Perbandin gan Putusan Mahkamah Syar’iyyah Aceh dengan Fiqh
غ اا اثَداح :راَشاب نْبا دَماح اا اثَداح كلاا انْبا اسا اا ْعماس :الااق ااش ْناع ةا ْعش اا اثَداح :رادْ
اَا ان ةاأارْ ا اءااج :لااق ْ اع ه ايضار َلال ِي َ لا الا راااْ
:الااقاف ااهب اَاخاف امَلاساو ْيالاع ه .َيالا ساَ لا باحا اَ ْم َ ا هاو
7
“Muhammad bin Basyar menyampaikan kepada kami dari Ghundar, dari Syu‟bah, dari Hisyam yang mengatakan, aku mendengar Anas bin Malik berkata,
“seorang wanita Anshar datang menemui Nabi Saw. beliau kemudian berbicara berdua bersama wanita tersebut. Beliau bersabda, „Demi Allah, kalian kaum
Anshar adalah orang- orang ayang paling aku cintai.‟”.
Hal ini juga dijelaskan oleh Al- Muhallab, “bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Anas tidak dimaksudkan bahwa Nabi Saw. berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang di sekitar Nabi Saw tatkala
itu, namun Nabi Saw. berkhalwat dengan wanita Anshar tersebut agar orang-orang disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang
berlangsung antara Nabi Saw. dan wanita tersebut.”
8
Kedua, khalwat yang diharamkan adalah khalwat antara laki-laki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berdasarkan pendapat Imam An-
Nawawi bahwa para „ulama sepakat atas dua hal yaitu: 1 haram hukumnya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan 2 seorang wanita dibolehkan
7
Ensiklopedi Hadits SHAHIH AL-BUKHARI 2. Jakarta: Al-Mahira, 2012. Hal, 386 hadits No. 5234.
8
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al- „Asqalani, Fathul Barii Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut:
Dar Al-Kitab Al- „Ilmiyah, 2003 Jilid Tiga, hal, 1066.
berkhalwat dengan mahramnya. Kemudian ditambahkan oleh Ibnu Hajar bahwa khalwat yang dilarang tersebut yaitu khalwat yang tertutup dari pandangan
manusia. Adapun berdasarkan Putusan Mahkamah Syar‟iyyah aspek yang dilarang ialah perbuatan khalwatmesum yang mengarah kepada perbuatan zina.
2. Subjek Hukum Adapun subjek hukum atas larangan tersebut berdasarkan fiqh ialah setiap
laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya, baik hanya berdua maupun lebih dari dua. Sebab para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya
seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu atau berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi.
Imam An- Nawawi berkata, “ berkata para sahabat kami yang bermadzhab
Syafi‟i, jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahramnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali
tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajnabiah dan berkhalwat dengannya maka
hukumnya adalah haram, dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat.
9
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan, karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk
berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang diantara mereka di hadapan
9
Imam Abi Zakariyya Muhyiddin Bin Syarof An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, Beirut, Libanon: Darul Fikr,2005, hal, 241.
mereka. Pendapat yang kedua Imam As- Syafi‟i menyatakan bahwa
diharamkannya seorang pria mengingami beberapa wanita, kecuali diantara wanita tersebut ada mahram pria tersebut atau istrinya. Imam As-
Syafi‟i meyakinkan akan haramnya berkhalwat seorang pria dengan para wanita kecuali
jika ada mahram pria tersebut bersama mereka atau istrinya.”
10
Jadi, tidak akan hilang keharaman mengimaminya seorang laki-laki di hadapan banyak wanita hingga ada di
antara para wanita tersebut mahram dari laki-laki tersebut, seperti ibunya, istrinya, atau mahram lainnya. Sebagaimana
dalam hadits Anas, yaitu sebagai berikut:
ْ اع ه ايضار كلاا نْب سا اأ ْناع َلال ي َ لا :الااق
,مْيالس ِ أ ْياب ْيف امَلاساو ْيالاع ه اا افْلاخ مْيالس أاو افْلاخ مْي اياو ْمقاف
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, “Nabi Saw. shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku berdiri bersama anak yatim di belakang beliau dan Ummu
Sulaim di belakang kami.” HR. Al-Bukhari.
11
Ibnu Hajar berkata:
اا ْفالاخ مْيالس أاو
hal ini menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan untuk menghindari akan timbulnya fitnah.
12
10
Imam Abi Zakariyya Muhyiddin Bin Syarof An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, hal, 241.
11
Ibnu Hajar Al-Asqalani Penerjemah Amiruddin, Lc, Terjemah Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003, hal, 776 hadits Nomor 871.
12
Ibnu Hajar Al-Asqalani Penerjemah Amiruddin, Lc, Terjemah Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, hal, 394.
Imam An- Nawawi berkata: “Adapun berkhalwatnya dua orang lelaki atau
lebih dengan seorang wanita, maka yang masyhur adalah haramnya hal tersebut, disebabkan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal
yang keji zina terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-
orang yang jauh dari perbuatan keji, maka tidak mengapa.”
13
Adapun hukum berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi itu berawal dari hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, yaitu sebagai
berikut:
اعلا نب ورْماع نب ه دْ اع ْناع ْن ا رافا َ اأ :اامهْ اع ه ايضار ا
الاع اْولاخا مشاا ي اب اكا اف ,اكلا ا را اف ,ْم ااراف , ا ْواي ا ْحا اي او قْيِدِالا رْ اب ْوباأ ا اخاداف ,سْيامع ْ ب اءاامْساأ
اكلا ار َلال ه لْوسارل
ْيالاع ه َلال ه لْوسار الااقاف ,ا رْياخ ََا اراأ ْمال :الااقاو ,امَلاساو
:امَلاساو ْيالاع ه َلال ه لْوسار ا ااق َمث ,اكلا ْن اا اأَراب ْداق اه َ ا
َنالخْداياَ :الااقاف را ْ ملا الاع امَلاساو ْيالاع ه ادْعاب جار
اعا او ََا ةا ْيغ الاع اا ا ْي ْواي اا ْثا واأ جار
“Dari Abdullah bin „Amr bin Al-„Ash bahwasanya beberapa orang dari Bani Hasyim masuk menemui Asma‟ binti „Umais, lalu Abu Bakar masuk dan
tatkala itu Asma‟ telah menjadi Istri Abu Bakar As-Siddiq lalu Abu Bakar melihat mereka dengan pandangan yang kurang senang. lalu Abu Bakar pergi
menyampaikan hal itu kepata Rasulullah Saw. dan ia berkata, „ Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan‟. Rasulullah Saw. berkata, „sesungguhnya Allah telah
13
Imam Abi Zakariyya Muhyiddin Bin Syarof An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, Beirut, Libanon: Darul Fikr,2005, hal, 241.
membebaskan Asma‟ dari perkara tersebut perkara yang jelek‟. Kemudian Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar dan berkata, „Mulai hari ini janganlah
seorang laki-laki menemui mughibah
14
kecuali bersamanya seorang laki-laki atau dua orang yang lain.‟” HR. Muslim
15
Seorang banci bersama seorang wanitabanyak wanita maka hukumnya ia seperti seorang pria maka berlaku baginya hukum khalwat, demikian juga jika ia
bersama seorang priabanyak pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita maka berlaku baginya hukum khalwat.
16
Jadi, ulama sepakat bahwa subjek hukum dalam larangan khalwat ini berlaku bagi semua orang mukallaf baik laki-laki maupun perempuan, yaitu
dilarang berkhalwat dengan laki-laki ajnabi atau dengan wanita ajnabiah. 3.
‘UqubatSanksi Adapun mengenai
‘uqubatsanksi terhadap pelaku khalwat yang diharamkan di dalam fiqh ialah bahwa
‘uqubatketentuan hukum terhadap pelaku khalwat itu tidak ada batasan atau hukuman tertentu.
14
Mughibah ialah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik sedang bepergian keluar kota maupun hanya keluar rumah namun masih dalam kota.
15
Muhammad Nashirudin Al-Albani penerjemah, Subhan dan Imran Rosadi, Ringkasan Shahih Muslim Buku 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003, hal, 175 hadits Nomor 1447.
16
Imam Abi Zakariyya Muhyiddin Bin Syarof An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, Beirut, Libanon: Darul Fikr,2005, hal, 241.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaku khalwat dikenakan ‘uqubat
takzir bukan hukuman hadd . Di dalam fiqh Syafi‟iyyah, ulama sepakat bahwa
ketentuan hukum terhadap pelaku khalwat yaitu dikenakan ‘uqubat takzir yang
jenis hukumannya akan ditentukan oleh ijtihad imamulil amri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan setiap perkaranya.
Di dalam sebuah risalah disebutkan beberapa kemaksiatan yang tidak ada hukum tertentu di dalamnya dan tidak ada denda, seperti: menciumi anak belum
dewasa shabi atau perempuan yang bukan mahrom nya, berkencan tanpa bersetubuh berkhalwat, dan kemaksiatan-
kemaksiatan lainnya. Maka „uqubat bagi pelaku pelanggaran tersebut harus dihukum dengan
‘uqubat takzir, yaitu hukuman fisik dan pukulan yang bersifat mendidik
ta’diban. Hal tersebut berdasarkan kebijakan sang pemimpin ulil amri yang dilihat berdasarkan tinggi
rendahnya atau sedikit banyaknya pelanggaran yang dilakukan.
17
Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibary di dalam kitab I’anatut
Thalibin menjelaskan: “Hukuman takzir itu bisa dengan memukul dengan pukulan
yang tidak sampai membuat kesakitan, atau dengan tamparan dengan telapak tangan, atau dengan menahan, atau pengasingan dan lain sebagainya menurut
pandangan orang yang mentakzir yaitu hakim yang hukuman tersebut sejenis dan seukuran dengan keadaannya”.
18
17
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2005, hal, 157.
18
Syaikh Zainuddin „Abdul „Aziz Al-Malibariy Penerjemah Aliy As‟ad, Fathul Mu’in bi Syarhil Qurrotil Aini, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal, 313.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa berduaan dengan perempuan yang bukan mahram merupakan tindakan kemaksiatan yang pelakunya tidak terkena
ancaman hukuman hadd tidak pula diwajibkan membayar kafarat, akan tetapi terkena ancaman
ta‟zir, baik itu berupa teguran, peringatan keras, dipenjara, denda dengan harta, dan lain sebagainya.
19
Tidak ada batasan minimal dalam pelaksanaan hukuman takzir, karena seseorang dapat merasakan hukuman takzir cukup dengan nasihat, peringatan
keras, maupun dengan ditunjukkan letak kesalahannya. Yang penting penerapan ‘uqubat takzir tersebut mengandung maslahat yaitu menimbulkan efek jera
terhadap pelaku sehingga pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
20
Sebagian ulama mengatakan tidak boleh lebih dari sepuluh cambukan. Kemudian ada dua pendapat lain, pertama: tidak boleh sampai pada batas minimal
hadd, seperti orang yang merdeka tidak boleh dihukum cambuk lebih dari empat puluh atau delapan puluh cambukan. Kedua: tidak boleh melebihi hukuman dari
jenisnya, meski mungkin melebihi hukuman jenis yang lain, seperti orang yang bercumbu tidak sampai berzina, hukumannya tidak boleh sampai pada hukuman
19
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu Jilid 7, Jakarta: Darul Fikir, 2011, hal, 260.
20
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2005, hal, 158.
zina, meski bisa saja melebihi hukuman orang yang menuduh berzina. Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi‟i.
21
Syaikh Zainuddin „Abdul Aziz Al-Malibariy menjelaskan dalam kitab Fathul Mu‟in, bahwa Imam atau wakil imam berhak menghukum takzir kepada
seseorang yang melakukan ma‟shiyat yang tidak ada ketentuan hukuman hadd atau kafaratnya, baik itu merupakan hak Allah maupun hak manusia, yang salah
satunya ialah menggauli wanita ajnabiah pada selain farji.
22
Jadi, berdasarkan madzhab Syafi‟iyyah bahwa pelanggaran khalwat itu dikenakan hukuman takzir, yang bentuk hukuman takzir tersebut ditentukan oleh
imam ulil amri baik itu berupa memukul yang tidak melukai, atau memenjara, atau menghina dengan perkataan, atau mengasingkan, atau menyuruh berdiri
dikalangan orang banyak dan lain sebagainya. Karena yang terpentinga ialah memberikan efek jera terhadap para pelaku.
Pendapat kedua menyatakan pelaku khalwat dihukum dengan ‘uqubat
hadd. Hal ini sesuai dengan pendapat Khulafa‟ ar-Rasyidin tentang seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang bukan mahram berada dalam satu selimut, maka
21
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2005, hal, 159.
22
Syaikh Zain uddin „Abdul „Aziz Al-Malibariy Penerjemah Aliy As‟ad, Fathul Mu’in bi
Syarhil Qurrotil Aini, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal, 313.
keduanya dipukul seratus kali. Hal ini berdasarkan pendapat Madzhab Imam Ahmad.
23
Berdasarkan analisis ini ada perbedaan diantara putusan Mahkamah Syar‟iyyah Aceh dengan pendapat ulama fiqh, yaitu bahwa di dalam putusan
Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh Nomor: 03JN2010MS-ACEH disebutkan bahwa pelaku khalwat diputus pidana takzir yaitu berupa hukuman cambuk di
depan umum masing-masing: Terdakwa I sebanyak 7 tujuh kali cambuk dan Terdakwa II sebanyak 9 sembilan kali cambuk. Dalam surat dakwaan telah
diceritakan kronologi kejadian bagaimana pelaku melakukan pelanggaran, yaitu bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II berada bersamaan di dalam kamar yang sama
sedangkan terdakwa I bukanlah mahram dari Terdakwa II wanita ajnabiah, dan berdasarkan keterangan dari surat dakwaan bahwa para Terdakwa bukan hanya
berkhalwat, akan tetapi sudah sampai perbuatan zina. Berdasarkan hal tersebut, maka Imam atau wakil imam berhak
menghukum takzir kepada seseorang yang melakukan ma‟shiyat yang tidak ada
ketentuan hukuman hadd atau kafaratnya, baik itu merupakan hak Allah maupun haka manusia, yang salah satunya ialah menggauli wanita ajnabiah pada selain
farji. Pendapat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berada dalam satu selimut didera seratus kali.
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan di dalam putusan Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh Nomor: 03JN2010MS-ACEH dengan fiqh Islam,
23
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2005, hal, 160.
kecuali pendapat Imam Ahmad yang menghukum cambuk 100 kali, seperti pelaku zina ghoru muhshon.