Stage II T3
N0 M0
T4 N0
M0 Stage III T apapun
N1 M0
T apapun N2
M0 Stage IV T apapun
N apapun M1
Sumber: WHO,2000
2.9 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis kanker kolorektal dapat dilakukan secara bertahap, antara lain melalui anamnesis yang tepat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, baik dari laboratorium klinik maupun laboratorium patologi anatomi. Selanjutnya pemeriksaan penunjang
berupa pencitraan seperti foto polos atau dengan kontras barium enema, kolonoskopi, CT Scan, MRI, dan transrectal ultrasound juga diperlukan dalam
menegakkan diagnosis penyakit ini. Berikut di bawah ini penjelasan lebih rinci mengenai hal-hal tersebut di atas.
a. Anamnesis Sebagian besar penderita datang pada dokter dengan keluhan habit bowel :
diare atau obstipasi, sakit perut tidak menentu, sering ingin defekasi namun tinja sedikit, perdarahan campur lendir. Kadang-kadang simptom mirip sindroma
disentri. Penyakit yang diduga disentri, setelah pengobatan tidak ada perubahan, perlu dipertimbangkan karsinoma kolon dan rektum terutama penderita umur
dewasa dan umur lanjut. Anoreksia dan berat badan semakin menurun merupakan salah satu simtom karsinoma kolon dan rektum tingkat lanjut. Tambunan, 1991
b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik tidak banyak berperan kecuali colok dubur yang dilakukan
pada pasien dengan perdarahan ataupun simtom lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding abdomen kadang-kadang teraba masa di daerah kolon kanan
dan kiri. Hepatomegali jarang terjadi. Tambunan,1991 Colok dubur merupakan cara diagnostik sederhana. Pada pemeriksaan ini
dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba
Universitas Sumatera Utara
pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi
jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50 dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga colok dubur merupakan cara yang baik
untuk mendiagnosa kanker kolon Schwartz, 2005. c. Pemeriksaan laboratorium klinis
Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa untuk menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan atau kekambuhannya.
Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia
kemungkinan ditemukan oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat dilihat dari pemeriksaan tinja. Tambunan,1991
Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal dilakukan juga skrining CEA Carcinoma Embrionic Antigen.
Carcinoma Embrionic Antigen merupakan pertanda serum terhadap adanya karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma Embrionic Antigen adalah sebuah
glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. Carcinoma Embrionic Antigen terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai
skrining kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan
dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan adanya metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik
independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan . Casciato DA, 2004
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi
sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk
Universitas Sumatera Utara
identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA . Casciato DA, 2004
d. Pemeriksaan laboratorium patologi anatomi Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker kolorektal adalah
terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi yang merupakan diagnosa
definitif. Dari pemeriksaan histopatologi inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker maupun karsinoma di kolorektal ini.
Untuk memperoleh sediaan yang adekuat , biopsi dilakukan pada 2-3 tempat pinggir dan di bagian tengah tumor. Akan tetapi, informasi histopatologi tidak
selalu sesuai dengan klinik. Pada pemeriksaan histopatologi, sediaan biopsi kadang- kadang tidak ditemukan karsinoma, sekalipun klinik sangat mencurigakan maligna.
Problema ini lebih sering adalah biopsi yang tidak adekuat atau tumor tumbuh endofilik. Pemeriksaan sitologi tidak banyak berperan pada diagnosis tumor di
kolon, kecuali pada karsinoma rektum. Tambunan, 1991 d. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai
double kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90 dalam mendeteksi polip yang berukuran 1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama
sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 . Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon. Schwartz, 2005
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Computerised Tomography CT scan, Magnetic Resonance Imaging MRI, Endoscopic Ultrasound EUS merupakan bagian dari teknik
pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan skrining tes Schwartz, 2005.
Computerised Tomography CT scan selain dapat mengevaluasi rongga abdominal dari pasien kanker kolon pre operatif juga dapat mendeteksi metastase
ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. Pemeriksaan CT scan ini sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien
dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55 dan pemeriksaan ini memegang peranan penting pada
pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan staging dari lesi sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 , dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening 1 cm pada 75 pasien Schwartz, 2005. Penggunaan CT dengan
kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal Casciato DA, 2004.
Magnetic Resonance Imaging MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi
dengan menggunakan CT scan. Oleh karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar Schwartz, 2005. Endoscopic Ultrasound EUS secara signifikan menguatkan penilaian
preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Tingkat akurasi dari EUS sebesar 95, 70 untuk CT dan 60 untuk digital rectal
examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rectal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya
dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Biopsi
transrektal dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS Casciato DA, 2004.
e. Kolonoskopi
Universitas Sumatera Utara
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar 94, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67 Depkes, 2006. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi,
polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi hanya muncul kurang dari 0,2 pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan
manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik Schwartz, 2005.
2.10 Penatalaksanaan