Perumusan Masalah Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia

skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24, normal 68, dan gemuk 8. Sementara hasil survei Wasingun 1998 dalam Eka 2009, tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40 penderita skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis IMT kurang dari 18,5. Menurut Almatsier, 2005, status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Berdasarkan latar belakang di atas dan mengacu kepada penelitian di daerah lain pada pasien skizofrenia paranoid, sehingga penulis tertarik untuk meneliti tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan tahun 2011.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan tahun 2011. Universitas Sumatera Utara 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011. 2. Untuk mengetahui status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi instalasi gizi Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien, sehingga dapat menyesuaikan hidangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecukupan Gizi Perbandingan antara konsumsi zat gizi energi dan protein dengan keadaan gizi seseorang biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut berdasarkan angka kecukupan gizi AKG Supariasa, dkk., 2002. 2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR Basal Metabolic Rate, kecepatan pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik. Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkalgram, lemak 9 kkalgram, dan karbohidrat 4 kkal gram Baliwati, 2004. Hasil penelitian Salmawati 2006 pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24, normal 68, dan gemuk 8. Standar tingkat kecukupan energi yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 2500 kkal Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein

Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur keseimbangan air, dan mempertahankan kenetralan asam basa tubuh Almatsier, 2005. Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro Pusat Statistik BPS pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari. Anjuran asupan protein berkisar antara 10 – 15 dari total energi Almatsier, 2005. Standar tingkat kecukupan protein yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 60 gr.

2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah Djunaedi, 2001. Sumber karbohidrat berasal dari padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung, talas, dan sagu. Karbohidrat menghasilkan 4 kkal gram. Angka kecukupan karbohidrat sebesar 50-65 dari total energi. Almatsier, 2005 menganjurkan agar Universitas Sumatera Utara 55-75 konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi sebagai zat pembangun

2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak

Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap kesehataan tubuh manusia. Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10 dari total energi. Lemak menghasilkan 9 kkal gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem pencernaan tubuh manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan, maka akan mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 25 dari total energi dalam makanan sehari-hari. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya berasal dari mentega, margarin, dan lemak hewan Almatsier, 2005.

2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuaikan dengan golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi Depkes, 2005. Angka Kecukupan Energi AKE merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi dengan Universitas Sumatera Utara pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein AKP merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65 total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30 total energi Hardinsyah dan Tambunan, 2004. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia per orang per hari dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia Per Orang Per Hari No. Umur Energi kkal Protein gr Wanita 1. 10-12 th 2050 50 2. 13-15 th 2350 57 3. 16-18 th 2200 55 4. 19-29 th 1900 50 5. 30-49 th 1800 50 6. 50-64 th 1750 50 7. 65+ th 1600 45 Pria 8. 10-12 th 2050 50 9. 13-15 th 2400 60 10. 16-18 th 2600 65 11. 19-29 th 2550 60 12. 30-49 th 2350 60 13. 50-64 th 2250 60 14. 65+ th 2050 60 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. Universitas Sumatera Utara

2.3. Status Gizi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang Almatsier, 2005. Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih overnutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk Almatsier, 2005. Hasil survei Wasingun 1998 dalam Eka 2009, tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40 penderita Universitas Sumatera Utara skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis IMT kurang dari 18,5.

2.3.1. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh seseorang. Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat- zat gizi yang spesifik Supariasa, 2002. Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh IMT atau yang disebut dengan Body Mass Index Supariasa, 2002. IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa yang berumur di atas 18 tahun. Universitas Sumatera Utara IMT = Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh terdiri dari Supariasa, 2002: 1. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering digunakan dan dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein, lemak, air, dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan. 2. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal tulang. Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan satuan meter kuadrat Supariasa, 2002. Berat badan kg Tinggi badan m x tinggi badan m Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas IMT yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1. yang merupakan ambang batas IMT untuk Indonesia. Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia Kategori IMT kgm 2 Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4 Normal 18,5-25,0 Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,1 Sumber : Depkes, 1994 dalam Supariasa, 2002 Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Masalah Gizi 1. Masalah Gizi Kurang

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh Almatsier, 2005. Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh mudah terkena penyakit infeksi, terjadinya masalah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi Sediaoetama, 2008. Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP Kekurangan Energi Protein, GAKI Gangguan Akibat Kekurangan Iodium, Anemia Gizi Besi AGB Sediaoetama, 2008. Universitas Sumatera Utara

2. Masalah Gizi Lebih

Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi Sediaoetama, 2008. Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kgm 2 , sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kgm 2 . Kegemukan obesitas dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak- anak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula. Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak Soerjodibroto, 1993.

2.4. Skizofrenia

Menurut Morel dalam Coleman, dkk, 1980 menggunakan istilah demence precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian skozofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk Universitas Sumatera Utara kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin dalam Coleman, dkk, 1980 mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang merupakan kamerosotan otak dementia yang diderita oleh orang muda praecox yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya Eugen Bleuler dalam Coleman, dkk, 1980 memperkenalkan istilah skizofrenia atau .jiwa yang terbelah., sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi. Sesuai dengan perkembangannya pengertian skozofrenia semakin meluas, seperti yang diberikan oleh Kaplan dan Sadock 1994 bahwa skozofrenia adalah sebagai suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi. Halgin dan Whitbourne 1995 menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal. Selanjutnya Freud dalam Roan, 1979 mengatakan bahwa skozofrenia adalah suatu Universitas Sumatera Utara peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak 1985 yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi. Defenisi yang lebih rinci mengenai skizofrenia bersumber dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia PPDGJ-III yang mengemukakan bahwa gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, terjadi distorsi khas proses pikir, kadangkadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, paham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi nyatasebenarnya dan autisme.

2.4.1. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu factor saja, setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff 1991 mengulas beberapa penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia. a. Keterlibatan faktor keturunan Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur. Universitas Sumatera Utara b. Faktor lingkungan Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum. c. Teori biologik dan genetik Penelitian keluarga termasuk penelitian kembar dan adopsi sangat mendukung teori bahwa faktor genetik peran penting dalam transmisi skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya yang terjadi dalam keluarga. d. Hipotesis neurotransmitter Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam susunan syaraf pusat SSP penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik. e. Pencetus psikososial Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam Universitas Sumatera Utara pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan EE di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock 1997 sebagai berikut: a. Model diatesis-stress Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik diatesis yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. b. Faktor biologis Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik. c. Genetika Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut. Universitas Sumatera Utara d. Faktor psikososial Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.

2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne 1995 adalah sebagai berikut: a. Gangguan pada isi pikiran Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap. b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan kohesivitas dan logika, cara mereka mengekspresikan ide dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan Universitas Sumatera Utara penderita gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisme, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah. c. Gangguan persepsi halusinasi Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam control individu, tetapi terjadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. d. Gangguan afeksi perasaan Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. e. Gangguan psikomotor Pasien skizofrenia kadang akan berjalan dengan aneh dan cara yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya, katatonik rigid mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan dan katatonik gerakan selalu mengulang suatu gerakan tubuh. f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan dari pikiran dan tingkah laku mereka. Akhirnya orang lain menjauhi mereka dan Universitas Sumatera Utara bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi. g. Gangguan kepekaan diri Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti. h. Gangguan motivasi Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest keinginan dalam mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu pemilihan.

2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia

Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi: a. Skizofrenia Paranoid F2.0 Skizofrenia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak volition dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol. Universitas Sumatera Utara b. Skizofrenia Hebefrenik F20.1 Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputusputus flagmentar, perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan mood pasien dangkal dan tidak wajar inappropriate sering disertai oleh cekikikan giggling atau perasaan puas diri self satisfied, senyum sendiri self-absorbed smilling atau sikap yang angkuh dan agung lofty manner. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri solitary dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan. c. Skizofrenia Katatonik F20.2 Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan violent mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang menyolok. d. Skizofrenia Tak Terinci Undifferentiated F20.3 Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang jelas untuk suatu kelompok diagnosis yang khas. Universitas Sumatera Utara e. Depresi Pasca-Skizofrenik F20.4 Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri. f. Skizofrenia Residual F20.5 Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal terdiri dari satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang walaupun belum tentu ireversibel. g. Skizofrenia Simpleks F20.6 Suatu kelainan yang tidak lazim ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham dan halusinasi. Ciri-ciri negatif yang menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. h. Skizofrenia lainnya F20.8 Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik, skizofrenia laten. i. Skizofrenia YTT F20.9 Tipe-tipe skizofrenia yang tak tergolongkan Universitas Sumatera Utara

2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock 1997 bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah, pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal fase awal penyakit dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan yang bertahap yang dapat diikuti oleh lamanya periode fungsi yang relatif normal, tetapi relaps biasanya terjadi jika pola umum dari penyakit yang ditemukan dalam lima tahun pertama setelah diagnosis biasanya memperkirakan perjalanan yang diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup. Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi gejala negatif yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit Universitas Sumatera Utara dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas, perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan, tunawisma dan kemiskinan.

2.4.5. Prognosis

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia, hanya kira-kira 10 sampai 20 pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang baik, lebih dari 50 pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat dan usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dalam literatur adalah 10 sampai 60 dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20 sampai 30 dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20 sampai 30 dari pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40 sampai 60 dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya selama seumur hidupnya Kaplan dan Sadock, 1997. Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia Kaplan dan Sadock, 1997 digambarkan di bawah ini. a. Skizofrenia prognosis baik Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood terutama Universitas Sumatera Utara gangguan depresif, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung yang baik dan gejala positif. b. Skizofrenia prognosis buruk Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, austistik, tidak menikah, bercerai, atau jandaduda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat trauma prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat penyerangan.

2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia

Almatsier, 2005 menyatakan bahwa beberapa penyakit kronis berat, stress akut dan operesi berat dapat mengakibatkan keadaan gizi kurang atau buruk sehingga akan menghambat penyembuhan penyakit. Hal itu juga dapat terjadi pada penderita skizofrenia jika tidak mendapat perhatian dan pertolongan yang sesuai dan cepat. Bahkan jika konsumsi makannya tidak terkontrol akan mengakibatkan berbagai macam masalah gizi diantaranya adalah kurang energi protein KEP yang akan berpengaruh pada status gizinya. Hasil penelitian Salmawati 2006 pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit. Namun sebagian besar status gizi pasien Universitas Sumatera Utara penderita skizofrenia berada pada kategori normal 68, dan ada beberapa yang memiliki status gizi kategori gemuk 8.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

5 79 83

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Gambaran Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

28 144 68

Status Gizi Pasien Rawat Inap yang Mendapat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana Daerah Tarutung Tahun 2012

8 128 92

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein, Tingkat Pengetahuan Gizi, Jenis Terapi Kanker, dan Status Gizi Pasien Kanker Rawat Inap di Rumah Sakit Kanker Dharmais.

0 6 162

ANALISIS BIAYA PADA PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT JIWA Analisis Biaya Pada Pasien Skizofrenia Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Surakarta Tahun 2012.

0 3 12

PENERIMAAN KELUARGA TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA YANG MENJALANI RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH Penerimaan Keluarga Terhadap Pasien Skizofrenia Yang Menjalani Rawat Inap Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 0 19

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

iv KATA PENGANTAR - Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 14