Kondisi Alih Bahang dalam Proses Internal Mixing Melalui Tahapan Difusi Ganda dan Turbulensi di Perairan Raja Ampat pada November 2007
KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES
INTERNAL
MIXING
MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN
TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA
NOVEMBER 2007
Oleh:
Alfina Khaira
C64104058
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(2)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES
INTERNAL
MIXING
MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN
TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA
NOVEMBER 2007
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber
data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Desember 2009
Alfina Khaira
C64104058
(3)
RINGKASAN
ALFINA KHAIRA. Kondisi Alih Bahang dalam Proses Internal Mixing
Melalui Tahapan Difusi Ganda dan Turbulensi di Perairan Raja Ampat pada November 2007. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan HADIKUSUMAH.
Perairan Raja Ampat sebagai bagian dari perairan Indonesia Timur merupakan salah satu tempat pertemuan massa air antara belahan bumi utara dan massa air dari belahan bumi selatan. Dari pertemuan dua massa air tersebut akan berdampak pada proses pencampuran, baik secara vertikal
maupun horizontal. Proses pencampuran dapat melemahkan stratifikasi perairan yang di dalamnya terdapat proses-proses yang sangat lambat seperti difusi molekul dan proses turbulensi yang sangat cepat.
Ffield (1994) menjelaskan bahwa pencampuran vertikal yang terjadi di dalam perairan Indonesia menyebabkan perubahan jumlah bahang, garam serta momentum massa air melalui aliran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia, sehingga proses pencampuran ini akan memberikan dampak terhadap sirkulasi arus global samudera.
Analisis massa air yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berupa
estimasi nilai alih bahang baik melalui aktivitas difusi ganda maupun berdasarkan turbulensi. Selain itu juga untuk melihat struktur pelapisan dan pencampuran internal massa air di perairan Raja Ampat.
Gradien komponen arus terhadap kedalaman mulai meningkat pada kedalaman 200 m dan pada beberapa stasiun mengindikasikan terdapat pergerakan arus yang besar pada kedalaman di bawah 400 m. Nilai rata-rata shear vertikal arus berkisar antara 0,9149 s-1 sampai 1,4780 s-1.
Berdasarkan frekuensi apungnya daerah piknoklin memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan lapisan lain sehingga daerah piknoklin menjadi
penghalang lewatnya air secara vertikal antara kolom permukaan dengan kolom air di bawahnya.
Bilangan Richardson sebagai rasio antara frekuensi apung dan shear vertikal arus menunjukkan besarnya pencampuran yang terjadi pada suatu perairan, dimana pada perairan Raja Ampat memiliki nilai yang kecil pada seluruh lapisannya yang berarti turbulensi terjadi pada setiap lapisan yaitu berkisar antara 7,23 x 10-4 sampai 6,07 x 10-3
Pengalihan bahang terbesar terjadi pada batas-batas antara lapisan termoklin, dimana terdapat gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Rata-rata nilai alih bahang pada perairan Raja Ampat berdasarkan proses turbulensi yaitu antara 18,686 W/m2 sampai 20,5589 W/m2
Aktivitas difusi ganda berdasarkan sudut turner diketahui banyak terjadi pada kedalaman 61 – 342 m yang merupakan daerah haloklin, pada kedalaman ini di masing-masing stasiun di dominasi oleh aktivitas salt fingering. Secara keseluruhan jika diurutkan aktivitas difusi ganda yang terjadi dari yang tertinggi hingga terendah adalah salt fingering lemah, salt fingering kuat, diffusive layering kuat dan diffusive layering lemah.
Pengalihan bahang melalui proses difusi ganda mencapai 6,2 W/m2 nilai ini lebih kecil dibandingkan pengalihan bahang melalui proses pencampuran (turbulensi) dikarenakan pada proses difusi ganda yang pengalihan bahang yang diamati melalui difusi molekul.
(4)
KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES
INTERNAL
MIXING
MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN
TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA
NOVEMBER 2007
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Alfina Khaira
C64104058
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(5)
Judul
: KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES
INTERNAL MIXING
MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA
DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA
NOVEMBER 2007
Nama
: Alfina Khaira
NRP
: C64104058
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
Drs. Hadikusumah
NIP. 19640801 198903 1 001 NIP. 19470729 197403 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Indra Jaya
NIP. 19610410 198601 1 002
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas petunjuk
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kondisi Alih Bahang dalam Proses Internal Mixing Melalui Tahapan Difusi Ganda dan Turbulensi di Perairan Raja Ampat pada November 2007”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan, baik moril
maupun materi tiada terhingga.
2. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Drs. Hadikusumah selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama
penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ir. John I Pariwono selaku dosen penguji dan Dr. Ir Henry M Manik, M.T
selaku Ketua Komisi Pendidikan Program Studi ITK.
4. Pihak P2O - LIPI yang telah memberikan izin dalam penggunaan data
Survey ARLINDO di Perairan Raja Ampat.
5. Sahabat-sahabat dari keluarga besar Departemen ITK atas dukungan dan
kebersamaan yang dimiliki.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun para
pembaca pada umumnya.
Bogor, Desember 2009
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kestabilan Massa Air ... 3
2.2 Internal Mixing ... 4
2.2.1 Pencampuran Turbulen (Turbulent Mixing) ... 5
2.2.2 Difusi Ganda ... 9
3. BAHAN DAN METODE ... 12
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12
3.2 Metode Pengambilan Data ... 13
3.3 Metode Pengolahan Data ... 13
3.4 Analisis Data ... 13
3.4.1 Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency) ... 14
3.4.2 Bilangan Richardson ... 15
3.4.3 Koefisien Difusivitas Eddy (Kv) ... 15
3.4.4 Alih Bahang Vertikal (Qz) ... 16
3.4.5 Sudut Turner dan Rasio Densitas ... 16
3.4.6 Alih Bahang Vertikal (FH) ... 17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat ... 20
4.2 Internal Mixing ... 22
4.2.1 Shear Vertikal Arus ... 22
4.2.2 Frekuensi Apung ... 25
4.2.3 Bilangan Richardson ... 27
4.2.4 Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal ... 28
4.2.5 Alih Bahang Vertikal (Qz) ... 29
4.3 Difusi Ganda... 33
4.3.1 Sudut Turner ... 33
4.3.2 Alih Bahang Vertikal (FH) ... 42
1. Alih Bahang Melalui Salt Fingering ... 42
2. Alih Bahang Melalui Diffusive Layering ... 43
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
5.1 Kesimpulan ... 51
(8)
DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN ... 55 RIWAYAT HIDUP ... 71
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Nilai rata-rata suhu dan salinitas pada setiap lapisan di masing-masing
stasiun perairan Raja Ampat ...
22
2. Perhitungan rata-rata beberapa parameter alih bahang di perairan
Raja Ampat pada masing-masing stasiun ... 31
3. Pencampuran vertikal dan alih bahang pada lapisan termoklin di
Perairan Raja Ampat, laut Flores dan Selat Ombai ... 32
4. Nilai rata-rata alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses difusi ganda
(10)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Proses pembentukan difusi ganda ... 10
2. Peta lokasi penelitian di perairan Raja Ampat ... 12
3. Diagram alir pengolahan data ... 14
4. Penampang melintang (a) dan profil menegak (b) suhu di perairan Raja Ampat ... 20
5. Penampang melintang (a) dan profil menegak (b) salinitas Di Perairan Raja Ampat ... 21
6. Penampang menegak shear vertikal arus (s-1) pada setiap stasiun ... 23
7. Penampang melintang shear vertikal arus (s-1) ... 24
8. Profil menegak densitas pada stasiun 3 – 6 di perairan Raja Ampat ... 25
9. Distribusi melintang frekuensi apung (s-1) (a) dan profil densitas (b) perairan Raja Ampat ... 26
10. Distribusi melintang bilangan Richardson di perairan Raja Ampat ... 27
11. Distribusi melintang koefisien difusivitas eddy (m2/s) perairan Raja Ampat ... 28
12. Distribusi melintang alih bahang (W/m2) perairan Raja Ampat ... 30
13. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman 0 m – 60 m ... 34
14. Nilai sudut Turner pada kedalaman 0 m – 60 m pada setiap stasiun di perairan Raja Ampat ... 34
15. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman 61m – 342 m ... 35
16. Nilai sudut Turner pada kedalaman 61 m – 342 m pada setiap stasiun di perairan Raja Ampat ... 36
(11)
Raja Ampat (P2O-LIPI, 2007) ... 37
18. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner
pada kedalaman > 342 m... 38
19. Nilai sudut Turner pada kedalaman > 342 m pada setiap stasiun
di perairan Raja Ampat ... 38
20. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner
pada setiap stasiun ... 40
21. Nilai sudut Turner terhadap kedalaman pada masing-masing stasiun
di perairan Raja Ampat ... 41
22. Alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses salt fingering pada
kedalaman 100 m – 400 m di perairan Raja Ampat ... 42 23. Alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses difusi layering
di perairan Raja Ampat ... 43
24. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut
Marmorino dan Caldwell di perairan Raja Ampat ... 44
25. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat ... 44
26. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Taylor pada
kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat... 45 27. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Kelley
di perairan Raja Ampat ... 46
28. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Kelley pada
kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat ... 46 29. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut
Rudels perairan Raja Ampat ... 47
30. Penampang melintang alih bahang vertikal (W/m2) di
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Spesifikasi dan gambar alat yang digunakan pada penelitian ... 56
2. Penentuan lapisan kolom perairan berdasarkan beberapa parameter .. 58
3. List program untuk mendapatkan nilai kapasitas bahang ... 59
4. List program untuk mendapatkan nilai koefisien ekspansi thermal ... 63
5. List program untuk mendapatkan nilai koefisien kontraksi salinitas ... 65
6. Penampang menegak frekuensi apung ... 68
7. Penampang menegak Bilangan Richardson ... 69
(13)
1. PENDAHULUAN
Latar BelakangPerairan Indonesia Timur merupakan salah satu perairan yang berbeda
dari perairan lainnya di wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan letak geografis
perairan tersebut yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Samudera Pasifik.
Massa air di ekuator barat Pasifik mempunyai ciri suhu dan salinitas yang khas,
pada daerah tersebut terdapat sirkulasi arus yang berperan dalam perputaran
massa air, antara lain Arus Pantai Papua, Arus Bawah Pantai papua, Arus
Mindanau dan Arus Sakal Ekuator Utara. Karakteristik dari massa air Pasifik
bagian barat mempengaruhi sirkulasi yang ada di perairan Indonesia, juga memiliki peranan yang penting dalam sirkulasi global samudera yang akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan iklim di bumi (Wyrtki,
1961).
Perairan Raja Ampat sebagai bagian dari perairan Indonesia Timur
merupakan salah satu tempat pertemuan massa air antara belahan bumi utara
dan massa air dari belahan bumi selatan, dimana pada daerah tersebut juga
terdapat fenomena alam berupa kolam air hangat (Wyrtki, 1961).
Dari pertemuan dua massa air akan berdampak pada proses
pencampuran, baik secara vertikal maupun horizontal. Proses pencampuran
dapat melemahkan stratifikasi, yang di dalamnya terdapat proses-proses yang
sangat lambat seperti difusi molekul dan proses turbulen yang sangat cepat
(Supangat dan Susanna, 2000).
Ffield (1994) menjelaskan bahwa pencampuran vertikal yang terjadi di
dalam perairan Indonesia menyebabkan perubahan jumlah bahang, garam serta
momentum massa air melalui aliran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia,
(14)
arus global samudera, lebih lanjut akan berpengaruh terhadap perubahan
musim, selain itu pencampuran massa air pun secara insitu berperan dalam pengadukan nutrien dan ketersediaannya di berbagai lapisan perairan.
Penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui bagaimana proses
pencampuran tersebut dan besar pengalihan bahang yang terjadi pada massa air
di perairan Raja Ampat karena hingga saat ini belum ada penelitian yang secara
khusus mempelajari aktivitas difusi ganda dan pengalihan bahang di Perairan
Raja Ampat.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menganalisis struktur pelapisan massa air di perairan Raja Ampat
2. Menganalisis pencampuran internal menggunakan bilangan Richardson.
3. Menganalisis proses difusi ganda di perairan Raja Ampat melalui nilai
sudut Turner.
4. Mempelajari perpindahan bahang dalam proses internal mixing melalui
(15)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kestabilan Massa Air
Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan
bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan tersebut bisa terbentuk dari berbagai parameter oseanografi
yang ada di laut seperti suhu, salinitas dan densitas. Pelapisan ini juga
menunjukkan kestabilan massa air tersebut (Stewart, 2003).
Pond dan Pickard (1983) menyatakan adanya hubungan antara sebaran
densitas secara vertikal dan pengaruhnya terhadap pergerakan vertikal massa
air. Gerakan vertikal fluida sangat ditentukan oleh nilai stabilitas vertikalnya.
Untuk melihat apakah suatu lapisan fluida secara vertikal, stabil ataukah tidak
maka dapat dilakukan dengan menguji gradien densitasnya secara vertikal. Jika
terjadi perlawanan gerak secara vertikal maka fluida dikatakan stabil. Jika tidak
memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka
fluida akan tetap netral. Jika terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan
posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi,
maka fluida dikatakan tidak stabil.
Secara kuantitatif stabilitas vertikal massa air dinyatakan dengan indeks
stabilitas statis. Indeks stabilitas statis menggambarkan kondisi potensial
gerakan suatu unit volume air sebagai respon adanya gangguan distribusi
densitas secara menegak. Disebut statis karena proses perpindahan suatu unit
volume air mengabaikan proses konduksi bahang. Indeks stabilitas statis
merupakan fungsi perubahan densitas terhadap kedalaman. Oleh karenanya
nilai stabilitas statis ini sangat ditentukan oleh perbedaan densitas antara massa
air yang ada. Sementara nilai densitas dipengaruhi oleh kondisi suhu dan
(16)
lapisan akan menjadikan lapisan tersebut semakin stabil (Pond dan Pickard,
1983; Pickard dan Emery, 1990).
2.2 Internal Mixing
Menurut Stewart (2003) kondisi yang tidak stabil di laut membawa fluida
pada proses pencampuran atau mixing. Terdapat beberapa jenis instabilitas di
laut yaitu instabilitas statik yang berkaitan perubahan densitas terhadap
kedalaman dan instabilitas dinamik yang berkaitan dengan shear kecepatan dan
double-diffusion yang berkaitan dengan gradien salinitas dan suhu di laut. Profil vertikal dari suhu, salinitas dan densitas seringkali tidak halus melainkan
bertingkat, jarak antar tingkat dapat beberapa decimeter sampai beberapa meter.
Hal tersebut merupakan turbulensi skala kecil dalam air dengan profil halus
dalam jarak kecil dan menimbulkan vertikal risers antara tingkat horizontal atau
antar muka.
Walaupun dalam fluida yang diam, jika substan terlarut menyebar tidak
seragam maka substansi akan menurunkan gradien konsentrasi untuk
menyamaratakan distribusi. Proses ini disebutkan difusi molekul yang
merupakan hasil gerakan molekul-molekul secara individu. Distribusi panas yang
seragam tercapai dengan cara yang sama. Difusi molekul panas terjadi ketika
terdapat gradien suhu. Di daerah dengan suhu tinggi, molekul-molekulnya
memiliki energi kinetik yang lebih besar dimana molekul-molekul tersebut akan
bergerak perlahan ke daerah dengan suhu rendah dan memindahkan sedikit dari
kelebihan energinya ke molekul-molekul bersuhu rendah tersebut.
Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen, turbulensi bergerak dengan karakteristik yang berbeda dan menyebabkan percampuran fluida yang
(17)
proses difusi turbulen dibandingkan dengan proses difusi molekuler. Difusi
terjadi karena adanya gradien (suhu atau konsentrasi, garam terlarut, nutrien, gas terlarut) dari tinggi ke rendah. Laju difusi turbulen jauh lebih besar dari laju
difusi molekuler (Supangat dan Susanna, 2000). Emery et al., (2005)
menyatakan bahwa terdapat dua sumber internal mixing yang dapat kita teliti
secara terpisah yaitu turbulensi dan difusi ganda.
2.2.1 Pencampuran Turbulen (Turbulent Mixing)
Terdapat berbagai proses yang dapat mencampur suatu massa air laut
yang kemudian akan menggabungkan karakteristik aslinya (suhu, densitas,
momentum, pusaran (vortisitas), O2, CO2 dan konsentrasi nutrient) dengan air
laut di dekatnya. Turbulensi merupakan proses pencampuran yang paling efisien
yang terjadi di laut. Ketika suatu fluida menjadi turbulen, maka fluida tersebut
akan mengalami deformasi oleh adanya gerakan acak fluida. Deformasi ini
spinning, stretching, interleaving membuat parsel air yang berdekatan membentuk lembaran-lembaran halus atau filamen-filamen halus. Dengan
demikian gradien properti air antara parsel yang berdekatan secara kontinu
menjadi lebih jelas, sehingga difusi molekuler dapat terjadi dengan efisien (Hasse
dan Dobson, 1983). Percampuran sering terjadi pada lapisan-lapisan batas
seperti sepanjang continental slope, di atas gunung laut dan mid ocean ridge,
front dan mixed layer di permukaan (Stewart, 2003).
Salah satu sumber energi yang paling berperan dalam pencampuran
internal adalah gelombang internal, dimana gelombang tersebut sangat efektif
dalam proses pencampuran ketika pecah seperti yang terjadi pada gelombang
(18)
mekanisme lain untuk pencampuran internal yaitu vertikal shear. Dimana
kecepatan shear (tegangan menegak) dapat menghasilkan turbulensi.
Di laut komponen turbulensi vertikal dan horizontal biasanya sangat
berbeda dalam skala dan intensitas. Perbedaan ini muncul karena dimensi
horizontal dari massa air lebih besar dari dimensi vertikal dan pengaruh stabilitas
statis yang berhubungan dengan gradien densitas (Bowden, 1960 in Hill et al.,
1962). Dimensi laut lebih luas dibandingkan kedalamannya, yaitu mencapai
10000km dibandingkan dengan kedalamannya yang mencapai 5 km, sementara
nilai gradien horizontal lebih kecil dari gradien vertikalnya. Suhu air laut dapat
berubah sebesar 10 oC atau lebih pada selang kedalaman 1 km dari suatu titik
acuan tertentu, dan normal bergerak ribuan kilometer secara horizontal dan
hanya mengalami perubahan suhu sebesar 10 oC. Skala pencampuran turbulen
horizontal lebih besar daripada pencampuran turbulen vertikal yang cenderung
berlawanan dengan kestabilan gravitasi vertikal hasil peningakatan densitas
terhadap kedalaman. Dengan kata lain, pengaruh stratifikasi densitas
menghambat pencampuran vertikal (Supangat dan Susanna, 2000).
Menurut Bowden (1960) in Hill et al.,(1962), perkembangan turbulensi
vertikal muncul dari asosiasi tekanan tangensial horizontal dengan gradien
kecepatan vertikal. Pemicunya adalah : (1) Adanya tekanan tangensial angin
pada lapisan permukaan; (2) Efek gesekan dasar laut terhadap arus, khususnya
arus pasut; (3) Adanya shear arus yang berhubungan dengan gradien tekanan
horizontal. Keberadaan turbulensi pada bidang gerak memberikan dua tipe efek
(19)
Tangensial turbulen bereaksi pada gerak rerata dan memiliki efek dinamis yang
penting, sedangkan proses difusi turbulen mempengaruhi distribusi sifat tertentu dari fluida tanpa bereaksi langsung pada aliran.
Menurut Hasse dan Dobson (1983), kapan pun gradien densitas
terbentuk pada suatu fluida, gelombang tersebut berosilasi dengan perpindahan
isopiknal di kedalaman rata-ratanya dengan frekuensi :
dp dz
gEg
N2 / /
0 ....(1)
N disebut frekuensi Brunt-Vaisala, g adalah percepatan gravitasi,
ρ
adalah densitas,ρ
0 adalah densitas rata-rata kolom air dan E adalah stabilitas statis.Jika suatu parsel dipindahkan ke atas pada kolom air yang stabil secara
statis dan kemudian dilepaskan maka parsel air tersebut akan tenggelam,
melampaui posisi asalnya, kembali lagi dan terus berosilasi. Nilai frekuensi ini
tinggi ketika massa air mengalami stratifikasi dengan jelas dan berfrekuensi
rendah ketika air laut memiliki stratifikasi densitas yang sangat lemah (Emery et al., 2005).
Nilai N terbesar biasanya ditemukan di zona piknoklin utama, dimana
gradien densitas vertikal adalah yang tertinggi. Piknoklin biasanya di dapat pada
daerah termoklin di perairan oseanik (dimana variasi densitas ditentukan
terutama oleh variasi suhu) atau pada haloklin di perairan pantai (dimana variasi
densitas terutama ditentukan oleh variasi salinitas) (Pond dan Pickard, 1983).
Massa air di lapisan piknoklin sangat stabil. Artinya, membutuhkan energi
yang lebih besar untuk memindahkan air ke atas atau ke bawah piknoklin
(20)
menjadi penghalang lewatnya air dan sifat massa air secara vertikal (Emery et
al., 2005).
Mekanisme lain untuk proses pencampuran internal adalah gesekan
(shear) vertikal. Jika kecepatan berubah menurut kedalaman dalam suatu
perairan yang stabil, aliran yang terstratifikasi, maka aliran tersebut dapat
menjadi tidak stabil apabila perubahan kecepatan menurut kedalaman dan
perbedaan kecepatan arus cukup besar (Stewart, 2003).
Pencampuran ditingkatkan oleh perbedaan kecepatan, yang kemudian
menghasilkan turbulensi. Pencampuran di stabilkan oleh stratifikasi vertikal.
Pertukaran ini yang disebut “Gradien Bilangan Richardson” yang merupakan
rasio dari stratifikasi dengan shear vertikal arus. Shear vertikal dari kecepatan
horizontal adalah
u/z
. Bilangan Richardson adalah:
22
/ / u z N
Ri ...(2)
Ri adalah bilangan Richardson, N adalah frekuensi apung, u adalah kecepatan
komponen arus dan z adalah kedalaman.Apabila bilangan Richardson kecil, stratifikasi lemah dan shear vertikal
besar sehingga pencampuran menjadi lebih intensif. Dari teori dan observasi,
intensitas pencampuran yang besar di mulai saat bilangan Richardson turun
dibawah 0,25 (Emery et al., 2005). Muench et al.,(2000), menambahkan saat
bilangan Richardson berada di antara 0,25 hingga 1 proses pencampuran yang
cukup besar.
Jika shear vertikal arus cukup besar
u
/
z
1
, maka bilangan(21)
gradien densitas yang besar d/dz,1, contohnya kenaikan densitas
menurut kedalaman menyebabkan bilangan Richardson menjadi lebih besar, dan
menghasilkan turbulensi yang lemah (Hasse dan Dobson, 1983).
Apabila massa air laut memiliki stratifikasi yang stabil, perpindahan
vertikal haruslah melawan gaya apung. Pencampuran vertikal memerlukan
energi yang lebih besar dibandingkan pencampuran horizontal. Semakin besar
frekuensi stabilitas maka semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk
pencampuran vertikal. Akibatnya, pencampuran horizontal lebih besar daripada
pencampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan.
Pencampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan sangat
penting karena dapat merubah struktur vertikal lautan, dan secara luas dapat
mengontrol kecepatan yang mana air dari laut dalam akhirnya dapat mencapai
permukaan pada lintang tengah dan lintang rendah (Stewart, 2003).
2.2.2 Difusi Ganda
Tingkat difusi molekul (difusivitas molekul) untuk bahang dan salinitas
berbeda, ketika bahang melibatkan energi panas sedangkan salinitas melibatkan
pergerakan molekul. Bahang mendifusikan seratus kali lebih cepat dibandingkan
salinitas, akibatnya jika dua massa air yang densitasnya sama, namun berbeda
suhu dan salinitasnya bertemu secara vertikal, yang satu berada di atas yang
lainnya, maka proses difusi ganda dapat terjadi dan menyebabkan lapisan
tersebut tidak stabil. Walaupun memiliki pengaruh yang kecil terhadap sirkulasi
skala besar di lautan, proses difusi ganda memiliki peranan penting dalam
menyebabkan percampuran air laut (mixing), merubah distribusi suhu dan salinitas secara regional (Stewart, 2003).
(22)
Ketika air hangat dan asin berada di atas air tawar dan dingin dan batas
antara dua massa air tersebut terganggu maka sebagian kecil dari air hangat dan asin akan berpindah ke air dingin dan tawar. Perpindahan bahang yang cepat
akan mendinginkan air yang lebih asin dan menghangatkan air yang lebih tawar.
Lebih lanjut, air yang lebih asin akan menjadi lebih berat dan tenggelam kebawah
dan lapisan kolom air yang lebih ringan akan naik ke atas. Kolom air pengganti
tersebut dikatakan sebagai Salt Finger (Gambar 1(a) dan (c)).
Gambar 1. Proses pembentukan difusi ganda (Pickard dan Emery, 2004)
Difusi lateral antara finger akan memproduksi lapisan yang seragam.
Kemudian proses tersebut dimulai lagi pada batas kedua massa air yang baru,
(23)
menegaskan batas suhu dan salinitas. Di lautan ketebalan lapisan tersebut
dapat mencapai beberapa meter sampai 10 meter, dipisahkan oleh zona
perbatasan yang lebih tipis gradien suhu dan salinitasnya (Gambar 1(b) dan (d)).
Kecepatan horizontal eksternal dapat mengganggu perkembangan finger. Ketika
air dingin dan tawar berada di atas air hangat dan asin, lapisan air yang lebih
tawar akan menghangat. Lapisan yang berada di bawah kehilangan bahang tapi
tidak banyak kehilangan salinitasnya, hal ini disebut diffusive layering. Stratifikasi
dikuatkan oleh proses difusi ganda ini. Perbedaan kasus sebelumnya adalah
fluida tidak berpindah dan air tetap berada di lapisannya, pencampuran membawa bahang naik atau turun (Stewart, 2003).
Keadaan berikutnya bila air yang dingin dan lebih salin berada di atas air
yang hangat dan kurang salin, maka fluida akan selalu tidak stabil secara statis.
Kemudian jika air yang hangat dan kurang salin berada di atas air yang dingin
dan lebih salin tidak memungkinkan terjadinya difusi ganda, air yang kurang salin
akan mendingin tapi tidak bisa lebih dingin dari air yang lebih salin di bawahnya
sehingga tidak memungkinkan untuk turun, begitu pula untuk air dibawahnya
(24)
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu
data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu
P2O-LIPI dengan tema penelitian dinamika ARLINDO dan pengaruhnya terhadap
biomassa di perairan Raja Ampat dan sekitarnya. Pengambilan data di perairan
Raja Ampat dilakukan dengan menggunakan kapal riset BARUNA JAYA VIII.
Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di perairan Raja Ampat (Admin Bakosurtanal, P2O-LIPI, 2007)
Pengambilan data dilakukan tanggal 14 - 24 bulan November tahun 2007.
Posisi stasiun dipilih yang sejajar antara P.Waigeo dan Papua yaitu pada posisi
0o 25,486’ hingga 0o 43,176’ lintang selatan dan 131o 16,006’ sampai 13o 26,026’ bujur timur, yang merupakan jalan masuk massa air dari Samudera Pasifik.
(25)
3.2 Metode pengambilan Data
Untuk pengambilan data suhu, salinitas dan tekanan dilakukan
menggunakan instrumen CTD (Conductivity, Temperature and Depth ) model
SBE 911 plus dimana probe CTD dihubungkan dengan kabel ke sebuah control
unit untuk direkam di komputer sedangkan untuk data arus didapat dari hasil pengukuran menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) yang
dipasang pada kapal BARUNA JAYA VIII, spesifikasi alat dapat dilihat pada
Lampiran 1.
3.3 Metode Pengolahan Data
Pengolahan data menggunakan program MATLAB 7.01, ODV dan
Microsoft Excel 2003. Program MATLAB 7.01 digunakan untuk memperoleh nilai koefisien ekspansi termal, koefisien kontraksi salinitas, frekuensi apung dan
bahang spesifik air laut. Kemudian program Excel 2003 digunakan untuk
menghitung nilai alih bahang, rasio densitas dan sudut turner. Untuk menyajikan
hasil perhitungan dalam bentuk gambar dan grafik digunakan program ODV dan
Microsoft Excel 2003.
3.4 Analisis Data
Proses analisis data berupa perhitungan data sehingga didapat estimasi
nilai pencampuran vertikal, perpindahan bahang baik melalui proses mixing
maupun difusi ganda, serta nilai sudut Turner dan pelapisan massa airnya.
Pelapisan masa air ditentukan berdasarkan sebaran suhu dan salinitasnya,
contoh pembagian lapisan massa air dilampirkan pada Lampiran 2. Berikut ini merupakan diagram alir dari pengolahan data (Gambar 3).
(26)
Gambar 3. Diagram alir pengolahan data
3.4.1 Frekuensi Apung (Buoyancy Frequency)
Perhitungan frekuensi apung menggunakan persamaan Brunt-Vaisala
sebagai berikut (Pond dan Pickard, 1983):
z g N
1 2 ………...(3)Dimana N = frekuensi apung (1/s)
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m2/s)
ρ
= densitas rata-rata selang kedalamanΔ
z
Δ
z = beda kedalaman (m)
σ
θ = sigma-theta, densitas air laut (σθ =ρ
-1000 kg/m3)CTD (suhu, salinitas, kedalaman, densitas
Mixing Difusi Ganda
Shear vertikal arus Data vektor (u,v)
ADCP
Koef.kontraksi salinitas (β) dan ekspansi thermal (α)
Rasio densitas
Rρ & Rρ’
Sudut Turner (Tu) Flux suhu dan salinitas (Ft & Fs)
Alih bahang vertikal (FH)
Frekuensi Apung (N)
Bilangan Richardson (Ri)
Koef.difusivitas eddy (Kv)
Alih bahang vertikal (Qz)
(27)
3.4.2 Bilangan Richardson
Bilangan Richardson adalah perbandingan antara frekuensi apung dengan shear vertikal dari kecepatan horizontal, didapat dengan menggunakan
rumus (Pease dan Sundermeyer, 2005) :
2 2
S N
Ri ...………(4)
2 2 2
z
v
z
u
S
………...(5)Dimana
Ri = bilangan Richardson
N = frekuensi apung
S = shear vertikal arus
u = kecepatan arus komponen timur-barat (m/s)
v = kecepatan arus komponen utara-selatan (m/s)
3.4.3 Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kv)
Diasumsikan bahwa Kv merupakan fungsi dari bilangan Richardson
(Pacanowski dan Philander, 1981) sehingga untuk mengestimasi nilainya
digunakan rumus :
b K Ri v Kv
1 ………...(6)
n vbRi v v
1 0 ………...(7 )Dimana
Kv = koefisien difusivitas eddy vertikal
Ri = Bilangan Richardson
v
0 = 5x10-3 m2/sn = 2
v
b = 1x10-4 m2/s(28)
n,
β
, v0, vb dan Kb merupakan konstanta empiris dari pencampuran vertikal yang sering digunakan dalam model sirkulasi umum secara numerik di laut tropis.(Philander, 1990 in Hayes et al., 1991).
3.4.4 Alih Bahang Vertikal (Qz)
Alih bahang turbulen dapat diestimasi menggunakan parameter proses
pencampuran. Diasumsikan bahwa alih bahang turbulen berbanding lurus
dengan gradien suhu dan juga direpresentasikan oleh koefisien difusivitas eddy
vertikal (Kv). (Hayes et al.,(1991); Muench et al., (2000)) :
z T K C
Qz p v
………...(8)Keterangan :
Q
z = Alih bahang vertikal (W/m2)ρ
= densitas air laut (kg/m2)C
p = kapasitas bahang (J/KgoC)K
v = Koefisien difusivitas eddy vertikal (m2/s)z = kedalaman (m)
Untuk nilai kapasitas bahang dihitung berdasarkan kedalaman menggunakan
program Sea Water pada perangkat lunak Matlab (Lampiran 3).
3.4.5 Sudut Turner dan Rasio Densitas
Sudut turner (Tu) digunakan sebagai indikator dari aktivitas difusi ganda
pada suatu perairan yang didefinisikan sebagai berikut (Robertson et al., 1995;
Bianchi et al., 2001) :
R R Tu 1 1tan 1 atau
1 1 tan ' ' 1 R R
(29)
Dimana Rρ dan Rρ
’
adalah rasio densitas yang dinyatakan sebagai berikut :z
T
z
S
R
atau
z
S
z
T
R
' ………(10)
Dimana
β
= koefisien kontraksi salinitas (psu-1)α
= koefisen ekspansi thermal (oC-1)Nilai
α
dan
β
didapat dengan menggunakan program Sea Water (sw_alpha dan sw_beta) pada perangkat lunak MATLAB (Lampiran 4 dan 5).Berdasarkan sudut Turnernya aktivitas difusi ganda dapat dibedakan menjadi
seperti dibawah ini :
67,5o < Tu < 90o terjadi salt fingering kuat
45o < Tu < 67,5o terjadi salt fingering lemah
-45o < Tu < 45o tidak terjadi difusi ganda (stabil)
-67,5o < Tu < -45o terjadi diffusive layering lemah
-90o < Tu < -67,5o
terjadi diffusive layering kuat
3.4.6 Alih Bahang Vertikal (FH)
Untuk menduga besarnya alih bahang secara vertikal melalui proses salt
fingering dapat diketahui melalui rumus yang dikemukakan oleh Kunze pada tahun 1987 pada persamaan thin interfaces, (Bianchi et al. (2001) in Kurnadi
(2007)) yaitu :
s t gBF F
g
………(11)
433 1 8 1 S g K F
g
s t
………..(12)
'12 '12 '1
12
(30)
Dimana
β
= koefisien kontraksi salinitas (psu-1)α
= koefisien ekspansi thermal (oC-1)g = percepatan gravitasi (ms
-2)K
t = difusivitas molekuler bahang (m2s-1)R
ρ’
= rasio densitasF
t = flux suhuF
s = flux salinitasUntuk memperoleh nilai alih bahang secara vertikal (FH) maka nilai Ft harus
dikalikan dengan kapasitas bahang air laut (Cp) dan densitasnya.
Pendugaan nilai alih bahang secara vertikal (FH) melalui proses diffusive
layering pada penelitian ini menggunakan model yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti. Dimana pendugaan nilai alih bahang tersebut berdasarkan
parameter perbedaan suhu secara bertahap dan rasio densitasnya. Model dari
setiap peneliti tersebut dinotasikan sebagai berikut (Robertson et al.,1995) :
Marmorino dan Caldwell = FH-MC
Taylor = FH-T
Kelley = FH-K
Rudels = FH-R
Parameterisasi dari model tersebut adalah :
2 1
13
43 11
0 exp4,6exp 0,54
00859 ,
0
c R gK v
FH MC p t …..(14)
2 1
13
43 211 0
00272 ,
0
c R gK v
FH T p t ………(15)
0,72
2 1
13
43 10 exp4,8
0032 ,
0
c gK v
FH K p t ………(16)
3
43 1 1 2 3 4 1 1 0 1 35
c K K gK v
(31)
Dimana
α
= koefisien ekspansi thermal (oC-1)ρ
0 = densitas rata-rata (kgm-3)C
p = kapasitas bahang (JKg-1oC-1)g = percepatan gravitasi (ms
-2)R
ρ’
= rasio densitasK
t = difusivitas molekuler bahang (m2s-1)K
s = difusivitas molekuler bahang (m2s-1)v = viskositas kinematik air laut (m
2s-1)Untuk pemodelan yang dikemukakan oleh Rudels (FH-R) hanya digunakan
pada daerah yang memiliki rasio densitas yang rendah (R = 1,0 - 1,09). Jika nilai
rasio densitasnya lebih besar dari 1,09 maka digunakan persamaan (12), (13),
(14) lalu dari nilai yang didapat dari ketiga persamaan tersebut dirata-ratakan
(32)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat
Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu,
salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak dan
melintang dari suhu di perairan Raja Ampat.
(a) (b) Gambar 4. Penampang melintang (a) dan Profil menegak (b) suhu di perairan
Raja Ampat
Penampang melintang suhu di perairan Raja Ampat (Gambar 4 (a))
memiliki variasi vertikal yang berkisar antara 7oC sampai 31oC pada tiap-tiap
stasiun, dari sebaran tersebut dapat dibagi menjadi lapisan teraduk, lapisan
termoklin dan lapisan dalam. Kedalaman lapisan teraduk dan termoklin di
masing-masing stasiun memiliki rentang kedalaman yang tidak jauh berbeda dan
memiliki pola yang sama pada tiap-tiap stasiun. Secara vertikal (Gambar 4 (b))
suhu perairan Raja Ampat semakin menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Kedalaman lapisan teraduk mencapai 45 m sedangkan ketebalan
(33)
lapisan dalam yaitu pada kedalaman 329 m. Pelapisan yang jelas ini juga
menggambarkan bahwa perairan tersebut dapat dikatakan perairan yang stabil.
(a) (b)
Gambar 5. Penampang melintang (a) dan Profil menegak (b) salinitas di perairan Raja Ampat
Gambar 5 merupakan penampang melintang dan menegak dari salinitas
pada stasiun pengamatan di perairan Raja Ampat. Dari Gambar 5 (a) dapat
dilihat bahwa sebaran vertikal salinitas dari masing-masing stasiun dapat dibagi
menjadi beberapa kedalaman yang seragam pada tiap-tiap stasiun. Kedalaman
0 m – 60 m merupakan lapisan permukaan yang memiliki besar salinitas seragam dengan nilai yang lebih kecil. Kedalaman 60 m – 342 m merupakan lapisan haloklin dimana terdapat perubahan salinitas yang tajam berdasarkan
kedalaman dengan rata-rata perubahan salinitas 0,095 psu/m. Pada kedalaman
dibawah 342 m nilai salinitas mulai mengecil dan menjadi lebih stabil seiring
dengan bertambahnya kedalaman.
Perairan di sekitar khatulistiwa memiliki salinitas yang lebih rendah
dibandingkan di daerah lintang tinggi, dimana rata-rata salinitas pada perairan
(34)
memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengurangi salinitas di perairan
tersebut. Stasiun 3 memiliki kisaran salinitas 33,8 psu – 35,3 psu, stasiun 4 memiliki nilai salinitas berkisar antara 33,7 psu dan 35,4 psu, stasiun 5 memiliki
nilai salinitas tertinggi 35,4 psu dan terendah 33,9 psu dan stasiun 6 memiliki
kisaran salinitas 34,0 psu sampai 35,3 psu. Tabulasi mengenai pelapisan massa
air di perairan Raja Ampat ditunjukkan oleh tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata suhu dan salinitas pada setiap lapisan di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat
Stasiun
Suhu (oC) Salinitas (psu) Permukaan (45 m) Termoklin (269 m) Termoklin (282 m)
batas bawah
batas atas
batas bawah
batas atas
batas bawah
3 29,73 28,98 10,66 34,3 34,7
4 29,79 29,36 12,79 34,1 34,8
5 29,48 28,76 13,57 34,4 34,7
6 29,54 28,35 13,31 34,2 34,8
4.2 Internal Mixing 4.2.1 Shear Vertikal Arus
Secara umum shear vertikal arus di perairan Raja Ampat di
masing-masing stasiun memiliki pola yang berbeda, yaitu pada stasiun 3 dan 4 (Gambar
6 (a) dan (b)) shear vertikal arus menunjukkan variasi yang kecil di lapisan
permukaan kemudian mulai meningkat pada kedalaman 200 m – 400 m, dengan keadaan maksimum pada kedalaman 290 m untuk stasiun 3 dan kedalaman 310
m untuk stasiun 4, kemudian keadaan kembali mengecil pada kedalaman
dibawah 400 m. Pada stasiun 5 shear vertikal arus meningkat seiring dengan
bertambahnya kedalaman, dengan nilai shear tertinggi yaitu pada kedalaman
550 m (Gambar 6 (c)). Keadaan shear vertikal arus di stasiun 6 dapat dikatakan
lebih kecil nilainya dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya, dimana pada
stasiun 6 nilai shear vertikalnya relatif merata pada setiap kedalaman, pada
(35)
(a) (b)
(c) (d)
(36)
Gambar 7. Distribusi melintang shear vertikal arus (s-1)
Secara garis besar gradien komponen arus terhadap kedalaman mulai
meningkat pada kedalaman 200 m. Pada stasiun 3 shear vertikal yang terjadi
berkisar antara 0 s-1 sampai 5,1892 s-1, kisaran shear vertikal arus pada stasiun 4
yaitu antara 0 s-1 dan 6,5399 s-1. Stasiun 5 memiliki kisaran nilai shear vertikal
tertinggi yaitu 0,0672 s-1 sampai 6,9087 s-1 sedangkan pada stasiun 6 merupakan
shear vertikal arus dengan kisaran terendah yaitu 0 sampai 4,0189 s-1.
Dari Gambar 6 dan Gambar 7, pada stasiun 5 mengindikasikan terjadinya
pergerakan arus yang besar pada lapisan di bawah 400 m dibandingkan pada
lapisan teraduk atau lapisan atas kemudian pada stasiun 4 pergerakan arus
terbesar yaitu pada kedalaman 300 m – 350 m karena semakin besar perubahan kecepatan komponen arus terhadap kedalaman maka semakin besar pula nilai
shear arus yang terjadi (Persamaan 3).
Daerah pengamatan yang berupa selat sempit dengan kedalaman
rata-rata serta dasar perairan yang tidak rata-rata merupakan salah satu penyebab shear
vertikal yang besar, selain itu perbedaan massa air yang mengisi perairan Raja
Ampat juga berpengaruh terhadap perubahan arah arus di lapisan dalam
(37)
4.2.2 Frekuensi Apung
Dari profil densitas pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai densitas bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman 0 m – 47 m merupakan lapisan permukaan, 47 m – 234 m merupakan lapisan piknoklin dan lebih dari 234 m merupakan lapisan dalam. Daerah piknoklin merupakan daerah
dimana terjadi perubahan densitas yang sangat besar sehingga daerah piknoklin
akan memberikan nilai frekuensi apung yang lebih tinggi dibandingkan dengan
lapisan lainnya karena nilai frekuensi apung dipengaruhi oleh gradien densitas
suatu perairan, merujuk pada persamaan 1 yaitu semakin besar beda densitas
pada suatu lapisan perairan maka semakin besar pula nilai frekuensi apungnya.
Daerah piknoklin akan menjadi penghalang lewatnya air secara vertikal antara
kolom permukaan dengan kolom air di bawahnya yang merupakan daerah
dengan stratifikasi lebih lemah.
Gambar 8. Profil menegak densitas pada stasiun 3 – 6 di perairan Raja Ampat. Gambar 9 menunjukkan penampang melintang dari frekuensi apung di
(38)
pada lapisan permukaan kemudian lebih besar pada kedalaman 80 m – 150 m dan kembali mengecil pada lapisan dibawahnya.
Gambar 9. Distribusi melintang frekuensi apung (s-1) di perairan Raja Ampat
Dari Gambar juga terlihat bahwa nilai frekuensi apung dari satu stasiun ke
stasiun lain menunjukkan pola sebaran yang sama namun memiliki kisaran yang
berbeda. Stasiun 3 memiliki nilai frekuensi apung berkisar antara 7,3 x 10-5 s-1
sampai 4,4 x 10-2 s-1 dengan frekuensi apung tertinggi pada kedalaman 142 m,
stasiun 4 berkisar antara 1,73 x 10-4 s-1 sampai 3,3 x 10-2 s-1 dengan frekuensi
tertinggi berada pada kedalaman 87 m. Stasiun 5 memiliki nilai frekuensi apung
tertinggi pada kedalaman 92 m dengan nilai 5,1 x 10-2 s-1 dan terendah 1,88 x 10
-4
s-1 . Pada stasiun 6 memiliki kisaran frekuensi apung antara 1,32 x 10-4 s-1 dan
4,44 x 10-2 s-1 dengan frekuensi apung tertinggi pada kedalaman 106 m.
Profil menegak frekuensi apung pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran 6.
4.2.3 Bilangan Richardson
Bilangan Richardson merupakan rasio antara frekuensi apung dengan
(39)
lapisan air memiliki warna yang seragam dengan nilai kurang dari 0,25. Menurut
Emery (2005) dan Muench (2000) intensitas pencampuran yang besar di mulai saat bilangan Richardson turun di bawah 0,25 hingga 1. Artinya pada Gambar
10 seluruh lapisan perairan mengalami pencampuran ditunjukkan dengan warna
ungu dan biru yang bernilai dibawah 0,25.
Gambar 10. Distribusi melintang bilangan Richardson di perairan Raja Ampat
Pada Gambar 10 juga menunjukkan nilai bilangan Richardson yang lebih
besar pada kedalaman antara 100 m dan 200 m, walaupun daerah tersebut
masih berada di bawah 0,25 namun frekuensi apungnya menekan aktivitas
turbulensi lebih besar di lapisan tersebut sehingga memberikan nilai bilangan
Richardson yang lebih besar karena semakin besar bilangan Richardson maka
pencampuran akan semakin kecil (persamaan 4).
Pada lapisan permukaan pengaruh gelombang dan angin yang dominan
mengaduk lapisan tersebut, sedangkan pada lapisan dalam terjadi pergerakan
arus yang besar ditandai dengan nilai shear arus yang besar sehingga
memberikan nilai bilangan Richardson yang lebih kecil.
Kisaran bilangan Richardson pada masing-masing stasiun adalah
(40)
yang terdapat pada kedalaman 143 m, pada stasiun 4 bilangan Richardson
tertinggi yaitu 0,0405 kemudian pada stasiun 5 kedalaman 111 m memiliki bilangan Richardson tertinggi sebesar 0,0730 dan pada stasiun 6 kisaran
bilangan Richardson mencapai 1,4450 pada kedalaman 144 m. Profil menegak
bilangan Richardson pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran 7.
4.2.4 Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kv)
Koefisien difusivitas eddy vertikal didapatkan dengan menggunakan
parameterisasi dari bilangan Richardson, dimana koefisien difusivitas eddy
berbanding terbalik dengan bilangan Richardson. Nilai dari koefisien difusivitas
eddy menggambarkan besarnya proses pencampuran akibat turbulensi, semakin
besar nilainya maka proses pencampuran akan semakin besar pula.
Berdasarkan perhitungan (persamaan (6) dan (7)) diperoleh hasil sebaran
melintang seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Distribusi melintang koefisien difusivitas eddy (m2/s) perairan Raja Ampat
Sebaran melintang dari koefisien difusivitas eddy dari seluruh stasiun
menunjukkan pada lapisan permukaan yaitu kedalaman 0 m – 40 m koefisien difusivitas eddy memiliki nilai yang besar hal ini dapat diartikan terjadi
(41)
pencampuran yang besar karena pengaruh angin yang dominan mencampur
lapisan permukaan, kemudian pada lapisan piknoklin nilai koefisien difusivitas eddy mengecil terutama pada stasiun 6 di kedalaman 150 m – 200 m dan kembali membesar pada lapisan di bawah piknoklin, kemudian pada kedalaman
dibawah 570 m nilai koefisien eddy kembali mengecil dimana keadaan perairan
sudah lebih stabil dari aktivitas pencampuran.
Kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada masing-masing stasiun yaitu
pada stasiun 3 memiliki kisaran nilai koefisien difusivitas eddy antara 3,234 x 10-3
m2/s dan 5,143 x 10-3 m2/s, pada stasiun 4 nilai koefisien dfusivitas eddy berkisar
2,967 x 10-3 m2/s sampai 0,007201 m2/s sedangkan kisaran nilai koefisien
difusivitas eddy pada stasiun 5 yaitu 5,1 x 10-3 m/s2– 2 x 10-3 m2/s sedangkan pada stasiun 6 memiliki nilai koefisien terendah yaitu 3,1 x 10-5 m2/s dan koefisien
tertinggi sebesar 5,122 x 10-3 m2/s. Profil menegak Koefisien difusivitas eddy
pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran 8.
4.2.5 Alih Bahang Vertikal (Qz)
Dari hasil perhitungan estimasi alih bahang di perairan Raja Ampat pada
kedalaman 3 m - 640 m didapatkan hasil seperti pada Gambar 12, secara
keseluruhan nilai alih bahang yang dialihkan secara vertikal antara kolom air
berkisar antara -35,4722 W/m2 sampai 239,8686 W/m2.
Berdasarkan Gambar 12 pengalihan bahang terbesar terjadi pada
kedalaman 100 m - 200 m yang merupakan lapisan termoklin terutama pada
batas-batas antara lapisan termoklin atas dan termoklin bawah dimana terdapat
gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Pada kedalaman 200 m -
300 m walaupun memiliki nilai koefisien difusivitas eddy yang besar namun nilai
(42)
yang kecil pula pada lapisan tersebut dan sebaran suhunya secara horizontal
pun cukup seragam.
Gambar 12. Distribusi melintang alih bahang (W/m2) perairan Raja Ampat.
Pada lapisan dalam ( > 400 m) dimana suhu perairan sudah lebih stabil
memberikan nilai alih bahang yang kecil. Pada lapisan teraduk yang memiliki
aktivitas pencampuran yang cukup besar memberikan nilai alih bahang yang
kecil akibat dari gradien suhu yang kecil pula dimana pada lapisan teraduk suhu
perairan sudah lebih seragam.
Nilai alih bahang di perairan Raja Ampat memiliki sebaran vertikal yang
bervariasi pada tiap-tiap stasiun. Namun, secara garis besar memiliki pola yang
sama yaitu bernilai kecil di lapisan permukaan kemudian membesar pada lapisan
termoklin dan kembali mengecil pada lapisan dalam. Pada stasiun 3 nilai alih bahang mencapai 237,6586 W/m2 dengan pengalihan tertinggi berada pada
kedalaman 142 m, pada stasiun 4 kisaran alih bahangnya adalah -29,0512 W/m2
– 149,755 W/m2 merupakan kisaran terkecil dibandingkan stasiun yang lain. Stasiun 5 memiliki kisaran alih bahang yang tertinggi yaitu -31,1431 W/m2
(43)
sedangkan pada stasiun 6 pengalihan bahang tertinggi yaitu 188,8957 W/m2
pada kedalaman 240 m dan terendah -35,4722 W/m2.
Berikut ini merupakan tabulasi dari hasil perhitungan rata-rata pengalihan
bahang melalui proses turbulensi. Pengalihan bahang rata-rata terbesar
ditunjukkan tabel 2 yaitu pada stasiun 4 dan yang terendah yaitu pada stasiun 5.
Selain itu dari tabel 2 juga dapat dilihat hubungan antara alih bahang dengan
beberapa parameter turbulensi yang dilakukan. Dalam perhitungannya
pengalihan bahang dipengaruhi oleh koefisien pencampuran, kapasitas bahang
dan gradien suhu, dimana gradien suhu memberikan pengaruh yang langsung
terhadap pengalihan bahang yaitu semakin besar perbedaan suhu terhadap
kedalaman maka semakin besar pula bahang yang dialihkan.
Tabel 2. Perhitungan rata-rata beberapa parameter alih bahang di perairan Raja Ampat pada masing-masing stasiun
Stasiun
Shear (s-1)
Frekuensi Apung (s-1)
Bilangan Richardson
Koef.Difusi Eddy (m2/s)
Alih Bahang
(W/m2) ∆ T (oC) 3 1,009508 0,007253 0,000795 0,005056 20,10975 0,036707 4 1,265929 0,007626 0,000941 0,005048 20,55893 0,038764 5 1,47804 0,007256 0,000723 0,005063 18,686 0,037498 6 0,914968 0,007301 0,006072 0,004993 18,77652 0,037765 Simp.baku 0,254857 0,000179 0,002628 3,21E-05 0,944252 0,000849
Berikut ini merupakan perbandingan alih bahang pada perairan Raja
Ampat, Laut Flores dan Selat Ombai (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan di perairan selat Ombai dan Laut Flores oleh Siregar
tahun 2007, pengalihan bahang melalui turbulensi di perairan Raja Ampat
memiliki nilai yang lebih besar, hal ini dikarenakan Perairan Raja Ampat adalah
salah satu jalur masuk massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera
(44)
bahangnya masih lebih besar dibandingkan pada perairan selat Ombai maupun
Laut Flores yang merupakan jalur keluar massa air dari perairan Indonesia ke Samudera Hindia dimana asupan bahangnya telah tercampur sebelum
memasuki selat Ombai maupun Laut Flores di perairan selat Malaka dan
sekitarnya.
Tabel 3. Pencampuran vertikal dan alih bahang pada kedalaman 194 m hingga 241 m di Perairan Raja Ampat (November 2007), Laut Flores dan Selat Ombai (Mei 2005)
Lokasi Stasiun Kv (m2/s)
Alih Bahang
(W/m2)
∆T/∆z
(oC/m) Perairan Raja Ampat 3 5,08 x 10-3 20,09 4,04 x 10-2
4 5,1 x 10-3 32,34 6,6 x 10-2
5 5,08 x 10-3 34,20 6,7 x 10-2
6 5,07 x 10-3 43,50 8,72 x 10-2
Laut Flores 1 1,13 x 10-5 2,70 5,83 x 10-2
2 1,05 x 10-5 2,46 5,71 x 10-2
3 1,09 x 10-5 2,43 5,45 x 10-2
4 1,02 x 10-5 2,08 4,98 x 10-2
5 1,05 x 10-5 2,31 5,40 x 10-2
Selat Ombai 1,12 x 10-5 1,42 3,39 x 10-3
Perbandingan dilakukan pada kedalaman 194 m hingga 241 m dengan
waktu pengambilan data yang berbeda. Pengambilan data di Perairan raja Ampat
dilakukan pada November 2007 sedangkan pengambilan data di Laut Flores dan
Selat Ombai dilakukan pada Mei 2005. Perbedaan waktu pengambilan data juga
berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahangnya yang berkaitan dengan
musim, bulan Mei termasuk dalam musim peralihan 1 menuju musim timur dan
bulan November merupakan musim peralihan 2 menuju musim barat dimana
asupan panas dari matahari lebih banyak.
Selain itu daerah pengamatan berupa selat sempit pada perairan Raja
(45)
pada perairan Raja Ampat lebih kompleks sehingga memberikan shear vertikal
yang lebih besar dibandingkan dengan perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang memicu proses pencampuran dan pengalihan bahang.
4.3 Difusi Ganda
Difusi ganda memliki peranan yang penting dalam menyebabkan
pencampuran air laut (mixing), merubah distribusi suhu dan salinitas secara
regional dan membentuk formasi finestructure yang berskala kecil dari variasi
vertikal pada suhu dan salinitas (Ffield, 2004). Penelitian ini untuk melihat
bagaimana aktivitas difusi ganda di perairan Raja Ampat serta pengaruhnya
terhadap pertukaran bahang dalam perairan. Salah satu cara untuk mengetahui
aktivitas difusi ganda adalah dengan sudut Turner.
4.3.1 Sudut Turner
Sudut Turner dipengaruhi oleh perbedaan salinitas dan suhu terhadap
kedalaman, semakin besar gradien suhu dan salinitasnya maka semakin besar
aktivitas difusi ganda yang terjadi di perairan tersebut. Untuk penyajian jumlah
difusi ganda yang terjadi pada perairan Raja Ampat dibagi menjadi beberapa
kedalaman, yaitu pada lapisan permukaan dengan kedalaman 0 m - 60 m,
lapisan haloklin yaitu pada kedalaman 61 m – 342 m dan pada lapisan dalam yaitu kedalaman lebih dari 342 m.
Gambar 13 menunjukkan jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan
sudut Turner pada kedalaman 0 m – 60 m dan Gambar 14 merupakan penggambaran nilai sudut Turnernya. Pada kedalaman ini di dominasi oleh
keadaan stabil dengan sudut Turner -45o sampai 45o dan yang paling sedikit adalah aktivitas Salt fingering lemah. Hal ini dikarenakan pada kedalaman
(46)
menyebabkan suhu maupun salinitas menjadi seragam sampai kedalaman tertentu. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
3 4 5 6
Stasiun
Jum
la
h
Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil
Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat
Gambar 13. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman 0 m – 60 m
Nilai Tu pada kedalaman 0 - 60 m Stasiun 3
0 10 20 30 40 50 60 70
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 0 - 60 m Stasiun 4
0 10 20 30 40 50 60 70
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 0 - 60 m Stasiun 5
0 10 20 30 40 50 60 70
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 0 - 60 m Stasiun 6
0 10 20 30 40 50 60 70
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Gambar 14. Nilai sudut Turner pada kedalaman 0 – 60 m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat
(47)
Aktivitas diffusive Layering lemah dan diffusive Layering kuat paling
banyak terjadi pada stasiun 4 sedangkan aktivitas salt fingering kuat banyak terjadi pada stasiun 5 dimana stasiun 5 merupakan stasiun yang paling sedikit
keadaan stabilnya dibandingkan stasiun lain. Stasiun 3 merupakan stasiun yang
terbanyak keadaan stabilnya sedangkan stasiun 6 merupakan stasiun yang
paling sedikit aktivitas difusi gandanya.
Aktivitas difusi ganda yang diamati selanjutnya adalah pada kedalaman
61 m – 342 m yang merupakan lapisan haloklin (Gambar 15) dimana sebagian besar aktivitas difusi ganda yang terjadi adalah aktivitas salt fingering lemah
yaitu sudut Turner dengan nilai 45o– 67,5 o hal ini terjadi pada setiap stasiun walaupun untuk stasiun 4 dan 5 masih didominasi oleh keadaan stabil namun
aktivitas salt fingering lemah pada kedua stasiun ini hampir menyamai keadaan
stabil. Kemudian diikuti oleh aktivitas salt fingering kuat yang juga banyak terjadi
pada setiap stasiun dengan jumlah yang merata pada masing-masing stasiun.
0 20 40 60 80 100 120 140
3 4stasiun5 6
J
u
m
la
h
Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil
Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat
Gambar 15. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman 61 m – 342 m
(48)
Untuk penggambaran nilai dari sudut Turner pada kedalaman 61 m – 342 m ditunjukkan oleh Gambar 16.
Nilai Tu pada kedalaman 61 - 342 m Stasiun 3 0 50 100 150 200 250 300 350 400
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 61 - 342 m Stasiun 4 0 50 100 150 200 250 300 350 400
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 61 - 342 m Stasiun 5 0 50 100 150 200 250 300 350 400
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman 61 - 342 m Stasiun 6 0 50 100 150 200 250 300 350 400
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Gambar 16. Nilai sudut Turner pada kedalaman 61 – 342 m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat
Hal tersebut di atas dapat terjadi karena pada kedalaman ini ( 61 – 342 m) merupakan daerah haloklin dimana perbedaan salinitas terjadi sangat besar
terhadap perbedaan kedalaman, juga dikarenakan pada lapisan ini merupakan
tempat pertemuan dua massa air, yaitu massa air yang bersalinitas maksimum
yaitu massa air dari South Pacific Subtropical Water (SPSW) dan massa air
bersalinitas minimum South Pacific Intermediete Water (SPIW) pada lapisan
dibawahnya. Pembagian massa air di perairan Raja Ampat dapat dilihat pada
(49)
.
Gambar 17. Diagram TS karakteristik massa air di perairan Raja Ampat (P2O-LIPI, 2009)
Adanya massa air yang bersalinitas maksimum yang berada di atas
massa air bersalinitas minimum memungkinkan untuk terjadinya aktivitas difusi
ganda. Menurut Pond dan Pickard (1991) serta Stewart (2003) peristiwa salt
fingering ini terjadi jika ada lapisan air yang hangat dan salin, dan lapisan air dibawahnya lebih dingin serta kurang salin dibandingkan lapisan atasnya,
dimana densitas air yang berada di atas lebih kecil atau sama dengan
dibawahnya, maka air yang lebih salin pada peralihan tersebut akan kehilangan bahangnya menuju ke air yang lebih dingin di bawahnya, bahangnya akan lebih
cepat hilang atau berpindah dibandingkan kehilangan garamnya. Jika
perbedaan densitas antara kedua lapisan tersebut kecil, air yang lebih salin di
atas akan menjadi lebih berat sehingga akan turun ke lapisan bawahnya yang
lebih dingin dan kurang salin. Lapisan air yang dingin dan kurang salin
menerima bahang lebih cepat dibandingkan garam sehingga menjadi lebih ringan
(50)
Berikutnya adalah aktivitas difusi ganda di perairan dalam ( dibawah 342
m) yang ditunjukkan oleh Gambar 18 dan Gambar 19 di bawah ini.
0 100 200 300 400 500 600 700 800
3 4 5 6
Stasiun
Ju
m
la
h
Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil
Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat
Gambar 18. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman > 342 m.
Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun 3 0 200 400 600 800 1000 1200
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun 4 0 500 1000 1500 2000 2500
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun 5 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun 6 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Gambar 19. Nilai sudut Turner pada kedalaman > 342 m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat
(51)
Untuk kedalaman lebih dari 342 m (Gambar 18 dan 19) aktivitas salt
fingering lemah masih cukup banyak terjadi pada beberapa stasiun yang
diimbangi juga oleh keadaan stabil pada stasiun lainnya, terutama pada stasiun 4
keadaan stabil mendominasi keadaan perairan. Walaupun aktivitas salt fingering
lemah banyak terjadi pada lapisan ini dan bahkan pada stasiun 3 dan 6
jumlahnya mendominasi tetapi jumlah tersebut masih lebih kecil jika
dibandingkan dengan aktivitas salt fingering yang terjadi pada lapisan haloklin
( 61 m – 342 m). Pada kedalaman ini jumlah diffusive layering lemah menjadi aktivitas difusi ganda yang paling sedikit di semua stasiun, kemudian diikuti oleh
aktivitas diffusive layering kuat dan salt fingering kuat. Pada kedalaman ini suhu
mulai menurun seiring kedalaman dan salinitasnya meningkat seiring
(52)
Gambar 20 merupakan gambaran jumlah aktivitas difusi ganda yang
terjadi secara keseluruhan pada perairan Raja Ampat. Secara keseluruhan nilai sudut Turner yang terbanyak yaitu dalam keadaan stabil, walaupun pada stasiun
3 dan 6 di dominasi oleh keadaan salt fingering lemah namun keadaan stabil
masih lebih banyak terjadi di perairan Raja Ampat. Keadaan salt fingering lemah
mencapai 1788 kejadian, aktivitas salt fingering kuat 637 kejadian diikuti oleh
aktivitas diffusive layering kuat 261 kejadian dan yang terendah adalah aktivitas
diffusive layering lemah yaitu 231 kejadian.
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
3 4Stasiun5 6
J
u
m
la
h
Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil
Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat
Gambar 20. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada setiap stasiun
Untuk melihat nilai sudut Turner terhadap kedalaman perairan di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat ditunjukkan pada Gambar 21.
(53)
Nilai Tu Stasiun 3 0
200
400
600
800
1000
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu Stasiun 4 0
500
1000
1500
2000
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu Stasiun 5 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Nilai Tu Stasiun 6 0
200
400
600
800
1000
1200
-90 -67.5 -45 -22.5 0 22.5 45 67.5 90
Gambar 21. Nilai sudut Turner terhadap kedalaman pada masing-masing stasiun di perairan Raja Ampat.
(54)
4.3.2 Alih Bahang Vertikal
Dengan adanya aktivitas difusi ganda yang terjadi cukup banyak di perairan Raja Ampat dapat menyebabkan terjadinya alih bahang secara vertikal
pada kolom perairan. Perbedaan suhu antara lapisan-lapisan air tersebut akan
membuat lapisan air yang lebih hangat berpindah ke lapisan yang lebih dingin.
Untuk menduga besarnya alih bahang secara vertikal dapat dibedakan
berdasarkan aktivitas yang terjadi yaitu alih bahang melalui proses salt fingering
dan alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering.
1. Alih Bahang Melalui Salt Fingering
Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas salt fingering dapat dilihat pada
Gambar 22. Alih bahang melalui proses salt fingering memberikan nilai alih
bahang mencapai 4,25 W/m2. Dari gambar terlihat bahwa aktivitas pengalihan
bahang banyak terjadi pada stasiun 3 dan semakin mengecil pada stasiun 4
sedangkan pada kedua stasiun lainnya tidak terlihat. Kedalaman pengalihan
bahang pada stasiun 3 mencapai kedalaman 400 m dengan nilai alih bahang
tertinggi terdapat pada kedalaman 145 m yang termasuk dalam lapisan haloklin
(60 m – 342 m ) dimana lapisan haloklin memberikan gradien salinitas lebih besar dibandingkan dengan lapisan lain.
Gambar 22. Alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses salt fingering pada kedalaman 100 m – 400 m di perairan Raja Ampat
(55)
2. Alih Bahang Melalui Diffusive Layering
Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering, dibedakan berdasarkan rumus dari beberapa peneliti yang kesemua rumusnya
mendasarkan pada parameter-parameter yang menggunakan beda suhu secara
bertahap dan rasio densitas. Penggambaran pengalihan bahang pada Gambar
23 merupakan gabungan dan perata-rataan dari seluruh rumus yang digunakan
oleh beberapa peneliti tersebut
Gambar 23. Alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses diffusive layering di perairan Raja Ampat
Aktivitas difusi ganda melalui proses difusi layering berdasarkan gambar
23 menunjukkan pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun, terutama pada
lapisan kedalaman 0 m sampai 500 m dengan pengalihan terbesar pada stasiun
6. Kemudian pada lapisan kedalaman 500 m – 1000 m tidak terlihat pengalihan bahang yang berarti, dan pada lapisan dibawah 1000 m terlihat sedikit
pengalihan bahang pada dasar perairan stasiun 6.
Secara keseluruhan pengalihan bahang melalui proses difusi layering
berdasarkan stasiun yaitu : Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara
9,6982 x 10-8 W/m2 dan 4,1780 W/m2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4
(56)
W/m2 sampai 2,6955 W/m2dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu
6,4184 W/m2 dan terendahnya yaitu 1,71109 x 10-9 W/m2.
Berikut ini merupakan penggambaran pengalihan bahang melalui proses
difusi layering berdasarkan rumus dari beberapa peneliti :
Alih Bahang vertikal oleh Marmorino dan Caldwell (FH-MC)
Gambar 24. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell di perairan Raja Ampat
Gambar 25. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut
Marmorino dan Caldwell pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat
Pengalihan bahang melalui rumus Marmorino dan Caldwell memberikan
nilai alih bahang mencapai 12,9934 W/m2 dengan nilai terendah 4,39 x 10-6 W/m2, pola yang sama seperti gambar 22 dengan kisaran nilai yang berbeda,
(57)
dimana berdasarkan rumus Marmorino dan Caldwell didapatkan nilai alih bahang
yang lebih besar dibandingkan dengan rumus lain. Pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 500 m kemudian sedikit pada dasar
perairan stasiun 6.
Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 1,37 x 10-5 W/m2
dan 8,8907 W/m2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 4,39 x 10-6 W/m2
– 11,8038 W/m2, stasiun 5 kisarannya 7,17 x 10-6 W/m2 sampai 12,5976 W/m2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 12,9933 W/m2 dan
terendahnya yaitu 1,16 x 10-5 W/m2.
Alih Bahang vertikal oleh Taylor (FH-T)
Gambar 26. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Taylor pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat
Penggambaran alih bahang menurut Taylor pun tidak jauh berbeda dengan
rumus menurut Marmorino dan Caldwell. Pada Gambar 26 terlihat bahwa
pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 400 m,
namun pada pengalihan bahang menurut Taylor ini didapatkan nilai alih bahang
dengan kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan rumus
Marmorino dan Caldwell yaitu berkisar antara 1,59 x 10-9 W/m2 sampai 0,0484
(58)
Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 0,0369 W/m2 dan 2,98
x 10-8 W/m2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 0,0459 W/m2– 1,59 x 10-9 W/m2, stasiun 5 kisarannya 3, 47 x 10-9 W/m2 sampai 0,04834 W/m2dan
pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 3,5457 W/m2 dan terendahnya
yaitu 1,23 x 10-8 W/m2.
Alih Bahang vertikal oleh Kelley (FH-K)
Gambar 27. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman 0 m – 1500 m di perairan Raja Ampat
Gambar 28. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman 0 m – 500 m di perairan Raja Ampat
Pengalihan bahang menurut Kelley (Gambar 27 dan 28) terjadi pada
(59)
Kisaran tertinggi yaitu 6,2611 W/m2 dan terendah yaitu 3,35 x 10-6 W/m2. Sama
seperti rumus-rumus sebelumnya pengalihan bahang terjadi sampai pada
kedalaman 400 m dan sedikit pada dasar perairan stasiun 6, pola yang terbentuk
pun tidak jauh berbeda dengan rumus-rumus sebelumnya hanya kisaran nilainya
yang berbeda.
Alih Bahang vertikal oleh Rudels (FH-R)
Gambar 29. Alih bahang (W/m2) melalui proses difusi layering menurut Rudels perairan Raja Ampat
Pengalihan bahang menurut Rudells hanya digunakan untuk rasio
densitas yang kecil. Berdasarkan Gambar 29 terlihat bahwa pengalihan bahang
banyak terjadi dekat dengan dasar perairan. Pada lapisan permukaan aktivitas
pengalihan bahang sangat kecil sekali terjadi, begitu pula pada lapisan piknoklin.
Aktivitas pengalihan bahang mulai terlihat pada kedalaman dibawah 1000 m hal
ini dikarenakan densitas pada kedalaman dibawah 1000 m sudah stabil sehingga
rasio densitas terhadap kedalamannya sangat kecil sehingga nilai diperbesar
oleh rumus yang diberikan Rudells untuk melihat seberapa pengalihan bahang
pada lapisan dasar perairan.
Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 5,99 x 10-8 W/m2
(60)
W/m2– 3,11 x 10-3 W/m2, stasiun 5 kisarannya 2,31 x 10-8 W/m2 sampai 2,78 x 10-6 W/m2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 1,15 x 10-5 W/m2 dan terendahnya yaitu 1,71 x 10-9 W/m2. Nilai kisaran tersebut merupakan nilai
kisaran yang terendah dibandingkan dengan nilai pengalihan bahang menurut
peneliti lainnya.
Gambar 30 merupakan sebaran melintang dari proses alih bahang
rata-rata pada perairan Raja Ampat, yang merupakan gabungan antara pengalihan
bahang melalui proses salt fingering dan difusi layering. Dari Gambar 30 secara
keseluruhan pengalihan bahang yang terjadi sangat sedikit sekali, pada stasiun 3
pengalihan bahang terlihat sampai pada kedalaman 500 m dengan nilai yang
kecil, pada stasiun 4 pengalihan bahang hanya terlihat sampai kedalaman 50 m
kemudian semakin ke arah stasiun 6 semakin sedikit pengalihan bahang yang
terjadi dan pada dasar perairan stasiun 6 juga terlihat sedikit aktivitas pengalihan
bahang dengan nilai mendekati 0. Pengalihan bahang melalui proses difusi
ganda ini berkisar antara 0 – 6,2 W/m2 nilai tersebut sangatlah kecil jika dibandingkan dengan alih bahang melalui proses mixing, hal ini dikarenakan
pada proses difusi ganda pengalihan bahang yang diamati melalui difusi molekul.
Gambar 30. Penampang melintang alih bahang vertikal (W/m2) di perairan Raja Ampat.
(61)
Selat Makassar dan Perairan Raja Ampat merupakan salah satu jalur
masuk Arlindo menuju Samudera Hindia melalui perairan Indonesia. Jika dibandingkan pengalihan bahang yang terjadi melalui difusi ganda pada dua
perairan tersebut, hasilnya adalah tabulasi di bawah ini, dimana pada penelitian
yang dilakukan di Selat Makassar digunakan data time series selama tahun 2004
sedangkan data yang digunakan pada penelitian di perairan Raja Ampat berupa
data in situ pada bulan November 2007 (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai rata-rata alih bahang vertikal (W/m2) melalui proses difusi ganda di Perairan Raja Ampat dan Selat Makassar
Lokasi stasiun Kedalaman (m)
0 - 50 50 - 200 200-350 350-500 >500
Perairan Raja Ampat
3 0,416487 0,561851 0,418996 0,092759 0,017486 4 0,915785 0,028089 0,194958 0,011528 0,001522 5 0,007357 1,272847 0,154241 0,000743 0,03218 6 0,067964 0,055304 0,020686 0,001169 0,000633 Rata-rata 0,351898 0,479523 0,19722 0,02655 0,012955 Selat
Makassar Rata-rata 0,3392 0,7231 0,1753 0,0311 0,0111
Pada lapisan permukaan 0 – 50 m nilai pengalihan bahang rata-rata terbesar pada perairan Raja Ampat terjadi pada stasiun 4 dan terendah pada
stasiun 5 sedangkan pada kedalaman 50 – 200 m pengalihan bahang rata-rata terbesar yaitu pada stasiun 5 dan terendah pada stasiun 4 kemudian pada
rentang kedalaman selanjutnya stasiun 3 menyumbangkan bahang tertinggi dan
stasiun 6 yang terendah. Rata-rata pengalihan bahang pada kedalaman 50 - 200
m yaitu 0,4795 W/m2 yang merupakan rata-rata tertinggi dari seluruh stasiun
pengamatan.
Jika dibandingkan dengan penelitian mengenai difusi ganda di perairan
Selat Makassar yang dilakukan oleh Kurnadi ( 2007), pengalihan bahang melalui
proses difusi ganda pada perairan Raja Ampat memiliki nilai rata – rata yang bervariasi terhadap pengalihan bahang di Selat Makassar, pada kedalaman 0 –
(62)
50 m, 200 – 350 m dan >500 m nilai rata-rata alih bahang di perairan Raja Ampat lebih besar, namun bila dijumlahkan rata-rata pengalihan bahang di selat
Makassar akan lebih besar walaupun nilainya tidak berbeda jauh dengan
rata-rata alih bahang di perairan Raja Ampat. Pengalihan bahang melalui difusi
ganda bukan hanya dipengaruhi oleh aktivitas difusi ganda yang terjadi juga
dipengaruhi oleh rasio densitas dan flux suhu yang terjadi. Selain itu perbedaan
massa air yang mengisi Selat Makassar dan perairan Raja Ampat juga
berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahang berdasarkan difusi ganda.
Diantaranya yaitu North Pacific Subtropical Water (NPSW) massa air yang
mengisi perairan Selat Makassar dan South Pacific Subtropical Water (SPSW)
(1)
% CHECK INPUT ARGUMENTS if ~(nargin==3 | nargin==4)
error('sw_beta.m: requires 3 or 4 input arguments') end %if
if nargin == 3 keyword = 'temp'; end %if
% CHECK S,T,P dimensions and verify consistent [ms,ns] = size(S);
[mt,nt] = size(T); [mp,np] = size(P);
% CHECK THAT S & T HAVE SAME SHAPE if (ms~=mt) | (ns~=nt)
error('check_stp: S & T must have same dimensions') end %if
% CHECK OPTIONAL SHAPES FOR P
if mp==1 & np==1 % P is a scalar. Fill to size of S P = P(1)*ones(ms,ns);
elseif np==ns & mp==1 % P is row vector with same cols as S P = P( ones(1,ms), : ); % Copy down each column.
elseif mp==ms & np==1 % P is column vector P = P( :, ones(1,ns) ); % Copy across each row elseif mp==ms & np==ns % PR is a matrix size(S) % shape ok
else
error('check_stp: P has wrong dimensions') end %if
[mp,np] = size(P);
% IF ALL ROW VECTORS ARE PASSED THEN LET US PRESERVE SHAPE ON RETURN.
Transpose = 0;
if mp == 1 % row vector P = P(:); T = T(:); S = S(:); Transpose = 1; end %if
%***check_stp
% ENSURE WE USE PTMP IN CALCULATIONS if strcmp(lower(keyword),'ptmp') % already have ptmp
else
T = sw_ptmp(S,T,P,0); % now have ptmp end %if
(2)
c1=fliplr([ 0.785567e-3, -0.301985e-5 ... 0.555579e-7, -0.415613e-9]);
c2=fliplr([ -0.356603e-6, 0.788212e-8]); c3=fliplr([0.0 0.408195e-10, -0.602281e-15]); c4=[0.515032e-8];
c5=fliplr([-0.121555e-7, 0.192867e-9, -0.213127e-11]); c6=fliplr([0.176621e-12 -0.175379e-14]);
c7=[0.121551e-17]; %
% Now calaculate the thermal expansion saline contraction ratio adb
%
[m,n] = size(S);
sm35 = S-35*ones(m,n);
BETA = polyval(c1,T) + sm35.*(polyval(c2,T) + ... polyval(c3,P)) + c4*(sm35.^2) + ...
P.*polyval(c5,T) + (P.^2).*polyval(c6,T) ... +c7*( P.^3);
return
%--
(3)
---Lampiran 6. Penampang Menegak Frekuensi Apung pada Masing-Masing Stasiun
(4)
Lampiran 7. Penampang menegak Bilangan Richardson pada masing-masing stasiun
(5)
Lampiran 8. Penampang Menegak Koefisien Difuisvitas Eddy pada Masing-masing Stasiun
(6)
RINGKASAN
ALFINA KHAIRA. Kondisi Alih Bahang dalam Proses Internal Mixing
Melalui Tahapan Difusi Ganda dan Turbulensi di Perairan Raja Ampat pada November 2007. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan HADIKUSUMAH.
Perairan Raja Ampat sebagai bagian dari perairan Indonesia Timur merupakan salah satu tempat pertemuan massa air antara belahan bumi utara dan massa air dari belahan bumi selatan. Dari pertemuan dua massa air tersebut akan berdampak pada proses pencampuran, baik secara vertikal
maupun horizontal. Proses pencampuran dapat melemahkan stratifikasi perairan yang di dalamnya terdapat proses-proses yang sangat lambat seperti difusi molekul dan proses turbulensi yang sangat cepat.
Ffield (1994) menjelaskan bahwa pencampuran vertikal yang terjadi di dalam perairan Indonesia menyebabkan perubahan jumlah bahang, garam serta momentum massa air melalui aliran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia, sehingga proses pencampuran ini akan memberikan dampak terhadap sirkulasi arus global samudera.
Analisis massa air yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berupa
estimasi nilai alih bahang baik melalui aktivitas difusi ganda maupun berdasarkan turbulensi. Selain itu juga untuk melihat struktur pelapisan dan pencampuran internal massa air di perairan Raja Ampat.
Gradien komponen arus terhadap kedalaman mulai meningkat pada kedalaman 200 m dan pada beberapa stasiun mengindikasikan terdapat pergerakan arus yang besar pada kedalaman di bawah 400 m. Nilai rata-rata
shear vertikal arus berkisar antara 0,9149 s-1 sampai 1,4780 s-1.
Berdasarkan frekuensi apungnya daerah piknoklin memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan lapisan lain sehingga daerah piknoklin menjadi
penghalang lewatnya air secara vertikal antara kolom permukaan dengan kolom air di bawahnya.
Bilangan Richardson sebagai rasio antara frekuensi apung dan shear
vertikal arus menunjukkan besarnya pencampuran yang terjadi pada suatu perairan, dimana pada perairan Raja Ampat memiliki nilai yang kecil pada seluruh lapisannya yang berarti turbulensi terjadi pada setiap lapisan yaitu berkisar antara 7,23 x 10-4 sampai 6,07 x 10-3
Pengalihan bahang terbesar terjadi pada batas-batas antara lapisan termoklin, dimana terdapat gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Rata-rata nilai alih bahang pada perairan Raja Ampat berdasarkan proses turbulensi yaitu antara 18,686 W/m2 sampai 20,5589 W/m2
Aktivitas difusi ganda berdasarkan sudut turner diketahui banyak terjadi pada kedalaman 61 – 342 m yang merupakan daerah haloklin, pada kedalaman ini di masing-masing stasiun di dominasi oleh aktivitas salt fingering. Secara keseluruhan jika diurutkan aktivitas difusi ganda yang terjadi dari yang tertinggi hingga terendah adalah salt fingering lemah, salt fingering kuat, diffusive layering
kuat dan diffusive layering lemah.
Pengalihan bahang melalui proses difusi ganda mencapai 6,2 W/m2 nilai ini lebih kecil dibandingkan pengalihan bahang melalui proses pencampuran (turbulensi) dikarenakan pada proses difusi ganda yang pengalihan bahang yang diamati melalui difusi molekul.