pencampuran yang besar karena pengaruh angin yang dominan mencampur lapisan permukaan, kemudian pada lapisan piknoklin nilai koefisien difusivitas
eddy mengecil terutama pada stasiun 6 di kedalaman 150 m – 200 m dan
kembali membesar pada lapisan di bawah piknoklin, kemudian pada kedalaman dibawah 570 m nilai koefisien eddy kembali mengecil dimana keadaan perairan
sudah lebih stabil dari aktivitas pencampuran. Kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada masing-masing stasiun yaitu
pada stasiun 3 memiliki kisaran nilai koefisien difusivitas eddy antara 3,234 x 10
-3
m
2
s dan 5,143 x 10
-3
m
2
s, pada stasiun 4 nilai koefisien dfusivitas eddy berkisar 2,967 x 10
-3
m
2
s sampai 0,007201 m
2
s sedangkan kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada stasiun 5 yaitu 5,1 x 10
-3
ms
2
– 2 x 10
-3
m
2
s sedangkan pada stasiun 6 memiliki nilai koefisien terendah yaitu 3,1 x 10
-5
m
2
s dan koefisien tertinggi sebesar 5,122 x 10
-3
m
2
s. Profil menegak Koefisien difusivitas eddy pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran 8.
4.2.5 Alih Bahang Vertikal
Q
z
Dari hasil perhitungan estimasi alih bahang di perairan Raja Ampat pada kedalaman 3 m - 640 m didapatkan hasil seperti pada Gambar 12, secara
keseluruhan nilai alih bahang yang dialihkan secara vertikal antara kolom air berkisar antara -35,4722 Wm
2
sampai 239,8686 Wm
2
. Berdasarkan Gambar 12 pengalihan bahang terbesar terjadi pada
kedalaman 100 m - 200 m yang merupakan lapisan termoklin terutama pada batas-batas antara lapisan termoklin atas dan termoklin bawah dimana terdapat
gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Pada kedalaman 200 m - 300 m walaupun memiliki nilai koefisien difusivitas eddy yang besar namun nilai
alih bahang pada lapisan ini lebih kecil nilainya dikarenakan perbedaan suhu
yang kecil pula pada lapisan tersebut dan sebaran suhunya secara horizontal pun cukup seragam.
Gambar 12. Distribusi melintang alih bahang Wm
2
perairan Raja Ampat. Pada lapisan dalam 400 m dimana suhu perairan sudah lebih stabil
memberikan nilai alih bahang yang kecil. Pada lapisan teraduk yang memiliki aktivitas pencampuran yang cukup besar memberikan nilai alih bahang yang
kecil akibat dari gradien suhu yang kecil pula dimana pada lapisan teraduk suhu perairan sudah lebih seragam.
Nilai alih bahang di perairan Raja Ampat memiliki sebaran vertikal yang bervariasi pada tiap-tiap stasiun. Namun, secara garis besar memiliki pola yang
sama yaitu bernilai kecil di lapisan permukaan kemudian membesar pada lapisan termoklin dan kembali mengecil pada lapisan dalam. Pada stasiun 3 nilai alih
bahang mencapai 237,6586 Wm
2
dengan pengalihan tertinggi berada pada kedalaman 142 m, pada stasiun 4 kisaran alih bahangnya adalah -29,0512 Wm
2
– 149,755 Wm
2
merupakan kisaran terkecil dibandingkan stasiun yang lain. Stasiun 5 memiliki kisaran alih bahang yang tertinggi yaitu -31,1431 Wm
2
sampai 239,8686 Wm
2
dengan pengalihan bahang pada kedalaman 92 m
sedangkan pada stasiun 6 pengalihan bahang tertinggi yaitu 188,8957 Wm
2
pada kedalaman 240 m dan terendah -35,4722 Wm
2
. Berikut ini merupakan tabulasi dari hasil perhitungan rata-rata pengalihan
bahang melalui proses turbulensi. Pengalihan bahang rata-rata terbesar ditunjukkan tabel 2 yaitu pada stasiun 4 dan yang terendah yaitu pada stasiun 5.
Selain itu dari tabel 2 juga dapat dilihat hubungan antara alih bahang dengan beberapa parameter turbulensi yang dilakukan. Dalam perhitungannya
pengalihan bahang dipengaruhi oleh koefisien pencampuran, kapasitas bahang dan gradien suhu, dimana gradien suhu memberikan pengaruh yang langsung
terhadap pengalihan bahang yaitu semakin besar perbedaan suhu terhadap kedalaman maka semakin besar pula bahang yang dialihkan.
Tabel 2. Perhitungan rata-rata beberapa parameter alih bahang di perairan Raja Ampat pada masing-masing stasiun
Stasiun Shear
s
-1
Frekuensi Apung
s
-1
Bilangan Richardson
Koef.Difusi Eddy
m
2
s Alih
Bahang Wm
2
∆ T
o
C 3
1,009508 0,007253
0,000795 0,005056 20,10975 0,036707
4 1,265929
0,007626 0,000941
0,005048 20,55893 0,038764 5
1,47804 0,007256
0,000723 0,005063
18,686 0,037498 6
0,914968 0,007301
0,006072 0,004993 18,77652 0,037765
Simp.baku 0,254857
0,000179 0,002628
3,21E-05 0,944252 0,000849
Berikut ini merupakan perbandingan alih bahang pada perairan Raja Ampat, Laut Flores dan Selat Ombai Tabel 3. Jika dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan di perairan selat Ombai dan Laut Flores oleh Siregar tahun 2007, pengalihan bahang melalui turbulensi di perairan Raja Ampat
memiliki nilai yang lebih besar, hal ini dikarenakan Perairan Raja Ampat adalah salah satu jalur masuk massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera
Hindia yang melalui perairan Indonesia sehingga pencampuran dan pengalihan
bahangnya masih lebih besar dibandingkan pada perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang merupakan jalur keluar massa air dari perairan Indonesia ke
Samudera Hindia dimana asupan bahangnya telah tercampur sebelum memasuki selat Ombai maupun Laut Flores di perairan selat Malaka dan
sekitarnya. Tabel 3. Pencampuran vertikal dan alih bahang pada kedalaman 194 m hingga
241 m di Perairan Raja Ampat November 2007, Laut Flores dan Selat Ombai Mei 2005
Lokasi Stasiun
Kv m
2
s Alih
Bahang Wm
2
∆T∆z
o
Cm Perairan Raja Ampat
3
5,08
x 10
-3
20,09 4,04
x 10
-2
4 5,1 x 10
-3
32,34 6,6 x 10
-2
5 5,08 x 10
-3
34,20 6,7 x 10
-2
6 5,07 x 10
-3
43,50 8,72 x 10
-2
Laut Flores 1 1,13 x 10
-5
2,70 5,83 x 10
-2
2 1,05 x 10
-5
2,46 5,71 x 10
-2
3 1,09 x 10
-5
2,43 5,45 x 10
-2
4 1,02 x 10
-5
2,08 4,98 x 10
-2
5 1,05 x 10
-5
2,31 5,40 x 10
-2
Selat Ombai 1,12 x 10
-5
1,42 3,39 x 10
-3
Perbandingan dilakukan pada kedalaman 194 m hingga 241 m dengan waktu pengambilan data yang berbeda. Pengambilan data di Perairan raja Ampat
dilakukan pada November 2007 sedangkan pengambilan data di Laut Flores dan Selat Ombai dilakukan pada Mei 2005. Perbedaan waktu pengambilan data juga
berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahangnya yang berkaitan dengan musim, bulan Mei termasuk dalam musim peralihan 1 menuju musim timur dan
bulan November merupakan musim peralihan 2 menuju musim barat dimana asupan panas dari matahari lebih banyak.
Selain itu daerah pengamatan berupa selat sempit pada perairan Raja Ampat dibandingkan dengan Laut Flores yang lebih luas memberikan pola arus
pada perairan Raja Ampat lebih kompleks sehingga memberikan shear vertikal yang lebih besar dibandingkan dengan perairan selat Ombai maupun Laut Flores
yang memicu proses pencampuran dan pengalihan bahang.
4.3 Difusi Ganda