Karena dengan menemukan orang-orang dengan HIV akan membuka

commit to user Kesehatan Kota [P2PL dan DKK] Surakarta, selama 2005 sampai Maret 2010 jumlah penderita HIVAIDS mencapai 364 orang. Dengan jumlah tersebut Solo menempat urutan kedua di Jawa Tengah TvOne, 2010. Heteroseksual, homo- biseksual, IDU Injecting Drug User,dan transmisi perinatal merupakan faktor risiko terinfeksi HIVAIDS. Dari 20564 orang yang terinfeksi di Indonesia, 15168 di antaranya adalah laki-laki dengan pengguna narkoba suntik penasun sebanyak 7430 kasus, 5306 orang wanita dengan penasun sebanyak 611 kasus, 90 orang tidak diketahui jenis kelaminnya dengan penasun sebanyak 49 kasus. Jakarta merupakan daerah dengan ODHA orang dengan HIVAIDS tertinggi nomer tiga di Indonesia hingga 31 Desember 2006 terdapat sebanyak 2.656 kasus. Dari jumlah tersebut, 50,98 persen atau sebanyak 24.075 penderita merupakan pengguna narkoba suntik penasun Komisi Penanggulangan Aids Provinsi Jakarta, 2010. Menurut golongan umur, proporsi penderita AIDS terbesar terdapat pada kelompok usia 20 – 29 tahun 48,7, disusul kelompok umur 30 – 39 tahun 30,3 dan kelompok umur 40 – 49 tahun 8,89 Ditjen PPM PL Depkes RI, 2010 Penanggulangan HIV sangat ditekankan pada tantangan untuk menemukan orang-orang yang terinfeksi virus HIV surveilens Nursalam,

2007. Karena dengan menemukan orang-orang dengan HIV akan membuka

jalan untuk penatalaksanaan kasus dan pencegahan yang lebih adekuat sehingga akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena HIV Bock et al., 2008. commit to user Saat ini surveilens HIV dilakukan dengan 2 cara, yaitu Voluntary Counseling and Testing VCT dan Provider Inisiated HIV Testing and Counseling PITC. Voluntary Counseling and Testing adalah suatu metode surveilens HIV berdasarkan inisiatif dari pasien itu sendiri. Voluntary Counseling and Testing telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV. Voluntary Counseling and Testing juga memainkan peran dalam mengurangi stigma dan diskriminasi International Planned Parenthood Federation [IPPF], 2004. Respons VCT tidak optimal karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya, kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma dan diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan UNAIDS, 2002. Untuk mengatasi keterbatasan metode ini, munculah suatu inisiatif baru yang disebut PITC. Provider Inisiated HIV Testing and Counseling merupakan konseling dan testing yang direkomendasikan berdasar pada indikasi medis. Provider Inisiated HIV Testing and Counseling dilakukan pada setting kesehatan oleh petugas konselor kesehatan dengan tujuan untuk memberikan diagnosis dan memberi terapi pada pasien. Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus HIVAIDS, saat ini di kota Surakarta telah tersedia tiga Klinik VCT guna melakukan pemeriksaan kesehatan khususnya untuk pengecekan virus HIVAIDS. Klinik VCT di Surakarta dapat ditemukan di RSUD dr. Moewardi, RS dr. Oen, dan Puskesmas Manahan. Untuk membantu dalam penanggulangan HIVAIDS commit to user Klinik VCT juga melakukan kerja sama kemitraan dengan LSM. Dasar dari adanya kemitraan tersebut adalah adanya peningkatan penderita HIVAIDS yang terus meningkat serta kurangnya kepedulian masyarakat umum terhadap penanggulangan HIVAIDS Masudin, 2008. Penerimaan tiap individu pada tes HIV berbeda-beda, tergantung faktor apa saja yang dapat mempengaruhi individu tersebut. Sebagai contoh bahwa pasien yang lebih tua usianya umumnya menolak pengujian karena merasa kurangnya berisiko terinfeksi, jenis kelamin perempuan, ras kulit putih, usia yang tua, dan tingkat pendidikan yang tinggi juga merupakan golongan yang sering menunjukkan penolakan terhadap tes HIV Elcannem, 2004. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV Human Immunodeficiency Virus pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

B. Rumusan Masalah