Perumusan masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan Keaslian Penulisan Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk dijadikan bahan pembentukan skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas”.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di labuhan batu? 2. Bagaimana pengaturan tentang lalu lintas di jalan raya? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas di labuhan batu?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang peraturan lalu lintas di jalan raya. 3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam kecelakaan lalu lintas

D. Manfaat Penulisan

Bertitik tolak dari perumusan diatas maka diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1. Secara teoritis bahwa penelitian ini adalah merupakan sumbangsih penulis kepada ilmu pengetahuan khususnya kepada ilmu Hukum Pidana. 2. Secara praktis bahwa dengan penelitian ini daiharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran terutama bagi mahasiswa khususnya, juga bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dalam pembangunan.

E. Keaslian Penulisan

Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai “ Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas“, dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas ada yang membahas mengenai hal tersebut. Sebenarnya telah banyak tulisan-tulisan mengenai Kecelakaan Lalu Lintas, namun tidak ada penulisan yang secara khusus membahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas, dan penulis dapat mempertanggungjawabkannya apabila ada masalah- masalah yang timbul dalam penulisan ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana. Pertanggungjawaban pidana merupakan persoalan mendasar dalam ilmu hukum pidana, kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan dan percakapan sehari-hari dalam moral, agama dan hukum. Ketiga unsur ini saling Universitas Sumatera Utara berkaitan satu sama lainnya dan berakar dalam suatu keadaan yang sama yaitu sama-sama meliputi suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok dari kesamaan melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana. Hal ini menunjukkan lahirnya konsepsi yang berdasarkan sistem normatif. Berpangkal tolak kepada sistim normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawaban dan pemidanaan, mencoba menganalisa tentang pertanggungjawaban pidana. 4 Menurut Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana KUHP Pasal 31 bagian kedua paragraf I, Pertanggungjawaban Pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. 5 1. Pompe Adapun beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana adalah; Menurut Pompe unsur-unsur toerekenbaarheid, adalah: a. Kemampuan berfikir psychis pada pembuatan yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya. b. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya. 4 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana.Jakarta,1986. hal 35 Selanjutnya disebut Buku I 5 Ibid, Hal 14 Universitas Sumatera Utara c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya tentang makna dan akibatnya. 6 Kemampuan berpikir itu terdapat pada normal, dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada pembuat. Pendeknya, adanya toerekenbaarheid, itu berarti bahwa pembuat cukup mampu menginsyafi arti perbuatannya, dan sesuai dengan keinsyafannya itu dapat menentukan kehendaknya 2. Satochid Kartanegara Menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid pertangungjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid Kartanegara, mengatakan seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika; 7 a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuataanya itu, juga mengerti akan akibatnya. b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. c. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila. 6 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 31. 7 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, 1975, hal.144 Universitas Sumatera Utara 3. Roeslan Saleh Mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor yaitu; akal dan kehendak. Dengan akal atau daya fikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak iperbolehkan. Dan dengan kehendak atau dengan kemauan, atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan man yang tidak diperbolehkan Lebih laju Roeslan menjelaskan bahwa adanya kemampuan bertanggungjawaban ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan dengan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggungjawab, melainkan salah satu faktor dalam menentukan kesalahan, karena faktor kehendak adalah tergantung dalam kelanjutan dari faktor akal. Lagi pula bahwa kemampuan bertanggungjawab hanya salah satu faktor dari kesalahan. 8 Dari pakar para hukum pidana tersebut dapat ditarik kesimpulan; 9 1. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas schuid in riume zin mempunyai 3 bidang, yaitu; a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan toerekeningsvatbaarheid. b. Hubungan batin sikap psikis orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya: 1. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau 2. Perbuatan yng lalai atau kurang berhati-hati atau kealpaan. c. Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat 8 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 1968. Selanjutnya disebut Buku II 9 Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal.35. Universitas Sumatera Utara 2. Kesalahan dalam arti sempit schuld in enge zin mempunyai bentuk yaitu; 1. Kesengajaan dolus 2. Kealpaan culpos Sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum pidana sebagai sarana perlindungan social social defences dalam rangka mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat adalah dimana kecenderungan melakukan pelanggaran hukum dalam mencapai tujuan hukum tersebut, oleh karena itu pertanggungjawaban pidana kepada setiap pelanggar hukum pelula dimintai pertanggungjawabanya sesuai dengan rumusan hukum pidana nasional negara ini. 2. Pengertian Tindak Pidana Pemahaman mengenai pengertian tindak pidana penting bukan saja hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai yang diharapkan oleh hukum pidana, jika pedoman bertingkah laku itu tidak dipahami. Oleh karena itu, yang penting bukan hanya apa yang mereka ketahui mengenai tindak pidana, tetapi apa yang memang seharusnya mereka ketahui. Istilah “Peristiwa Pidana” atau “Tindak Pidana” adalah sebaga terjemahan dari istilah bahasa belanda ”strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan strafbaar feit atau delict dikenal juga beberapa terjemahan lain Tindak Pidana, Perbuatan Pidana, Perbuatan yang boleh dihukum, dan Perbuatan yang dapat dihukum. Universitas Sumatera Utara Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. 1. D. Simons Simon mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 10 Perumusan simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya handeling perbuatan manusia dimana perbuatan manusia tidak hanya een doen perbuatan akan tetapi juga een nalaten atau niet doen melakukan atau tidak melakukan 11 2. Van Hamel unsur-unsur lain adalah perbuatan manusia itu harus melawan hukum wederchtelijk, perbuatan itu diancam dengan pidana strafbaargestelde oleh undang-undang, harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab toerekeningsvarbaar, dan pada perbuatan itu harus terdapat kesalahan schuld sipelaku. Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 12 10 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986, hal 205. 11 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana,Cet ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal 37 12 S.R. Sianturi,Loc.cit.hal 205. Universitas Sumatera Utara Menurutnya kesalahan meliputi juga kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Van Hamel juga mengatakan bahwa istilah strafbaar feit tidak tepat, tetapi dia menggunakan istilah strafwaarding feit peristiwa yang bernilai atau patut dipidana 13 3. Prof. Moeljatno Prof. Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata “perbuatan pidana” dari pada “tindakan pidana”. Menurut beliau, kata “tindak pidana” dikenal karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebutnya suatu “perbuatan pidana” 14 Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Larngan ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan keadaan atau kejadian tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat jika bukan orang yang menimbulkan keadaan atau kejadian tersebut dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak keadaan atau kejadian yang ditimbulkan olehnya. 15 Penggunaan kata ‘orang’ sebagai pelaku oleh Prof. Moeljatno kemungkinan karena dipengaruhi dengan pendapat bahwa hanya orang peroranganlah yang 13 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Loc cit, hal 37 14 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan V,PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal 56 Selanjutnya disebut Buku II 15 Ibid, hal 54 Universitas Sumatera Utara dapat melakukan pidana. Lebih lanjut, Beliau tidak menyamakan pengertian perbuatan dan strafbaar feit. Berdasarkan pendapat Van Hamel dan Simons, Moeljatno menunjukan perbadaan antara pengertian perbuatan pidana dengan strafbaar feit terletak pada ada tidaknya kelakuan, akibat dan kesalahan didalamnya. 16 Van Hamel memberikan pengertian perbuatan pidana dan strafbaar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum dan patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Pendapatnya tentang strafbaar feit terdiri dari kelakuan tanpa akibat, sedangkan Moeljatno menekankan bahwa perbuatan pidana terdiri dari kelakuan dan akibat. Simons memberikan pengertian strafbaar feit paling lengkap dengan menyebutkan sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang bersalah dan orang itu dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. 17 Moeljatno tidak sependapat dengan Simons yang memasukkan kesalahan dalam pengertian perbuatan pidana. Menurut moeljatno, kesalahan seharusnya berada di luar perbuatan pidana, yaitu keadaan batin pelaku dan hubungan batin pelaku dengan perbuatannya untuk dapat tidaknya mempertanggungjawabkan perbuatannya. 18 4. J.B. Daliyo Berbeda dengan J.B. Daliyo membedakan pengertian perbuatan pidana dan peristiwa pidana antara lain. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang 16 ibid 17 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Pusaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hal. 256. Selanjutnya disebut Buku I 18 Moeljatno, loc.cit. Universitas Sumatera Utara mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga siapa yang menimbulakan peristiwa itu dapat dikenakan sanksi pidanahukuman. Sedangkan perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana diancam dengan hukuman. Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu; 1. Perbuatan pidan delik formal adalah suatu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. 2. Delik materil adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. 3. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja. 4. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. 5. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. 6. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. 19 5. Pompe Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 20 6. Van Apeldoorn Beliau merumuskan peristiwa pidana sebagai suatu peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak. Kata ‘menggerakkan hukum’ sebagaiman diuraikan, kiranya perlu dijelaskan artinya bahwa peraturan hukum yang memuat norma hukum yang mengatur hubungan masyarakat hanya 19 J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, 2001,hal.92-94. 20 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 72. Universitas Sumatera Utara mengandung penilaian serta rumusan yang bersifat hipotesis. Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum, yaitu: 21 a. Perbuatan subjek hukum persoon yaitu berupa perbuatan manusia atau badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, b. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum, yang dibagi atas dua bagian yaitu; perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum dan akibat itu dekendaki oleh yang melakukan perbuatan. Apabila akibat suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya mak perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum. 3. Anak Mengenai defenisi anak sampai sekarang ini belum ada kesatuan persepsi status anak di bawah umur yang berbeda-beda. Tingkat usia seseorang dapat dikategorikan antara satu negara dengan negara lain cakupannya beraneka ragam. Di Amerika serikat 27 negara bagian menentukan batas umur anak adalah antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian menentukan batas umur anak antara 8-17 tahun. Di Inggris batas umur anak antara 12-16 tahun, di Australia kebanyakan negara bagian menentukan batas umur anak antara 8-18. 21 Utrect, Pengantar dalam Hukum Indonesia,Ichitar, Jakarta, 1961, hal 291 Selanjutnya disebut Buku II Universitas Sumatera Utara Indonesia sendiri tidak ada keseragaman batas umur seseorang yang dapat dikatakan sebagai anak, ada banyak undang-undang yang menyebutkan batas umurusia antara lain : 1. Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1. Bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. 22 2. Undang-undang No. 3 Tahun 1997, tentang Peradilan Anak. Dalam UU ini yang dimaksud dengan anak dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 yaitu anak adalah seseorang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. 23 3. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pengertian anak diatur di dalam Pasal 45 yang menyatakan anak belum dewasa belum mencapai umur 16 tahun oleh karena itu apabila tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan agar si anak dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya atau memerintahkan agar sianak diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman apapun. 24 4. Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Ketenaga Kerjaan. Dalam undang- undang ini yang dimaksud dengan anak dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa anak adalah seseorang laki-laki atau wanita kurang dari 15 tahun. 25 22 Undang-undang No. 23 Tahun 2003, Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1. 23 Undang-undang No. 3 Tahun 1997, Tentang Peradilan Anak , Pasal 1 angka 1. 24 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 45. 25 Undang-undang No.5 Tahun 1997 Tentang Ketenaga Kerjaan, Pasal 1 angka 1 Universitas Sumatera Utara 5. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 7 ayat 1 menyatakan perkawinan diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun. 26 6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terdapat dalam Pasal 330 yang merumuskan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 tahun. 27 Kecelakaan lalu lintas dijala raya adalah dua rangkaian kata yang terdiri dari kata kecelakaan lalu lintas dan jalan raya. Kata kecelakaan lalu lintas diartikan sebagai suatu peristiwa dijalan yang tidak disangkakan dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. 4. Kecelakaan Lalu Lintas 28 Berdasarkan Pasal 93 PP No. 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi juga menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan meninggal dunia. 29 1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf a, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah kecelakaan tersebut. : 26 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 330 28 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal 93. 29 Ibid Universitas Sumatera Utara 2. Korban luka berat sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, adalah orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 tiga puluh hari setelah kecelakaan tersebut. 3. Korban luka ringan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 2 huruf c, adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat 3 dan ayat 4. Jalan raya tempat untuk lalu lintas orang atau kendaraan dan sebagiannya sebagian besar, perlintasan dari satu tempat ketempat lain. 30

G. Metode Penelitian