2.1.8 Penatalaksanaan Stroke Iskemik
Tata laksana keadaan stroke akut menurut ilmu kedokteran darurat adalah dengan mengamankan jalan napas, pernapasan, dan sirkusasi pasien. Pasien stroke
sering menunjukkan tekanan darah yang meningkat. Tekanan darah ini tidak harus diturunkan karena tekanan perfusi yang meningkat dipercaya merupakan
mekanisme kompensasi yang menguntungkan pada stroke. Hipertensi yang menetap 220 mmHg sistolik atau 120 mmHg diastolik dapat diturunkan
secara bertahap Bresler dan Sternbach, 2006. Sementara penatalaksanaan khusus terhadap stroke iskemik adalah sebagai
berikut: Pemberian antiplatelet dengan dosis awal 325 mg dalam 24 jam sampai 48
jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.
Pemberian terapi trombolisis recombinant Tissue Plasminogen Activator
rTPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Dosis pemberian rTPA
adalah 0,9 mgkgBB maksimum 90 mg, 10 dari dosis total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai infus selama 60 menit.
Terapi ini harus diberikan dalam rentang waktu 3 jam dari onset tanpa disertai perdarahan atau tanda-tanda infark dini pada hasil CT-Scan, dan
dengan tekanan darah 185 mmHg sistolik dan 110 mmHg diastolik Kelompok Studi Serebrovaskuler PERDOSSI, 2011.
2.1.9 Komplikasi Stroke
Pasien stroke berisiko tinggi mengalami komplikasi medis serius setelah mendapat serangan stroke. Adapun komplikasi yang dapat timbul adalah sebagai
berikut : Perdarahan utama dapat terjadi pada penggunaan antikoagulan dan
trombolitik Goldszmidt dan Caplan, 2003.
Imobilisasi dalam waktu yang lama pada pasien stroke dapat meningkatkan risiko trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior, juga
kelemahan otot dan penurunan fleksibilitas otot. Jika stroke mempengaruhi otot-otot yang bekerja untuk proses menelan
maka akan berisiko aspirasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonia. Beberapa kondisi stroke juga dapat mempengaruhi otot-otot saluran
kemih, penderita membutuhkan kateter urin sampai dapat berkemih sendiri kembali. Penggunaan kateter urin ini dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih. Kehilangan kontrol terhadap saluran cerna yang menyebabkan konstipasi
juga dapat terjadi setelah kejadian stroke National Institutes of Health, 2014.
2.1.10 Pencegahan Stroke