Tingkat Kecukupan Energi dan Protein serta Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan Tahun 2011

(1)

TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN

TAHUN 2011

SKRIPSI

OLEH :

NIM : 071000278

HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

NIM : 071000278

HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul :

TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN

TAHUN 2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh : NIM : 071000278

HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 20 Desember 2011 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua penguji

NIP. 19700212 199501 2 001 Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes Penguji II

NIP. 19580315 198811 2 001 Dra. Jumirah, Apt, M.Kes

Penguji III

NIP. 19620529 198903 2 001 Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes

Medan, Januari 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP. 19610831 198903 1 001 Dr. Drs. Surya Utama, M.S


(4)

ABSTRAK

Kasus (penderita) skizofrenia paranoid merupakan kelompok terbesar (90%) gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi merupakan tolak ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi kejiwaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli 2011 yaitu 178 pasien, dan dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Data jumlah konsumsi makanan diperoleh melalui metode penimbangan makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama satu hari. Status gizi dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang. Status gizi pasien skizofrenia paranoid sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).

Disarankan bagi petugas rumah sakit yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pendistribusian makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien terutama kecukupan gizi berdasarkan jenis kelamin. Dimana angka kecukupan gizi pasien pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.


(5)

ABSTRACT

Paranoid Schizophrenia disorder is the biggest group (90%) of mental problem found in mental hospital. Nutrient management is as an indirect supporting parameter and it is so useful to assist those mental sufferers in maintaining the optimum function and healthy feeling to facilitate the therapy. The objective of this research was to know sufficient energy protein and nutrient status of in-patient schizophrenia in Mental Hospital of North Sumatera province 2011.

This was descriptive research with cross sectional. The population was all paranoid schizophrenia patients in Mental Hospital of North Sumatera province on July 2011 for 178 patients and it was taken as the sample for 60 persons. The data on amount of food consumption was taken from food weighing method by noting and weighing all foods consumed for one day. Nutrient status can be seen from weight weighing using the weight tool using mikrotois. The collected data were analyzed descriptively and it was presented in frequency distribution table.

The results of research showed that some patients had sufficient energy (41,7%) and protein (61,7%) and it was categorized medium. However, some were with low nutrient, that is energy (28,35) and protein (15,0%). Nutrient status of paranoid schizophrenia were mostly categorized normal (78,3%). There were still with low nutrient status (18,4%).

It is suggested for the hospital officers to distribute the food for the patients in accordance with nutrient sufficiency based on the gender. Nutrient sufficiency for male was higher than female.

Key words : sufficient energy and protein, nutrient status, paranoid schizophrenia


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hendrik Mangasi Tua Siregar

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 12 Juni 1972

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Kawin

Alamat : Jln. Kopra I No. 24 P. Simalingkar

Riwayat Pendidikan

1. SD RK Makmur Medan : Tahun 1979-1985

2. SMP RK Makmur Medan : Tahun 1985-1988

3. SMA Sampali Medan : Tahun 1988-1991

4. SPAG Lubuk Pakam : Tahun 1991-1992

5. D-III Gizi Lubuk Pakam : Tahun 2000-2003

6. FKM USU Medan : Tahun 2007-2011

Riwayat Pekerjaan

1. Tahun 1996-sekarang : Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam skripsi masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun yang

bermanfaat bagi skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Tingkat Kecukupan

Energi dan Protein serta Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan Tahun 2011”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Ernawati Nasution, SKM., MKes selaku dosen pembimbing I dan Ferry, S.H., S.Si., AMG., DC.Nutri., M.Kes selaku dosen pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiranya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis dengan rasa hormat menyampaikan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh dosen dan pegawai administrasi di Fakultas Kesehatan Masyarakat


(8)

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi serta membantu dalam segala urusan administrasi.

4. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, yang telah

memberikan dukungan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian sehingga penelitian dapat selesai dengan baik.

5. Kepada istriku yang telah banyak memberikan dukungan moril selama penulis

mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan ini dan buat anak-anakku tersayang yang selalu memberikan keceriaan di rumah dan memberikan semangat dalam menyelesaikan studi ini.

6. Sahabat-sahabatku di FKM USU terutama di Departemen Gizi Kesehatan

Masyarakat yang selalu mendukungku, sehingga menambah semangat bagi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya pada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan semangat. Semoga Tuhan Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memenuhi kehidupan Bapak, Ibu, dan teman-teman sekalian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Medan, Januari 2012 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan

Abstrak ...

Abstract ...

Daftar Riwayat Hidup ... Kata Pengantar ... Daftar Isi ... Daftar Tabel ... BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 2.2. Perumusan Masalah ... 2.3. Tujuan Penelitian ... 2.3.1. Tujuan Umum ... 2.3.2. Tujuan Khusus ... 2.4. Manfaat Penelitian ... BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecukupan Energi ... 2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi ... 2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein ... 2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat ... 2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak ... 2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan ... 2.3. Status Gizi ... 2.3.1. Pengertian Status Gizi ... 2.3.2. Penilaian Status Gizi ... 2.3.3. Masalah Gizi ... 2.4. Skizofrenia ...

2.4.1. Etiologi Skizofrenia ... 2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia ... 2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia ... 2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis ... 2.4.5. Prognosis ... 2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia ... 2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2.1. Lokasi Penelitian ... 3.2.2. Waktu Penelitian ...


(10)

3.3. Populasi dan Sampel ... 3.3.1. Populasi ... 3.3.2. Sampel ... 3.4. Metode Pengumpulan Data ... 3.4.1. Data Primer ... 3.4.2. Data Sekunder ... 3.4. Definisi Operasional ... 3.5. Aspek pengukuran ... 3.7 Pengolahan dan Analisis Data ...

3.7.1. Pengolahan Data ... 3.7.2. Analisis Data ... BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 4.2. Karakteristik Responden ...

4.3. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ...

4.3.1. Tingkat Kecukupan Energi ... 4.3.1. Tingkat Kecukupan Protein ... 4.4. Status Gizi ... 4.5. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ... 4.5.1. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi ... 4.5.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein ... BAB V PEMBAHASAN

5.1. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Pasien Skizofrenia Paranoid ... 5.2. Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid ... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ... DAFAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia ... Tabel 4.1 Standar Gizi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dengan Menggunakan Indikator Indeks Massa Tubuh di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... Tabel 4.7. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... Gambar 4.1. Struktur Organisasi Rumah Sakit ...


(13)

ABSTRAK

Kasus (penderita) skizofrenia paranoid merupakan kelompok terbesar (90%) gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi merupakan tolak ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi kejiwaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli 2011 yaitu 178 pasien, dan dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Data jumlah konsumsi makanan diperoleh melalui metode penimbangan makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama satu hari. Status gizi dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang. Status gizi pasien skizofrenia paranoid sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).

Disarankan bagi petugas rumah sakit yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pendistribusian makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien terutama kecukupan gizi berdasarkan jenis kelamin. Dimana angka kecukupan gizi pasien pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.


(14)

ABSTRACT

Paranoid Schizophrenia disorder is the biggest group (90%) of mental problem found in mental hospital. Nutrient management is as an indirect supporting parameter and it is so useful to assist those mental sufferers in maintaining the optimum function and healthy feeling to facilitate the therapy. The objective of this research was to know sufficient energy protein and nutrient status of in-patient schizophrenia in Mental Hospital of North Sumatera province 2011.

This was descriptive research with cross sectional. The population was all paranoid schizophrenia patients in Mental Hospital of North Sumatera province on July 2011 for 178 patients and it was taken as the sample for 60 persons. The data on amount of food consumption was taken from food weighing method by noting and weighing all foods consumed for one day. Nutrient status can be seen from weight weighing using the weight tool using mikrotois. The collected data were analyzed descriptively and it was presented in frequency distribution table.

The results of research showed that some patients had sufficient energy (41,7%) and protein (61,7%) and it was categorized medium. However, some were with low nutrient, that is energy (28,35) and protein (15,0%). Nutrient status of paranoid schizophrenia were mostly categorized normal (78,3%). There were still with low nutrient status (18,4%).

It is suggested for the hospital officers to distribute the food for the patients in accordance with nutrient sufficiency based on the gender. Nutrient sufficiency for male was higher than female.

Key words : sufficient energy and protein, nutrient status, paranoid schizophrenia


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit skizofrenia berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan biopsikososial (Stuart & Sundeen, 1998). Angka penderita skizofrenia di Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT), tahun 1995 ditemukan 185 per 1000 penduduk dewasa menunjukan adanya masalah kesehatan jiwa. Angka perbandingan ini jauh melebihi batas yang ditetapkan WHO, yaitu 1 - 3 per 1000 penduduk (Hasanat, dkk, 2004).

Skizofrenia merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang serius, ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial. Prevalensi penderita skizofrenia pada tahun 2006 di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi antara 1 sampai 1,5% (Luana, 2007). Sementara prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia pada tahun 2006 adalah 0,3 sampai 1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia (Setiadi, 2006).


(16)

Kasus skizofrenia paranoid adalah kelompok terbesar (90%) dari penderita skizofrenia di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi dalam gejala masalah mental dan neurologi jarang dilakukan. Mengingat hampir semua penyakit tersebut merupakan penyakit jangka panjang, maka penatalaksanaan gizi merupakan tolak ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita dalam mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi kejiwaan. Kebutuhan zat gizi seperti energi, protein, lemak dan lainnya dalam kondisi stres fisik maupun psikologis seperti depresi, dan masalah emosi lainnya akan meningkat (Stewart, 2007).

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu pusat pelayanan bagi pasien penderita skizofrenia yang memiliki jumlah pasien penderita skizofrenia paling banyak di Kota Medan. Dari hasil survei awal diketahui bahwa jumlah penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata jumlah pasien penderita skizofrenia yang dirawat setiap bulannya selama tahun 2009 yaitu sebanyak 260 pasien, sementara pada tahun 2010 rata-rata jumlah pasien naik menjadi 460 pasien, dan sebagian besar pasien (70%) berasal dari golongan miskin. Pada umumnya pasien skrizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya mendapatkan makanan yang disediakan dari rumah sakit dan jarang mendapatkan makanan tambahan dari keluarga yang mengunjunginya. Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita


(17)

skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%, dan gemuk 8%. Sementara hasil survei Wasingun (1998) dalam Eka (2009), tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40% penderita skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis (IMT kurang dari 18,5). Menurut Almatsier, (2005), status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu.

Berdasarkan latar belakang di atas dan mengacu kepada penelitian di daerah lain pada pasien skizofrenia paranoid, sehingga penulis tertarik untuk meneliti tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan tahun 2011.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan tahun 2011.


(18)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein pasien Skizofrenia

paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

2. Untuk mengetahui status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi instalasi gizi Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien, sehingga dapat menyesuaikan hidangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecukupan Gizi

Perbandingan antara konsumsi zat gizi (energi dan protein) dengan keadaan gizi seseorang biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) (Supariasa, dkk., 2002). 2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi

Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme

tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan

pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik. Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4 kkal/ gram (Baliwati, 2004).

Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%, dan gemuk 8%. Standar tingkat kecukupan energi yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 2500 kkal


(20)

2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein

Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur keseimbangan air, dan mempertahankan kenetralan asam basa tubuh (Almatsier, 2005).

Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari. Anjuran asupan protein berkisar antara 10 – 15% dari total energi (Almatsier, 2005). Standar tingkat kecukupan protein yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 60 gr. 2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah (Djunaedi, 2001). Sumber karbohidrat berasal dari padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung, talas, dan sagu. Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram. Angka kecukupan karbohidrat sebesar 50-65% dari total energi. Almatsier, (2005) menganjurkan agar


(21)

55-75% konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi sebagai zat pembangun

2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak

Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap kesehataan tubuh manusia. Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10% dari total energi. Lemak menghasilkan 9 kkal/ gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem pencernaan tubuh manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan, maka akan mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 25% dari total energi dalam makanan sehari-hari. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya berasal dari mentega, margarin, dan lemak hewan (Almatsier, 2005).

2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuaikan dengan golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi (Depkes, 2005). Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi dengan


(22)

pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).

Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia (per orang per hari) dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Per Orang Per Hari)

No. Umur Energi (kkal) Protein (gr)

Wanita

1. 10-12 th 2050 50

2. 13-15 th 2350 57

3. 16-18 th 2200 55

4. 19-29 th 1900 50

5. 30-49 th 1800 50

6. 50-64 th 1750 50

7. 65+ th 1600 45

Pria

8. 10-12 th 2050 50

9. 13-15 th 2400 60

10. 16-18 th 2600 65

11. 19-29 th 2550 60

12. 30-49 th 2350 60

13. 50-64 th 2250 60

14. 65+ th 2050 60


(23)

2.3. Status Gizi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Almatsier, 2005).

Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk (Almatsier, 2005).

Hasil survei Wasingun (1998) dalam Eka (2009), tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40% penderita


(24)

skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis (IMT kurang dari 18,5).

2.3.1. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh seseorang. Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Supariasa, 2002).

Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2002).

IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa yang berumur di atas 18 tahun.


(25)

IMT =

Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh terdiri dari (Supariasa, 2002):

1. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering digunakan dan dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein, lemak, air, dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan.

2. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal (tulang).

Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan satuan meter kuadrat (Supariasa, 2002).

Berat badan (kg)

Tinggi badan (m) x tinggi badan (m)

Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas IMT yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1. yang merupakan ambang batas IMT untuk Indonesia.

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia

Kategori IMT (kg/m2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4

Normal 18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,1


(26)

2.3.2. Masalah Gizi 1. Masalah Gizi Kurang

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2005).

Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya masalah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Sediaoetama, 2008).

Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Sediaoetama, 2008).


(27)

2. Masalah Gizi Lebih

Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Sediaoetama, 2008).

Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas

adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak-anak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula. Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Soerjodibroto, 1993).

2.4. Skizofrenia

Menurut Morel (dalam Coleman, dkk, 1980) menggunakan istilah demence

precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian skozofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk


(28)

kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran/ keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin (dalam Coleman,

dkk, 1980) mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang

merupakan kamerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muda (praecox) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya Eugen Bleuler (dalam Coleman, dkk, 1980) memperkenalkan istilah skizofrenia atau .jiwa yang terbelah., sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi.

Sesuai dengan perkembangannya pengertian skozofrenia semakin meluas, seperti yang diberikan oleh Kaplan dan Sadock (1994) bahwa skozofrenia adalah sebagai suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi.

Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal.


(29)

peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi. Defenisi yang lebih rinci mengenai skizofrenia bersumber dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia (PPDGJ-III) yang mengemukakan bahwa gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, terjadi distorsi khas proses pikir, kadangkadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, paham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi nyata/sebenarnya dan autisme.

2.4.1. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu factor saja, setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff (1991) mengulas beberapa penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia.

a. Keterlibatan faktor keturunan

Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan

tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur

mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur.


(30)

b. Faktor lingkungan

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum.

c. Teori biologik dan genetik

Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat mendukung teori bahwa faktor genetik peran penting dalam transmisi skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.

d. Hipotesis neurotransmitter

Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.

e. Pencetus psikososial

Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam


(31)

pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia.

Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut:

a. Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.

b. Faktor biologis

Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.

c. Genetika

Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut.


(32)

d. Faktor psikososial

Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.

2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan pada isi pikiran

Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap. b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi

Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan kohesivitas dan logika, cara mereka mengekspresikan ide dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan


(33)

penderita gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisme, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.

c. Gangguan persepsi halusinasi

Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam control individu, tetapi terjadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya.

d. Gangguan afeksi (perasaan)

Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. e. Gangguan psikomotor

Pasien skizofrenia kadang akan berjalan dengan aneh dan cara yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh). f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal

Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan dari pikiran dan tingkah laku mereka. Akhirnya orang lain menjauhi mereka dan


(34)

bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi.

g. Gangguan kepekaan diri

Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti.

h. Gangguan motivasi

Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest (keinginan) dalam mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu pemilihan.

2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia

Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi: a. Skizofrenia Paranoid (F2.0)

Skizofrenia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.


(35)

b. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)

Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputusputus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan (mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate) sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri (solitary) dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.

c. Skizofrenia Katatonik (F20.2)

Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan (violent) mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang menyolok.

d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)

Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang jelas untuk suatu kelompok diagnosis yang khas.


(36)

e. Depresi Pasca-Skizofrenik (F20.4)

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri.

f. Skizofrenia Residual (F20.5)

Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang walaupun belum tentu ireversibel.

g. Skizofrenia Simpleks (F20.6)

Suatu kelainan yang tidak lazim ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham dan halusinasi. Ciri-ciri negatif yang menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial.

h. Skizofrenia lainnya (F20.8)

Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik, skizofrenia laten.

i. Skizofrenia YTT (F20.9)


(37)

2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah, pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal (fase awal penyakit) dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas.

Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan yang bertahap yang dapat diikuti oleh lamanya periode fungsi yang relatif normal, tetapi relaps biasanya terjadi jika pola umum dari penyakit yang ditemukan dalam lima tahun pertama setelah diagnosis biasanya memperkirakan perjalanan yang diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien.

Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup.

Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi gejala negatif yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit


(38)

dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas, perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan, tunawisma dan kemiskinan.

2.4.5. Prognosis

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia, hanya kira-kira 10% sampai 20% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang baik, lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat dan usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dalam literatur adalah 10% sampai 60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20% sampai 30% dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20% sampai 30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40% sampai 60% dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya selama seumur hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997).

Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997) digambarkan di bawah ini.

a. Skizofrenia prognosis baik

Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood (terutama


(39)

gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung yang baik dan gejala positif.

b. Skizofrenia prognosis buruk

Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, austistik, tidak menikah, bercerai, atau janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat trauma prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat penyerangan.

2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia

Almatsier, (2005 ) menyatakan bahwa beberapa penyakit kronis berat, stress akut dan operesi berat dapat mengakibatkan keadaan gizi kurang atau buruk sehingga akan menghambat penyembuhan penyakit. Hal itu juga dapat terjadi pada penderita skizofrenia jika tidak mendapat perhatian dan pertolongan yang sesuai dan cepat. Bahkan jika konsumsi makannya tidak terkontrol akan mengakibatkan berbagai macam masalah gizi diantaranya adalah kurang energi protein (KEP) yang akan berpengaruh pada status gizinya.

Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit. Namun sebagian besar status gizi pasien


(40)

penderita skizofrenia berada pada kategori normal (68%), dan ada beberapa yang memiliki status gizi kategori gemuk (8%).

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap dapat dipengaruhi oleh tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein.

a. Tingkat kecukupan energi

b. Tingkat kecukupan protein

Status Gizi Pasien Skizofrenia paranoid


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN 1.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain penelitian cross sectional, yang bertujuan untuk mengetahui kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi ini karena Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu pusat pelayanan bagi pasien penderita skizofrenia yang memiliki jumlah pasien penderita skizofrenia paling banyak di Kota Medan, dan sebagian besar pasien (70%) berasal dari golongan miskin.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan November 2011.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli 2011 yaitu sebanyak 178 pasien.


(42)

3.3.2. Sampel

Riduwan (2008) menyatakan “untuk menentukan berapa minimal sampel yang dibutuhkan jika ukuran populasi diketahui, dapat digunakan rumus sebagai berikut :

n =

2

) (

1 N d

N

+

Keterangan: N = Jumlah populasi

d = Presisi absolut yang dinginkan = (0,1) n = Jumlah sampel yang akan diteliti

Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel (n) sebagai berikut :

( )

2

1 , 0 178 1 178 + = n

(

0,01

)

1 8

17 178

+ =

n =

78 , 2 178

= 60 orang

Jadi, jumlah sampel sebesar 60 orang. Teknik sampling yang digunakan pada

penelitian ini adalah simple random sampling. Dimana masing-masing pasien

skizofrenia paranoid diberi nomor urut sesuai dengan abjad nama atau urutan nomor. Dengan kertas gulungan yang berisi nomor-nomor pasien skizofrenia paranoid, dilakukan lotre seperti cara lotre yang sudah umum dikenal.


(43)

3.4.Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

1. Kecukupan energi dan protein diperoleh melalui metode penimbangan makanan

dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi pasien skizofrenia paranoid selama satu hari (1 x 24 jam). Adapun langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan :

a. Menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi dalam gram.

b. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari, kemudian dianalisis dengan

menggunakan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan).

c. Membandingkan hasilnya dengan Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG).

2. Status gizi pasien dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan

timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois. 3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder terdiri atas umur pasien, suku, agama, dan tingkat pendidikan pasien serta gambaran letak geografis rumah sakit yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

3.6. Definisi Operasional

1. Tingkat kecukupan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi oleh pasien

skizofrenia paranoid dalam sehari (1 x 24 jam) dibandingkan dengan angka kecukupan energi pasien.

2. Tingkat kecukupan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi oleh pasien

skizofrenia paranoid dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan protein pasien.


(44)

3. Status gizi adalah keadaan gizi pasien skizofrenia paranoid yang dapat ditentukan dengan indikator dari berat badan, umur dan jenis kelamin.

3.7. Aspek Pengukuran a. Tingkat Kecukupan Energi

Tingkat kecukupan energi dibandingkan dengan standar gizi yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu sebesar 2500 kkal.

Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes, RI., (1990) dalam Supariasa, dkk., (2002), maka pengkategorian tingkat kecukupan energi dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :

− Baik : ≥ 100% AKG

− Sedang : >80 – 99% AKG

− Kurang : 70 – 80% AKG

− Defisit : < 70% AKG

b. Tingkat Kecukupan Protein

Tingkat kecukupan protein dibandingkan dengan standar gizi yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu sebesar 60 gram.

Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes, RI., (1990) dalam Supariasa, dkk., (2002), maka pengkategorian tingkat kecukupan protein dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :


(45)

− Baik : ≥ 100% AKG

− Sedang : >80 – 99% AKG

− Kurang : 70 – 80% AKG

− Defisit : < 70% AKG

c. Status gizi

Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan IMT sebagai batas ambang kategori. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :

IMT = ) ( ) ( ) ( m badan Tinggi x m badan Tinggi kg badan Berat

Di bawah ini adalah kategori ambang batas IMT berdasarkan Depkes, 1994 dalam Supariasa, dkk, (2002) :

Tabel 3.2. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia

Kategori IMT (kg/m2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4

Normal 18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,1

Sumber : Depkes, 1994 dalam Supariasa, 2002

3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Editing

Untuk melakukan pengecekan isi kuesioner apakah kuesioner sudah diisi dengan lengkap dan jelas.


(46)

b. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk bilangan, agar memudahkan menganalisis data dalam bentuk kuantitatif.

c. Processing

Setelah data dikoding maka selanjutnya melakukan entri data dari kuesioner ke dalam program komputer.

d. Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri

apakah ada kesalahan atau tidak. e. Tabulating

Tabulating adalah penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentase.

3.7.2 Analisis Data

Data dianalisis secara univariat, yaitu untuk menggambarkan tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein dan status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.


(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa Pemerintah yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki kemampuan pelayanan diklasifikasikan Kelas ”A” dengan sifat kekhususannya dikategorikan dengan tipe ”B”. Selain melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara juga menyelenggarakan pendidikan. Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara juga merupakan Rumah Sakit Jiwa rujukan bagi Rumah Sakit Jiwa lain yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan bagi rumah sakit rumah sakit umum yang ada di Pulau Sumatera.

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara terletak di Jalan Letjend Jamin Ginting KM 10, dengan luas bangunan 9.410 m2. Kapasitas yang dimiliki oleh

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 450 tempat tidur. Jenis pelayanan yang diberikan yaitu : UGD, rawat jalan, rawat inap, rehabilitasi, Gangguan Mental Organik, anak remaja, geriatri, Kesehatan gigi dan mulut, Kesehatan Jiwa Masyarakat (KJM), Psikologi, Fisioterapi, Brain Mapping, Pemeriksaan Rekam Otak, pemeriksaan Napza, laboratorium klinik, apotik, askes dan pelayanan poli umum. Seiring dengan meningkatnya orang yang menderita gangguan jiwa rata-rata rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara menangani pasien 40-50 orang perhari dan 3-5 orang diantaranya merupakan pasien


(48)

baru rawat inap. BOR lebih 100% (saat ini 471 orang sedang opname) dan UGD 4 orang perhari (pelayanan di luar jam kerja).

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mempunyai visi yaitu menjadikan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik yang terbaik secara profesional untuk kepuasan masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mempunyai misi :

1. Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik yang terpadu

2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penaggulangan gangguan jiwa dan masalah

psikososial di masyarakat

3. Menyediakan dan mengembangkan fasilitas pendidikan, pelatihan dan penelitian

dalam bidang pelayanan kesehatan jiwa

4. Meningkatkan upaya profesionalisme dan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui

pengembangan ilmu filosofi, keterampilan dan etika profesi.

Untuk menjalankan operasionalnya, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara didukung oleh lebih kurang 240 orang tenaga tetap dan 20 tenaga honorer, yang terdiri dari 18 orang tenaga medis (dokter spesialis jiwa dan dokter umum), 112 orang tenaga paramedis dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, 41 orang tenaga paramedis non perawat, dan 58 orang tenaga non medis.


(49)

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Rumah Sakit

Cara pengelolaan pemberian makanan bagi pasien Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara dengan system terpusat (sentralisasi). Makanan yang

disediakan oleh instalasi gizi di hitung sesuai dengan standar gizi untuk rumah sakit jiwa. Di bawah ini adalah standar gizi yang digunakan di rumah sakit jiwa yang mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986 :

DIREKTUR Wakil Direktur Kabag Sekretariat Kabid Yan Med Kabid Keperawatan Kabid Penunj. Medis Kabag Sekretariat Kabid Yan Med Kabid Keperawatan Kabid Penunj. Medis Kabag Sekretariat Kabid Yan Med Kabid Keperawatan Kabid Penunj. Medis Kabag Sekretariat Kabid Yan Med Kabid Keperawatan Kabid Penunj. Medis Kelp Jabatan Fungsional


(50)

Tabel 4.1. Standar Gizi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

No. Komponen Volume Energi

1. Beras 500 gr 1.650

2. Daging 100 gr 180

3. Telur 1 butir 95

4. Tahu /tempe 100 gr 140

5. Susu 15 gr 76

6. Sayuran 200 gr 78

7. Buah-buahan 200 gr 80

8. Kecap 5 gr -

9. Bumbu 25 gr -

10. Garam 10 gr -

11. Minyak goreng 15 gr 125

12. Roti 50 gr 155

13. Gula 20 gr 72

Jumlah 2.500

Sumber : Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., 1986

4.2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang dinyatakan dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin dan umur, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

No. Kelompok Umum

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-Laki Perempuan

n % n % n %

1. ≤ 30 tahun 10 71,4 4 28,6 14 100,0

2. 31-40 tahun 31 72,1 12 27,9 43 100,0

3. > 40 tahun 2 66,7 1 33,3 3 100,0

Total 43 71,7 17 28,3 60 100,0 Dari tabel 4.2. diketahui bahwa mayoritas responden berumur antara 31-40 tahun yaitu sebanyak 43 orang, dengan perempuan sebanyak 31 orang (72,1%) dan laki-laki sebanyak 12 orang (27,9%).


(51)

4.3. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dengan metode penimbangan makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi pasien skizofrenia paranoid selama 1 kali 24 jam.

4.3.1. Tingkat Kecukupan Energi

Tingkat kecukupan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi oleh responden dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan energi responden. Dari hasil penelitian diperoleh tingkat kecukupan energi responden yang dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

No Tingkat Kecukupan Energi Jumlah Persentase

1. Baik 17 28,3

2. Sedang 25 41,7

3. Kurang 17 28,3

4. Defisit 1 1,7

Total 60 100,0

Dari hasil penelitian ditemukan masih ada juga responden yang tingkat kecukupan energinya pada kategori kurang (28,3%) dan defisit (1,7%). Rata-rata konsumsi energi pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, yaitu 1.988 kalori.

4.3.1. Tingkat Kecukupan Protein

Tingkat kecukupan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi oleh responden dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan protein responden. Dari hasil penelitian diperoleh tingkat kecukupan protein responden yang dapat dilihat pada tabel 4.4.


(52)

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

No Tingkat Kecukupan Protein Jumlah Persentase

1. Baik 14 23,3

2. Sedang 37 61,7

3. Kurang 9 15,0

4. Defisit 0 0,0

Total 60 100,0

Berdasarkan Tabel 4.4. diketahui bahwa mayoritas responden memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori sedang yaitu sebanyak 37 orang (61,7%), namun masih ada responden yang tingkat kecukupan proteinnya pada kategori kurang (15,0%). Rata-rata konsumsi protein pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, yaitu 52,8 gr.

4.4. Status Gizi

Status gizi responden dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois atau

dilakukan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal

dengan Indeks Massa Tubuh (IMT=kg/m2

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dengan Menggunakan Indikator Indeks Massa Tubuh di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

).

No. Status Gizi Jumlah Persentase

1. Gemuk 2 3,3

2. Normal 47 78,3

3. Kurus 11 18,4

Total 60 100,0

Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa sebagian besar status gizi responden menurut indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) berada pada kategori normal yaitu sebesar 78,3%. Namun masih ada responden dengan status gizi kurus yaitu sebesar 18,4%.


(53)

4.5. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi.

4.5.1. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi

Distribusi status gizi berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 No. Tingkat

Kecukupan Energi

Status Gizi

n %

Gemuk Normal Kurus

n % n % n %

1. Baik 2 11,8 15 88,2 0 0,0 17 100,0

2. Sedang 0 0,0 22 88,0 3 12,0 25 100,0

3. Kurang 0 0,0 10 58,8 7 41,2 17 100,0

4. Defisit 0 0,0 0 0,0 1 100,0 1 100,0

Dari tabel 4.6. diketahui bahwa semakin rendah tingkat kecukupan energi maka persentase status gizi kurang semakin tinggi. Diperoleh sebesar 12,0% status gizi kurus dari 25 orang dengan tingkat kecukupan energi kategori sedang, sebesar 41,2% kurus dari 17 orang dengan tingkat kecukupan energi kategori kurang, dan 100,0% kurus dengan tingkat kecukupan energi defisit.

4.5.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein

Distribusi status gizi berdasarkan tingkat kecukupan protein dapat dilihat pada tabel 4.7.


(54)

Tabel 4.7. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 No. Tingkat

Kecukupan Protein

Status Gizi

n %

Gemuk Normal Kurus

N % n % n %

1. Baik 2 14,3 12 85,7 0 0,0 14 100,0

2. Sedang 0 0,0 31 83,8 6 16,2 37 100,0

3. Kurang 0 0,0 4 44,4 5 55,6 9 100,0

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status gizi kurus tidak ditemukan pada tingkat kecukupan protein baik. Namun semakin rendah tingkat kecukupan protein maka persentasi status gizi kurus semakin tinggi. Diperoleh sebesar 16,2% status gizi kurus dari 37 orang dengan tingkat kecukupan protein kategori sedang, dan sebesar 55,6% status gizi kurus dari 9 orang dengan tingkat kecukupan protein kategori kurang.


(55)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Tingkat Kecukupan Energi dan Proten Pasien Skizofrenia Paranoid

Dari hasil penelitian diketahui bahwa masih ada pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tingkat kecukupan energinya pada kategori kurang (28,3%) dan defisit (1,7%). Demikian juga dengan pasien dengan tingkat kecukupan protein kategori kurang ada sebesar 15,0%. Namun secara keseluruhan tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) pasien mayoritas pada kategori sedang.

Hasil tersebut di atas tidak sejalan dengan penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, dimana diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia paranoid ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia paranoid umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%, dan gemuk 8%.

Belum tercukupinya asupan energi dan protein bagi pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dikarenakan pendistribusian makanan dari rumah sakit belum memperhitungkan jumlah makanan dan gizi yang harus dikonsumsi oleh pasien setiap hari. Hal tersebut diketahui dari hasil penelitian dengan melakukan penimbangan makanan yang disajikan dari rumah sakit sebelum makanan tersebut dikonsumsi. Sebagian besar


(56)

pasien memperoleh jumlah makanan dalam sehari tidak sesuai dengan angka kecukupan gizi mereka. Beberapa pasien memperoleh makanan dengan jumlah lebih banyak dari angka kecukupan gizi, dan banyak juga dari pasien yang mendapatkan makanan lebih rendah dari angka kecukupan gizi. Dimana standar gizi yang digunakan di rumah sakit jiwa yang mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986 yaitu sebesar 2500 kkal. Arisman, (2004) menyatakan bahwa energi merupakan kebutuhan gizi utama manusia, karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein dan mineral.

Dari hasil pengamatan pada saat penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien menghabiskan makanan yang mereka peroleh dari rumah sakit. Namun jumlah yang mereka peroleh tidak sesuai dengan AKG mereka. Sehingga pasien yang tidak memperoleh makanan dan gizi berdasarkan kebutuhan setiap pasien dalam waktu yang lama akan menyebabkan pasien mengalami defisiensi zat gizi. Almatsier (2005), menyatakan bahwa konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh.


(57)

5.2. Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid

Dari hasil penelitian diperoleh status gizi pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara menurut indikator indeks massa tubuh (IMT) berada pada kategori normal yaitu sebesar 78,3%. Namun masih ada responden dengan status gizi kurus (18,4%) dan status gizi gemuk (3,3%). Ditemukannya pasien yang memiliki status gizi kurang dan gemuk dikarenakan jumlah konsumsi gizi pasien belum sesuai dengan angka kecukupan gizi mereka. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi gemuk ditemukan pada tingkat kecukupan energi dan protein kategori baik. Sementara pasien dengan tingkat kecukupan energi dan protein kategori kurus dan defisit, mayoritas memiliki status gizi kurang. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kecukupan energi dan protein maka persentase status gizi kurang semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan Eka (2009), di RS. Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang tentang asupan zat gizi dan status gizi pasien skizofrenia, diketahui bahwa ada hubungan antara asupan energi dengan indeks massa tubuh (r = 0,484; p = 0,004) dan juga ada hubungan antara asupan protein dengan indeks massa tubuh (r = 0,424; p = 0,014). Hasil penelitian Subiyati (2009), di RSUD Dr. Amino Gondohutomo Semarang tentang hubungan asupan energi dan protein terhadap indeks massa tubuh penderita skizofrenia, diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara asupan energi dengan indeks massa tubuh (p=0,000). Sementara asupan protein dengan indeks massa tubuh diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan (p= 0,123).


(58)

Menurut Almatsier (2005), status gizi kurang merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk.


(59)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Tingkat kecukupan energi dan protein pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang dilihat berdasarkan tingkat kecukupan energi diperoleh sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada diperoleh pasien dengan tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang.

2. Status gizi pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).

6.2. Saran

Disarankan bagi petugas gizi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pengaturan makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Baliwati, Y. F., Ali K., & Caroline M. D. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. PT.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Buchanan RW, Carpenter TW. Concept of Schizophrenia. Dalam: Sadock BJ, Sadock

VA. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Vol. 1.8th

Coleman, J.C., Butcher, J.N., Carson, R.C. 1980. Abnormal Psychology and Modern

Life. Glenfiew, III: Scott, Foresman & Company.

ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2005. P. 1329-1345.

Departement of Human Genetics Division of Medical Genetics, 2004. Family History of Mental Illness: Harper’s Practical Genetics Counseling 6th

Depkes, RI , 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penderita Gangguan Depresif.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2007.

ed., Emory University School of Medicine.

, 2005. Gizi dalam Angka. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Devidoff, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Alih Bahasa Oleh Mira Juniati. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Kesehatan Jiwa. 1986. Pedoman Standardisasi Rumah Sakit Jiwa.

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I.

Djunaedi, H. 2001. Gizi Kerja untuk Meningkatkan Produktivitas, dalam Majalah

Kesehatan Masyarakat Indonesia Tahun XXIX, Nomor 2.

Eka Listiyani, 2009. Asupan Zat Gizi Dan Status Gizi Pasien Skizofrenia Di RS Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Skripsi Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UNDIP.

Halgin, R.P., Whitbourne, S.K. 1995. Abnormal Psychology. The Human Experience

of Psychological Disorder. New York: McGraw Hill Book Co.

Hardinsyah & Victor. T. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan, dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI, Jakarta.


(1)

Menurut Almatsier (2005), status gizi kurang merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk.


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Tingkat kecukupan energi dan protein pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang dilihat berdasarkan tingkat kecukupan energi diperoleh sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada diperoleh pasien dengan tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang.

2. Status gizi pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).

6.2. Saran

Disarankan bagi petugas gizi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pengaturan makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Baliwati, Y. F., Ali K., & Caroline M. D. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. PT.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Buchanan RW, Carpenter TW. Concept of Schizophrenia. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Vol. 1.8th

Coleman, J.C., Butcher, J.N., Carson, R.C. 1980. Abnormal Psychology and Modern Life. Glenfiew, III: Scott, Foresman & Company.

ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2005. P. 1329-1345.

Departement of Human Genetics Division of Medical Genetics, 2004. Family History of Mental Illness: Harper’s Practical Genetics Counseling 6th

Depkes, RI , 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penderita Gangguan Depresif. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2007.

ed., Emory University School of Medicine.

, 2005. Gizi dalam Angka. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Devidoff, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Alih Bahasa Oleh Mira Juniati. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Kesehatan Jiwa. 1986. Pedoman Standardisasi Rumah Sakit Jiwa. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I.

Djunaedi, H. 2001. Gizi Kerja untuk Meningkatkan Produktivitas, dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Tahun XXIX, Nomor 2.

Eka Listiyani, 2009.Asupan Zat Gizi Dan Status Gizi Pasien Skizofrenia Di RS Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Skripsi Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UNDIP.

Halgin, R.P., Whitbourne, S.K. 1995. Abnormal Psychology. The Human Experience of Psychological Disorder. New York: McGraw Hill Book Co.

Hardinsyah & Victor. T. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan, dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.


(4)

Hartono Andry, 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Editor, Monica Ester. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2006.

Hasanat. 2006. Bagaimana komunikasi dalam keluarga pasien gangguan jiwa. Suatu kajian tentang expressed emotion. Handout Seminar

Herz MI, Marder SR., 2002. Schizophrenia Comprehensive Treatment and Management. Philadelphia : Lippincot William & Wilkins; p.143-181. Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 1997. Comprehensive Texbook of Psychiatry. Seventh

Edition. New York: Williams & Wilkins.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta17-19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI. Jakarta.

Luana Nantingkaseh, 2007. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya. Dalam

Riduwan. 2008. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cetakan ke-5 Bandung: Alfabeta, November 2008.

Roan, W.M. 1979. Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri). Edisi Pertama. Jakarta: PT. Gelora Jaya.

Salmawati. 2006. Penyelenggaraan Makanan, Tingkat Kecukupan Dan Status Gizi Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Sripsi Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Setiadi. 2006. Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Surabaya.

Simanjuntak, I.T.M., 2006. Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara, Medan . Laporan Penelitian. Program S-1 Keperawatan PSIK FK USU

Soerjodibroto. W. 1993. Diit dan Exercise dalam Penanggulangan Kegemukan, dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, No.6, Agustus.

Stewart KB, 2007. Mental Illness and Inherited Predisposition Schizophrenia and Bipolar Disorder. The Australian Genetics Resource Book.


(5)

Subiyati Sri, 2009. Hubungan asupan Energi, Protein dan Lemak terhadap Indek Massa Tubuh Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Skripsi – Program Study Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Supariasa, I. D. N., Bakhyar, B. & Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

WHO. 1995. Physical Status : The Use and Interpretation of Anthropometry. WHO Technical Series Report. Geneva.


(6)

SIKLUS MENU 1 (SATU) MINGGU UNTUK PASIEN RAWAT INAP

Hari Makan Pagi Makan Siang Makan Malam

I − Nasi putih

− Telur Rebus bumbu

kecap

− Nasi putih

− Ayam goreng

− Sayur pecal

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan dencis

− Tumis sawi hijau + toge

II − Nasi putih

− Sambal goreng tempe

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan aso-aso

− Sop sayuran

− Nasi putih

− Goreng tahu bumbu

kecap

− Tumis kacang panjang

+ tempe

III − Nasi putih

− Sambal goreng tempe

− Nasi putih

− Kalio tahu

− Sayur bening bayam +

touge

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan aso-aso

− Sayur terong kari

IV − Nasi putih

− Sambal goreng tempe

− Nasi putih

− Kalio daging sapi

− Bening sawi hijau + touge

− Nasi putih

− Sambal goreng tahu

− Gulai sawi putih

V − Nasi putih

− Sambal goreng tempe

− Nasi putih

− Ikan goreng aso-aso

− Sayur urap

− Nasi putih

− Sambal goreng tahu

− Bening bayam + touge

VI − Nasi putih

− Telur Bacem

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan selar

− Sayur tauco

− Nasi putih

− Telur rebus bumbu

kecap

− Sayur tauco

VII − Nasi putih

− Sambal goreng tempe

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan aso-aso

− Sayur asem

− Nasi putih

− Sambal goreng ikan dencis


Dokumen yang terkait

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

5 79 83

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Gambaran Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

28 144 68

Status Gizi Pasien Rawat Inap yang Mendapat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana Daerah Tarutung Tahun 2012

8 128 92

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein, Tingkat Pengetahuan Gizi, Jenis Terapi Kanker, dan Status Gizi Pasien Kanker Rawat Inap di Rumah Sakit Kanker Dharmais.

0 6 162

ANALISIS BIAYA PADA PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT JIWA Analisis Biaya Pada Pasien Skizofrenia Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Surakarta Tahun 2012.

0 3 12

PENERIMAAN KELUARGA TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA YANG MENJALANI RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH Penerimaan Keluarga Terhadap Pasien Skizofrenia Yang Menjalani Rawat Inap Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 0 19

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

iv KATA PENGANTAR - Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 14