Analisis Citra Dinamika perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah

4.4 Analisis Citra

Pengolahan citra dilakukan untuk melihat perubahan garis pantai yang terjadi selama kurun waktu empat belas tahun sejak tahun 1989 hingga 2002. Selanjutnya garis pantai tahun 1989 digunakan sebagai garis pantai awal untuk model perubahan garis pantai, sedangkan garis pantai tahun 2002 digunakan untuk validasi hasil model perubahan garis pantai.

4.4.1 Pemulihan dan Pemotongan Citra

Pengolahan citra dimulai dengan melakukan pemulihan citra tahun 1989 dan 2002. Pemulihan ini dilakukan melalui koreksi radiometrik dan geometrik terhadap masing-masing citra. Koreksi geometrik dilakukan pada citra tahun 1989 dengan mengacu pada citra tahun 2002. Pada tahap ini digunakan 4 titik GCP yang menghasilkan nilai RMS sebesar 0,01. Selanjutnya citra yang mencakup wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta dipotong sesuai dengan daerah penelitian yaitu pantai Pekalongan dan Batang. Hasil pemulihan koreksi radiometrik dan geometrik dan pemotongan cropping ditunjukkan pada Gambar 29. Gambar 29. Citra Landsat RGB 542 setelah dilakukan pemulihan dan pemotongan kiri: tahun 1989, kanan: tahun 2002

4.4.2 Pengolahan dengan Menggunakan Algoritma

Garis pantai dapat dilihat dengan menggunakan algoritma yang memisahkan batas antara darat dan laut. Hal ini dilakukan dengan cara melihat nilai pantulan spektral tertinggi dari piksel citra di daratan yang paling dekat dengan laut. Selanjutnya nilai ini digunakan sebagai input dalam algoritma. Berdasarkan hasil pengamatan citra tahun 1989 dan 2002, diperoleh nilai pantulan spektral tertinggi dari piksel citra di daratan yang paling dekat dengan laut adalah 29, nilai tersebut kemudian digunakan sebagai input i1 pada algoritma pemisahan darat dan laut: If i1 29 then null else 255 citra tahun 1989 dan 2002 Pengolahan citra menggunakan algoritma untuk memisahkan darat dan laut menjadi dua kelas yang berbeda manghasilkan tampilan seperti pada Gambar 30. Warna hitam menunjukkan wilayah daratan dengan nilai digital 0, sedangkan warna merah menunjukkan wilayah perairan dengan nilai digital 1 255. Warna merah yang tampak pada beberapa wilayah di daratan diperkirakan karena merupakan daerah rawa seperti tambak dan persawahan yang memiliki nilai spektral piksel citra yang hampir sama dengan perairan. Gambar 30. Hasil pengolahan citra Landsat tahun 1989 kiri dan 2002 kanan dengan menggunakan algoritma Hasil pengolahan citra menggunakan algoritma, selanjutnya diekspor ke dalam bentuk data set baru dengan ekstensi bil, kemudian di konversi menjadi data shapefile shp untuk ditumpang tindihkan overlay. Batas darat dan laut hasil pengolahan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 ditampilkan pada Gambar 31. Gambar 32 menunjukkan data shapefile shp garis pantai yang ditumpang tindihkan dengan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002. Gambar 31. Hasil tumpang tindih overlay garis pantai dengan algoritma Gambar 32. Hasil tumpang tindih overlay pengolahan citra menggunakan algoritma dengan masing-masing citra tahun 1989 kiri dan 2002 kanan Garis pantai hasil algoritma masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 menunjukkan tingkat akurasi garis pantai yang dihasilkan masih kurang tepat. Pada beberapa titik tertentu terlihat bahwa garis pantai hasil algoritma menunjukkan adanya jarak antara garis pantai hasil algoritma dan garis pantai citra. Hal ini diperkirakan terjadi akibat kekurangan interpretasi penggunaan nilai pantulan digital dari batas daratan yang dimasukkan dalam algoritma.

4.4.3 Pengolahan dengan Digitasi

Hasil pengolahan citra menggunakan algoritma digunakan sebagai acuan atau batasan saat melakukan digitasi. Proses ini dilakukan agar dapat menghasilkan data vektor garis pantai yang lebih baik dan mengacu pada hasil algoritma batas darat dan laut. Proses digitasi dilakukan secara langsung digitizing on screen terhadap citra dengan menggunakan komposit kanal RGB 542 untuk memperoleh tampilan citra yang lebih jelas. Hasil digitasi citra yang ditumpang tindihkan dengan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 menghasilkan tampilan seperti ditunjukkan pada Gambar 33. Gambar 33. Hasil tumpang tidih overlay pengolahan citra menggunakan digitasi dengan masing-masing citra tahun 1989 kiri dan 2001 kanan

4.4.4 Koreksi Garis Pantai terhadap Pasang Surut

Garis pantai yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis pantai yang diukur berdasarkan Mean Sea Level MSL. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kerancuan posisi garis pantai yang selalu berubah-ubah karena pengaruh pasang surut air laut. Analisis pasang surut di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan data komponen pasang surut Dishidros pada stasiun Semarang karena dianggap paling dekat dengan Pekalongan dan Batang. Tipe pasang surut adalah kombinasi semi diurnal tide pasang ganda harian dan dan diurnal tide pasang tunggal harian dimana terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari. Tunggang pasang surut sebesar 1 m dengan tinggi muka air pada saat MSL adalah 60 cm. Data komponen pasang surut stasiun Semarang dapat dilihat pada Lampiran 11. Perekaman citra Landsat 4 TM akuisisi data tanggal 21 Januari 1989 dilakukan pada pukul 09.45 waktu setempat pada saat tinggi muka air 42,1 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut surut dengan selisih 17,9 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai citra tahun 1989 mundur ke arah daratan Gambar 34a. Perekaman citra Landsat 7 ETM + akuisisi data tanggal 5 Agustus 2002 dilakukan pada pukul 10.15 waktu setempat pada saat tinggi muka air 90,2 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut pasang dengan selisih 30,2 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai tahun 2002 maju ke arah laut Gambar 34b. Tinggi muka air pada saat perekaman citra ditunjukkan pada Lampiran 12. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut pada tiap grid sepanjang garis pantai dapat dilihat pada Lampiran 13. Garis pantai hasil koreksi ini digunakan untuk analisis perubahan garis pantai. a b Gambar 34. Posisi garis pantai citra tahun 1989 a dan 2002 b sebelum dan setelah koreksi terhadap pasang surut

4.4.5 Tumpang Tindih Hasil Pengolahan Citra

Perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang dapat diamati dari hasil tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 seperti ditunjukkan pada Gambar 35. Pada beberapa lokasi pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran abrasi dan kemajuan akresi. Perubahan ini dapat dilihat pada hasil tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 berwarna hitam dan garis pantai citra tahun 2002 berwarna merah. Besar kecilnya perubahan garis pantai ini dapat dilihat pada Gambar 36. Perubahan garis pantai khususnya pada lokasi A, B, C dan D lokasi yang diberi kotak berwarna kuning dapat dilihat pada perbesaran Gambar 35 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 37. Gambar 35. Hasil tumpang tindih overlay garis pantai pengolahan citra C A B D Gambar 36. Jarak perubahan garis pantai hasil citra tahun 2002 A B C D Gambar 37. Perbesaran hasil tumpang tindih overlay garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 pada lokasi A, B, C dan D -100 -80 -60 -40 -20 20 40 60 80 30 270 510 750 990 1230 1470 1710 1950 2190 2430 2670 2910 3150 3390 3630 3870 4110 4350 4590 4830 5070 5310 5550 5790 Jar ak t egak l u ru s p an tai m Jarak sepanjang pantai m Laut Darat B D C A Berdasarkan Gambar 36 besar kecilnya jarak perubahan garis pantai dapat diketahui dari nilai positif negatif posisi garis pantai tahun 2002 terhadap garis pantai tahun 1989. Perbesaran profil perubahan garis pantai pada lokasi A, B, C dan D ditunjukkan pada Gambar 37. Nilai positif pada Gambar 36 menunjukkan kemajuan akresi sedangkan nilai negatif menunjukkan kemunduran abrasi. Pada Gambar 37, pada saat garis pantai berwarna hitam berada lebih ke arah laut dibandingkan yang berwarna merah, maka pantai menunjukkan kemunduran abrasi garis pantai. Sebaliknya pantai mengalami kemajuan akresi yang ditandai oleh lebih ke arah lautnya garis pantai yang berwarna merah. Berdasarkan Gambar 36 dan 37, proses abrasi lebih dominan terjadi di pantai Pekalongan dan Batang dibandingkan akresi sedimentasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh jarak perubahan garis pantai yang sebagian besar bernilai negatif pada Gambar 36. Lokasi yang mengalami perubahan garis pantai terbesar ditunjukkan oleh bagian yang diberi lingkaran kuning pada Gambar 37 . Pada lokasi A, pantai mengalami kemuduran terbesar pada jarak ke-240 m grid ke-8 yaitu sebesar 43,83 m. Pada jarak ke-690 m grid ke-23 pantai mengalami akresi hingga sejauh 7,77 m. Kemuduran garis pantai lebih dominan pada lokasi B yaitu pada jarak ke-1980 m grid ke-66 yaitu sebesar 53,42 m dan pada lokasi C pada jarak ke-3450 m grid ke-115 yaitu sebesar 89,50 m dan sedangkan akresi terbesar pada jarak ke-3630 m grid ke-121 sebesar 9,04 m. Pada lokasi D, pantai mengalami kemuduran yang cukup besar jarak ke-4530 m grid ke-151 yaitu sebesar 22,52 m dan akresi pada pada jarak ke-5700 m grid ke-190 yaitu sebesar 58,11 m. Perubahan garis pantai yang cukup besar pada beberapa lokasi di pantai Pekalongan dan Batang dapat disebabkan oleh faktor lain seperti keberadaan muara sungai, pembukaan lahan tambak, pembabatan lahan mangrove, pembuatan bangunan pantai dan aktivitas manusia lainnya. Menurut Bapedalda Jawa Tengah 2002 dalam Dephut Provinsi Jawa Tengah 2006, tingkat abrasi di Pekalongan mencapai 6,1 Ha dan di Batang mencapai 2,5 Ha. Penggunaan citra Landsat untuk melihat perubahan garis pantai memiliki beberapa kekurangan karena tingkat akurasi yang dihasilkan masih rendah. Hal ini dikarenakan resolusi citra yang tergolong dalam resolusi medium 30 m x 30 m sehingga informasi yang bias dapat terjadi seperti keberadaan muara sungai, dermaga, pelabuhan, breakwater, dan bangunan pantai lainnya yang kurang detail. Menurut Ruiz et al. 2007, citra Landsat memberikan dua kelebihan yaitu ketersediaan seri data citra Landsat telah beroperasi sejak tahun 1970-an dan penggunaan citra Landsat dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan jika dibandingkan dengan citra resolusi tinggi. Selain itu, Ruiz juga menambahkan bahwa algoritma yang digunakan pada pemisahan darat dan laut tidak bersifat mutlak dan perlu adanya revisi untuk mengurangi dampak kesalahan sistematik yang diproyeksikan di laut. Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil pengolahan garis pantai citra yaitu penentuan nilai digital untuk memisahkan darat dan laut, kemudian pendigitasian garis pantai yang kurang akurat karena dapat bersifat subjektif. Tidak dilakukannya analisis penutupan lahan di wilayah pantai juga dapat mempengaruhi hasil interpretasi data citra perubahan garis pantai.

4.5 Angkutan Sedimen Sejajar Pantai