mengembala di sekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan melanggar memasuki ke dalam pagar‟.” HR. Bukhari Muslim.
Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah dan hadits di atas, maka dapat disimpulkan bahwa khalwat juga merupakan tindak pidana jarimah yang
dapat dikenakan sanksi atas pelanggarannya, sebab khalwat berada dalam sekitar larangan zina, tidak mungkin berbuat zina jika tidak didahului oleh
perbuatan khalwat. Maka khalwat diancam dengan ‘uqubat takzir. Sebab
khalwat tidak termasuk dalam kategori hudud maupun qishash, yang aturan dan bentuk hukumnya telah ditetapkan oleh Q
ur‟an dan hadits. Di dalam Hukum Pidana Islam, ada 3 kategori
‘uqubat untuk pelaku jarimah, yakni sebagai berikut:
1 Qishash dan Diyat
Qishash dalam arti bahasa
ثاا عبَ
yakni menelusuri jejak. Pengertian itu digunakan untuk arti hukuman, sebab orang yang melakukan tindak
pidana pembunuhan atau pelukaan berhak atas qishash, yakni hukuman yang diberikan sesuai dengan menelusuri jejak pelaku.
Terkadang qishash juga diartikan dengan al-Mumatsalah, yang berarti keseimbangan dan kesepadanan.
40
Dari kata al-Mumatsalah ini kemudian muncul pengertian qishash secara istilah syara‟
لْعف ْثمب ي ا لا ةا ااج
yakni yang artinya memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya.
40
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal, 148.
Jadi dari pengertian diatas, ‘uqubat qishosh itu diberikan kepada
pelaku pembunuhan dan pelukaan.
41
2 Hadd
Pengertian Hadd menurut Abdul Qadir Audah yakni:
ةابْوقعلا او داحلااو قاح ةارَداقملا
الااعا ل ا
“Hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah
.”
42
Jarimah-jarimah yang termasuk kedalam hadd yaitu ada 7 macam jarimah, yakni jarimah zina, jarimah qadzaf menuduh zina, jarimah
syurbul khamar, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah pemberontakan, dan jarimah riddah.
43
3 Takzir
takzir secara bahasa bermakna ta’dib, yaitu memberi pelajaran. Dan
takzir juga diartikan ar-Raddu wa al- Man’u yang berarti menolak dan
mencegah. Secara jelasnya, ‘uqubat takzir yakni hukuman untuk
jarimah-jarimah yang bukan termasuk jarimah qishash dan bukan pula termasuk jarimah hudud. Dan hukuman takzir juga tidak ditetapkan
41
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal, 149.
42
Abdul Qadir „Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i AL-Islamy, Mesir:Daar At-Tirats, 2005, hal, 303.
43
Abdul Qadir „Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i AL-Islamy, hal, 304.
oleh syara’, maka wewenang untuk menetapkan ‘uqubat diserahkan
kepada ulil ‘amri.
44
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dalam hukum pidana Islam khalwat masuk ke dalam jarimah takzir dan bagi pelanggarnya diancam
dengan ‘uqubat takzir, karena melihat mafsadat yang akan timbul dari
perbuatan khalwat maka sepantasnya pelaku pelanggaran khalwat untuk di berikan sanksi takzir, adapun bentuk sanksinya diserahkan kepada ulil
amri.
44
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal, xii.
37
BAB III PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH
Aceh merupakan salah satu daerah provinsi yang termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum, dan Provinsi Aceh tersebut diberi kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan untuk dapat melaksanakan s
yari‟at Islam
1
dalam cakupan wilayahnya yang diberlakukan kepada seluruh masyarakat Provinsi Aceh. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 mengenai pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Sejarah perjuangan rakyat Aceh sangat dibanggakan dalam Sejarah
Kemerdekaan Indonesia, sehingga Aceh mendapat otonomi khusus tersebut. Adapun daya juang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Aceh salah satunya
bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi para penjajah pada
masa itu. Masyarakat Aceh juga menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Kurang dan lebihnya masyarakat Aceh sangat tunduk kepada ajaran Islam serta
taat dalam memperhatikan fatwa ulama, ulama dipandang sebagai ahli waris Nabi
1
Syari‟at Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
Muhammad Saw. sehingga dari penghayatan terhadap ajaran Islam itulah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat.
Dalam era mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia peran para ulama juga sangat menentukan di Aceh, karena melalui
fatwa serta bimbingan para ulama tersebut rakyat Aceh rela berjuang dan berkorban. Rakyat Aceh merasa senasib dan sepenanggungan dengan rakyat
Indonesia lainnya yang menderita akibat jajahan pada masa itu, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 rakyat Aceh sangat mendukung proklamasi itu.
Dukungan tersebut diwujudkan dengan kerelaan rakyat Aceh menyerahkan harta dan nyawa untuk Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian
salah satu bukti kesetian rakyat Aceh kepada Republik Indonesia ialah dengan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan pada masa tersebut.
Masyarakat Aceh dianggap kental dengan ajaran Islam. Kekentalan tersebut tidak hanya pada masa kerajaan Islam masih berdiri disana, akan tetapi
kekentalan tersebut masih ada hingga masa kini. Sehingga Pemerintah Aceh berupaya mempertahankan s
yari‟at Islam untuk tetap menyatu dalam masyarakat Aceh dan berikut Pemerintahannya.
2
A. Peraturan Perundang-Unda
ngan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh
2
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, Malang, Jawa Timur: Bayumedia Publishing, September 2005, hal, 19.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijabarkan di atas lah Aceh mendapat keistimewaan
3
dan otonomi khusus untuk mengatur daerahnya sendiri dan diperbolehkan untuk melaksanakan syari‟at Islam namun sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai
keistimewaan dan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh ialah: 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang ini dibuat dalam rangka menindaklanjuti ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh sehingga pada saat itu
dipandang perlu untuk menyusun Undang-Undang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dibuat
dengan maksud untuk memberikan landasan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi
keistimewaannya melalui kebijakan daerah. Dalam pasal 2 BAB II mengenai kewenangan, disebutkan bahwa
daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki. Maksudnya adalah bahwa peraturan daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimaksud untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaannya berlaku di seluruh KabupatenKota.
Adapun penyelenggaraan
keistimewaan tersebut
meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat,