untuk melakukan perbuatan khalwatmesum, setiap orang juga diwajibkan untuk mencegah terjadinya perbuatan khalwatmesum, dimana hal ini merupakan bentuk
dari ajaran Islam amar ma’ruf dan nahi munkar.
26
Masyarakat juga harus ikut berperanserta dalam pelaksanaan qanun ini dan dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan
khalwatmesum, yaitu dengan cara melapor kepada pejabat yang berwenang Wilayatul Hisbah baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya
pelanggaran terhadap larangan khalwatmesum. Selain melapor, apabila pelaku khalwat tertangkap tangan oleh masyarakat setempat maka pelaku beserta barang
bukti yang ada harus segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang Wilayatul Hisbah.
Selain peran serta masyarakat dalam pelaksanaan qanun, diperlukan pula pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh seperti:
Gubernur, BupatiWalikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik yang berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan
larangan perbuatan khalwatmesum, larangan menyediakan fasilitas dan larangan melindungi pelaku khalwatmesum. Pengawasan dan pembinaan tersebut
dilakukan dengan membentuk Wilayatul Hisbah atau polisi Syari‟ah.
27
26
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum BAB III Larangan dan Pencegahan Pasal 4,5,6, dan 7.
27
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum BAB V Pengawasan dan Pembinaan Pasal 13.
Dalam pelaksanaan tugas pengawasan, Wilayatul Hisbah dapat menyampaikan laporan secara tertulis kepada pejabat penyidik bila menemukan
pelaku pelanggaran khalwatmesum dan pelaku pelanggaran memberikan fasilitas dan perlindungan terhadap pelaku khalwat. Sedangkan dalam pelaksanaan tugas
pembinaannya, pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan serta pembinaan kepada pelaku sebelum menyerahkan pelaku kepada penyidik. Dan
atas peringatan dan pembinaan tersebut, pejabat Wilayatul Hisbah wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada penyidik.
28
Setiap orang yang melanggar atas keharaman khalwatmesum, maka diancam dengan hukuman cambuk paling tinggi 9 sembilan kali cambuk dan
paling rendah 3 tiga kali cambuk danatau hukuman denda paling banyak Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah dan paling sedikit Rp. 2.500.000,- dua juta
lima ratus ribu rupiah. Adapun bagi pelaku yang melanggar dengan perbuatan khalwat, diancam dengan hukuman kurungan paling lama 6 enam bulan dan
paling singkat 2 dua bulan danatau hukuman denda paling banyak Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah dan paling sedikit Rp. 5.000.000,- lima juta
rupiah. ‘uqubat dalam pelanggaran tersebut, termasuk kedalam ‘uqubat takzir.
29
Jika terjadi pengulangan dalam pelanggaran tersebut, maka hukumannya dapat ditambah 13 sepertiga dari ancaman hukuman maksimal.
30
28
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum BAB V Pengawasan dan Pembinaan Pasal 14.
29
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum Pasal 22.
30
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum Pasal 24.
C. Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Syari’at Islam
Sejak Negara Republik Indonesia merdeka perkembangan dan perubahan mengenai adanya Peradilan Agama
danatau Mahkamah Syar‟iyyah terjadi dalam beberapa fase perubahan. Mahkamah Syar‟iyyah di daerah Aceh sudah ada sejak
tahun 1957 yakni sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957. Mahkamah Syar‟iyyah Pengadilan Agama tersebut baru diadakan untuk
daerah Aceh saja, dan kewenangannya terbatas hanya pada hukum keluarga saja ahwal asy-Syakhsiyah belum selesai pada Peraturan Pemerintah di atas. Setelah
itu, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan AgamaMahkamah
Syar‟iyyah. Pengadilan AgamaMahkamah Syar‟iyyah tersebut berlaku untuk seluruh Indonesia. Akan tetapi nama Peradilan AgamaPeradilan Syari‟at Islam
pada seluruh wilayah Indonesia tersebut masih berbeda-beda namanya. Pulau Jawa dan Madura memiliki Pengadilan Agama dengan sebutan Pengadilan Agama
dan Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur memiliki Pengadilan Agama dengan sebutan Kerapatan Qadhi dan
Kerapatan Qadhi Besar.
31
Pada Tahun 1989, hal tersebut di atas berubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berlaku
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Lembaga Peradilan Agama pada seluruh wilayah Indonesia diseragamkan menjadi Pengadilan Agama dan
31
Penjelasan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari‟at Islam.
Pengadilan Tinggi Agama. Kewenangannya masih terbatas pada hukum keluarga saja ahwal asy-Syakhsiyah yang meliputi perkawinan, perceraian, harta
perkawinan, pengasuhan anak, kewarisan, serta sengketa dibidang wakaf, infaq dan sadaqah.
32
Pada Tahun 2001, terjadi perubahan lagi dalam pelaksanaan Peradilan Syari‟at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh ditetapkan bahwa Peradilan Syari‟at Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Mahkamah Syar‟iyyah dengan kompetensi absolut meliputi seluruh aspek syariat Islam yang akan diatur dengan
qanun.
33
Maka pada tahun 2002, disahkanlah Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan S
yari‟at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pasal 1 Qanun tersebut dinyatakan bahwa Peradilan Syari‟at Islam merupakan
bagian dari sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Mahka
mah Syar‟iyyah tersebut merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada, dan kekuasaan
kehakimannya berpuncak pada Mahkamah Agung yaitu sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Jadi, Mahkamah Syar‟iyyah berkedudukan sebagai pengadilan
tingkat pertam a yang berada di ibukota KabupatenKota, Mahkamah Syar‟iyyah
32
Al- Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005, hal, 315.
33
Penjelasan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari‟at Islam.
Provinsi berkedudukan sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Mahkamah Agung
berkedudukan sebagai pengadilan tingkat kasasi.
34
Pada pasal 49 dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 ini, diperjelas mengenai kompetensi dan kewenangan Mahkamah Syar‟iyyah, yaitu bahwa
Mahkamah Syar‟iyyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama yakni dalam bidang ahwal
asy-Syakhsiyah, mu’amalah dan jinayah.
35
Adapun hukum materiil dan formil yang menjadi sumber acuan dalam Peradilan Syari‟at IslamMahkamah
Syar‟iyyah ini ialah bersumber dari atau sesuai dengan syariat Islam yang akan diatur dengan Qanun.
36
34
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari‟at Islam Pasal 1 sd 6.
35
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari‟at Islam BAB III Kekuasaan dan Kehakiman Mahkamah Pasal 49.
36
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari‟at Islam BAB IV Hukum Materiil dan Formil Pasal 53-54.