Pengadilan AD HOC ICTY dan ICTR

kepentingan korban, sekaligus keseimbangan terhadap kepentingan terdakwa. Secara umum, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami penderitaan akibat kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan. Oleh karena itu, pentingnya langkah-langkah untuk melindungi keamanan, baik fisik mau pun psikologis martabat dan privasi korban dan saksi khususnya dalam kasuskasus kejahatan berbasis jender dan seksual ditegaskan dalam Pasal 68, Statuta Roma. Lebih jauh, dalam aturan persidangan secara khusus dinyatakan pentingnya perintah pengadilan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi kepentingan korban dan saksi, khususnya anak-anak, orang tua, difabel, dan korban kejahatan jender dan seksual Aturan 85 dan 86, Rules of Proceedings and Evidences. Dalam hal menjaga privasi dan keamanan korban serta saksi, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR yang membolehkan hakim untuk mengadopsi langkah-langkah seperti persidangan tertutup, televisi sirkuit satu arah tertutup, merahasiakan identitas dari publik. Juga,memperbolehkan tidak diikutsertakannya pers dan publik dari seluruh atau sebagian persidangan untuk melindungi “keamanan, keselamatan atau kerahasiaan identitas dari korban atau saksi”. 71 Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.

B. Pengadilan AD HOC ICTY dan ICTR

72 71 Ibid, hlm 115 72 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung. 1997, hlm 11 Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi setelah Universitas Sumatera Utara diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc ini. 73 Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-timur ini. Legitimasi atas adanya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc. bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. 74 Definisi kejahatan perang dalam Statuta Roma mencerminkan perkembangan luar biasa yang terjadi dalam hukum humaniter sejak digelarnya Pengadilan Ad hoc 73 Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs : http:kuhpreform.wordpress.com20080117kejahatan-perang-dalam-ruu-khptanggal 19 November 2010 74 Ibid Universitas Sumatera Utara International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR. Statuta Roma mengadopsi yurisprudensi kedua pengadilan internasional ini, sehingga lebih jelas lagi terlihat adanya pertanggungjawaban individu untuk kejahatan perang dalam konfllik bersenjata internasional dan konflik bersenjata internal. 75 Dalam yurisprudensi putusan pengadilan internasional, khususnya praktek International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY disebutkan, “Pasal 5i International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah suatu klausul sisa, yang berlaku pada tindakan‐tindakan yang tidak termasuk dalam sub‐klausul manapun dalam Pasal 5 Statuta namun secara memadai sama tingkat kejahatannya dengan kejahatan‐kejahatan lainnya yang telah disebutkan”. Tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah “tindakan‐tindakan atau pembiaran‐pembiaran yang diniatkan untuk menyebabkan secara sengaja penderitaan mental maupun fisik pada individu. Sebagaimana dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tindakan‐tindakan tersebut harus juga meluas dan sistematik.” 76 Dalam konteks hukum internasional, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi tidak bertentangan dengan prinsip nullum crimen sine lege menafsirkan Dalam putusan lainnya, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah suatu klausul sisa untuk tindakan‐tindakan serius yang bukannya masuk dalam kategori sebagaimana disebutkan satu per satu, namun memerlukan pembuktian yang sama dengan elemen‐elemen chapeau lainnya. 75 Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,Yrama Widya, 2004, hlm 106 76 Jerry Flower, Op.Cit, hlm 107 Universitas Sumatera Utara atau melarang kejahatan terhadap manusia, karena dalam prakteknya, sebagaimana ditegaskan oleh majelis pengadilan yang mendapati jenis kejahatan tersebut sebagai bagian dari customary international law hukum internasional kebiasaan, sekaligus penegasan atas jenis kejahatan di bawah hukum pidana internasional. Majelis pengadilan melihat bahwa dakwaanatas jenis kejahatan tersebut sudah pernah dilakukan sebagai dasar dakwaan dalam Pengadilan Militer Internasional. 77 Dalam laporan komisi persiapan Mahkamah Pidana Internasional, dijelaskan bahwa elemen jenis kejahatan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnyamenyangkut: 78 Meskipun tidak ada persyaratan yang diharuskan untuk menguji bahwa derajat keseriusan didasarkan pada akibat jangka panjang long term effects bagi korban, namun tindakan yang memiliki akibat atau dampak jangka panjang adalah relevan untuk menentukan keseriusan tindakan atau juga pembiaran. i Pelaku kejahatan mengakibatkan penderitaan yang besardalam, atau luka serius pada kesehatan tubuh atau mental atau fisik, yang bermakna tindakan tidak manusiawi; ii Kejahatan tersebut memiliki karakter yang sama dengan jenis kejahatan yang disebutkan dalam pasal 7 1 Statuta Roma; iii Pelaku kejahatan menyadari kondisi factual yang melandasi karakter kejahatan; iv Tindakan ditujukan sebagai bagian dari penyerangan meluas dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil; dan v Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakannya adalah bagian atau diniatkan menjadi bagian penyerangan secara meluas dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil. 79 77 Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, hlm 79 78 Ibid, hlm 80 79 Ibid, hlm 81 Universitas Sumatera Utara Dengan penjelasan demikian, maka karakter untuk menyebut jenis kejahatan “tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan peluang penafsiran untuk penegakan hukum atas segala jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, atau dengan perkataan lain, kejahatan terhadap kemanusiaan jenis “tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan jaminan bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki keleluasaan untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang keji yang tidak tersebutkan dalam hukum pidana internasional. Oleh sebab itu, dalam upayamemajukan penghormatan, perlindungan dan pertanggungjawaban hak asasi manusia, ketentuan kategori sisa tersebut adalah penting dan diperlukan. 80 Dengan adanya kedua kasus tersebut, setidaknya memberikan pelajaran mengenai suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa dijangkau oleh aturan ”other inhumane acts” tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya, yang penerapannya bisa ditujukan pada bentuk atau macam kejahatan yang berbeda namun memiliki karakter yang sama dengan bentuk atau macam kejahatan yang telah dideskripsikan secara eksplisit dalam ketentuan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY . 81 Dalam praktek yurisprudensi di International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, “other inhumane acts” tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya merupakan suatu jenis pengaman untuk mendasari tindak kejahatan yang memiliki level sama dan menjaga kemungkinan untuk jatuh pada definisi di luar apa yang ditentukan rinci dalam Statuta. 82 80 Ibid, hlm 82 81 Wayan Parthiana, Op.Cit, hlm 109 82 Ibid, hlm 110 Universitas Sumatera Utara Dalam putusan Kayishema and Ruzindana, majelis hakim mendefinisikan “other inhumane acts” sebagai “tindakan-tindakan atau pembiaran-pembiaran yang secara sengaja ditujukan untuk menyebabkan luka atau penderitaan mental atau fisik secara serius atau merupakan suatu kejahatan serius atas martabat manusia”. Majelis hakim menegaskan adanya hubungan antara tindakan dan penderitaan yang diakibatkannya. Berdasarkan majelis hakim, kata “deliberately” meyakinkan bahwa penderitaan mental yang diakibatkan terhadap pihak ketiga sebagai hasil dari melihat penderitaan dari korban langsung bisa dikualifikasi sebagai suatu “inhumane act” bila pelaku kejahatan memiliki niat untuk melakukan tindakannya di muka pihak ketiga. Namun dalam penerapannya bisa pula sebaliknya, sebagaimana dalam putusan Kamuhanda mempertimbangkan bahwa terdakwa mungkin masih dimintai pertanggungjawaban untuk penderitaan mental yang diakibatkannya bila pihak. Ketiga secara tidak sengaja melihat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut terhadap korban. 83 Yang pertama kali dihukum dalam International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR karena alasan “other inhumane acts” tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya adalah kasus Niyitegeka. Dalam putusannya, memenggal leher, memotong alat kelamin, dan segala bentuk mutilasi mayat, dan memasukkan sebatang kayu ke dalam vagina seorang perempuan yang telah mati dikualifikasi sebagai inhumane acts. 84 Ketentuan “other inhumane acts” tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya sebagai kategori sisa sangatlah menarik dan progresif bila ditinjau dari bagaimana para majelis hakim akan menafsirkan suatu bentuk kejahatan yang sama sekali tidak jatuh pada kategori kejahatan satupun yang ditentukan oleh statuta atau hukum yang ada. Namun, dalam konteks penegakan hak asasi manusia, hal ini merupakan terobosan 83 Ibid, hlm 110 84 Ibid, hlm 111 Universitas Sumatera Utara hukum untuk tidak sekalipun melepaskan setiap pelaku tindak kejahatan kemanusiaan. 85 Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc sementarakhusus, artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo disatu sisi dengan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR di sisi lain yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang dalam hal ini adalah AS dan sekutunya, sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB. 86 1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional serious violations of international humanitarian law Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu : 2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi Jenewa 1949.542 3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang 4. Genosida 5. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya tentang pelanggaran berat, Statuta ini 85 Ibid, hlm 112 86 Ibid, hlm 112 Universitas Sumatera Utara mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti disebutkan dalam Pasal 5 Statuta. 87 Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan genosida di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda yang melakukan kejahatan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Baik Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan atau melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, Hukum Anglo-Saxon, sedangkan Mahkamah Rwanda menggunakan campuran antara sistem Civil Law Hukum Eropa Kontinental dan Common Law. 88 Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya bahwa nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma dikatakan bahwa International Criminal Court ICC akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau unwilling dan tidak mampu unable untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. 89 Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi International Criminal Court ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional tidak mau danatau tidak mampu 87 Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit 88 www.kompas.com , diaksekan tanggal 21 November 2010 89 Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit Universitas Sumatera Utara mengadili si pelaku, maka International Criminal Court ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Adapun yirisdiksi dari International Criminal Court ICC ini mencakup empat hal yaitu 90 Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah dirumuskan secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang dimaksud beserta unsur-unsur deliknya. Statuta International Criminal Court ICC berlaku sejak bulan Juli tahun 2002 dan kejahatan agresi akan dirumuskan delapan tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada tahun 2010. : 1. genosida 2. kejahatan terhadap kemanusiaan 3. kejahatan perang 4. kejahatan agresi 91 Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa International Criminal Court ICC bersifat complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi International Criminal Court ICC hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi International Criminal Court ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu unwilling and unable untuk mengadili kejahatan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi International Criminal Court ICC. Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang mendesak dan penting dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah menyusun suatu hukum nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahatan perang. Hal ini diperlukan karena sampai saat ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer KUHPM belum mengatur 90 Ibid 91 Jerry Flower, Op.Cit Universitas Sumatera Utara tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 yaitu menyusun suatu hukum nasional yangmemberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang. Ketiadaan hukum nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut pandang International Criminal Court ICC. 92 Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Penadilan

C. Menurut Statuta Roma