimize the imposition Strategi ini merupakan bentuk implementasi dari mekanisme kesantunan negatif ketiga yakni jangan memaksa. Pilihan strategi ini dipakai untuk mengurangi derajat keterancaman muka, misalnya didalam bahasa Inggris menyisipkan kata “just” dalam kalimat “I just want to ask if I can borrow your pen”. Didalam bahasa Indonesia seperti. Data 80 MD: “closing statemen kami tentunya SKB ini merupakan langkah- langkah maju” Pada data 80 di atas, di tengah- tengah kalimat muncul kata ‘tentunya’ yang berarti penutur secara berhati- hati dalam menyampaikan tuturannnya untuk meminimalkan tekanan pada pendengar. Data 81 AA: “kita bisa lihat ya” Penggunaan kata ‘bisa’ di tengah- tengah kalimat dikategorikan strategi kesantunan 4 dengan pertimbangan bahwa kata tersebut dapat meminimalkan tekanan pada pendengar. Bandingkan apabila penutur mengatakan ‘kita lihat ya’ akan terlihat memaksa dan menjadi tidak santun, karena pendengar tidak mempunyai pilihan. Universitas Sumatera Utara Data 82 MG: “posisinya yang saya kira berbeda” Penutur menyampaikan ujaran dengan menyisipkan kalimat ‘yang saya kira’ artinya penutur masih ingin bersikap arif, tidak menekan pendengar secara langsung melalui tuturannya. Bandingkan apabila uturan tersebut menjadi ‘posisinya berbeda’, maka pendengar terpaksa setuju dan tidak punya pilihan terhadap ujaran tersebut. Data 83 MD: “ini dibelokkan juga bahwa ada kebebasan beragama dalam hal ini umat Islam yang di ganggu” Penutur menyisipkan kata ‘dalam hal ini’ untuk meminimalkan tekanan terhadap tuturannya. Bandingkan apabila penutur mengatakan ‘…kebebasan beragama umat Islam yang di ganggu’, maka akan tampak tekanan terhadap pendengar. Data 84 MD: “kalau jangan melakukan kekerasan bukan monopoli dari konflik ini” Data 85 UH: “tapi yang dilakukan oleh Rasulullah saat itu bukan dengan kemudian membubarkan orang itu atau dengan melakukan penyerangan terhadap orang itu…” Universitas Sumatera Utara Data 86 MG: “jadi bukan didalam konteks untuk membenarkan ajaran Ahmadiyah” Dari data 84, 85 dan 86 di atas, penutur memakai kata ‘bukan’ untuk menghaluskan ujaran daripada dengan tegas memakai kata ‘tidak’, padahal maksud dari tuturan tersebut memang ‘tidak’. Di dalam tuturan percakapan sehari- hari, tuturan seperti ini sering di jumpai. Data 87 UH: “kalau yang tadi disebutkan hanya menyangkut pasal 18 ayat 3” Data 88 UH: “…tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan bahwa pembatasan- pembatasan itu hanya akan mengakibatkan dirugikannya kelompok mayoritas…” Data 89 MG: “mak maksudnya hanya sebagai warga Negara kecuali Negara ini diformat ulang menjadi Negara Islam persisnya Islam suni” Dari data 87, 88 dan 89, penutur menyisipkan kata ‘hanya’ untuk meminimalkan tekanan dan menghaluskan tuturan. Universitas Sumatera Utara Data 90 MG: “…bukan hanya karena saya bukan Ahmadiyah, tapi karena memang sebagian tafsir- tafsir keagamaan yang dikembangkan oleh Ahmadiyah” Data 91 MG: “ini juga mengundang ketidak puasan bukan hanya dari orang- orang Ahmadiyah…” Dari data 90 dan 91 tampak bahwa penutur menggunakan kata ‘bukan hanya’ yang bertujuan untuk meminimalkan tekanan dan menghaluskan makna tuturan. Data 92 MD: “skb ini belum selesai” Data 93 MD: “…skb ini merupakan langkah- langkah maju tetapi belum cukup” Data 94 MG: “…Indonesia sampai sekarang belum menjadi Negara Islam…” Universitas Sumatera Utara Dari data 92, 93 dan 94 di atas, penutur menggunakan kata ‘belum’ untuk menghaluskan makna dan meminimalkan tekanan pada tuturannya. Pemilihan kata ‘belum’ diasumsikan juga sebagai ‘tidak’. Data 95 MG: “jadi memang oleh karena itu orang yang pro dan kontra atau SKB ini sebenarnya…” Data 96 MG: “karena memang dari sudut perundang- undangan SKB ini tidak dikenal sebenarnya. Karena itu memang harus clear karena lemah sebenarnya posisi SKB itu” Dari kedua data di atas, penutur menyisipkan kata ‘memang’. Kata tersebut digunakan di dalam sebuah tuturan berfungsi untuk meyakinkan tuturan dan juga untuk meminimalkan tekanan pada pendengar. Data 97 AA: “…agama Islam yang diyakini secara umum kita bisa analogikan dengan Negara misalnya” Data 98 AA: “saya bisa bayangkan misalnya ada seorang laki- laki kemudian datang kepada anda…” Universitas Sumatera Utara Pada data 97 dan 98, penutur menyisipkan kata ‘bisa’ atau pun ‘dapat’ . Tujuannya masih tetap sama yaitu untuk meminimalkan tekananan. Data 99 MG: “bahkan mungkin dalam agama lain tidak ada kesepakatan seperti begitu” Pada data di atas, penutur menyisipkan kata ‘mungkin’ yang menunjukkan ketidakpastian pendapat penutur dan bertujuan meminimalkan tekanan pada pendengar. Strategi 5: memberikan penghormatan give deference Menurut Brown dan Levinson 1987: 178 realisasi dari memberikan penghormatan terhadap pendengar ada dua jenis yang hubungan keduanya mirip dengan dua sisi mata uang. Pertama, penutur merendahkan dan mengabaikan dirinya dihadapan pendengar; kedua, penutur meninggikan posisi pendengar yang merupakan pemenuhan keinginan wajah positif manusia yakni untuk diperlakukan lebih tinggi. Hasil temuan penelitian dapat dilihat sebagai berikut. Data 100 MG: “saya meminta kepada seluruh umat Islam untuk menerima SKB ini sementara sebagai fakta politik…” Di dalam strategi ini penutur merendahkan diri dengan menggunakan pilihan kata ‘meminta’ , sebaliknya meninggikan posisi pendengar. Ini merupakan strategi santun yang sangat tampak jelas pada tuturan sehari- hari. Universitas Sumatera Utara Strategi 6: meminta maaf Apologize Strategi ini merupakan implementasi dari mekanisme kesantunan negatif yang keempat yakni mengkomunikasikan keinginan penutur untuk tidak menekan pendengar. Strategi memohon maaf dilakukan dengan cara menyampaikan keseganan penutur atau rasa maaf nya kepada pendengar. Pada acara debat kontroversi surat keputusan bersama Ahmadiyah yang di tayangkan di Tv One, tidak di temukan data tuturan yang menggunakan strategi kesantunan negatif ini. Strategi 7: memakai bentuk impersonal impersonalize S and H Strategi ini dilakukan dengan menyatakan seolah- olah diri penutur adalah orang lain, atau bukan penutur, atau bukan hanya penutur sendiri. Demikian juga pendengar yang dituju seolah- olah adalah pendengar yang lain atau justru hanya pendengar sendiri only inclusive of H. Didalam strategi ini memakai bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar. Strategi yang ditempuh adalah dengan menghindari penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’, menggandakan kata ganti ‘saya’ menjadi ‘kami’, mengganti kata ‘kamu’ dengan ‘pak’ atau ‘bu’. Temuan di dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut. Data 101 UH: “saya kira itu terlalu menyederhanakan persoalan karena tidak ada yang kecurian dan tidak ada yang kerampokan dalam hal ini” Universitas Sumatera Utara Pada data di atas penutur mengatakan ujarannya ditujukan pada ‘kamu’ tetapi penutur memilih tidak menyebutkan kata ‘kamu’, tetapi menggantinya dengan ‘itu’. Di dalam strategi ini harus di hindari kata ‘saya’ dan ‘kamu’ sebagai bagian tidak menyebutkan penutur dan pendengar. Data 102 MD: “saya minta kita mengungkapkan fakta saja. Belajar dulu” Pada data di atas dapat di lihat keterkaitan antara kalimat yang satu dengan yang lain. Penutur menghindari penggunaan kata ‘kamu’ yang di tujukan pada pendengar. Kaimat yang sebenarnya adalah ‘kamu belajar dulu’. Hal ini merujuk pada kalimat sebelumnya. Data 103 AA: “ya, tidak sepakat, ya” Pada data di atas penutur menghindari penggunaan kata ‘saya’. Tuturan yang di maksud adalah ‘ya, saya tidak sepakat, ya. Penghilangan kata ‘saya’ merupakan strategi kesantunan penutur. Universitas Sumatera Utara Strategi 8: menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum state the FTA as a general rule Strategi ini menyatakan bahwa tindakan mengancam muka yang dilakukan bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan penutur terhadap pendengar, tetapi adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan dengan alasan peraturan atau kewajiban. Salah satu cirinya adalah dengan menghindari kata ganti sebagaimana perbandingan dua contoh berikut Brown dan Levinson, 1987: 206. Data 104 MD: “islam tidak pernah mengajarkan begitu. Islam selalu menghormati agama- agama lain” Pada data di atas penutur menyampaikan tuturannya dengan mengancam muka dari pendengar. Hal tersebut bukan sesuatu yang ingin dilakukan penutur pada pendengar, tetapi adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan dengan alasan mentaati peraturan atau kewajiban. Penutur menekankan ujaran pada kata ‘Islam’ yang mewakili kelompok, bukan individu. Data 105 AA: “…dimana jua pun diluar jemaat Hazrab masyi mauud Alaissalam tidak mungkin diperoleh keyakinan kepastian dan cahaya itu” Universitas Sumatera Utara Data 106 AA: “siapa yang tidak menerima kebenaran Muhammad Rasulullah saw, maka kafir lah dia, mengingkari ku, mengingkari Mirza Ghulam Ahmad bukan hanya ingkar terhadap ku, melainkan juga pengingkaran terhadap Allah Ta’ala dan Rasulnya” Pada kedua data di atas, tuturan dinyatakan sebagai aturan yang berlaku bagi siapa saja, termasuk penutur dan pendengar. Tidak merujuk pada seseorang atau invidu dan kelompok, tetapi berlaku umum bagi siapa saja wajib untuk dipatuhi. Data 107 MD: “negara ini berdiri berkat rahmat Allah” Dari data 107 bahwa penutur menggunakan kata ‘negara’ sebagai bentuk paksaan pada pendengar untuk mematuhi peraturan atau merupakan kewajiban. Hal tersebut bukan sesuatu yang ingin dilakukan oleh penutur terhadap pendengar. Strategi 9: nominalisasi nominalize Strategi ini dilakukan dengan merubah kata tertentu menjadi kata benda. Menurut Brown dan Levinson 1987: 207 bahwa derajat kesantunan negatif adalah sejajar dengan derajat perubahan kata tertentu menjadi kata benda. Menurut kedua ahli, semakin dibendakan sebuah ujaran semakin jauh seorang aktor dari melakukan atau merasakan atau menjadi sesuatu. Sebagai konsekuensinya, bukan predikat yang menjadi atribut terhadap aktor tetapi aktor lah yang menjadi atribut terhadap tindakan. Hasil penelitian dapat dilihat sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara Data 108 UH: “jadi nabi tidak melakukan persetujuan atau melakukan tindakan perintah untuk membunuh Musailamatul Kazzab” Strategi ini dilakukan dengan merubah kata tertentu menjadi kata benda. Penutur memilih kata ‘persetujuan’ dan ‘perintah’ daripada menggunakan ‘menyetujui’ dan ‘memerintahkan’. Data 109 MD: “…negara sekarang telah membuktikan satu perlindungan terhadap warganya bahwa kebebasan beragama itu…” Penutur menggunakan kata ‘perlindungan’ daripada ‘melindungi’. Ini merupakan strategi santun yang semakin di bendakan sebuah kata, semakin santun lah ujaran atau tuturan tersebut. Strategi 10: menyatakan diri berhutang budi go on record as incurring a debt, or as not indebting H Strategi ini merupakan bagian dari mekanisme kelima dari kesantunan negatif dan disebut sebagai strategi kesantunan negatif tertinggi yakni memenuhi keinginan pendengar untuk dihormati. Didalam strategi ini intinya adalah seorang penutur, ketika melakukan tindakan pengancaman muka, menyatakan diri berhutang budi kepada pendengar dan bahkan menambahi hutang budi yang telah ada sebelumnya Universitas Sumatera Utara Brown dan Levinson, 1987: 209. Ujaran yang menggunakan strategi ini tidak ditemukan dalam acara debat. 4.1.3 Hubungan antara strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif dengan etika berbicara di dalam Islam Dalam penelitian ini berusaha menghubungkan antara strategi kesantunan Brown dan Levinson dengan etika berbicara di dalam Islam. Etika berbicara di dalam Islam dapat di katakan juga sebagai strategi kesantunan di dalam Islam. Penulis memilih permasalahan ini untuk di teliti dengan pertimbangan bahwa topik debat adalah mengenai Islam, kemudian para pelaku debat adalah muslim. Hubungan tentang strategi kesantunan berbahasa Brown dan Levinson dengan etika berbicara di dalam Islam yang akan di teliti adalah secara kualitatif yaitu berupa paparan tentang data- data yang saling di hubungkan, kemudian di cari persamaan dan perbedaannya. Lebih lanjut dapat di lihat hasil temuan sebagai berikut. 1 Hendaknya pembicaraan selalu di dalam kebaikan. Di dalam agama apa pun selalu mengajarkan kebaikan, termasuk juga di dalam berbicara. Etika berbicara di dalam Islam menurut Al- Ghazali, salah seorang alim ulama, yaitu hendaknya berbicara selalu di dalam kebaikan, artinya topik pembicaraan harus baik, tujuan pembicaraan harus baik dan memberi manfaat kebaikan. Universitas Sumatera Utara Jika dilihat hasil penelitian ini bahwa topik yang di bicarakan tentang kontroversi SKB Ahmadiyah. Ada dua belah pihak yang melakukan perdebatan. Ada yang pro- SKB dan kontra SKB. Topik ini baik untuk di bicarakan, yaitu menunjukkan keterbukaan akan sebuah masalah yang terjadi di sekitar umat Islam. Di harapkan melalui acara debat ini akan menggugah pihak- pihak terkait untuk menyoroti masalah ini dan dapat mencari solusi terbaik tanpa kekerasan. Apabila di kaitkan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson dengan etika berbicara di dalam Islam ini sepertinya tidak kaitan secara langsung, karena Brown dan Levinson dengan 25 strategi kesantunan nya tidak ada membahas tentang topik, tujuan dan manfaat berbicara. Tidak akan di temukan hubungan berupa tuturan antara kedua strategi ini. Hanya saja menurut Brown dan Levinson dengan 25 strategi kesantunannya ini adalah baik, maka dibuatnya sebagai acuan dalam berbicara. Baik menurut Brown dan Levinson belum tentu cocok untuk di gunakan did alam tuturan budaya masyarakat Indonesia, karena kedua ahli adalah orang asing berbudaya barat, sedangkan Indonesia khususnya berbudaya timur. Lebih lanjut hubungan kedua strategi akan di lihat pada penelitian ini. 2 Sebaiknya jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Salah satu yang tidak berguna dalam pembicaraan, dan bahkan bisa merugikan diri sendiri yang perlu kita hindari adalah bergunjing ghibah dan memfitnah. Bergaul dengan sesama memang baik dalam kaitan silaturahmi, dan Universitas Sumatera Utara orang bijak akan membatasi memasuki suatu kumpulan untuk menghindari ‘mulut yang berbahaya’. Di dalam strategi kesantunan positif yaitu strategi kesantunan ketiga selanjutnya SKP-3 terdapat kaitan dengan etika ke- 2 ini. SKP-3 yaitu mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran fakta dan peristiwa. Etika ke-2 ini melarang berbicara yang tidak berguna, sementara berbicara panjang sambil mendramatisir fakta dan peristiwa dapat dikateorikan juga berbicara sesuatu yang tidak berguna. Terdapat kemiripan antara kedua strategi ini. Untuk lebih jelas dapat di lihat contoh SKP-3 sebagai berikut. Data 3 MD: “kalau bicara masalah kekerasan maka KPUD- KPUD itu bubarkan saja. Karena setiap pilkada selalu melakukan kekerasan. Contoh, Maluku Utara sampai sekarang belum beres. Berapa rumah yang terbakar? Itu bukan gara- gara SKB. Itu gara- gara KPUD” Dari tuturan di atas, penutur mengkaitkan kekerasan dengan KPUD dan mencontohkan Maluku Utara. Kemudian di dramatisir dengan rumah yang terbakar dikaitkan dengan surat keputusan bersama dan KPUD. Ini adalah sesuatu yang tidak berguna karena apakah memang benar faktanya dan semua orang sependapat dan setuju dengan tuturan tersebut. Apakah tuturan tersebut mengandung kebenaran tidak diketahui. SKP-3 terdapat 11 temuan, namun penulis hanya mengambil satu contoh Universitas Sumatera Utara saja yaitu pada data 3. Untuk data SKP-3 selanjutnya dapat di lihat pada sub bab 4.1.1. Kaitan atau hubungan kedua adalah dengan strategi kesantunan positif yang ke-7 selanjutnya SKP-7 yaitu menunjukkan hal- hal yang dianggap memiliki kesamaan melalui basa- basi dan presuposisi. Di dalam strategi ini termasuk gosip dan pembicaraan ringan. Di dalam Islam hal yang di takutkan dari gosip dan berbicara ringan adalah tidak terkontrol nya pembicaraan akan menimbulkan fitnah. Salah satu contoh di dalam debat menggunakan strategi ini. Data 36 UH: “…karena tuntutan para penentang Ahmadiyah kan adalah membubarkan organisasi jama’ah Ahmadiyah Indonesia” Data 39 MG: “nah ini sekarang kan mau dibekukan” Penulis mengambil contoh dua data dari empat data temuan untuk SKP- 7 ini. Dari kedua data di atas, penutur mencari persetujuan pendengar terhadap tuturannya dengan sedikit berbicara ringan dan terdengar seperti bergosip. Jadi ada sedikit perbedaan bahwa etika berbicara di dalam Islam bertolak belakang dengan SKP- 3 dan SKP-7 Brown dan Levinson. Universitas Sumatera Utara 3 Hendaknya orang yang berbicara tidak membicarakan semua apa yang pernah didengar, sebab bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Untuk etika berbicara yang ke tiga ini tidak berkaitan dengan strategi Brown dan Levinson, karena strategi kedua ahli tersebut tidak ada membicarakan perihal seperti etika berbicara di atas. 4 Menghindari perdebatan dan saling membantah, meskipun kita berada di pihak yang benar, dan menjauhi perkataan dusta meskipun bercanda. Untuk etika berbicara yang keempat ini tidak di temukan memiliki hubungan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson, baik strategi positif maupun negatif. Apabila di kaitkan dengan konteks situasi memang situasi penelitian ini adalah debat, tentu saja terdapat perdebatan dan saling membantah. Jadi hanya berkaitan dengan konteks situasi tuturan tetapi tidak dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. 5 Berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Tujuan bebicara dengan tidak tergesa- gesa adalah untuk menghindari kesalahpahaman dan memperjelas arti dan maksud. Dari temuan kesantunan Brown dan Levinson tidak ada membahas perihal ini. Dari konteks situasi debat memang di lihat bahwa para pelaku debat banyak melanggar etika berbicara di dalam Islam ini. Universitas Sumatera Utara 6 Hindari memotong pembicaraan Dari konteks situasi debat kontroversi surat keputusan bersama Ahmadiyah, memotong pembicaraan banyak di temui. Belum selesai penutur berbicara, telah di potong dengan pendengar dan seterusnya. Artinya dalam konteks etika berbicara di dalam Islam sebaiknya tidak seperti ini dan bagi pelaku debat muslim tidak melakukan hal ini. Hal ini tidak di bahas dalam kesantunan Brown dan Levinson 7 Janganlah berbicara bohong Dalam konteks situasi debat tidak tampak pelaku debat berbicara bohong, yang ada pendramatisiran fakta, berbicara panjang lebar dengan maksud yang tidak terlalu jelas, berbicara tergesa- gesa dan sebagainya. Brown dan Levinson tidak ada membahas tentang tidak boleh berbicara bohong secara tegas. 8 Hindari berbicara yang bernuansa penghinaan, ucapan apapun yang bersifat merendahkan, mengejek dan menghina seseorang atau kelompoknya dalam bentuk apapun, baik tentang kepribadian, postur tubuh, maupun keadaan ekonomi-sosialnya. Terdapat sedikit kesamaan antara etika berbicara ini dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson yang ke delapan SKP-8 yaitu menggunakan lelucon. Hasil temuan tidak banyak di temui strategi kesantunan ini mungkin di sebabkan karena topik yang dibicarakan cukup serius. Hasil temuan ini di antaranya Universitas Sumatera Utara Data 40 MD: “...ibu saya diganti saya marah. Ini rasul saya” Dari data di atas, penutur mencoba berkelakar tetapi dengan berusaha santun, tidak secara langsung di tujukan pada siapa pun, tidak berusaha untuk menyinggung siapa pun. Tetapi hanya lah mengibaratkan diri sendiri. 9 Hindari ikut campur urusan pribadi orang lain, apalagi kalau memang kita tidak berkepentingan dan tidak memberikan manfaat. Untuk etika berbicara yang ke sembilan ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat huga tidak tampak tuturan yang menggunakan parameter ini. 10 Jangan mengungkit masa lalu tentang kesalahan, aib atau kekurangan seseorang. Untuk etika berbicara yang ke sepuluh ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat juga tidak tampak tuturan yang menggunakan parameter ini. 11 Jangan membela musuh seseorang. Universitas Sumatera Utara Untuk etika berbicara yang ke sebelas ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat juga tidak tampak tuturan yang menggunakan parameter ini. 12 Jangan merusak kegembiraan orang lain atau orang yang sedang bersuka- cita Terdapat kesamaan antara etika berbicara ke dua belas ini dengan strategi kesantunan positif yang ke enam SKP-6 yaitu menghindari ketidak setujuan dengan berpura- pura setuju, persetujuan semu, berbohong untuk kebaikan. Hasil temuan di antaranya. Data 31 UH: “ya sebenarnya tidak ada yang dimenangkan, tidak ada yang dikalahkan tetapi saya kira yang paling penting sekarang bagaimana agar kita semua bisa menyerukan semua pihak untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan untuk mencegah segala bentuk kekerasan agar kita mampu membawa kehidupan beragama yang lebih baik berdasarkan persaudaraan, kesetaraan dan kebebasan dari kita semua untuk saling menghormati” Dari data 31 di atas merupakan bagian dari strategi kesantunan positif yang ke- 6 yaitu menghindari ke tidak setujuan dengan berpura- pura setuju atau pun persetujuan yang semu. Penutur berusaha untuk santun dengan menggunakan kalimat ‘ya sebenarnya tidak ada yang di menangkan, tidak ada yang di kalahkan’ untuk menggantikan maksud memang ada yang menang dan ada yang kalah. Penutur Universitas Sumatera Utara berusaha untuk mengalihkan fokus pembicaraan agar tidak lagi membahas mengenai siapa yang menang dan kalah dengan melanjutkan kalimat ‘…yang paling penting sekarang…’ . Ini merupakan strategi santun yang lazim di gunakan oleh masyarakat Indonesia. Dari lima data temuan SKP-6 ini, penulis mengambil contoh satu yaitu data 31. Untuk melihat data SKP-6 , selanjutnya dapat dilihat pada sub bab 4.1.1. 13 Hindari membandingkan, baik berupa jasa, kebaikan, penampilan, harta dan kedudukan seseorang dengan orang lain, yang jika mendengarnya, akan menyebabkan dia merasa tidak berharga atau diremehkan, menjadi rendah diri dan terhina. Untuk etika berbicara yang ke tigabelas ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat juga tidak tampak tuturan yang menggunakan parameter ini. 14 Pandai-pandailah dalam mengendalikan amarah Untuk etika berbicara yang ke empatbelas ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat, para pelaku debat mampu mengendalikan amarah walaupun situasi sudah mendekati emosional. 15 Jangan menertawakan Universitas Sumatera Utara Untuk etika berbicara ini tidak tampak ada kaitan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Dalam konteks situasi debat, tidak ada yang saling menertawakan. Semua pihak berusaha santun dengan tidak saling menertawakan.

4.2 Pembahasan