Alih Bahang Melalui Salt Fingering Alih Bahang Melalui Diffusive Layering

4.3.2 Alih Bahang Vertikal

Dengan adanya aktivitas difusi ganda yang terjadi cukup banyak di perairan Raja Ampat dapat menyebabkan terjadinya alih bahang secara vertikal pada kolom perairan. Perbedaan suhu antara lapisan-lapisan air tersebut akan membuat lapisan air yang lebih hangat berpindah ke lapisan yang lebih dingin. Untuk menduga besarnya alih bahang secara vertikal dapat dibedakan berdasarkan aktivitas yang terjadi yaitu alih bahang melalui proses salt fingering dan alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering.

1. Alih Bahang Melalui Salt Fingering

Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas salt fingering dapat dilihat pada Gambar 22. Alih bahang melalui proses salt fingering memberikan nilai alih bahang mencapai 4,25 Wm 2 . Dari gambar terlihat bahwa aktivitas pengalihan bahang banyak terjadi pada stasiun 3 dan semakin mengecil pada stasiun 4 sedangkan pada kedua stasiun lainnya tidak terlihat. Kedalaman pengalihan bahang pada stasiun 3 mencapai kedalaman 400 m dengan nilai alih bahang tertinggi terdapat pada kedalaman 145 m yang termasuk dalam lapisan haloklin 60 m – 342 m dimana lapisan haloklin memberikan gradien salinitas lebih besar dibandingkan dengan lapisan lain. Gambar 22. Alih bahang vertikal Wm 2 melalui proses salt fingering pada kedalaman 100 m – 400 m di perairan Raja Ampat

2. Alih Bahang Melalui Diffusive Layering

Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering, dibedakan berdasarkan rumus dari beberapa peneliti yang kesemua rumusnya mendasarkan pada parameter-parameter yang menggunakan beda suhu secara bertahap dan rasio densitas. Penggambaran pengalihan bahang pada Gambar 23 merupakan gabungan dan perata-rataan dari seluruh rumus yang digunakan oleh beberapa peneliti tersebut Gambar 23. Alih bahang vertikal Wm 2 melalui proses diffusive layering di perairan Raja Ampat Aktivitas difusi ganda melalui proses difusi layering berdasarkan gambar 23 menunjukkan pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun, terutama pada lapisan kedalaman 0 m sampai 500 m dengan pengalihan terbesar pada stasiun 6. Kemudian pada lapisan kedalaman 500 m – 1000 m tidak terlihat pengalihan bahang yang berarti, dan pada lapisan dibawah 1000 m terlihat sedikit pengalihan bahang pada dasar perairan stasiun 6. Secara keseluruhan pengalihan bahang melalui proses difusi layering berdasarkan stasiun yaitu : Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 9,6982 x 10 -8 Wm 2 dan 4,1780 Wm 2 , kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 2,8651 x 10 -10 Wm 2 – 5,6099 Wm 2 , stasiun 5 kisarannya 2,3125 x 10 -8 Wm 2 sampai 2,6955 Wm 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 6,4184 Wm 2 dan terendahnya yaitu 1,71109 x 10 -9 Wm 2 . Berikut ini merupakan penggambaran pengalihan bahang melalui proses difusi layering berdasarkan rumus dari beberapa peneliti : Alih Bahang vertikal oleh Marmorino dan Caldwell F H-MC Gambar 24. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell di perairan Raja Ampat Gambar 25. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat Pengalihan bahang melalui rumus Marmorino dan Caldwell memberikan nilai alih bahang mencapai 12,9934 Wm 2 dengan nilai terendah 4,39 x 10 -6 Wm 2 , pola yang sama seperti gambar 22 dengan kisaran nilai yang berbeda, dimana berdasarkan rumus Marmorino dan Caldwell didapatkan nilai alih bahang yang lebih besar dibandingkan dengan rumus lain. Pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 500 m kemudian sedikit pada dasar perairan stasiun 6. Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 1,37 x 10 -5 Wm 2 dan 8,8907 Wm 2 , kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 4,39 x 10 -6 Wm 2 – 11,8038 Wm 2 , stasiun 5 kisarannya 7,17 x 10 -6 Wm 2 sampai 12,5976 Wm 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 12,9933 Wm 2 dan terendahnya yaitu 1,16 x 10 -5 Wm 2 . Alih Bahang vertikal oleh Taylor F H-T Gambar 26. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Taylor pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat Penggambaran alih bahang menurut Taylor pun tidak jauh berbeda dengan rumus menurut Marmorino dan Caldwell. Pada Gambar 26 terlihat bahwa pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 400 m, namun pada pengalihan bahang menurut Taylor ini didapatkan nilai alih bahang dengan kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan rumus Marmorino dan Caldwell yaitu berkisar antara 1,59 x 10 -9 Wm 2 sampai 0,0484 Wm 2 . Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 0,0369 Wm 2 dan 2,98 x 10 -8 Wm 2 , kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 0,0459 Wm 2 – 1,59 x 10 -9 Wm 2 , stasiun 5 kisarannya 3, 47 x 10 -9 Wm 2 sampai 0,04834 Wm 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 3,5457 Wm 2 dan terendahnya yaitu 1,23 x 10 -8 Wm 2 . Alih Bahang vertikal oleh Kelley F H-K Gambar 27. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman 0 m – 1500 m di perairan Raja Ampat Gambar 28. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat Pengalihan bahang menurut Kelley Gambar 27 dan 28 terjadi pada setiap stasiun dengan kisaran yang berbeda pada masing-masing stasiun. Kisaran tertinggi yaitu 6,2611 Wm 2 dan terendah yaitu 3,35 x 10 -6 Wm 2 . Sama seperti rumus-rumus sebelumnya pengalihan bahang terjadi sampai pada kedalaman 400 m dan sedikit pada dasar perairan stasiun 6, pola yang terbentuk pun tidak jauh berbeda dengan rumus-rumus sebelumnya hanya kisaran nilainya yang berbeda. Alih Bahang vertikal oleh Rudels F H-R Gambar 29. Alih bahang Wm 2 melalui proses difusi layering menurut Rudels perairan Raja Ampat Pengalihan bahang menurut Rudells hanya digunakan untuk rasio densitas yang kecil. Berdasarkan Gambar 29 terlihat bahwa pengalihan bahang banyak terjadi dekat dengan dasar perairan. Pada lapisan permukaan aktivitas pengalihan bahang sangat kecil sekali terjadi, begitu pula pada lapisan piknoklin. Aktivitas pengalihan bahang mulai terlihat pada kedalaman dibawah 1000 m hal ini dikarenakan densitas pada kedalaman dibawah 1000 m sudah stabil sehingga rasio densitas terhadap kedalamannya sangat kecil sehingga nilai diperbesar oleh rumus yang diberikan Rudells untuk melihat seberapa pengalihan bahang pada lapisan dasar perairan. Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 5,99 x 10 -8 Wm 2 dan 7,24 x 10 -6 Wm 2 , kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 2,87x 10 -10 Wm 2 – 3,11 x 10 -3 Wm 2 , stasiun 5 kisarannya 2,31 x 10 -8 Wm 2 sampai 2,78 x 10 -6 Wm 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 1,15 x 10 -5 Wm 2 dan terendahnya yaitu 1,71 x 10 -9 Wm 2 . Nilai kisaran tersebut merupakan nilai kisaran yang terendah dibandingkan dengan nilai pengalihan bahang menurut peneliti lainnya. Gambar 30 merupakan sebaran melintang dari proses alih bahang rata- rata pada perairan Raja Ampat, yang merupakan gabungan antara pengalihan bahang melalui proses salt fingering dan difusi layering. Dari Gambar 30 secara keseluruhan pengalihan bahang yang terjadi sangat sedikit sekali, pada stasiun 3 pengalihan bahang terlihat sampai pada kedalaman 500 m dengan nilai yang kecil, pada stasiun 4 pengalihan bahang hanya terlihat sampai kedalaman 50 m kemudian semakin ke arah stasiun 6 semakin sedikit pengalihan bahang yang terjadi dan pada dasar perairan stasiun 6 juga terlihat sedikit aktivitas pengalihan bahang dengan nilai mendekati 0. Pengalihan bahang melalui proses difusi ganda ini berkisar antara 0 – 6,2 Wm 2 nilai tersebut sangatlah kecil jika dibandingkan dengan alih bahang melalui proses mixing, hal ini dikarenakan pada proses difusi ganda pengalihan bahang yang diamati melalui difusi molekul. Gambar 30. Penampang melintang alih bahang vertikal Wm 2 di perairan Raja Ampat. Selat Makassar dan Perairan Raja Ampat merupakan salah satu jalur masuk Arlindo menuju Samudera Hindia melalui perairan Indonesia. Jika dibandingkan pengalihan bahang yang terjadi melalui difusi ganda pada dua perairan tersebut, hasilnya adalah tabulasi di bawah ini, dimana pada penelitian yang dilakukan di Selat Makassar digunakan data time series selama tahun 2004 sedangkan data yang digunakan pada penelitian di perairan Raja Ampat berupa data in situ pada bulan November 2007 Tabel 4. Tabel 4. Nilai rata-rata alih bahang vertikal Wm 2 melalui proses difusi ganda di Perairan Raja Ampat dan Selat Makassar Lokasi stasiun Kedalaman m 0 - 50 50 - 200 200-350 350-500 500 Perairan Raja Ampat 3 0,416487 0,561851 0,418996 0,092759 0,017486 4 0,915785 0,028089 0,194958 0,011528 0,001522 5 0,007357 1,272847 0,154241 0,000743 0,03218 6 0,067964 0,055304 0,020686 0,001169 0,000633 Rata-rata 0,351898 0,479523 0,19722 0,02655 0,012955 Selat Makassar Rata-rata 0,3392 0,7231 0,1753 0,0311 0,0111 Pada lapisan permukaan 0 – 50 m nilai pengalihan bahang rata-rata terbesar pada perairan Raja Ampat terjadi pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun 5 sedangkan pada kedalaman 50 – 200 m pengalihan bahang rata-rata terbesar yaitu pada stasiun 5 dan terendah pada stasiun 4 kemudian pada rentang kedalaman selanjutnya stasiun 3 menyumbangkan bahang tertinggi dan stasiun 6 yang terendah. Rata-rata pengalihan bahang pada kedalaman 50 - 200 m yaitu 0,4795 Wm 2 yang merupakan rata-rata tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan. Jika dibandingkan dengan penelitian mengenai difusi ganda di perairan Selat Makassar yang dilakukan oleh Kurnadi 2007, pengalihan bahang melalui proses difusi ganda pada perairan Raja Ampat memiliki nilai rata – rata yang bervariasi terhadap pengalihan bahang di Selat Makassar, pada kedalaman 0 – 50 m, 200 – 350 m dan 500 m nilai rata-rata alih bahang di perairan Raja Ampat lebih besar, namun bila dijumlahkan rata-rata pengalihan bahang di selat Makassar akan lebih besar walaupun nilainya tidak berbeda jauh dengan rata- rata alih bahang di perairan Raja Ampat. Pengalihan bahang melalui difusi ganda bukan hanya dipengaruhi oleh aktivitas difusi ganda yang terjadi juga dipengaruhi oleh rasio densitas dan flux suhu yang terjadi. Selain itu perbedaan massa air yang mengisi Selat Makassar dan perairan Raja Ampat juga berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahang berdasarkan difusi ganda. Diantaranya yaitu North Pacific Subtropical Water NPSW massa air yang mengisi perairan Selat Makassar dan South Pacific Subtropical Water SPSW massa air yang mengisi perairan Raja Ampat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN