Pengaruh Berbagai Pengolahan terhadap Indeks Glikemik Ubi Jalar (Ipomea Batatas) Cilembu

(1)

ABSTRACT

BAYU MAULANA. Effect of Various Processing Methods on Glycaemic Index of Sweet Potato (Ipomea batatas) Cilembu. Under direction of LILIK KUSTIYAH and MIRA DEWI

People are suggested to consume carbohydrate from foods sources of carbohydrate with low glycaemic index to prevent degenerative disease, especially diabetes mellitus. Sweet potatoes (Ipomea batatas) cilembu are originally harvested at Tanjungsari, Sumedang, West of Java. Most people acknowledge this kind of sweet potato have most sweetness taste than other kinds of sweet potato. This study was aimed to measure and analyze the impact between types of processing methods and the glycaemic index of sweet potato (Ipomea batatas) cilembu. In this study, sweet potato were conducted of three types of processing methods: steamed, baked, and deep fried (made into chips). Sweet potatoes was steamed at 100oC (30, 40, and 50 minutes); baked at 180oC (60, 70, 80 minutes); and deep fried at 175oC (60, 70, 80 second). Based on hedonic organoleptic test, one from each processing methods was selected: 40 minutes for steamed, 80 minutes for baked, and 70 second for deep fried.Selected products were then analyzed proximate, dietary fiber, amylose content, and glycaemic index. To analyze glycaemic index, ten volunteers had to consume equal 50 g of available carbohydrate from each products. Available carbohydrate value was obtained by difference of proximate analyze of moisture, ash, protein, fat, and dietary fiber. Overnight fasting subjects blood glucose level were measured at 0, 15, 30, 45, 60, 90, and 120 minutes after consumed 50 g of D-Glucose or tested foods. Glycaemic index of each products were measured by area under curve (AUC). The result showed that glycaemic indices of steamed, baked, and deep fried were 58.22 (medium GI), 79.95 (high GI), and 56.27 (medium GI), respectively. ANOVA test showed that processing methods have significant impact on glycaemic indices of products (p<0,05).

Key words: sweet potato (Ipomea batatas) cilembu, processing methods, glycaemic index


(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Menurut Kusharto dan Muljono (2010), kualitas SDM ditandai dengan kondisi fisik dan mental yang kuat, kesehatan yang prima, dan pendidikan yang baik, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Mengingat hal tersebut, dalam rangka mendukung pembangunan nasional, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan.

Permasalahan gizi di Indonesia sering disebut masalah gizi ganda, artinya bangsa Indonesia mengalami dua masalah utama gizi, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih (Almatsier 2001). Meningkatnya penyakit degeneratif antara lain akibat adanya perubahan perilaku, gaya hidup, pola makan, dan aktivitas yang tidak seimbang. Oleh karena itu, asupan makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko penyakit diabetes melitus. Hal tersebut diduga dapat disiasati dengan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat seperti umbi-umbian.

Beranekaragam pangan lokal seperti umbi-umbian dapat dimanfaatkan sebagai pangan alternatif yang relatif lebih aman dalam penyediaan energi. Salah satu jenis umbi-umbian yang berpotensi dalam penyediaan energi dari karbohidrat adalah ubi jalar. Selain sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung sejumlah vitamin dan mineral sehingga semakin menempatkan ubi jalar pada posisi unggul dibandingkan beras atau olahan terigu. Menurut Flach dan Rumawas (1996) dalam Haryanti (2006), persentase terbesar penggunaan ubi jalar di negara-negara tropis adalah untuk konsumsi manusia (70-100%), disusul untuk pakan (10-30%), dan bahan baku industri (5-10%).

Salah satu varietas ubi jalar yang populer dikonsumsi masyarakat adalah ubi cilembu. Ubi jalar yang merupakan hasil budidaya masyarakat Desa Cilembu, Tanjung Sari, Sumedang ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kebanyakan jenis ubi jalar lainnya. Karakteristik tersebut adalah getah manis seperti madu yang dikeluarkan jika dilakukan pengolahan panggang, sehingga


(3)

tidak heran jika masyarakat pada umumnya mengenal umbi varietas ini sebagai ubi madu.

Ubi cilembu yang lebih sering dijumpai adalah ubi cilembu yang diolah panggang. Selain dipanggang, pengolahan yang umum dilakukan di masyarakat adalah dikukus dan digoreng. Pengolahan yang lebih variatif akan memberikan informasi yang berbeda terhadap produk olahan. Salah satu informasi yang perlu diketahui adalah indeks glikemik dari berbagai pengolahan ubi cilembu.

Indeks glikemik (IG) diperlukan sebagai informasi yang dibutuhkan oleh sasaran, yaitu IG rendah dapat disarankan kepada orang yang berisiko atau menderita diabetes melitus. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian yang mempelajari pengaruh perbedaan pengolahan terhadap ubi cilembu melalui pendekatan indeks glikemik.

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis IG produk olahan ubi cilembu dan menganalisis pengaruh pengolahan terhadap IG produk olahan ubi cilembu, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan metode terbaik dalam mengukus, memanggang, dan menggoreng ubi cilembu dengan perlakuan waktu yang berbeda.

2. Menentukan karakteristik produk olahan ubi cilembu melalui uji mutu hedonik.

3. Menentukan produk olahan ubi cilembu terpilih melalui uji hedonik.

4. Menganalisis kandungan gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu.

5. Menganalisis IG produk olahan ubi cilembu.

6. Menganalisis pengaruh pengolahan kukus, panggang, dan goreng terhadap IG ubi cilembu.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi IG produk olahan ubi cilembu, sehingga informasi dari penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi untuk menentukan bahan pangan yang disesuaikan dengan kebutuhan sasaran. Melalui penelitian ini pula, diharapkan dapat mempromosikan ubi cilembu sebagai pangan sehat, sehingga secara tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap pemerintah dalam menggalakkan program diversifikasi pangan serta menunjang kesejahteraan petani ubi cilembu.


(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Ubi Jalar (Ipomea batatas) Cilembu

Ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan komoditi yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan. Menurut data BPS (2009), produksi ubi jalar di Indonesia mencapai 1.947.311 ton dengan luas lahan tanam mencapai 181.183 Ha. Melihat potensi tersebut, ubi jalar dapat dijadikan pangan yang dapat menyediakan kebutuhan karbohidrat harian untuk masyarakat.

Menurut Flach dan Rumawas (1996) dalam Haryanti (2006), ubi jalar diklasifikasikan sebagai berikut;

Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea L.

Species : Ipomoea batatas (L.) Lamk

Salah satu jenis ubi jalar yang populer di masyarakat adalah ubi jalar cilembu. Ubi cilembu adalah kultiyar ubi jalar yang merupakan ras lokal asal Desa Cilembu, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ubi cilembu memiliki keistimewaan daripada umbi lainnya yaitu bila dipanggang akan mengeluarkan sejenis cairan lengket seperti madu, sehingga masyarakat juga mengenal ubi cilembu sebagai ubi madu. Selain rasa yang lebih manis dibanding umbi jenis lainnya, ubi cilembu memiliki tekstur daging yang lembut dan berwarna lebih menarik, yaitu berwarna merah emas saat masak (setelah dipanggang) dengan warna kulit krem. Salah satu kelebihan lainnya adalah kandungan vitamin A 7100 RA, dimana nilai ini jauh lebih tinggi kandungannya dibanding dengan ubi jenis lainnya. Selain itu, ubi cilembu juga memiliki kandungan kalsium hingga 46 mg per 100 g, vitamin B-1 0,08 mg, vitamin B-2 0,05 mg, dan niacin 0,9 mg, serta vitamin C 20 mg (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2002).

Menurut Suriawiria dalam Haryanti (2006), budidaya ubi cilembu dapat dikategorikan mudah dan sederhana. Proses budidaya yang pertama harus dilakukan adalah penyiapan tanah berupa gundukan, kemudian bagian permukaannya ditanami batang atau bagian ujung batang. Beberapa minggu kemudian, bibit akan tumbuh tunas, dan pada usia 1 bulan batang akan mengeluarkan tunas yang berjalar, serta dibagian akar akan tumbuh umbi. Kurun waktu 3 hingga 6 bulan, tergantung jenis ubi jalar, bentuk dan sifat tanah, serta


(5)

musim, ubi dapat dipanen dengan hasil rata-rata antara 20 hingga 35 ton per hektar.

Panen ubi cilembu dapat dilakukan 25 minggu sejak penanaman, sehingga usia ubi tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Secara konvensional, ubi cilembu dipanen dengan cara pembabatan daun dan mencongkel ubi. Kemudian ubi disimpan dalam rak atau digantung. Semakin lama ubi disimpan akan semakin manis ubi jika diolah (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2002).

Menurut Suriawiria dalam Haryanti (2006), kelebihan ubi cilembu dibandingkan dengan ubi jalar lainnya adalah rasa yang lebih manis. Hal tersebut diduga disebabkan oleh jenis dan sifat tanah. Selain karena faktor genetika, proses pemeraman yaitu sekitar 2 minggu setelah pemanenan juga dapat mempengaruhi tingkat kemanisan ubi cilembu. Penyimpanan ubi cilembu biasa dilakukan pada ruangan bertemperatur 27°C - 30°C. Proses pemeraman ini akan mengakibatkan terjadinya pemecahan pati pada daging ubi menjadi gula yang lebih sederhana.

Sebelum menjadi populer dengan “merek dagang” ubi cilembu pada tahun 1980, ubi ini dikenal dengan nama ubi nirkum. Ubi cilembu mulai dikenal setelah dijual menyebar di daerah Jawa Barat dan Jabodetabek, bahkan diekspor sampai Singapura dan Malaysia hingga puncak penjualannya pada tahun 1985. Namun, sekitar tahun 1990 penjualan ubi cilembu merosot karena pemalsuan yang dilakukan sejumlah pedagang (Fatonah 2002).

Ubi cilembu dapat ditanam di daerah lain, namun karakteristik rasanya akan berbeda karena unsur hara dalam tanah dan udara. Mayastuti dalam Fatonah (2002) menjelaskan bahwa penanaman ubi cilembu pernah dilakukan di daerah Garut dan Padalarang, hasilnya pun berbeda pada rasa dan kadar “madu” yang terkandung dalam kedua ubi cilembu tersebut. Informasi komposisi proksimat berbagai varietas ubi jalar disajikan pada Tabel 1.


(6)

Tabel 1 Komposisi proksimat berbagai varietas ubi jalar

Jenis ubi jalar Air

(%)

Energi (Kal)

Lemak (%)

KH (%)

Serat (%)

Protein (%)

Ubi jalar putih 72,3 108 0,3 25,6 0,8 1,0

Ubi jalar putih (rebus) 62,2 149 0,4 35,8 0,6 0,6

Ubi jalar kuning 70,7 115 0,3 27,1 0,8 1,2

Ubi jalar kuning (rebus) 68,1 126 0,6 29,4 0,6 1,0

Ubi jalar merah 68,5 123 0,7 27,9 - 1,8

Sumber: Kadarisman dan Sulaeman (1992)

Indeks Glikemik (IG) Pangan

Indeks Glikemik (IG) pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).

IG pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Sebagai perbandingannya, IG glukosa murni adalah 100. Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber-IG rendah (ber-IG<55), ber-IG sedang (ber-IG: 55 – 70), dan ber-IG tinggi (ber-IG>70) (Wirakusumah 2007). IG merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004)

Penentuan IG pangan

Indeks glikemik didefinisikan sebagai nilai yang didapatkan dari perbandingan kurva respon glukosa darah dari 50 g glukosa murni dengan jumlah glukosa yang setara pada pangan acuan terhadap satu subjek yang sama. Pangan acuan yang biasa digunakan adalah glukosa murni (D-glucose unhydrous) atau roti putih (white bread) yang memiliki nilai IG 100. Namun, menurut Brouns et. al (2005), pangan acuan yang disarankan adalah glukosa murni karena setiap daerah mungkin memproduksi roti putih dengan komposisi dan metode mengolah yang berbeda-beda.


(7)

Nilai indeks glikemik diperoleh melalui perhitungan rata-rata respon kenaikan kadar glukosa darah dari sekurang-kurangnya 10 orang (FAO/World Health Organization [WHO] dalam Udani, Singh, Barret, &Preuss 2009).Perhitungan indeks glikemik dilakukan menggunakan metode area under curve (AUC) (Wolever et.al. 2008).

Teknik dalam pengambilan darah prick-test pada jari perlu diperhatikan. Menurut Snell (2006), secara anatomi aliran darah arteri ulnaris mengalir pada jari kelingking dan arteri radialis mengalir pada ibu jari (Gambar 1). Proses pengambilan darah disarankan tidak dilakukan pada jari kelingking dan ibu jari untuk menghindari terjadinya infeksi yang bersifat sistemik.

Sumber: Snell (2006)

Gambar 1 Anatomi jari tangan manusia Faktor yang Mempengaruhi IG Pengolahan

Pengolahan makanan bertujuan untuk menyiapkan bahan pangan agar dapat dikonsumsi oleh manusia (International Food Information Council Foundation, 2010). Selain itu, pengolahan pada dasarnya sangat mempertimbangkan perubahan pada kualitas karakteristik sensorinya: tekstur, rasa, aroma, bentuk, dan warna (Fellows 2000). Pengolahan juga bertujuan


(8)

mengubah kandungan zat gizi yang terdapat pada pangan untuk keperluan yang disengaja atau tidak disengaja.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi IG pangan adalah proses pengolahan. Menurut Astawan dan Widowati (2005), IG ubi jalar yang digoreng sebesar 47, dikukus sebesar 62, dan dipanggang sebesar 80. Hal demikian diikuti oleh faktor lain yang mempengaruhi IG, yaitu kandungan lemak dalam pangan. Rendahnya IG pada ubi jalar yang digoreng dikarenakan kandungan lemak dari minyak. Pangan yang berlemak cenderung akan memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga penyerapan di dalam usus akan lambat.

Proses pengolahan dapat menyebabkan meningkatnya kadar IG pangan dibandingkan dengan IG pangan dari pangan yang tidak diolah karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar gula naik dengan cepat. Selain itu ukuran partikel yang semakin kecil sehingga memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim juga dapat menyebabkan IG semakin meningkat. Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pada pati. Dengan adanya proses pecahnya granula pati ini molekul pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencerna pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Hal inilah yang menyebabkan proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan IG pangan (Rimbawan & Siagian 2004).

Kukus. Terdapat metode blanching yang sering digunakan dalam pengolahan bahan pangan; steam blanching dan water blanching (Fellowss 2000). Perbedaan dari kedua metode tersebut terdapat pada interaksi bahan olahan dengan media air, yaitu pada steam blanching, bahan pangan dimasak pada uap air mendidih bersuhu 100oC, sedangkan pada water blanching, bahan pangan dimasak pada rendaman air pada kisaran suhu 70oC hingga 100oC (Reyes De Corcuera, Cavalieri, & Powers 2004).

Steam blanching digunakan sebagai metode blanching yang lebih menguntungkan dibanding water blanching, karena pada proses ini kehilangan komponen larut air akan berkurang dibanding dengan metode hot-water blanching (Fellowss 2000). Selain itu, steam blanching lebih efisien terhadap energi serta menghasilkan BOD (biological oxigen demand) dan hydraulic loads yang lebih rendah dibandingkan water blanching (Reyes De Corcuera, Cavalieri, & Powers 2004).


(9)

Panggang. Memanggang merupakan pemasakan yang melibatkan proses transfer panas dari permukaan dan suhu pada peralatan pemanggangan ke makanan. Transfer panas yang terjadi dalam interaksi oven dengan makanan merupakan proses konveksi dari perputaran udara panas dan konduksi yang terjadi pada loyang sebagai tempat makanan dipanggang. Kebanyakan pada proses pemanggangan, transfer panas yang sering kali mempengaruhi kematangan produk adalah panas dari proses konduksi. Konduksi pada loyang akan meningkatkan perbedaan yang nyata pada permukaan atas dan alas makanan yang dipanggang. Ukuran makanan yang akan dipanggang merupakan faktor penting yang mempengaruhi waktu panggang karena berhubungan dengan kemampuan penetrasi panas hingga bagian paling tengah pada makanan. Proses pada pemanggangan akan menyebabkan Kandungan air bahan pangan terevaporasi karena adanya tekanan udara panas oleh oven. Proses kehilangan Kandungan air ini tergantung pada karakteristik bahan pangan, mobilitas udara pada oven serta tingkat panas pada oven (Fellowss 2000).

Goreng. Goreng merupakan salah satu metode yang umum dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan pangan. Jumlah kalori makanan meningkat setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna oleh tubuh karena keberadaan lemak pada makanan (Winarno 1999). Karakteristik minyak yaitu memiliki titik didih yang lebih tinggi dari air, berkisar antara 160°C - 205°C, tergantung jenis minyak yang digunakan. Karena alasan tersebut, minyak untuk menggoreng dipilih dari jenis minyak yang memiliki titik asap tinggi. Oleh karena itu, minyak yang telah menimbulkan asap tidak baik lagi untuk digunakan untuk menggoreng (Winarno 1999).

Kisaran temperatur penggorengan yang normal adalah 163°C - 196°C, tergantung jenis makanan yang digoreng. Penggunaaan suhu rendah dapat mempertahankan stabilitas minyak tetapi dibutuhkan waktu penggorengan yang lebih lama. Faktor lain yang mempengaruhi proses penggorengan adalah alat penggoreng, jenis minyak dan stabilitasnya, serta struktur makanan goreng. Selain itu, jenis penggorengan yang baik adalah penggorengan yang terbuat dari stainless steel atau carbon steel lebih baik dibandingkan dengan penggorengan besi, karena penggorengan besi dapat merangsang terjadinya oksidasi lemak, selain itu besi juga bersifat pro-oksidan (Ketaren 1986).


(10)

Metode menggoreng yang dikenal di masyarakat untuk mengolah bahan pangan antara lain, pan frying, deep frying, dan vacuum frying. Pan frying adalah metode menggoreng yang paling umum dilakukan masyarakat dalam mengolah bahan pangan. Metode ini merupakan metode menggoreng sederhana, yaitu mengoleskan minyak goreng pada penggorengan atau bahan pangan yang akan diolah. Minyak goreng yang digunakan pada metode ini relatif sedikit dibandingkan dengan metode deep frying. Selain itu, pada metode ini hanya sebagian bahan pangan yang terendam dalam minyak goreng (Guellar-Castillon, et al. 2007). Pada metode ini, bahan pangan akan langsung berinteraksi dengan permukaan penggorengan yang menyebabkan lebih cepatnya terjadi reaksi browning Maillard (Ayu 2009).

Deep frying merupakan metode menggoreng yang menggunakan banyak minyak sehingga bahan pangan yang diolah akan terendam seluruhnya dalam minyak goreng. Proses pada metode menggoreng ini menggunakan suhu tinggi yaitu temperatur antara 175-190°C. Deep frying yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan olahan yang renyah dan kering, karena cairan pada bahan pangan akan teroksidasi selama proses penggorengan, sehingga bahan pangan tidak terlihat berminyak (Guellar-Castillon, et al. 2007).

Salah satu produk hasil menggoreng adalah keripik. Keripik merupakan olahan berupa irisan atau potongan-potongan tipis dari suatu bahan pangan. Walaupun pada umumnya keripik diolah menggunakan metode penggorengan, namun dapat dijumpai pula keripik hasil pengeringan dan penjemuran.

Kandungan amilosa dan amilopektin

Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak bercabang. Oleh karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna tubuh. Molekul amilosa terdiri atas 50-500 unit glukosa, sedangkan amilopektin merupakan struktur pati gula sederhana yang bercabang, memiliki struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar, sehingga dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan amilosa lebih banyak. Molekul amilopektin terdiri dari lebih 100.000 unit glukosa.

Struktur amilosa dan amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda pula pada sistem pencernaan tubuh. Pangan dengan kandungan amilosa lebih tinggi dibanding Kandungan amilopektin akan menyebabkan respon gula darah lebih rendah dibanding pangan yang memiliki Kandungan


(11)

amilopektin lebih tinggi, begitu pula sebaliknya (Miller et al. 1992 & Behall et al. 1988).

Kandungan lemak dan protein

Pangan yang mengandung kandungan lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibanding dengan pangan sejenis yang memiliki Kandungan lemak dan protein lebih rendah. Namun, hal tersebut tidak lepas dari faktor pengolahan yang turut mempengaruhi IG suatu pangan (Rimbawan & Siagian 2004).

Menurut Wolever dan Bolognesi (1996), lemak dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Menurut Wolever (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996), penambahan 22 gram lemak pada jagung dapat menunda peningkatan respon glukosa darah, tapi secara keseluruhan tidak mempengaruhi terhadap perhitungan luas kurva respon glikemik.

Menurut Nuttall et al. (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996), konsumsi 50 gram protein pada subjek NIIDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon glukosa darah. Namun, pada subjek yang normal, pemberian 16 gram protein saja sudah dapat mempengaruhi respon glukosa darah dan insulin (Spiller et al. 1987 dalam Wolever 1996).

Struktur asam amino atau gugus peptida pada protein yang terdapat pada pangan sangat rentan berubah pada proses pengolahan. Reaksi yang sering kali terjadi pada proses pengolahan adalah browning reaction atau non-enzymatic Maillard Reaction. Reaksi Maillard merupakan reaksi yang melibatkan protein (gugus peptida pada asam amino) dan karbohidrat (Fellows 2000). Menurut Malec et.al. (2002) dalam Fellows (2000), reaksi Maillard merupakan reaksi yang dapat menyebabkan perubahan kualitas zat gizi terutama pada tingkat daya cerna protein pada produk olahan. Oleh karena itu, bahan pangan yang mengandung protein dan atau terdegradasi akibat reaksi Maillard dapat menunda respon glukosa darah.

Kompleks amylose-lipid diduga juga dapat mempengaruhi IG. Kompleks amylose-lipid merupakan amilosa yang terjadi akibat struktur lipida terikat pada struktur helical pada amilosa (Godel et.al. 1993 dalam Shanita, Hasana, & Khoo


(12)

2011) setelah dilakukan ekstraksi lemak pada produk olahan (Kwas’niewska-Karolak et.al. 2008 dalam Shanita, Hasana, & Khoo 2011). Kompleks amylose-lipid dapat menurunkan respon gula darah (Radhika et.al. 2008 dalam Shanita, Hasana, & Khoo 2011).

Kandungan serat pangan

Jenis serat berpengaruh terhadap IG pangan. Bentuk utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung rendah (Miller et al. 1996). Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkat serat kasar mempertebal kerapatan campuran makanan dalam saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah respon gula darah akan lebih rendah (Brennan 2005). Menurut Nishimune et al. (1991), serat terlarut dapat menurunkan respon gula darah secara signifikan.

Pangan berserat tinggi dapat meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang juga berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga mendorong peningkatan hormon usus, seperti gluco-like peptide-1 yang berkaitan dengan sinyal rasa lapar. Beberapa serat terutama yang mudah larut dapat menurunkan seluruh lemak dan protein pada tubuh (Howarth et al. 2001). Jenis gula dan daya osmotik

Beberapa jenis gula, baik jenis monosakarida atau disakarida memiliki IG yang berbeda-beda. Sukrosa (gula meja) memiliki IG 65 (sedang), sedangkan fruktosa memiliki IG 23 (kecil). Pangan yang mengandung gula meja dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Gula meja tidak menaikkan kadar gula darah lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lainnya, seperti roti. Beberapa buah memiliki IG rendah (ceri 23), dan sebagian lainnya memiliki IG tinggi (semangka 72). Tampaknya, semakin tinggi tingkat kekuatan osmotik (jumlah molekul per milimeter larutan) suatu pangan dapat menyebabkan IG menurun (Rimbawan & Siagian 2004).

Kandungan anti-gizi pangan

Zat anti-gizi pada pangan merupakan zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan untuk tubuh. Beberapa pangan secara alamiah memiliki zat anti-gizi yang dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi melebihi dosis yang dianjurkan, seperti singkong yang mengandung asam sianida (HCN) yang


(13)

memiliki sifat beracun jika tidak diolah sampai benar-benar masak. Zat anti-gizi tersebut secara tidak langsung dapat meperlambat laju pencernaan pada tubuh, sehingga IG pangan akan menurun (Rimbawan & Siagian 2004).

Suhu pangan saat dikonsumsi

Penelitian oleh Bahado-Singh, Riley, Wheatley, & Lowe (2011) menyatakan bahwa pemberian produk olahan ubi jalar dalam keadaan dingin dapat mempengaruhi struktur pati ubi jalar, yaitu terjadi proses retrogradasi pati yang menyebabkan ikatan hidrogen pada pati mengalami kristalisasi, sehingga terjadi proses melambatnya penyerapan dan daya cerna pati pada tubuh yang mengakibatkan IG produk olahan cenderung lebih rendah.

Faktor-faktor lain

Menurut Schulze et.al. (2004), tingginya IG pangan juga dikaitkan dengan tingginya intik karbohidrat, tingginya beban glikemik, tingginya intik asam lemak trans, rendahnya intik alkohol, rendahnya intik magnesium dan kafein, rendahnya intik serat, serta rendahnya aktivitas fisik.

Menurut Wolever et.al. (2008), beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat keakurasian dalam penentuan IG pangan, di antaranya, (1) Error yang biasa ditemukan pada perhitungan AUC (50% percobaan); (2) Tingkat kepercayaan melebihi nilai rataan (>2 SDs); (3) Perhitungan AUC pada individu subjek; (4) Analisis glukosa; (5) Perlakuan terhadap subjek; (6) Karakteristik fisiologi subjek; (7) Pangan uji yang diberikan.


(14)

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Organoleptik, Teaching Caffetaria, Laboratorium Biokimia Gizi, serta Laboratorium Kimia dan Analisis Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan dilakukan dalam jangka waktu 7 bulan, yaitu dimulai pada bulan Juli 2011 hingga Januari 2012.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar cilembu. Ubi ini merupakan bahan pangan lokal daerah Sumedang, Jawa Barat. Ubi ini memiliki kulit berwarna gading, berurat, dan panjang. Daging mentah berwarna kuning pucat atau merah muda pucat dan setelah diolah berubah warna menjadi kuning keemasan. Ubi yang digunakan adalah ubi yang berumur berkisar antara 6 hingga 8 bulan dari masa tanam.

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan uji coba pengolahan ubi cilembu, sedangkan penelitian utama terdiri atas pembuatan produk olahan ubi cilembu, uji organoleptik produk olahan ubi cilembu, analisis kandungan gizi, serat pangan, serta amilosa dan penentuan nilai IG produk olahan ubi cilembu. Ubi yang digunakan pada masing-masing metode dibeli secara terpisah (berbeda waktu pembelian) untuk menghindari pembusukan dalam jenjang waktu penelitian.

Alat yang digunakan untuk pengolahan ubi cilembu antara lain, oven pemanggang dengan suhu dapat diatur dan dilengkapi heat selector (pengatur sumber panas) yang berkapasitas 1 kg bahan, panci pengukus berkapasitas 1 kg bahan, deep fryer berkapasitas 2,3 liter minyak, slicer, termometer, penggorengan, dan kompor.

Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kandungan gizi, serat, dan amilosa produk olahan ubi cilembu adalah air destilata, NaOH 30%, asam borat (H3BO3 3%), selenium mix, HCl 0,06 N, etanol 95%, aseton, buffer fosfat, kertas

saring, air bebas ion, asam nitrat, asam sulfat, asam klorida 0,1 M dan 6 M, pepsin, natrium bikarbonat, dan sodium asetat. Alat yang digunakan pada


(15)

analisis zat gizi dan serat ubi cilembu antara lain, cawan porselen, tanur, oven, peralatan gelas yang biasa digunakan untuk analisis di laboratorium (tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet, labu takar, buret, erlenmeyer, dan gelas arloji), desikator, soxhlet, timbangan, penangas air, semimikro kjehdahl, shaker, pipet mikro, amylograph brabender, mikroskop polarisasi, dan spektrofotometer UV-VIS, serta glukometer One Touch Glucose Blood System® untuk mengukur respon gula darah.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan penelitian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan uji coba pengolahan ubi cilembu, dan penelitian utama terdiri atas pembuatan produk olahan ubi cilembu, uji organoleptik produk olahan ubi cilembu, analisis kandungan gizi, serat pangan, serta amilosa dan penentuan nilai IG produk olahan ubi cilembu.

Uji coba pengolahan ubi cilembu

Sebelum melakukan uji coba, dilakukan survei pasar dan pemilihan ubi cilembu mentah untuk menghindari penggunaan ubi cilembu palsu. Uji coba pembuatan produk olahan ubi dilakukan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pembuatan produk dari masing-masing jenis pengolahan. Jenis pengolahan yang dilakukan adalah pengukusan, pemanggangan, dan penggorengan (dibuat keripik) dengan metode pan fry dan deep fry.

Pengukusan ubi cilembu menggunakan pengukus yang memiliki kapasitas 1 kg bahan. Tahap yang dilakukan dalam proses pengukusan diawali dengan penimbangan bahan sebanyak 750 gram, kemudian air sebanyak 3,5 L dididihkan pada pengukus dengan api kompor (gas) sedang. Bahan dimasukkan ke dalam pengukus saat air mendidih (ditandai dengan uap yang keluar pada pengukus). Pengukusan dilakukan pada temperatur 100oC (Reyes-De-Corcuera, Cavalieri, & Powers 2004).

Pemanggangan ubi cilembu menggunakan pemanggang berkapasitas 1 kg bahan dan memiliki pengaturan suhu hingga 200oC. Tahap yang dilakukan

pada proses pemanggangan diawali dengan penimbangan bahan sebanyak 750 gram. Pemanggang dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 180oC dengan pengaturan sumber panas (heat selector): above and bellow heat.


(16)

Pengolahan ubi cilembu goreng dilakukan dengan diolah menjadi keripik dari ubi cilembu mentah. Tahap dalam pengolahan keripik ubi cilembu diawali dengan pengupasan ubi cilembu sehingga bebas kulit, kemudian dicuci hingga bersih dan diiris menggunakan slicer dengan ketebalan 1 mm. Irisan kemudian dicuci dan direndam dalam air. Irisan ubi mentah sebanyak dua genggam tangan orang dewasa digoreng pada minyak sawit panas sebanyak 2,3 L dengan suhu pada deep fryer yang diatur sebesar 170oC. Penggorengan juga diuji cobakan menggunakan metode pan fry dengan memanaskan minyak sawit sebanyak 3 sdm pada penggorengan dan kompor (gas) api sedang. Namun, metode pan fry tidak dilanjutkan karena hasil olahan keripik ubi cilembu tidak sesuai harapan: pinggiran keripik gosong, tekstur liat, kematangan tidak seragam, sangat berminyak, serta waktu menggoreng yang relatif lama, sehingga selanjutnya metode menggoreng yang digunakan adalah metode deep fry.

Proses pengukusan dilakukan uji coba dengan waktu mengukus 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Proses pemanggangan dilakukan uji coba dengan waktu memanggang 50, 60, 70, 80, dan 90 menit. Demikian pula pada proses penggorengan (deep fried) keripik dilakukan uji coba dengan waktu menggoreng 50, 60, 70, 80, dan 90 detik. Kemudian dilakukan uji organoleptik dengan panelis terbatas untuk menentukan tiga waktu yang paling tepat.

Pembuatan produk olahan ubi cilembu

Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas pada uji coba pengolahan ubi cilembu, dipilih 3 waktu terbaik dari masing-masing jenis pengolahan. Metode dari setiap jenis pengolahan dilakukan konsisten, secara skematis disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4.


(17)

Gambar 2 Metode pengukusan ubi cilembu

Gambar 3 Metode pemanggangan ubi cilembu Disiapkan alat kukus (kapasitas 1 kg)

Air dididihkan pada panci pengukus (3,5 L, suhu 100OC)

750 g ubi dikukus selama 3 waktu berbeda berdasarkan hasil penelitian pendahuluan

Temperatur oven diatur pada 180oC

Heat selector pada oven diatur above and below heat

750 g ubi dipanggang selama 3 waktu berbeda berdasarkan hasil penelitian pendahuluan


(18)

Gambar 4 Metode penggorengan ubi cilembu Uji organoleptik produk olahan ubi cilembu

Uji organoleptik yang dilakukan terhadap produk olahan ubi cilembu adalah uji mutu kesukaan (mutu hedonik) dan uji kesukaan (hedonik). Uji mutu hedonik dilakukan untuk menentukan karakteristik parameter produk olahan ubi cilembu, sedangkan uji hedonik dilakukan untuk menentukan satu produk olahan ubi cilembu dari setiap kelompok olahan yang kemudian akan digunakan seterusnya pada analisis kandungan gizi, serat pangan, amilosa, dan uji IG.

Parameter yang digunakan dalam uji mutu hedonik adalah warna, tekstur, aroma, dan rasa dengan skala 1-9, sedangkan parameter yang digunakan dalam uji hedonik adalah warna, tekstur, aroma, rasa, dan keseluruhan dengan skala 1-9 (sangat tidak suka hingga sangat suka). Panelis adalah panelis semi terlatih sebanyak minimal 30 orang yaitu mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat.

Ubi dikupas dan dibersihkan

Ubi dipotong tipis dengan ketebalan konsisten (1 mm)

Minyak sawit dipanaskan pada deep fryer (2,3 L, 170oC)

Irisan ubi (sebanyak dua gengaman tangan dewasa ) digoreng dalam 3 waktu berbeda berdasarkan hasil


(19)

Analisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu

Setelah ditentukan satu produk olahan ubi cilembu dari setiap kelompok olahan melalui uji hedonik, tahap selanjutnya dilakukan analisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu. Analisis kandungan zat gizi produk olahan ubi cilembu yang dilakukan meliputi analisis kandungan air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat by difference dengan menggunakan metode AOAC (1995), total serat pangan dengan metode enzimatis (AOAC 1995), dan amilosa dengan menggunakan metode menurut Apriyantono et.al. (1989). Analisis dilakukan pada dua ulangan masing-masing produk olahan ubi cilembu

Penentuan IG produk olahan ubi cilembu

Tahapan yang dilalui untuk mengukur IG produk olahan ubi cilembu adalah recruitment dan seleksi subjek penelitian, pemberian glukosa murni dan produk olahan ubi cilembu untuk dikonsumsi, dan analisis kadar glukosa darah subjek.

Jumlah subjek yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 10 orang yang terdiri dari 5 orang pria dan 5 orang wanita. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh calon subjek untuk dapat menjadi subjek penelitian ini, yaitu berumur 18 – 30 tahun, indeks massa tubuh normal (18 – 25 kg/m2), dan dinyatakan sehat berdasarkan keterangan dokter. Selain itu, direkomendasikan calon subjek tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, tidak menggunakan obat-obatan terlarang, tidak mengalami gangguan pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan, tidak merokok, dan tidak meminum minuman beralkohol (Soh & Brand-Miller 2006; Brouns et.al. 2005).

Penjaringan calon subjek dilakukan dengan cara sosialisasi (personal). Setelah diberikan penjelasan terkait prosedur penelitian, calon subjek diminta untuk mengisi informed consent, sehingga untuk seterusnya dapat dinyatakan sebagai subjek penelitian.

Subjek selanjutnya diminta untuk berpuasa selama 10 jam dan hanya diperbolehkan mengkonsumsi air mineral (Soh & Brand-Miller 2006). Setelah semalam berpuasa, subjek diminta untuk mengkonsumsi satu pangan acuan (uji) yang kemudian akan diambil darah kapiler dari jari secara prick-test menggunakan Ultra One Touch Glucose System®. Pemberian pangan acuan


(20)

(uji) serta pengambilan prick-test dilakukan selama 4 kali, dijadwalkan satu kali seminggu dalam sebulan. Pangan acuan yang diberikan adalah glukosa murni (d-Glucose), sedangkan pangan uji yang diberikan adalah ubi cilembu panggang, ubi cilembu kukus, dan keripik ubi cilembu terpilih berdasarkan uji hedonik. Jumlah pangan acuan dan uji yang diberikan setara 50 g karbohidrat. Berikut adalah tahapan dalam pengambilan sampel darah dengan mengacu pada metode Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004):

a. Glukosa darah puasa diambil secara prick-test pada pengambilan sampel darah pertama.

b. Pangan tunggal yang akan ditentukan IG-nya (setara dengan 50 g karbohidrat) diberikan kepada subjek, batas waktu pangan habis dimakan ditentukan 5-10 menit.

c. Pengambilan sampel darah pertama dihitung setelah 15 menit pangan uji habis dimakan sebagai data kadar gula darah menit ke-15. d. Seterusnya sampel darah diambil pada menit ke-30, 45, 60, 90, dan

120.

e. Kemudian, data kadar gula darah di-plot pada dua sumbu yaitu sumbu waktu dan kadar gula darah. IG pangan ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan glukosa murni.


(21)

Pengolahan dan Analisis Data

Data terdiri dari data hasil organoleptik panelis, data hasil analisis zat gizi, serat pangan, dan amilosa, serta data IG produk olahan ubi cilembu. Data di-entry menggunakan aplikasi komputer khusus peng-entry-an data. Data hasil organoleptik dianalisis menggunakan analisis sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Penentuan produk terpilih menggunakan modus (persentase penerima terbanyak). Analisis pengaruh antara jenis pengolahan terhadap IG produk olahan ubi cilembu menggunakan uji ANOVA.


(22)

Skema Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan dua tahap penelitian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahapan penelitian secara skematik disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Skema tahapan penelitian Penelitian pendahuluan

Penelitian Utama

Uji coba pengolahan ubi cilembu (kukus, panggang, goreng dalam 5 waktu pengolahan)

Survei ubi cilembu

Produk olahan ubi cilembu (kukus, panggang, keripik dalam 3 waktu pengolahan terbaik)

Uji organoleptik

Analisis zat gizi, serat pangan, dan

amilosa Uji organoleptik panelis terbatas

Produk olahan ubi cilembu (kukus, panggang, keripik dengan waktu pengolahan terbaik)

Penentuan IG produk olahan ubi cilembu (kukus, panggang, keripik)


(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian pendahuluan Uji coba pengolahan ubi cilembu

Ubi cilembu yang digunakan sebagai bahan pangan utama dalam penelitian merupakan ubi cilembu asliyang berasal dari daerah Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat. Ubi cilembu didapatkan dari pedagang yang menjual ubi cilembu dalam partai besar di daerah Semplak-Parung, Bogor, Jawa Barat. Ubi cilembu yang dipilih sebagai bahan utama penelitian adalah ubi dengan kisaran usia 6-8 bulan sejak ditanam. Ubi cilembu pada usia ini merupakan usia yang tepat untuk mendapatkan produk olahan ubi cilembu dengan kualitas optimal (Suriawiria dan Hariyadi 2006). Ubi cilembu dalam kondisi mentah memiliki kulit yang berwarna krem dan daging berwarna merah muda pucat. Jika dipatahkan atau dipotong, ubi akan mengeluarkan getah putih dan apabila dibiarkan beberapa waktu, getah tersebut akan menggumpal dan berubah warna menjadi coklat karamel.

Gambar 6 Ubi cilembu mentah

Proses pengukusan diuji coba dalam waktu 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas terhadap kesukaan (hedonik) tekstur, aroma, warna, dan rasa, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 30, 40, dan 50 menit.

Proses pemanggangan diuji coba dalam waktu 50, 60, 70, 80, dan 90 menit. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas terhadap kesukaan (hedonik) tekstur, aroma, warna, dan rasa, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 60, 70, dan 80 menit.


(24)

Demikian pula pada pengolahan keripik ubi cilembu. Dilakukan uji coba penggorengan (deep fried) dalam waktu 50, 60, 70, 80, dan 90 detik. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas terhadap kesukaan (hedonik) tekstur, aroma, warna, dan rasa, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 60, 70, dan 80 detik.

Penelitian Utama Uji organoleptik (mutu hedonik dan hedonik)

Sembilan produk olahan ubi cilembu dari masing-masing jenis pengolahan selanjutnya diuji organoleptik (mutu hedonik dan hedonik). Panelis yang digunakan pada uji organoleptik ini sebanyak 31 orang panelis semi terlatih. (i). Ubi cilembu kukus

Hasil uji mutu hedonik dan hedonik ubi cilembu kukus disajikan berturut-turut pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7 Grafik uji mutu hedonik ubi cilembu kukus a

a a

a a

b b

a

a

b b

a

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

Warna Aroma Tekstur Rasa

Skor uji

Parameter

30 menit 40 menit 50 menit


(25)

Gambar 8 Grafik uji hedonik ubi cilembu kukus

Warna. Rata-rata mutu warna ubi cilembu kukus berkisar antara 4,48– 5,03, yaitu berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan (Gambar 7). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna ubi cilembu kukus berkisar antara 5,27-5,77, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka (Gambar 8). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan warna (p>0,05).

Aroma. Rata-rata mutu aroma produk olahan ubi cilembu kukus berkisar antara 4,10–5,39, yaitu berkisar antara beraroma hingga agak harum (Gambar 7). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma ubi cilembu kukus berkisar antara 5,21-5,82, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka (Gambar 8). Perbedaan waktu mengolah ubi cilembu kukus berpengaruh nyata terhadap mutu aroma (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan aroma (p>0,05).

Tekstur. Rata-rata mutu tekstur ubi cilembu kukus berkisar antara 4,23-5,39, yaitu berkisar antara agak keras hingga agak lunak (Gambar 7).Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur ubi cilembu kukus berkisar antara 5,21-5,82, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka (Gambar 8). Perbedaan waktu mengolah berpengaruh nyata terhadap mutu tekstur (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan tekstur (p>0,05).

Rasa. Rata-rata mutu rasa ubi cilembu kukus berkisar antara 5,71-6,16, yaitu berkisar antara agak manis hingga manis (Gambar 7). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa ubi cilembu kukus berkisar antara 5,78-6,41,

a a a

a a

a a a

a a

a a a

a a

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan

Skor uji

Parameter

30 menit 40 menit 50 menit


(26)

yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 8). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan rasa (p>0,05).

Keseluruhan. Tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan ubi cilembu kukus berkisar antara 5,82-6,53, yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 8). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan keseluruhan ubi cilembu kukus (p>0,05).

(ii). Ubi cilembu panggang

Hasil uji mutu hedonik dan hedonik ubi cilembu panggang disajikan berturut-turut pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9 Grafik uji mutu hedonik ubi cilembu panggang

Gambar 10 Grafik uji hedonik ubi cilembu panggang a

a

a

a

a

a a a

a a a a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

Warna Aroma Tekstur Rasa

Skor uji Parameter 60 menit 70 menit 80 menit a

a a a a

a

a a a a

a a a

a a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan

Skor uji

Parameter

60 menit 70 menit 80 menit


(27)

Warna. Rata-rata mutu warna ubi cilembu panggang berkisar antara 4,61-4,71, yaitu berkisar antara agak kuning hingga kuning (Gambar 9). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna ubi cilembu panggang berkisar antara 5,47-6,19, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka (Gambar 10). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan warna (p>0,05).

Aroma. Rata-rata mutu aroma ubi cilembu panggang berkisar antara 5,87-6,39, yaitu berkisar antara beraroma hingga agak harum (Gambar 9). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma ubi cilembu panggang berkisar antara 6,02-6,66, yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 10). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan aroma (p>0,05).

Tekstur. Rata-rata mutu tekstur ubi cilembu panggang berkisar antara 6,77-6,87, yaitu berkisar antara agak lunak hingga lunak (Gambar 9). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap teksturubi cilembu panggang berkisar antara 6,42-6,63, yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 10). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan tekstur (p>0,05).

Rasa. Rata-rata mutu rasa ubi cilembu panggang berkisar antara 6,42-6,77, yaitu berkisar antara agak manis sampai manis (Gambar 9). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasaubi cilembu panggang berkisar antara 6,55-6,92, yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 10). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan rasa (p>0,05).

Keseluruhan. Tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan ubi cilembu panggang berkisar antara 6,57-6,77, yaitu berkisar antara agak suka hingga suka (Gambar 10). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan keseluruhan ubi cilembu panggang (p>0,05).


(28)

(iii). Ubi cilembu goreng

Hasil uji mutu hedonik dan hedonik keripik ubi cilembu disajikan berturut-turut pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11 Grafik uji mutu hedonik keripik ubi cilembu

Gambar 12 Grafik uji hedonik keripik ubi cilembu

Warna. Rata-rata mutu warna keripik ubi cilembu berkisar antara 4,42-5,32, yaitu berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan (Gambar 11).Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna keripik ubi cilembuberkisar antara 5,45-6,00, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka

a a a a b a b a a a b a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

Warna Aroma Tekstur Rasa

Skor uji Parameter 60 detik 70 detik 80 detik a a a a a a b

b b b

a ab

b ab b

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan

Skor uji

Parameter

60 detik 70 detik 80 detik


(29)

(Gambar 12). Perbedaan waktu mengolah berpengaruh nyata terhadap mutu (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan warna (p>0,05). Aroma. Rata-rata mutu aroma keripik ubi cilembu berkisar antara 4,90-5,16, yaitu berkisar antaraagak beraroma hingga agak harum (Gambar 11). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma keripik ubi cilembu berkisar antara 5,19-6,16, yaitu berkisar antara biasa hingga agak suka (Gambar 12). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu aroma (p>0,05), namun berpengaruh nyata terhadap kesukaan aroma (p<0,05).

Tekstur. Rata-rata mutu tekstur keripik ubi cilembu berkisar antara 3,94-5,77, yaitu berkisar antara agak liat hingga agak renyah (Gambar 11). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur keripik ubi cilembu berkisar antara 4,81-6,55, yaitu berkisar antara biasa hingga suka (Gambar 12). Perbedaan waktu mengolah berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan tekstur (p<0,05).

Rasa. Rata-rata mutu rasa keripik ubi cilembu berkisar antara 5,45-5,90, yaitu berkisar antara biasa hingga agak manis (Gambar 11). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa keripik ubi cilembu berkisar antara 5,61-6,32, yaitu berkisar agak suka (Gambar 12). Perbedaan waktu mengolah tidak berpengaruh nyata terhadap mutu dan kesukaan rasa (p>0,05).

Keseluruhan. Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan keripik ubi cilembu berkisar antara 5,29-6,35, yaitu berkisar agak suka hingga suka (Gambar 12). Perbedaan waktu mengolah berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan keseluruhan keripik ubi cilembu (p<0,05).

Penentuan produk olahan ubi cilembu terpilih

Produk olahan ubi cilembu yang kemudian dipilih seterusnya dianalisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosanya serta digunakan sebagai pangan uji pada penentuan IG. Produk olahan ubi cilembu ditentukan menggunakan modus atau penerimaan terbanyak (%) oleh panelis pada masing-masing produk olahan ubi cilembu berdasarkan hasil uji hedonik. Taraf yang digunakan adalah panelis yang memilih produk olahan dengan kesukaan di atas dan atau sama dengan 6 (>= 6). Cara penentuan ini digunakan karena pemilihan produk tidak dapat dilakukan dengan uji lanjut Duncan pada uji ANOVA (keseluruhan produk tidak berbeda nyata [p>0,05]). Persentase penerima terbanyak pada masing-masing produk olahan ubi cilembu disajikan pada Tabel 2.


(30)

Tabel 2 Persentase penerima terbanyak masing-masing produk olahan ubi cilembu (%)

Pengolahan Waktu Parameter

Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan Kukus

50’ 35,48% 29,03% 38,71% 48,39% 41,94%

40’ 51,61% 51,61% 54,84% 70,97% 74,19%

30’ 41,94% 38,71% 51,61% 61,29% 61,29%

Panggang

80’ 70,97% 54,84% 70,97% 83,87% 80,65%

70’ 54,84% 74,19% 74,19% 77,42% 74,19%

60’ 54,84% 67,74% 67,74% 70,97% 70,97%

Goreng

80s 51,61% 58,06% 74,19% 70,97% 80,65% 70s 54,84% 70,97% 87,10% 67,74% 74,19%

60s 67,74% 38,71% 29,03% 58,06% 38,71%

Keterangan:

Angka tebal = persentase tertinggi

Berdasarkan Tabel 2, maka ditentukan produk olahan terpilih yaitu ubi cilembu kukus dengan waktu pengukusan 40 menit, ubi cilembu panggang dengan waktu pemanggangan 80 menit, dan keripik ubi cilembu yang digoreng dengan waktu 70 detik.

Analisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu

Produk olahan ubi cilembu yang dianalisis adalah produk terpilih berdasarkan uji hedonik. Analisis kandungan zat gizi dan serat pangan bertujuan untuk mendapatkan kandungan karbohidrat tersedia (available carbohydrate) setara 50 g KH yang kemudian akan diberikan kepada subjek penelitian dalam menentukan IG masing-masing produk olahan ubi cilembu. Hasil analisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa dari masing-masing produk olahan ubi cilembu terpilih disajikan pada Tabel 3.


(31)

Tabel 3 Hasil analisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu

Komponen Kukus Panggang Keripik

%bb %bk %bb %bk %bb %bk

Air 67,90 - 56,52 - 6,57 -

Abu 0,71 2,20 0,86 1,97 1,41 1,50

Protein 1,02 3,17 0,84 1,94 1,86 1,99

Lemak 0,43 1,32 0,27 0,62 29,84 31,93

Serat 6,03 18,77 3,77 8,66 8,32 8,90

KH by difference 29,96 93,31 41,52 95,47 60,34 64,57 KH available 23,93 74,54 37,75 86,82 52,02 55,68

Amilosa 3,14 9,76 3,40 7,81 27,86 29,75

Keterangan: %bb = basis basah %bk = basis kering

Analisis dilakukan pada sampel basah, kemudian dibandingkan pada basis kering (bk). Berikut adalah rumus perhitungan perbandingan analisis basis basah (bb) dengan basis kering (bk):

% Zat gizi (bk) =

Kandungan air. Analisis Kandungan air diperlukan untuk memberikan perbandingan terhadap kandungan zat gizi lainnya pada analisis kandungan zat gizi. Grafik kandungan air produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 13.

Keterangan:

%bb = basis basah

Gambar 13 Kandungan air produk olahan ubi cilembu 0

10 20 30 40 50 60 70

Kukus Panggang Keripik

67.9

56.52

6.57

%b

b


(32)

Berdasarkan Gambar 13, diketahui bahwa kandungan air tertinggi adalah ubi cilembu yang diolah kukus yaitu sebesar 67,9% (bb). Hal ini disebabkan pengolahan kukus merupakan pengolahan yang menggunakan interaksi uap panas langsung kepada produk, sehingga hasil olahan akan memiliki kandungan air lebih tinggi akibat akumulai air pada bahan yang dikukus (Johnson 2011).

Kandungan air produk olahan ubi cilembu panggang yaitu sebesar 56,52% (bb). Pemanasan menggunakan udara panas (heat air) akan menyebabkan terjadinya proses evaporasi air pada bahan yang dipanggang, sehingga memungkinkan olahan yang dipanggang memiliki nilai yang relatif tinggi dibanding kandungan air keripik ubi cilembu.

Kandungan air terendah yaitu keripik ubi cilembu sebesar 6,57% (bb). Hal ini dipengaruhi oleh metode penggorengan pada ubi cilembu sehingga sebagian besar air yang terkandung pada bahan mentah diuapkan oleh minyak panas.

Kandungan abu. Kandungan abu menunjukkan banyaknya mineral atau zat anorganik yang terkandung pada bahan pangan tersebut. Setiap bahan pangan akan menunjukkan kandungan abu yang berbeda tergantung pada jenis pengolahannya. Grafik kandungan abu masing-masing produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 14.

Keterangan: %bk = basis kering

Gambar 14 Kandungan abu hasil produk olahan ubi cilembu

Berdasarkan Gambar 14, diketahui bahwa kandungan abu ubi cilembu kukus memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 2,20% (bk), Kandungan abu ubi cilembu panggang sebesar 1,97% (bk), dan kandungan abu terendah adalah

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Kukus Panggang Keripik

2.2

1.97

1.5

%b

k


(33)

keripik ubi cilembu sebesar 1,50% (bk). Kandungan abu masing-masing produk olahan ubi cilembu dihitung bebas karbon (pengabuan sempurna).

Protein. Kandungan protein yang terkandung pada produk olahan ubi cilembu merupakan Kandungan protein kasar, yaitu dihitung berdasarkan jumlah total N. Grafik kandungan protein produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 15.

Keterangan: %bk = basis kering

Gambar 15 Kandungan protein produk olahan ubi cilembu

Berdasarkan Gambar 15, diketahui bahwa kandungan protein tertinggi yaitu ubi cilembu kukus sebesar 3,17% (bk), keripik ubi cilembu sebesar 1,99% (bk), dan terendah ubi cilembu panggang 1,94% (bk). Kandungan protein ubi cilembu panggang dan keripik lebih rendah dibandingkan ubi cilembu kukus. Hal ini diduga karena protein yang terdenaturasi pada suhu yang lebih tinggi pada proses pemanggangan dan penggorengan.

Lemak. Kandungan lemak produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 16. Berdasarkan grafik yang ditampilkan, kandungan lemak tertinggi adalah keripik ubi cilembu sebesar 31,93% (bk). Hal ini dipengaruhi oleh kontribusi lemak dari minyak sawit yang digunakan dalam menggoreng. Kandungan lemak ubi cilembu kukus sebesar 1,32% (bk), dan kandungan lemak terendah yaitu ubi cilembu panggang sebesar 0,62% (bk).

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

Kukus Panggang Keripik

3.17

1.94 1.99

%b

k


(34)

Keterangan: %bk = basis kering

Gambar 16 Kandungan lemak produk olahan ubi cilembu

Karbohidrat (by difference). Kandungan karbohidrat produk olahan ubi cilembu dihitung melalui pengurangan nilai 100% dengan kandungan air, abu, protein, dan lemak dari masing-masing produk olahan ubi cilembu. Grafik kandungan karbohidrat by difference disajikan pada Gambar 17.

Keterangan: %bk = basis kering

Gambar 17 Kandungan karbohidrat (by difference) produk olahan ubi cilembu Berdasarkan Gambar 17, diketahui bahwa kandungan karbohidrat (by difference) tertinggi adalah ubi cilembu panggang sebesar 95,47% (bk), kandungan karbohidrat (by difference) ubi cilembu kukus sebesar 93,31% (bk),

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

Kukus Panggang Keripik

1.32 0.62

31.93

%b

k

Produk olahan

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

Kukus Panggang Keripik

93.31 95.47

64.57

%b

k


(35)

dan kandungan karbohidrat (by difference) terendah yaitu keripik ubi cilembu sebesar 64,57% (bk). Kandungan karbohidrat (by difference) olahan kukus dan panggang memiliki nilai yang relatif sama, sedangkan olahan keripik memiliki kandungan karbohidrat (by difference) yang lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kandungan gizi lain yang terkandung pada setiap produk olahan, terutama kandungan lemak pada keripik ubi cilembu.

Serat pangan. Kandungan serat panganyang dihitung pada masing-masing produk olahan ubi cilembu adalah kandungan serat pangan total yang terdiri dari serat larut dan tidak larut. Grafik Kandungan serat pangan total produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 18.

Keterangan: %bk = basis kering

Gambar 18 Kandungan serat pangan total produk olahan ubi cilembu Berdasarkan Gambar 18, kandungan serat pangan tertinggi yaitu ubi cilembu kukus sebesar 18,77% (bk), sedangkan ubi cilembu panggang dan keripik ubi cilembu memiliki kandungan serat pangan yang relatif lebih rendah, yaitu berturut-turut sebesar 8,66% (bk) dan 8,90% (bk).

Amilosa. Perhitungan kandungan amilosa mengacu berdasarkan metode Apriyantono et. al. (1989) dan kandungan amilopektin dihitung by difference (Juan et.al. 2006 dalam Shanita, Hasanah, & Khoo 2011). Grafik kandungan amilosa (%bk) dan amilopektin (%bk) masing-masing produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 19.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

Kukus Panggang Keripik

18.77

8.66 8.90

%b

k


(36)

Keterangan:

%bk = basis kering

Gambar 19 Kandungan amilosa dan amilopektin produk olahan ubi cilembu Berdasarkan Gambar 19, diketahui bahwa kandungan amilosa (%bk) tertinggi yaitu keripik ubi cilembu sebesar 29,75%, ubi cilembu kukus sebesar 9,76%, dan terendah ubi cilembu panggang sebesar 7,81%. Sebaliknya, kandungan amilopektin tertinggi yaitu ubi cilembu panggang sebesar 92,19% (bk), ubi cilembu kukus sebesar 90,24% (bk), dan terendah keripik ubi cilembu sebesar 70,25% (bk). Secara garis besar, kandungan amilosa keripik ubi cilembu memiliki nilai yang jauh lebih besar dibanding kedua olahan lain. Demikian pula, kandungan amilopektin keripik ubi cilembu juga memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibanding kedua olahan lain.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kukus Panggang Keripik

9.76 7.81

29.75

90.24 92.19

70.25

%b

k

Produk olahan

Amilosa (%bk) Amilopektin (%bk)


(37)

Penentuan IG produk olahan ubi cilembu

Penelitian ini telah mendapatkan izin dari Komisi Etik Penelitian Biomedis Manusia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 11 April 2011 dengan nomor KE.01.04/EC/153/2011. Tahapan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi IG olahan ubi cilembu adalah recruitment calon subjek penelitian, seleksi subjek penelitian, pemberian pangan acuan (glukosa murni) dan pangan uji (olahan ubi cilembu), dan perhitungan IG olahan ubi cilembu.

Jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 10 orang yang terdiri dari 5 orang pria dan 5 orang wanita. Setelah subjek mengisi informed consern, subjek kemudian diinformasikan mengenai tahapan pengambilan sampel darah, pangan yang akan dikonsumsi, serta jadwal pengambilan sampel darah.

Pemberian pangan acuan (glukosa murni) dilakukan pada minggu pertama. Glukosa murni diberikan kepada subjek penelitian dengan dilarutkan bersama air mineral sebanyak ± 240 mL. Subjek mengkonsumsi glukosa murni dengan batas waktu 5-10 menit.

Pangan uji yang diberikan kepada subjek penelitian adalah produk olahan ubi cilembu: kukus, panggang, dan keripik. Pemberian pangan uji dilakukan setiap satu minggu untuk satu pangan uji. Ubi cilembu panggang diberikan pada minggu kedua, ubi cilembu kukus diberikan pada minggu ketiga, dan keripik ubi cilembu diberikan pada minggu keempat.

Masing-masing pangan uji yang diberikan setara dengan 50 g kandungan karbohidrat tersedia (available carbohydrate). Pengambilan darah diberikan selang selama satu minggu dengan pertimbangan kesembuhan jari subjek penelitian. Jumlah pangan uji yang harus dikonsumsi oleh subjek disajikan pada Tabel 4.


(38)

Tabel 4 Jumlah pangan uji olahan ubi cilembu setara 50 g KH berdasarkan selisih KH by difference dengan Kandungan serat pangan total

Produk olahan ubi

cilembu

Karbohidrat by difference

(%bb)

Total serat pangan (%bb)

Available Karbohidrat

(%bb)

Jumlah (g)

Kukus 29,96 6,02 23,94 209

Panggang 41,52 3,77 37,76 132

Keripik 60,34 8,31 52,03 96

Keterangan:

(%bb) = basis basah

Karbohidrat tersedia dihitung menggunakan pendekatan: kandungan karbohidrat by difference (%bb) dikurangi kandungan serat pangan (%bb) pada masing-masing olahan ubi cilembu (Syadiah 2010). Perhitungan untuk menentukan jumlah porsi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah pangan uji yang dikonsumsi (g) =

Pengambilan sampel darah subjek dilakukan secara prick-test capillary menggunakan Ultra One Touch Glocose System®. Sebelum dilakukan prick-test setiap minggunya, pasien berpuasa selama minimal 10 jam (Pukul 21.00 sampai dengan Pukul 07.00) tanpa mengkonsumsi makanan apa pun kecuali air mineral.

Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 7 kali, yaitu pada menit ke-0, 15, 30, 45, 60, 90, dan 120. Pengambilan sampel darah dilakukan pada jari telunjuk, jari tengah, atau jari manis, dan tidak dilakukan pengambilan darah pada ibu jari atau jari kelingking (Snell 2006).

Pengambilan dilakukan pada menit ke-0 untuk mengetahui kadar glukosa puasa subjek. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kadar glukosa terendah pasien setelah 10 jam berpuasa (Karimah 2011). Setelah dilakukan pengambilan darah pada menit ke-0, subjek kemudian mengkonsumsi pangan acuan (pangan uji). Terhitung 15 menit setelah subjek mengkonsumsi habis pangan acuan (pangan uji), pengambilan darah kembali dilakukan sebagai kadar glukosa menit ke-15. Kemudian seterusnya dilakukan pengambilan sampel darah pada menit ke-30, 45, 60, 90, dan 120.

Kadar glukosa darah yang didapat pada pengambilan prick-test capillary kemudian di-entry pada perangkat lunak Microsoft Office Excell®. IG produk olahan ubi cilembu kemudian dihitung berdasarkan metode area under curve (AUC) (Wolever et.al 2008). IG yang diperoleh merupakan perhitungan rata-rata


(39)

IG individu dari 10 subjek penelitian (Foster-Powell & Brand-Miller 1995). Kurva perbandingan respon glikemik glukosa murni dengan ubi cilembu kukus disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20 Kurva respon glikemik ubi cilembu kukus terhadap glukosa murni Kurva pada Gambar 20 menunjukkan bahwa kurva respon glikemik ubi cilembu kukus berada di bawah kurva respon glikemik glukosa murni dengan peningkatan glukosa darah tertinggi pada menit ke-30 untuk glukosa murni maupun ubi cilembu kukus. Kurva perbandingan respon glikemik antara glukosa murni dengan ubi cilembu panggang disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Kurva respon glikemik ubi cilembu panggang terhadap glukosa murni 0

20 40 60 80 100 120 140 160

0 15 30 45 60 90 120

Kadar Glukosa

Darah

(mg/dL)

Waktu (menit)

Glukosa Kukus

0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 15 30 45 60 90 120

Kadar Glukosa

Darah

(mg/dL)

Waktu (menit)

Glukosa Panggang


(40)

Kurva pada Gambar 21 menunjukkan bahwa kurva respon glikemik ubi cilembu panggang juga berada di bawah kurva respon glikemik glukosa murni dengan peningkatan glukosa darah tertinggi pada menit ke-30 untuk glukosa murni maupun ubi cilembu panggang. Kurva perbandingan respon glikemik antara glukosa murni dengan keripik ubi cilembu disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Kurva respon glikemik keripik ubi cilembu terhadap glukosa murni Gambar 22 menunjukkan bahwa kurva respon glikemik keripik ubi cilembu juga berada di bawah kurva respon glikemik glukosa murni dengan peningkatan glukosa darah tertinggi pada menit ke-30 untuk glukosa murni maupun keripik ubi cilembu. Kurva perbandingan respon glikemik glukosa murni dengan semua produk olahan ubi cilembu disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Kurva respon glikemik glukosa murni dengan produk olahan ubi cilembu 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 15 30 45 60 90 120

Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Waktu (menit) Glukosa Keripik 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 15 30 45 60 90 120

Kadar Glukosa Darah (mg/ dL) Waktu (menit) Glukosa Kukus Panggang Keripik


(41)

Berdasarkan Gambar 23, keseluruhan respon glikemik subjek terhadap pangan acuan maupun pangan uji mengalami peningkatan pada menit ke-30. Kurva pada Gambar 23 juga menunjukkan bahwa keseluruhan respon glikemik pangan uji berada di bawah kurva pangan acuan dengan kurva keripik ubi cilembu berada di paling bawah. IG yang dihitung berdasarkan perhitungan AUC disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24 Grafik IG produk olahan ubi cilembu

Berdasarkan Gambar 24, IG produk olahan ubi cilembu memiliki nilai dan kategori yang berbeda. Berdasarkan Miller et. al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), IG pangan dikategorikan menjadi tiga, yaitu IG rendah (<55), sedang (55-70), dan tinggi (>70). Berdasarkan Gambar 24, ubi cilembu kukus dan keripik berada pada kategori pangan IG sedang, dan ubi cilembu panggang pada kategori pangan IG tinggi.

IG suatu pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), IG dipengaruhi oleh cara pengolahan, kandungan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmosis, kandungan serat pangan, kandungan lemak dan protein, serta kandungan anti-gizi pangan.

Gambar 24 menunjukkan IG ubi cilembu kukus 58,22; panggang 79,95; dan keripik 56,27. Perbedaan IG pada produk olahan ubi cilembu bergantung pada proses pengolahan. Ketiga jenis pengolahan ubi cilembu merupakan pengolahan dengan suhu tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya gelatinisasi sempurna dan koagulasi protein pada produk olahan sehingga dapat meningkatkan daya cerna (Fellows 2000). Pangan yang mudah dicerna oleh

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kukus Panggang Goreng (keripik) 58.22

79.95

56.27

Indeks Glikemik

Produk Olahan


(42)

tubuh dapat meningkatkan kadar glukosa darah lebih cepat (Ostman, Liljeberg, & Bjorck 2001).

Kandungan amilosa dan amilopektin pada produk olahan ubi cilembu juga dapat menentukan IG. Kandungan amilosa, amilopektin, dan IG produk olahan ubi cilembu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kandungan amilosa, amilopektin, dan IG produk olahan ubi cilembu

Produk olahan Amilosa (%bk) Amilopektin

(%bk) IG

Kukus 9,76 90,24 58,22

Panggang 7,81 92,19 79,95

Keripik 29,75 70,25 56,27

Keterangan:

%bk = berat kering

Berdasarkan Tabel 5, produk olahan keripik ubi cilembu memiliki kandungan amilosa tertinggi, kandungan amilopektin terendah, dan IG terendah, sedangkan ubi cilembu panggang memiliki kandungan amilosa terendah, kandungan amilopektin tertinggi, dan IG tertinggi. Terdapat kecenderungan bahwa produk olahan dengan kandungan amilosa lebih tinggi dan kandungan amilopektin lebih rendah akan memiliki IG lebih rendah, sebaliknya produk olahan dengan kandungan amilosa terendah dan kandungan amilopektin tertinggi akan memiliki IG lebih tinggi.

Amilosa merupakan bagian dari pati yang memiliki struktur lurus sedangkan amilopektin berstruktur bercabang. Struktur kimia yang lurus pada amilosa memiliki ikatan kimia yang lebih kuat dari struktur bercabang pada amilopektin, sehingga dapat memperlambat daya cerna. Penelitian yang dilakukan oleh Behall, Scholfield, dan Canary (2000) menunjukkan terjadinya penurunan reaksi glukosa darah dan insulin yang signifikan ketika mengkonsumsi pangan dengan Kandungan amilosa yang lebih tinggi dibanding kadar amilopektinnya. Amilosa pada pangan memiliki sifat yang resisten pada enzim pencernaan serta memiliki fungsi seperti serat pangan (Behall dan Hallfrisch (2002). Oleh karena itu, produk olahan ubi cilembu dengan kandungan amilosa lebih tinggi dan kandungan amilopektin lebih rendah memiliki kecenderungan memiliki IG lebih rendah, begitu juga sebaliknya.


(43)

Kandungan protein dan lemak pada produk pangan turut mempengaruhi IG. Kandungan protein, lemak, dan IG produk olahan ubi cilembu disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kandungan protein, lemak, dan IG produk olahan ubi cilembu Produk olahan Protein

(%bk)

Lemak

(%bk) IG

Kukus 3,17 1,32 58,22

Panggang 1,94 0,62 79,95

Keripik 1,99 31,93 56,27

Keterangan:

%bk = berat kering

Berdasarkan Tabel 6, ubi cilembu kukus memiliki kandungan protein tertinggi sebesar 3,17% (bk), kandungan lemak sebesar 1,32% (bk), dan IG sebesar 58,22; ubi cilembu panggang memiliki kandungan protein terendah sebesar 1,94% (bk), kandungan lemak terendah sebesar 0,62% (bk), dan IG tertinggi 79,95; sedangkan keripik ubi cilembu memiliki kandungan protein sebesar 1,99% (bk), kandungan lemak tertinggi sebesar 31,93% (bk), dan IG terendah 56,27. Terdapat kecenderungan bahwa produk olahan dengan kandungan protein dan atau lemak lebih tinggi memiliki IG lebih rendah, begitu juga sebaliknya.

Kandungan lemak tertinggi dengan IG terendah pada keripik ubi cilembu disebabkan oleh kontribusi lemak dari minyak sawit saat menggoreng. Hal tersebut dapat menyebabkan retardasi pada serat, kemudian akan memperlambat proses pengosongan lambung serta memperlambat respon glukosa darah (Bahado-Singh, Riley, Wheatley, & Lowe 2011), sehingga IG produk olahan menjadi lebih rendah. Namun, beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kandungan protein dan lemak pada produk olahan pangan sumber karbohidrat tidak mempengaruhi IG secara nyata (Bahado-Singh, Riley, Wheatley, & Lowe 2011; Shanita, Hasana, & Khoo 2011). Menurut Chen et.al. dalam Karimah (2011) menyatakan bahwa makanan yang mengandung protein dan lemak tidak mempengaruhi respon glukosa darah.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi IG suatu produk olahan pangan adalah kandungan serat pangan. Kandungan serat pangan dan IG produk olahan ubi cilembu disajikan pada Tabel 7.


(44)

Tabel 7 Kandungan serat pangan dan IG produk olahan ubi cilembu Produk olahan Serat pangan

total (%bk) IG

Kukus 18,77% 58,22

Panggang 8,66% 79,95

Keripik 8,90 56,27

Keterangan:

%bk = berat kering

Berdasarkan Tabel 7, ubi cilembu kukus dengan kandungan serat pangan tertinggi sebesar 18,77% (bk) memiliki IG sebesar 58,22; ubi cilembu panggang dengan kandungan serat pangan sebesar 8,66% (bk) memiliki IG tertinggi sebesar 79,95; sedangkan keripik ubi cilembu dengan kandungan serat pangan sebesar 8,90% (bk) memiliki IG terendah sebesar 56,27. Terdapat kecenderungan bahwa produk olahan dengan kandungan serat pangan lebih tinggi memiliki IG lebih rendah.

Serat atau dietary fiber merupakan senyawa polisakarida atau lignin yang tidak mampu dicerna atau dihidrolisis dalam tubuh oleh enzim pencernaan, sehingga akan tetap berada dalam keadaan utuh ketika sampai di usus (kolon), hal ini yang menyebabkan apabila mengkonsumsi serat maka dapat memperlambat respon glikemik (Silalahi 2006). Penelitian Karimah (2011) menjelaskan bahwa semakin tinggi serat yang terkandung dalam olahan pangan, maka respon glikemik akan lebih lambat. Namun pada penelitian ini, keripik ubi cilembu memiliki IG lebih rendah dari ubi cilembu kukus. Hal ini diduga karena kontribusi lemak dari minyak sawit saat menggoreng keripik.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Bahado-Singh, Riley, Wheatley, dan Lowe (2011) terhadap 10 jenis varietas ubi jalar di Jamaika dengan perlakuan rebus, goreng, dan panggang menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap IG produk olahannya. IG dari 10 varietas ubi jalar dengan pengolahan rebus, panggang, dan goreng disajikan pada Tabel 8.


(45)

Tabel 8 IG 10 varietas ubi jalar berdasarkan pengolahan rebus (boiled), panggang (baked), dan goreng (fried)

Varietas Ubi Jalar IG

Rebus Goreng Panggang

Dor 47 76 83

Quarter Million 49 70 94

Yellow Belly 50 72 86

Ganja 41 69 82

Watson 43 67 85

Clarendon 46 73 83

Minda 49 68 91

Ms Mac 45 63 87

Eustace 49 77 93

Fire on Land 46 75 87

Sumber: Bahado-Singh, Riley, Wheatley, & Lowe (2011)

Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa ubi jalar yang diolah rebus memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan panggang dan goreng yang relatif lebih tinggi, sedangkan pada penelitian ini, ubi yang diolah kukus dan goreng memiliki IG yang relatif sama (58,22; 56,27) dan olahan panggang memiliki IG lebih tinggi (79,95). Terdapat kecenderungan kesesuaian IG produk olahan ubi jalar antara kedua penelitian pada pengolahan kukus (rebus) dan panggang. Namun, terdapat pula ketidaksesuaian pada olahan goreng, yaitu pada penelitian ini keripik ubi cilembu memiliki IG yang relatif jauh lebih rendah dibanding IG ubi jalar goreng pada penelitian Bahado-Singh, Riley, Wheatley, dan Lowe (2011). Hal tersebut diduga disebabkan metode menggoreng yang berbeda.

Menurut Rimbawan (2012) dalam komunikasi langsung menyatakan bahwa IG merupakan konsep yang unik. IG sangat tergantung pada kekhasan bahan pangan dan sangat mungkin nilai kandungan gizi tidak berpengaruh terhadap IG karena banyak faktor lain. Selain faktor yang bersifat kimia pada produk olahan, sifat fisiologi subjek juga sangat mempengaruhi dalam penentuan IG.


(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ubi cilembu merupakan varietas ubi jalar (Impomea batatas) yang berasal dari Desa Cilembu, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pengukuran IG terhadap tiga jenis pengolahan yang berbeda, yaitu mengukus, memanggang, dan menggoreng.

Karakteristik parameter ubi cilembu kukus: warna berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur berkisar antara agak keras hingga agak lunak, dan rasa berkisar antara biasa hingga agak manis. Karakteristik parameter ubi cilembu panggang: warna berkisar agak kuning keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur lunak, dan rasa berkisar antara agak manis hingga manis. Karakteristik parameter keripik ubi cilembu: warna berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur berkisar antara agak liat hingga agak renyah, dan rasa berkisar antara biasa hingga agak manis. Melalui uji hedonik, produk olahan terpilih diantaranya, ubi cilembu pengukusan 40 menit, pemanggangan 80 menit, dan penggorengan 70 detik.

Kandungan air tertinggi adalah ubi cilembu kukus 67,90% (bb) dan terendah adalah keripik 6,57% (bb). Kandungan abu tertinggi adalah ubi cilembu kukus 2,20% (bk) dan terendah adalah keripik ubi cilembu 1,50% (bk). Kandungan protein tertinggi adalah ubi cilembu kukus 3,17% (bk) dan terendah adalah ubi cilembu panggang 1,94% (bk). Kandungan lemak tertinggi adalah keripik ubi cilembu 31, 93 (%bk) dan terendah adalah ubi cilembu panggang 0,62% (bk). Kandungan serat pangan total tertinggi adalah ubi cilembu kukus 18,77% (bk) dan terendah adalah ubi cilembu panggang 8,66% (bk). Kandungan karbohidrat by difference tertinggi adalah ubi cilembu panggang 95,47% (bk) dan terendah adalah keripik ubi cilembu 64,57% (bk). Kandungan karbohidrat tersedia tertinggi adalah ubi cilembu panggang 86,82% (bk) dan terendah adalah keripik ubi cilembu 55,68% (bk). Kandungan amilosa tertinggi adalah keripik ubi cilembu 29,75% (bk) dan terendah adalah ubi cilembu panggang 7,81% (bk).

IG ubi cilembu kukus sebesar 58,22 (IG sedang), panggang 79,95 (IG tinggi), dan keripik 56,27 (IG sedang). Berdasarkan uji ANOVA, pengolahan berpengaruh nyata terhadap IG produk olahan ubi cilembu (p<0,05).


(47)

Saran

Produk olahan yang ber-IG tinggi dapat direkomendasikan kepada olahragawan dengan jenis olahraga yang membutuhkan energi dalam waktu singkat, seperti pelari jarak pendek, sedangkan produk olahan ber-IG lebih rendah dapat direkomendasikan kepada penderita DM atau orang yang berisiko DM (pre-diabet).

Penelitian ini dirasa masih bersifat general atau basic research, sehingga masih perlu penggalian informasi terhadap kualitas kandungan zat gizi mikro dan zat aktif yang mungkin terdapat pada ubi cilembu.

IG keripik ubi cilembu memiliki nilai yang paling rendah, namun mengkonsumsi pangan ber-IG rendah yang memiliki kandungan lemak lebih tinggi perlu disesuaikan porsi dan kebutuhan. Mengingat error yang terjadi pada perhitungan IG, sehingga diperlukan studi terhadap metode perhitungan yang standar.


(48)

PENGARUH BERBAGAI PENGOLAHAN TERHADAP INDEKS

GLIKEMIK UBI JALAR (Ipomea batatas) CILEMBU

BAYU MAULANA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(49)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analytical Chemist, 14th Ed.. Airlington: AOAC Inc.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2009. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Jalar Menurut Provinsi. Jakarta: BPS

[IFICF] International Food Information Council Foundation. 2010.

http://www.foodinsight.org/ [20 Februari 2012]

Almatsier S. 2001. Prinsip Ilmu Gizi Dasar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Astawan M dan Widowati S. 2005. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubijalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan Hasil Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok 2005. Institut Pertanian Bogor

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press

Ayu R. 2009. Pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (deep frying) terhadap pembentukan asam lemak trans. Makara Sains, Vol 13: 23-28 Bahado-Singh PS, Riley CK, Wheatley AO, dan Lowe HI. 2011. Relationship

between processing method and the glycemic indices of ten sweet potato (Ipomea batatas) cultivars commonly consumed in Jamaica. [Artikel Ilmiah]. Journal of Nutr and Metabolism, Vol. 2011

Behall KM, Scholfield DJ, dan Canary J. 2000. Effect of strach structure on glucose and insulin response in adult. Am J Clin Nutr., Vol. 47: 428-432 Behall KM dan Hallfrisch J. 2002. Plasma glucose and insulin reduction after

consumption of breads varying in amilose content. European J Clin Nutr., Vol. 56: 913-920

Brennan CS. 2005. Dietary fibre, glycaemic response and diabetes. Mol. Nutr. Food Rev., Vol. 49 (7): 716

Brouns F, et.al.. 2005. Glycaemic Index Methodology. Nutr Research Rev., Vol. 18: 145-147

Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Agribisnis Ubi Jalar Cilembu. Jakarta: Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian

Fatonah W. 2002. Optimasi Produksi Selai dengan Bahan Baku Ubi Jalar Cilembu. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor


(1)

2. Panaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit sampai semua bahan membentuk gel. Setelah itu dinginkan.

3. Pindahkan seluruh campuran kedalam labu takar 100 mL. Tepatkan sampai tanda tera dengan air.

4. Pipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 mL larutan diatas masukkan masing-masing kedalam labu takar 100 mL.

5. Tambahkan ke dalam masing-masing labu takar asam asetat 1 N masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL. Kemudian tambahkan masing-masing 2 mL larutan iod.

6. Tepatkan masing-masing campuran dalam labu takar sampai tanda tera dengan air. Biarkan selama 20 menit.

7. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

8. Buat kurva standar, konsentrasi amilosa vs absorbans. b. Penetapan sampel

1. Timbang 100 mg sampel dalam bentuk tepung (sampel sebagian besar terdiri dari pati, jika banyak mengandung komponen lainnya, pati harus diekstrak terlebih dahulu), masukkan kedalam tabung reaksi. Tambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1N.

2. Panaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit sampai terbentuk gel.

3. Pindahkan seluruh gel ke dalam labu takar 100 mL, kocok, dan tepatkan sampai tanda tera dengan air.

4. Pipet 5 mL larutan tersebut, masukkan ke dalam labu takar 100 mL, tambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod.

5. Tepatkan sampai tanda tera dengan air, kocok, dan diamkan selama 20 menit.

6. Ukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.


(2)

(3)

Lampiran 17 Jadwal pengambilan sampel darah subjek

Jadwal Penggunaan Ruang Seminar GM lt.3 dan Teaching Caffetaria Gizi

Hari, Tanggal Waktu Kegiatan Tempat

Sabtu, 29 Oktober

2011 07.00 – 11.00 WIB

Pengambilan sampel darah subjek dan intervensi glukosa

Ruang Seminar Gizi Masyarakat lt.3

Sabtu, 5 November

2011 07.00 – 11.00 WIB

Pengambilan sampel darah subjek dan intervensi pangan uji

Teaching Caffetaria Gizi

Sabtu, 12

November 2011 07.00 – 11.00 WIB

Pengambilan sampel darah subjek dan intervensi pangan uji

Teaching Caffetaria Gizi

Sabtu, 19

November 2011 07.00 – 11.00 WIB

Pengambilan sampel darah subjek dan intervensi pangan uji

Teaching Caffetaria Gizi

Sabtu, 26

November 2011 07.00 – 11.00 WIB

Pengambilan sampel darah subjek dan intervensi pangan uji

Teaching Caffetaria Gizi

Lampiran 18 Perhitungan IG individu dan rata-rata masing-masing produk olahan ubi cilembu

Subjek Produk olahan

IG Individu

1 Panggang 81,18 2 Panggang 88,70 3 Panggang 97,34 4 Panggang 87,38 5 Panggang 65,38 6 Panggang 66,94 7 Panggang 77,11 8 Panggang 64,83 9 Panggang 66,72 10 Panggang 103,93 IG rata-rata 79,95


(4)

Subjek Produk olahan

IG Individu

1 Keripik 78,99 2 Keripik 104,39 3 Keripik 34,25 4 Keripik 64,31 5 Keripik 29,04 6 Keripik 16,98 7 Keripik 52,72 8 Keripik 70,50 9 Keripik 46,73 10 Keripik 64,78 IG rata-rata 56,27

SD 25,92

Subjek Produk olahan

IG Individu

1 Kukus 63,28 2 Kukus 82,10 3 Kukus 62,99 4 Kukus 64,04 5 Kukus 67,82 6 Kukus 65,08 7 Kukus 84,99 8 Kukus 54,10 9 Kukus 34,76

10 Kukus 3,01

IG rata-rata 58,22


(5)

RINGKASAN

BAYU MAULANA. Pengaruh Berbagai Pengolahan terhadap Indeks Glikemik Ubi Jalar (Ipomea Batatas) Cilembu. Dibawah bimbingan LILIK KUSTIYAH dan MIRA DEWI

Timbulnya penyakit degeneratif diakibatkan oleh pola hidup tidak sehat, sehingga perlu perhatian khusus dalam mengkonsumsi makanan untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko diabetes melitus. Hal tersebut diduga dapat disiasati dengan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat seperti umbi-umbian. Salah satu jenis ubi yang berpotensi baik adalah ubi jalar (Ipomea batatas) cilembu. Ubi cilembu yang lebih sering dijumpai adalah ubi cilembu diolah panggang. Selain dipanggang, pengolahan yang umum dilakukan masyarakat adalah dikukus dan digoreng. Indeks glikemik diperlukan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh sasaran, yaitu IG rendah disarankan kepada orang yang berisiko atau menderita diabetes melitus. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian yang mempelajari pengaruh perbedaan pengolahan terhadap ubi cilembu melalui pendekatan IG.

Penelitian ini bertujuan: 1) menentukan metode terbaik dalam mengukus, memanggang, dan menggoreng ubi cilembu dengan perlakuan waktu yang berbeda, 2) menentukan karakteristik produk olahan ubi cilembu melalui uji mutu hedonik, 3) menentukan produk olahan ubi cilembu terpilih melalui uji hedonik, 4) menganalisis kandungan gizi, serat pangan, dan amilosa produk olahan ubi cilembu, 5) menganalisis IG produk olahan ubi cilembu, dan 6) menganalisis pengaruh pengolahan terhadap IG ubi cilembu.

Penelitian ini telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Biomedis Manusia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 11 April 2011 dengan nomor KE.01.04/EC/153/2011. Penelitian ini terdiri dari dua tahapan penelitian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan uji coba pengolahan ubi cilembu, dan penelitian utama terdiri atas pembuatan produk olahan ubi cilembu, uji organoleptik produk olahan ubi cilembu, analisis kandungan gizi, serat pangan, serta amilosa dan penentuan nilai IG produk olahan ubi cilembu.

Ubi cilembu yang dipilih adalah ubi cilembu yang berasal dari desa Tanjurngsari, Sumedang, Jawa Barat, berumur 6-8 bulan sejak masa tanam. Proses pengukusan diuji coba dalam waktu 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 30, 40, dan 50 menit.Proses pemanggangan diuji coba dalam waktu 50, 60, 70, 80, dan 90 menit. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 60, 70, dan 80 menit.Demikian pula pada pengolahan keripik ubi cilembu, dilakukan uji coba penggorengan (deep fried) dalam waktu 50, 60, 70, 80, dan 90 detik. Berdasarkan uji organoleptik panelis terbatas, didapatkan tiga penentuan waktu yang paling tepat, yaitu 60, 70, dan 80 detik.

Sembilan produk olahan berdasarkan penelitian pendahuluan kemudian diuji mutu hedonik. Karakteristik parameter ubi cilembu kukus: warna berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur berkisar antara agak keras hingga agak lunak, dan rasa berkisar antara biasa hingga agak manis. Karakteristik parameter ubi cilembu panggang: warna berkisar agak kuning keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur lunak,


(6)

dan rasa berkisar antara agak manis hingga manis. Karakteristik parameter keripik ubi cilembu: warna berkisar antara kuning agak keemasan hingga kuning keemasan, aroma berkisar antara beraroma hingga agak harum, tekstur berkisar antara agak liat hingga agak renyah, dan rasa berkisar antara biasa hingga agak manis. Melalui uji hedonik, produk olahan terpilih diantaranya, ubi cilembu pengukusan 40 menit, pemanggangan 80 menit, dan penggorengan 70 detik.

Produk olahan ubi cilembu terpilih kemudian dianalisis kandungan zat gizi, serat pangan, dan amilosa. Kandungan air ubi cilembu kukus 67,90% (bb), panggang 56,52% (bb), dan keripik 6,57% (bb). Kandungan abu ubi cilembu kukus 2,20% (bk), panggang 1,97% (bk), dan keripik 1,50% (bk). Kandungan protein ubi cilembu kukus 3,17% (bk), panggang 1,94% (bk), dan keripik 1,99% (bk). Kandungan lemak ubi cilembu kukus 1,32% (bk), panggang 0,62% (bk), dan keripik 31,93% (bk). Kandungan serat pangan total ubi cilembu kukus 18,77% (bk), panggang 8,66% (bk), dan keripik 8,90% (bk). Kandungan karbohidrat by difference ubi cilembu kukus 29,96% (bb), panggang 41,52% (bb), dan keripik 60,34% (bb). Kandungan karbohidrat tersedia ubi cilembu kukus 23,93% (bb), panggang 37,75% (bb), dan keripik 52,02% (bb). Kandungan amilosa ubi cilembu kukus 9,76% (bk), panggang 7,81% (bk), dan keripik 29,75% (bk).

IG ubi cilembu kukus sebesar 58,22 (IG sedang), panggang 79,95 (IG tinggi), dan keripik 56,27 (IG sedang). Berdasarkan uji ANOVA, pengolahan berpengaruh nyata terhadap IG produk olahan ubi cilembu (p<0,05).