Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup
NASKAH PUBLIKASI
PENERAPAN SANKSI PERDATA TERHADAP KORPORASI
DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
T E S I S
OLEH :
S R I W A T Y
NIM : 057005056
HUKUM EKONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
(2)
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Tesis : Tinjauan Yuridis terhadap Laporan Surveyor (LS) dalam Rangka Pemenuhan Kewajiban Pabean
Nama : Rizal
NIM : 057005043
Program Studi : Hukum Bisnis
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH. Ketua
Prof. Muhammad Abduh, SH. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN.
(3)
INTISARI
PENERAPAN SANKSI PERDATA TERHADAP KORPORASI DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh : Sriwaty* Bismar Nasution** Chainur Arrasyid**
Sunarmi**
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan merupakan perbuatan melawan hukum yang banyak dilakukan oleh baik perorangan maupun korporasi, Namur didalam prakteknya masih banyak korporasi yang belum dimintakan pertanggungjawaban. Dalam tesis permasalahan yang diajukan adalah Pertama, Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup, Kedua, Bagaimana penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam sengketa lingkungan hidup.
.Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yang bersifat
deskriptif analitis, sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.
Hasil penelitian menempatkan bahwa Tanggungjawab korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat berbentuk pertanggungjawaban pidana, perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban ini dapat dimintakan karena korporasi paling banyak berperan dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup yang dapat mengakibatkan dampak terhadap lingkungan hidup, Penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup
Penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, yang menyangkut masalah tuntutan besarnya kerugian dan/atau kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Bentuk
*
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
**
(4)
pertanggungjawaban kepada korporasi adalah pemberian ganti rugi yang dibayarkan kepada korban atau pemerintah sebagai pengawas lingkungan.
Disarankan kepada setiap perusahaan wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dengan melakukan audit lingkungan dan memperbaiki serta melengkapi izin dalam membangun, pengelolaan, serta menjalankan kegiatan operasioal dengan memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan/atau UKL-UPL. Kemudian diperlukan sebuah standar operasional prosedur dalam penerapan sanksi perdata khususnya mengenai pemberian ganti rugi terhadap korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi.
Kata kunci : 1. Korporasi 2. Sanksi Perdata
(5)
KATA PENGANTAR Assalamualaikum, Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan diiringi do’a restu kedua orang tua,
akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini tepat pada waktunya.
Dan tak lupa Penulis menyampaikan shalawat dan salam keharibaan
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan ke zaman berilmu pengetahuan.
Tesis ini berjudul “Penerapan Sanksi Perdata Terhadap Korporasi Dalam
Sengketa Lingkungan” dimaksudkan sebagai suatu persyaratan untuk meraih gelar
Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Kelas
Kekhususan Hukum Ekonomi.
Penulis juga sangat mengharapkan saran dan masukan dari berbagai pihak
demi kesempurnaan Tesis ini. Kemudian pada kesempatan ini, Penulis
menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan
studi sampai dengan memperoleh gelar Magíster Ilmu Hukum.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
(6)
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai
Pembimbing I.
4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. MH selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing II
5. Bapak Prof. Chainnur Arrasyid. SH selaku Pembimbing III.
6. Segenap Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan studi selama ini.
7. Kepada teman-teman Kelas Kekhususan Hukum Ekonomi pada Program Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Kepada Anak-anak yang tercinta Dedi Oktavian, Rika Mayasari, Tri Apriano,
yang telah memberikan perhatian yang tulus dan penuh kasih sayang serta
memberikan dukungan dan semangat sehingga dapat menyelesaikan penulisan
Tesis ini, dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda H.
Hasan Basry dan Ibunda (Alm) Asiyah yang telah mendidik dan membesarkan
serta memberikan kasih sayang kepada Penulis agar menjadi orang berhasil dan
sukses.
Penulis juga mengucapkan tarimakasih yang setinggi-tingginya kepada
(7)
bantuan baik secara moril maupun materil terhadap kebaikan dan kemurahan hati
semua pihak kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Akhir kata Penulis memohon kepada Allah SWT untuk melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada pihak-pihak yang telah membantu hanya Allah SWT
yang dapat membalas budi baik semuanya.
Semoga penelitian ini dan ilmu yang telah Penulis peroleh selama ini studi
Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dapat bermanfaat, bermakna dan berkah bagi Penulis dan untuk Nusa dan Bangsa.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, Agustus 2007 Penulis,
SRIWATY
(8)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : SRIWATY
NIM : 057005056
Tempat / Tgl Lahir : Langsa / 9 Februari 1952
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Orangtua : 1. Lak-laki : H. Hasan Basry
2. Perempuan : (Alm) Asiyah
Pendidikan : 1. SDN 15 Medan Tamat Tahun 1964
2. SMPN 1 Medan Tamat Tahun 1967
3. SMAN 5 Medan Tamat Tahun 1971
4. S1 Fakultas Hukum USU Tamat Tahun 1980
(9)
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
INTI SARI ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
RIWAYAT HIDUP PENULIS ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Kerangka Konsep ... 17
G. Metode Penelitian ... 18
BAB II : KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM ... …. 23
A. Gambaran Umum Tentang Korporasi ... 23
1. Pengertian Korporasi ... 23
2. Pertanggungjawaban Korporasi ... 27
3. Pertanggungjawaban Pengurus Korporasi ... 32
B. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ... 36
1. Pengertian Perseroan Terbatas ... 36
2. Organ-Organ Perseroan ... 38
(10)
BAB III : TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ... 49
A. Kewajiban Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup . 49 B. Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 62
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 63
2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 77
3. Pertanggungjawaban Administrasi Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 91
BAB IV : PENERAPAN SANKSI PERDATA TERHADAP KORPORASI DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP ... 100
A. Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkungan ... 100
1. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan... 101
2. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan ... 109
B. Prosedur Pengajuan Gugatan Penyelesaian Sengketa Perdata Lingkungan Hidup ... 114
C. Penerapan Sanksi Perdata Terhadap Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 128
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 153
A. Kesimpulan ... 153
B. Saran ... 154
(11)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Era globalisasi merupakan perkembangan peradaban manusia gelombang
kedua yang bervisi modernisasi dengan ciri kemajuan industrialisasi.1 Indonesia yang
sedang dihadapkan pada isu global, berupa kemajuan peradaban manusia, dihadapkan
pada suatu tuntutan untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Namun, di
sisi lain pembangunan ini harus tetap dapat menjaga keseimbangan dan kelestarian
lingkungan hidup.2 Untuk itu diperlukan pengaturan hukum untuk menjamin
kelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup dalam menghadapi industrialisasi dan
kemajuan teknologi.
Perkembangan industrialisasi dan kemajuan teknologi dalam pembangunan
tentunya memanfaatkan secara terus menerus sumber daya alam guna meningkatkan
kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Kegiatan pembangunan yang semakin
meningkat tentu saja mengandung resiko terhadap lingkungan hidup, yaitu berupa
1
Tofler, Alvin dalam Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peranan dan Fungsinya dalam
Pembangunan Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1997), hal. 66.
2
Hadiati, Hermien, Koeswadji, dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.1, menyatakan bahwa hakikat pembangunan adalah campur tangan manusia terhadap hubungan interaksi antara dirinya dengan lingkungan hidupnya dalam upaya memanfaatkan sumber daya untuk kepentingan manusia. Dalam interaksi ini harus terjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Lebih jauh lagi Suparni, Niniek dalam bukunya Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan
Hukum Lingkungan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 36, menyatakan bahwa pembangunan pada
hakikatnya adalah gangguan terhadap keseimbangan lingkungan hidup, yaitu usaha sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang dianggap kurang baik kepada keseimbangan baru pada tingkat kualitas yang dianggap lebih tinggi. Dalam usaha ini harus dijaga agar lingkungan tetap mampu untuk mendukung tingkat hidup pada kualitas yang lebih tinggi itu, oleh karena itu pembangunan tersebut harus berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
(12)
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar
ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak.
Dalam Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UUPLH) dinyatakan
bahwa :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya
.
Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 14 UUPLH dinyatakan bahwa :
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan”.
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan merupakan suatu tindakan yang
menimbulkan akibat lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya dalam menunjang pembangunan berkesinambungan3.
Hal ini berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan, dimana salah satu
aspek penting dari pembangunan adalah pendirian perusahaan, baik oleh pihak
pemerintah maupun swasta. Perusahaan didirikan dengan tujuan memperoleh laba,
misalnya melalui peningkatan harga saham, mencapai volume penjualan tertentu, atau
3
Arifin, Syamsul Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, (Medan : USU Press, 1993), hal. 204.
(13)
dengan cara-cara lainnya. Perusahaan merupakan suatu organisasi yang mengelola
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan memperoleh keuntungan.
Perusahaan dituntut mempunyai tata kelola perusahaan yang baik atau yang
populer disebut dengan Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat GCG),
hal ini adalah sebuah sistem yang mengatur bagaimana suatu korporasi dikendalikan
dan diarahkan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas
dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tidak mengorbankan kepentingan stakeholders lainnya.4 Pengelolaan
perusahaan berkaitan dengan hubungan antara pengelola (manager), direktur dan
pemegang saham dari perusahaan. Dapat juga mencakup hubungan antara perusahaan
itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Secara luas GCG dapat meliputi
kombinasi antara hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktek pribadi yang
memungkinkan perusahaan tersebut menarik modal masuk, berkinerja secara efisien,
menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan
sekaligus mematuhi kewajiban hukum.5
Permasalahan tanggungjawab suatu terhadap pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan dapat dibebankan kepada pelaku baik secara individu maupun
badan hukum. Tanggungjawab (liability) yang dilakukan dapat berupa ganti kerugian
terhadap kerusakan yang ditimbulkan maupun upaya perbaikan terhadap lingkungan.
4
Tjager, I Nyoman, Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan bagi Komisaris Bisnis
Indonesia, (Jakarta : PT Prehallindo, 2003), hal.26.
5
Gregory, Holly J. dan Simms, Marsha E, Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance):
Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting, Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), Kerja sama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan
(14)
Dalam UUPLH diatur dalam Pasal 1 angka 24 mengenai pertanggungjawaban
dibebankan kepada orang, yaitu individu dan/atau kelompok orang dan/atau badan
hukum.
Badan hukum juga disebut korporasi dalam hal ini adalah perusahaan yang
menjalankan kegiatannya dalam suatu lingkungan usaha tertentu. Oleh karena itu
setiap perusahaan harus bertanggungjawab terhadap aspek lingkungan hidup seraya
tetap mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, perusahaan harus mampu tetap
mempertahankan dan mengimplementasikan etika berusaha dalam hubungannya
dengan lingkungan hidup.6
Tanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian
dari faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor internal sepenuhnya berada di
bawah kendali perusahaan, sementara faktor eksternal merupakan faktor yang tidak
terkontrol oleh perusahaan karena berada di luar kendali perusahaan. Kedua faktor
pokok ini harus senantiasa diperhatikan manajemen untuk mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan.7
Berapa banyak pembangunan industri yang menghasilkan limbah beracun
yang dibuang ke lingkungan hidup yang mendapat protes dari masyarakat, namun
protes ini sering diabaikan oleh penguasa dengan alasan, terutama di negara
6
Rebsohadiprojo, Soekanto, (et.al), Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta : BPFE, 1990), hal.197.
7
Suwarsono, Analisis Lingkungan Bisnis Negara Berkembang, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), hal.2.
(15)
berkembang, industri ini banyak menciptakan lapangan pekerjaan sehingga mampu
memacu pertumbuhan perekonomian.8
Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara motivasi ekonomis
perusahaan dan kebijakan pembangunan suatu negara dengan semakin
mengglobalnya perdagangan internasional, sehingga sering mengabaikan dampak
lingkungan hidup yang dihasilkannya.
Dalam perkembangan peraturan pasar modal di negara maju, pengaturan
dan penegakan prinsip keterbukaan perusahaan yang diinginkan hukum pasar modal,
harus sejalan dan sesuai dengan hukum lainnya, yakni terkait dengan hukum yang
mengatur masalah klausula sosial (social clause), antara lain masalah perlindungan
tenaga kerja, perlindungan konsumen, masalah status hak atas tanah yang berkaitan
dengan informasi penting dan relevan bagi perusahaan, dan masalah perlindungan
terhadap lingkungan hidup.9 Dampak perkembangan industri yang dilakukan oleh
korporasi adalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, yang mempunyai
dampak yang luas dan berbahaya bagi kehidupan manusia.
Perusahaan yang mencemarkan lingkungan hidup dapat ditutup oleh
pemerintah atau menghadapi gugatan ganti rugi dari masyarakat luas, yang dapat
mempengaruhi harga saham. Hal tersebut tentu merugikan investor.10 Seperti yang
terjadi di Bhopal. Selama dua hari, yaitu tanggal 2 – 3 Desember 1984, terjadi
8
Ibid.
9
Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta : Program Pasca Sarjana FH UI, 2001), hal. 94.
10
(16)
kebocoran gas pada instalasi pabrik Union Carbide India Limite’s (UCIL),
mengakibatkan 2.000 sampai 3.000 orang meninggal dunia dan 200.000 orang
mengalami luka-luka, dan 30.000 sampai 40.000 dari 200.000 orang tersebut
mengalami luka berat. Tragedi Bhopal ini merupakan sejarah yang terburuk dari
bencana perusahaan industri di dunia.11 Begitu juga dengan PT Indorayon Inti Utama
(sekarang bernama PT Toba Pulp Lestari) yang ditutup sementara pada bulan Juli
1998 oleh Pemerintah Republik Indonesia akibat tidak memperhatikan pengelolaan
lingkungan hidup selama beroperasi di Porsea - Sumatera Utara. Padahal perusahaan
yang bersangkutan telah melakukan listing di NYSE Wall Street sejak tahun 1995.12
Pengaturan tanggungjawab korporasi terhadap lingkungan hidup tidak
dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktifitas perusahaan,
tetapi justru sebaliknya, sebab pengaturan ini diharapkan mampu mendorong iklim
dan persaingan usaha yang sehat. Tanggungjawab perlindungan lingkungan hidup
diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
sehat melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas.13
Dengan demikian tanggungjawab korporasi, terhadap pengelolaan
lingkungan hidup sangat penting, karena bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan
lingkungan hidup mempunyai akibat yang potensial terhadap kehidupan masyarakat
dan perkembangan usaha perusahaan itu sendiri. Pada hakekatnya, kepedulian dan
11
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal.21-22.
12
Nasution, Bismar, Op Cit., hal.182-184.
13
Widjaya, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia, 2003), hal.17.
(17)
tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan hidup adalah untuk kepentingan
perusahaan itu sendiri. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan
tanggungjawabnya terhadap lingkungan hidup terealisasi dalam bentuk kepercayaan
publik yang kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik
tersebut.
Dapat dimintakannya pertanggungjawaban korporasi didasarkan kepada
suatu unsur penyalahgunaan kepercayaan, yaitu kepercayaan yang diberikan oleh
masyarakat. Suatu korporasi dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat untuk
melakukan kegiatan (dalam bidang ekonomi) secara jujur dan beritikad baik.14
J. Barros dan JM Johnston melihat adanya keterkaitan terjadinya kejahatan
terhadap lingkungan dengan mengatakan bahwa pencemaran lingkungan erat sekali
kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh manusia, yaitu :
1. Kegiatan-kegiatan industri dalam bentuk limbah yang berupa zat-zat buangan berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif, dan lain-lain’
2. Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instalasi, kebocoran pencemaran buangan pertambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan;
3. kegiatan transportasi, berupa repulan asap yang mengakibatkan naiknya suhu udara, kebisingan kenderaan bermotor dan tumpahan bahan bakar minyak dari papal tanker;
4. Kegiatan pertanian, terutama akibat dari resiko pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangan atau tumbuhan pengganggu seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk organik.15
14
Muladi, Penerapan Tanggungjawab Korporasi dalam Hukum Pidana, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Editor Taftazani, The Habibi Centre,
2002), hal. 159.
15
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas, (Universitas Muhammadiyah), hal. 8.
(18)
Secara yuridis dengan hadirnya UUPLH dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap pelestarian lingkungan hidup, namun dalam kenyataannya
masih banyak perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan tidak mengelola
limbah industrinya dan membuangnya begitu saja, sehingga menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan hidup. Jarang sekali terdengar
adanya gugatan dari masyarakat terhadap pelaku pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup melalui lembaga peradilan. Apalagi terkait dengan adanya
kewajiban pelaku untuk mengembalikan fungsi lingkungan seperti semula. Hal ini
menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap kasus-kasus pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan masih sangat lemah.
Persoalan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup bukanlah suatu
hal yang baru lagi dalam kehidupan. Peluang adanya peningkatan kuantitas ataupun
kualitas pencemaran akan semakin bertambah seiring semakin bertambahnya
aktivitas atau kegiatan yang berpotensi sebagai sumber-sumber pencemaran. Oleh
karena itu masyarakat selaku pihak yang dirugikan sudah sepatutnya mengajukan
tuntutan terhadap pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,16
16
Salim, Emil, yang dikutip oleh M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 9. Menyatakan bahwa produk sampingan dari perkembangan industri adalah terjadinya pencemaran terhadap air sungai dan laut akibat dari pembuangan limbah industri, pencemaran udara akibat dari peningkatan kadar dioxide dari cerobong-cerobong asap pabrik dan pembakaran minyak dari kendaraan-kendaraan bermotor, serta kerusakan lingkungan alam oleh hasil industri berupa barang-barang kimia, sehingga sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Periksa juga I.S. Susanto, log.cit., yang melukiskan bahwa bahaya pencemaran dan perusakan lingkungan ini oleh perkembangan industri dapat kita lihat pada peristiwa Minamata pada tahun 1960. Akibat pencemaran industri yang membuang limbahnya di Teluk Minamata Jepang, menyebabkan ribuan orang cacat dan lumpuh. Kasus lainnya adalah bocornya pabrik Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1984, yang menewaskan lebih dari 3.000 orang, ratusan ribu sakit dan cacat, bahkan ribuan diantaranya mengalami cacat seumur hidup.
(19)
sehingga pelaku tidak hanya mendapat hukuman pidana, sanksi administrasi, sanksi
perdata dan kewajiban pemulihan lingkungan hidup seperti semula.
Pengajuan tuntutan ini dilakukan dalam apa yang dinamakan “sengketa
lingungan hidup” yang diatur pada Pasal 1 butir 19 UUPLH17 dirumuskan sebagai
“perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga
adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Pasal 30 ayat (1) UUPLH
memuat aturan bahwa penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui atau tanpa jalur
hukum. Jalur hukum cenderung menempatkan kasus lingkungan menjadi kasus
perdata, sedang di luar jalur hukum kesepakatan antara para pihak yang bersengketa
merupakan kunci penting.
Lazimnya sengketa selesai apabila ganti rugi sudah diberikan, dan
permasalahan lingkungan dianggap lenyap begitu saja. Penyelesaian itu ternyata
menyisakan permasalahan lingkungan dan bahkan memunculkan permasalahan
lingkungan baru yang akan menimbulnya potensi masalah di kemudian hari.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menempuh jalur hukum
perdata secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup akibat perbuatan pelaku yang menimbulkan
17
UULH yang sudah tidak berlaku lagi tidak ada memuat pengertian resmi mengenai sengketa lingkungan hidup.
(20)
kerugian bagi korban/penderita sehingga memberinya alas hak untuk mengajukan
gugatan ganti kerugian terhadap pencemar.
Penempuhan jalur hukum melalui perdata nampaknya mulai jamak
dilakukan, walaupun belum tentu memuaskan. Beberapa kasus yang diselesaikan
melalui jalur ini, menunjukkan bahwa kasus sengketa lingkungan cenderung menjadi
kasus perdata. Artinya, masalah lingkungan menjadi selesai apabila ganti rugi
material dan immaterial sudah diberikan. Padahal jelas-jelas bahwa menurut
undang-undang lingkungan, tindakan yang menyebabkan lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup dituntut dengan hukuman pidana.
Penelitian ini memfokuskan kepada penerapan sanksi perdata terhadap
sengketa lingkungan hidup yang dilakukan oleh suatu korporasi, sehingga beberapa
konsep pertanggungjawaban korporasi akan dibahas dalam kerangka memperoleh
pemahaman menyeluruh mengenai sengketa lingkungan dan sanksi perdata yang
diberikan kepada suatu korporasi. Di samping itu perlu pula ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan korporasi dalam penelitian ini adalah Perseroan Terbatas sebagai
suatu badan hukum.
Alasan-alasan tersebutlah yang merupakan motivasi bagi penulis untuk
mengkaji dan membahas proses penyelesaian sanksi perdata dalam sengketa
lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, yang akan dituangkan dalam hasil
penelitian yang berjudul “Penerapan Sanksi Perdata terhadap Korporasi dalam
(21)
B. Permasalahan
Permasalahan yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2. Bagaimana penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam sengketa
lingkungan hidup.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam sengketa
lingkungan hidup.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, sebagai berikut:
1. Dari sudut pandang teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah ilmiah dalam ilmu hukum mengenai penegakan hukum lingkungan,
khususnya yang berkaitan dengan sengketa lingkungan hidup dan penerapan
(22)
2. Dari sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan dapat merupakan masukan
bagi aparat penegak hukum dan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa
lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
dilakukan oleh suatu korporasi.
3. Dari sudut pandang kebijakan, penelitian diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pembuat kebijakan (policy maker) dalam memperbaharui atau
menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup
menyangkut sengketa lingkungan hidup dan penerapan sanksi perdata yang
diberikan terhadap korporasi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan terhadap
hasil-hasil penelitian yang telah pernah dilaksanakan dalam lingkungan perpustakaan
Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai “Penerapan Sanksi Perdata
terhadap Korporasi dalam Sengketa Lingkungan” belum pernah dilakukan dalam
topik dan permasalahan yang sama. Objek penelitian ini merupakan suatu kajian yang
belum tersentuh secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya,
penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan
yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan yang bersifat membangun
(23)
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan terhadap pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan dilakukan dengan upaya yang bersifat preventif
maupun upaya yang bersifat represif. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang
bersifat preventif, yaitu berupa ketentuan-ketentuan yang memuat tentang hak-hak
maupun kewajiban-kewajiban dari orang perorangan maupun badan usaha terhadap
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sementara itu, salah satu upaya pencegahan dan
penanggulangan yang bersifat represif, dapat dilihat dari adanya ketentuan tentang
kewajiban pemberian ganti rugi dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok orang maupun badan
usaha.
Perihal pertanggungjawaban badan hukum (korporasi) dalam pengelolaan
lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT), yang berbunyi:
“Kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau
kesusilaan.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa perseroan harus memenuhi ketentuan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, salah satunya adalah
UUPLH, sehingga perseroan harus bertanggungjawab terhadap pengelolaan
(24)
UUPT yang menyatakan bahwa demi terciptanya kualitas manusia dan masyarakat
Indonesia di dalam hubungannya harus ada keseimbangan dan keselarasan antara
manusia dengan alam lingkungannya.
Perihal pertanggungjawaban pemberian ganti kerugian oleh korporasi
sebagai akibat dari suatu perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang
menimbulkan kerugian, baik terhadap individu, kelompok masyarakat maupun
pemerintah ataupun pada lingkungan hidup itu sendiri, secara jelas diatur dalam Pasal
34 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Pasal 34 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, mewajibkan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Dengan ketentuan ini, hukum lingkungan keperdataan secara khusus
mengatur perlindungan hukum bagi korban pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan
menyebabkan penderita berhak mengajukan upaya hukum berupa gugatan ganti
kerugian terhadap pencemar.18
Pertanggungjawaban korporasi ini dalam sengketa lingkungan ini dikenal
dengan adanya prinsip “asas pencemar membayar” (the polluter pays principle) yang
diatur pada Pasal 34 ayat (1) UUPLH yang merupakan penerapan dari asas yang
18
Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya : Airlangga University Press, 1999), hal.9.
(25)
dikenal dalam hukum tata lingkungan. Tujuan utama dari asas ini adalah untuk
membiayai upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Pada dasarnya asas pencemar membayar mengandung makna bahwa
pencemar harus bertanggungjawab memikul dan membayar biaya pencegahan dari
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang terjadi. Asas ini mempunyai latar
belakang pemikiran (ratio) bahwa biaya yang berkenaan dengan upaya-upaya
pengelolaan lingkungan hidup seharusnya tercakup di dalam biaya pokok barang dan
jasa yang pembuatannya atau pemakaiannya mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.19
Jika melihat isi ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUPLH tersebut di atas, secara
jelas dapat diketahui bahwa bentuk pertanggungjawaban yang termaktub dalam
ketentuan tersebut adalah pertanggungjawaban yang dikaitkan dengan segi kesalahan
(liability based on fault), yang sering disebut dengan “negligence rule”.20 Penegakan
hukum maupun pelaksanaan dari isi ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUPLH tersebut erat
kaitannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang
pada pokoknya memiliki pengertian bahwa setiap orang tidak saja hanya
19
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Hukum Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hal.230.
20
(26)
bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, akan tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hati.21
Di samping pertanggungjawaban yang dihubungkan dengan adanya unsur
kesalahan (liability based on fault), juga di dalam UUPLH termuat pengaturan
mengenai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dikenal
dengan “strict liability” atau “absolut liability”22, yaitu pertanggungjawaban mutlak
atas kerugian yang timbul dengan membayar kerugian secara langsung dan
seketika.23 Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH, yang berbunyi
sebagai berikut :
Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya yang beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Adanya 2 (dua) teori pertanggungjawaban sebagaimana telah dikemukakan
di atas merupakan dasar untuk terjadinya sengketa lingkungan hidup yang diajukan
oleh pihak masyarakat kepada pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup dan terwujudnya suatu ganti rugi akibat terjadinya pencemaran dan/atau
21
Lotulung, Paulus Effendi, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal.1.
22
Strict liability atau Absolut Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), merupakan suatu prinsip tanggung jawab mutlak atas adanya akibat suatu perbuatan
tanpa adanya keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Kesalahan bukanlah sesuatu yang relevan untuk dipermasalahkan, apakah dalam kenyataannya ada atau tidak. Ini berarti sipembuat sudah dapat dihukum jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin sipembuat. Si pelaku dapat saja dihukum, meskipun perbuatannya bukan karena kesengajaan, kesemberonoan atau kealpaan. Lihat, Muladi dan Prijatno, Dwidja, Op Cit., hal.50.
23
(27)
perusakan lingkungan hidup, baik tuntutan sengketa lingkungan hidup itu dilakukan
melalui jalur pengadilan ataupun di luar pengadilan.
2. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan di atas, maka perlu
diuraikan definisi operasional untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Lingkungan Hidup, sebagaimana dimuat pengertiannya dalam Pasal 1 butir
1 UUPLH, berarti kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
Dengan pengertian ini, manusia dalam kehidupannya mempunyai hubungan timbal
balik yang saling mempengaruhi dengan lingkungan dimana dia hidup.
Pencemaran Lingkungan Hidup, sebagaimana dimuat pengertiannya dalam
Pasal 1 butir 12 UUPLH, adalah berarti masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Perusakan Lingkungan Hidup, sebagaimana dimuat pengertiannya dalam
Pasal 1 butir 14 UUPLH, adalah berarti tindakan yang menimbulkan perubahan
(28)
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan.
Sengketa Lingkungan Hidup, atau sering disingkat dengan sengketa
lingkungan, berdasarkan Pasal 1 butir 19 dan Pasal 30 ayat (1) UUPLH, dapat
dirumuskan sebagai perselisihan dua pihak atau lebih akibat adanya atau diduga
adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, yang penyelesaiannya
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa.
Sanksi Perdata adalah kewajiban pemberian ganti kerugian kepada korban
atau penderita pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Korporasi adalah sebutan yang lazim digunakan untuk badan hukum
(rechtspersoon) dalam bidang hukum perdata, yang dalam bahasa Inggris disebut
corporation.24 Meskipun ada pula yang mengartikan korporasi sebagai badan usaha
yang cakupan pengertiannya lebih luas dari badan hukum, korporasi dalam penelitian
ini dibatasi pengertiannya hanya menunjuk kepada perseroan terbatas sebagai badan
hukum.
G. Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, rangkaian kegiatan penelitian sejak dari
pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan
24
(29)
kaidah-kaidah metode penelitian ilmiah, yang terdiri dari jenis penelitian, sifat
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, pengolahan dan analisis
data.
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan yang ditujukan untuk
menganalisis kaidah-kaidah hukum mengenai sanksi perdata dalam sengketa
lingkungan, maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif.
Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat
otonom, bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Penelitian ini mengumpulkan dan
menganalisis kecukupan dan kejelasan kaidah-kaidah hukum dalam UUPLH, UUPT,
KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
sanksi perdata terhadap korporasi dalam sengketa lingkungan. Oleh karena, penelitian
ini menjadikan kaidah hukum sebagai premis utama dan sebagai hasil penelitian.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini tidak hanya bertujuan
mendeskrifsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum terkait dengan
sengketa lingkungan hidup dan sanksi perdatanya terhadap korporasi, akan tetapi
(30)
3. Sumber Data
Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, sumber data sekunder sebagai
data utama atau data pokok penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal
dari studi kepustakaan (library research), baik dalam bentuk bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier,25 sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum, jurnal
ilmiah, artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar, situs internet
dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.
Keseluruhan data sekunder yang diperoleh ditujukan untuk mendapatkan
konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual.
25
Sunggono, Bambang, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal.194-195.
(31)
4. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
dikumpulkan, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi
dokumen terhadap bahan pustaka yang ada. Pengumpulan data didasarkan pada
buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan berkaitan dengan tesis
ini, guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan
yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan
permasalahan yang dibahas.
5. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara deduktif.
Digunakannya metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai pertimbangan,
sebagai berikut : Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan
yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan. Kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, sifat dasar data yang akan
dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan
(32)
(indepth information).26 Data yang dianalisis menggambarkan dan mengungkapkan
permasalahan yang terjadi, sekaligus diharapkan akan dapat memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.
26
Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan
Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas
(33)
BAB II
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM A. Gambaran Umum Tentang Korporasi
1. Pengertian Korporasi
Istilah korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang digunakan dalam bidang hukum lain,
khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum (rechtpersoon), atau
yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.27 Pengertian
korporasi tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata, sebab korporasi
merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechtspersoon),
dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan
bidang hukum perdata.28
Korporasi biasanya dibentuk untuk melakukan kegiatan bisnis. Secara luas
kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh
orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan
barang-barang atau jasa jasa, maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan
27
Prasetya, Rudí, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1989), hal. 2.
28
Muladi dan Prijatna, Dwidja, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, (Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1987), hal. 12. Lebih lanjut dijelaskan, secara etimologis kata korporasi, atau corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhiran dengan “tio”, maka “corporatio” sebagai kata benda (substamtium), berasal dari kata kerja “Corporate”, yang banyak dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka “corporare” berarti basil dari pekerjaan membadankan. Dengan kata lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.
(34)
atau disewagunakan dengan tujuan mendapat keuntungan.29 Pengertian bisnis ini
mencakup ruang lingkup usaha yang cukup luas, bisa meliputi bidang industri, bidang
perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya.
Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, yang mempunyai hak
dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota
masing-masing.30 Korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan
hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.
Subekti dan Tjitrosudibio menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Yan
Pramadya Puspa mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan
yang merupakan badan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu perkumpulan atau
organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona), sebagai
pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat atau digugat di
muka pengadilan.31
29
Simatupang, Richard Burto, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1996), hal. 1.
30
Utrech dan Djindang, M. Soleh, dalam Ali, Chaidir, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1987), hal. 64.
31
Muladi dan Prijatna, Dwidja, Op. Cit., hal. 14. Dijelaskan juga bahwa Prodjodikoro, Wirjono, mengartikan korporasi sebagai suatu perkumpulan orang. Dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota yang mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
(35)
Menurut Bismar Nasution, Korporasi adalah badan hukum sudah tentu
memiliki identitias hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau
perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi,
maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas
ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merupakan subjek hukum
perdata daapt melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau
kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam
hubungan keperdataan.32
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan yang dihimpun
oleh Abdurrachman, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Dwidja
Prijatna, pengertian korporasi adalah:
Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau
suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang suatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir.33
Konsep badan hukum adalah konsep yang muncul dalam bidang hukum
perdata, sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih baik
dan lebih berhasil. Apa yang dinamakan “badan hukum” itu sendiri sebenarnya tiada
lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu
32
Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, Makalah disampaikan di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan : Tanggal 27 April 2006.
33
(36)
badan, di mana terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum, di samping
subjek hukum yang berwujud manusia alamiah.34 Jadi, korporasi sebagai badan
hukum merupakan personifikasi dari manusia.
Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai
subjek hukum, Rudy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum
adalah sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi sebagai badan hukum
merupakan suatu ciptaan hukum, yaitu pemberian status sebagai subjek hukum
kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah.
Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu
tindakan hukum.35
Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam
perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan atau motivasi. Salah
satu alasan untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab di
antara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis
dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang
bertanggungjawab.36 Beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan untuk
mengadakan kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal yang lebih banyak,
tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan
34
Prasetya, Rudhy, Op. Cit., hal. 3.
35
Ibid., hal.3
36
(37)
yang dijalankan seorang diri, serta dapat membagi resiko kerugian secara bersama.37
Oleh karena itu, eksistensi korporasi sebagai subjek hukum dalam perkembangan
sejarah diakui pula oleh bidang hukum di luar bidang hukum perdata, misalnya
hukum pajak,38 hukum administrasi negara dan hukum pidana.39
Uraian di atas menunjukkan bahwa korporasi merupakan badan usaha yang
keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia. Badan usaha yang
berbentuk badan hukum ini dapat memiliki kekayaan dan uang, mempunyai
kewajiban dan hak serta dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan dan
dituntut di depan pengadilan. Suatu badan hukum adalah buatan manusia, yang
usahanya dijalankan oleh pengurus atau pengelola. Dengan demikian dalam praktek,
istilah korporasi lazim dipergunakan untuk menyebut perseroan terbatas sebagai
badan hukum.
2. Pertanggungjawaban Korporasi
Pertama-tama perlu diperhatikan yang dimaksud dalam hal ini adalah
korporasi sendiri yang mempertanggungjawabkan tindak pidananya. Latar belakang
37
Prasetya, Rudhy ,Op. Cit., hal. 3.
38
Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam Undang-Undang tentanng Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU No. 6 Tahun 1983). Pada bab I Ketentuan Umum, Pasal I butir (a) disebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 Pasal 2 ayat 1 butir (b) dirumuskan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komenditer, badan usaha milik Negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
39
(38)
dari diperkenalkannya sistem ini adalah didasarkan kepada perkembangan akhir-akhir
ini terutama di bidang ekonomi dan lingkungan hidup.
Ternyata untuk beberapa tindak pidana tertentu, ditetapkannya pengurus
saja sebagai pihak yang dapat dipidana, ternyata tidaklah cukup. Bukan mustahil
keuntungan yang telah diterima oleh badan hukum yang melakukan tindak pidana itu
lebih besar jika dibandingkan dengan pidana yang dijatuhkan terhadap pengurusnya,
atau dalam tindak pidana lingkungan hidup, dimana masyarakat suatu negara akan
menerima akibat perbuatan itu lebih besar jika dibandingkan dengan pidana yang
dijatuhkan kepada pengurusnya.
Di samping itu dipidananya pengurus (pidana penjara), tidak memberikan
cukup jaminan bahwa korporasi tidak lagi melakukan tindak pidana, dengan kata lain
“detterent effect” nya tidak dapat diharapkan dengan baik apabila hanya pengurus
saja yang dipidana. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk melihat
delik-delik yang dilakukan oleh suatu korporasi, karenanya diperlukan pula untuk
dimungkinkan memidana korporasi dan pengurus, atau pengurusnya saja.40
Roling berpendapat bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku
tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang itu dilakukan dalam rangka
petaksanaan tugas dan atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Tidak
perlu lagi dilihat apakah perilaku/perbuatan itu merupakan hasil dari kebijakan atau
manajemen pengelolaan usaha badan hukum. Tujuan dan tugas resmi badan hukum
dapat dilihat pada anggaran dasarnya. Namun pendapat inipun mengandung suatu
40
(39)
titik lemah, di mana dalam kenyataan seringkali tujuan yang tercantum dalam
anggaran dasarnya sangatlah umum.
Masalah pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dari badan
hukum merupakan persoalan yang perlu diketahui dan sangat penting bagi badan
hukum. Bahwa badan hukum adalah bertanggungjawab (aansprakelijkheid), artinya
dapat digugat untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan
oleh organnya sebagai organ (als zodening door de orgaan). Karena apabila seorang
Direksi dari suatu organ melakukan suatu perbuatan, maka dia bisa berbuat sebagai
organ, dapat juga secara prive, dimana badan hukum itu berbuat secara prive/pribadi,
maka badan hukum itu tidak terikat.
Mengenai pertanggungjawaban ini dasarnya kalau menurut Theorie
Juridische Realiteit daripada badan hukum (Paul Scholten dan Meyers), soal
pertanggungjawab (aansprakelijkheid) ini dasar pendapatnya adalah : Bahwa segala
yang diperbuat oleh pengurus dalam fungsinya (in fuctie) dapat
dipertanggungjawabkan terhadap badan hukum itu sendiri. Dalam melakukan
perbuatannya itu tentu ada kemungkinan untuk melakukan onrechtmatige daad.
Untuk mempertanggungjawabkan onrechtmatige daad dari badan hukum itu
sebenarnya tidak masuk akal karena badan hukum itu tidak memerintahkan atau
memberi mandat pada organ itu untuk melakukan perbuatan hukum lainnya.
Sebuah penelitian di Belanda pada tahun 1991, menemukan bahwa ternyata
sebagian besar perusahaan pengangkut limbah tidak mempunyai izin khusus bagi
(40)
dinyatakan bahwa usaha perusahaan bergerak dalam bidang pengangkutan dan
mereka memiliki izin dari departemen perdagangan untuk usaha pengangkutan
tersebut.41 Tidak mudah untuk membedakan antara pertanggungjawaban pengurus
selaku wakil atau organ korporasi, atau dimana korporasilah yang bertanggungjawab
atas perbuatan pengurus atau organnya.
Apabila suatu korporasi harus mempertanggungjawabkan suatu perbuatan
yang sebetulnya dilakukan oleh organ atau wakilnya, maka dasar dari tanggungjawab
itu adalah Anggaran Dasar korporasi itu sendiri yang menjadikan organ tersebut
mempunyai fungsi yang penting atau esensial (misalnya : Direktur, Komisaris,
RUPS).
Untuk organ yang memegang fungsi tersebut hubungan hukum antara
korporasi dan organ, bukanlah suatu hubungan majikan buruh atau hubungan kerja
biasa, tetapi berdasarkan hubungan fiduciary duty. Selain itu masih ada wakil yang
juga bersifat organ, tetapi dasar tanggungjawabnya itu berdasarkan pengangkatan
atau perjanjian kerja, misainya seorang pemimpin suatu cabang korporasi, dan
pegawai lainnya dalam korporasi tersebut.
Tetapi hampir semua undang-undang tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut
apakah asas-asas umum dalam hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana
manusia pribadi juga dapat berlaku terhadap korporasi. Sebab bagaimanapun juga
41
van Strien, Mr. Ali, Dalam Sitorus, Robinson, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pemilihan
(41)
korporasi tidak sama dengan manusia. Juga mengenai kapan suatu badan hukum
dapat dinyatakan melakukan tindak pidana itu serta bagaimana menentukan kesalahan
dan pertanggungjawaban korporasi tersebut.42
Apa yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh secara tidak langsung ingin
mengatakan bahwa di dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat kondisi
atau keadaan tertentu di mana asas adanya kesalahan dapat dikecualikan untuk tindak
pidana tertentu. Sistem pertanggungjawaban tersebut dalam negara-negara Common
Law dikenal dengan istilah Strict Liability dan Vicarious Liability.
Sistem pertanggungjawaban tersebut penting karena untuk membuktikan
unsur delik pidana yang mensyaratkan adanya kesalahan (Schuld, Culpa) dan atau
kesengajaan (opzet, dolus) bagi korporasi tenyata sulit sekali. Sebab itulah Hukum
Lingkungan di Australia, mengenal sistem pertanggungjawaban pidana yang
bertingkat-tingkat dan disesuaikan dengan rumusan delik, misalnya:
1. Tingkat Pertama, yaitu : merupakan pelanggaran yang serius, dimana
pertanggungjawabannya harus mengandung unsur kesalahan (mens rea);
Kelalaian;
2. Tingkat Kedua, yaitu : merupakan pelanggaran menengah, pertanggungjawaban
harus mengandung unsur-unsur strict liability, tidak selalu dipersyaratkan unsur
kessalahan (mens rea);
42
(42)
3. Tingkat Ketiga, yaitu : merupakan pelanggaran ringan, pertanggungjawaban
hanya menggunakan unsur strict liability, terkadang absolute liability. Kesalahan
sama sekali tidak perlu.43
3. Pertanggungjawaban Pengurus Korporasi
Dasar untuk meminta pertanggungjawaban kepada pengurus korporasi
didasarkan kepada pendapat bahwa suatu perbuatan hanya dapat dilakukan manusia
secara fisik dalam keadaan nyata, dan kemampuan bertanggungjawab atas perbuatan
itu menyangkut kejiwaan yang hanya dapat dimiliki oleh manusia saja. Dengan
demikian tidak ada konstruksi lain yanq dapat digunakan selain daripada ukuran
pertanggungjawaban pengurus atau wakil korporasi.
Sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengurus menurut
kewenangannya berdasarkan anggaran dasar badan hukum tersebut, maka dalam hal
ini pertanggungjawaban itu diindentikkan dengan apa yang diatur dalam hukum
perdata, khususnya tentang perbuatan “intra vires” dan “ultravires”, perbuatan yang
secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (badan
hukum) adalah perbuatan “intra vires” sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan
berada di luar lingkup kecakapan bertindak korporasi (di luar maksud dan tujuan
badan hukum) adalah perbuatan “ultra vires” yang karenanya tidak sah dan tidak
mengikat korporasi.
43
(43)
Untuk mengetahui bagaimana rumusan maksud dan tujuan badan hukum,
dalam praktek dilihat kepada arti yang lazim atau wajar. Kemudian dapat juga dilihat
dalam Anggaran Dasar korporasi. Dalam Pasal 79 dan 82 UU Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT).
Tegas telah dikatakan bahwa Kepengurusan perseroan dilakukan oleh
Direksi yang tugas dan tanggungjawabnya ialah : Direksi bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pentingnya kedudukan seorang direktur sehingga UU tentang Perseroan
Terbatas meletakkan kewajiban untuk mendaftarkan perseroan agar memperoleh
status badan hukum kepada direktur yang disertai ancaman untuk
mempertanggungjawabkan secara pribadi seluruh transaksi perseroan yang belum
terdaftar dan belum berstatus badan hukum tersebut. (Pasal 21 UUPT).
Sanksi yang sama juga berlaku apabila Direksi tidak menjalankan kewajiban
yang diatur oleh Pasal 85 Ayat (1), serta apabila direktur tersebut bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya diatur pada Pasal 85 Ayat (2). Jadi Direktur atau Pengurus
adalah orang yang bertanggungjawab atas operasional korporasi sehari-hari demi
tujuan dan kepentingan korporasi itu dan bukan demi kepentingan pemegang saham
atau pengurus pribadi. Karena itulah wewenang dan tanggungjawab pengurus
tercermin di dalam anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
(44)
pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan itu sendiri adalah
“onpersoonlijk” (dapat dipertanggungjawabkan kepada person atau manusia).
Roeslan Saleh setuju dengan pendapat bahwa orang yang memimpin
korporasi atau penguruslah yang harus bertanggungjawab, terlepas dari apakah ia
tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Namun dengan catatan bahwa
pertanggungjawaban pengurus ini hanya beriaku untuk tindak pidana yang tergolong
pelanggaran dan bukan untuk tindak pidana yang tergolong kejahatan.44
Sekalipun UUPT telah menyatakan bahwa Direktur adalah pengurus
perseroan, tetapi di dalam praktek tidak selamanya demikian. Terdapat kasus-kasus
yang telah menyebabkan berbagai kajian dilakukan untuk menjelaskan hubungan
hukum antara perseroan atau korporasi selaku subjek hukum dan direktur atau orang
sebagai individu yang juga merupakan subjek hukum.
Dari berbagai Yurisprudensi Hoge Raad Belanda, setidak-tidaknya terdapat
3 (tiga) kemungkinan pertanggungjawaban, yaitu :45
1. Ondergesichkt, yaitu bawahan sebagai penanggungjawab badan hukum. Hal ini
dapat terjadi apabila tugas yang diberikan kepada bawahan itu membuka
kesempatan dan memperluas kemungkinan perbuatan itu. Pada Arrest HR tahun
1930 dimana Pemerintah Kota harus bertanggungjawab memberikan ganti rugi
akiba seorang polisi yang dalam tugasnya telah berbuat sedemikian rupa dan
mengakibatkan tabrakan dan kematian seseorang. HR berpendapat bahwa
44
Saleh, Roeslan, Op Cit, hal. 55.
45
(45)
sekalipun polisi tersebut bukan seorang pengurus pemerintah kota tetapi
pernerintah kota telah memberikan tugas dan tanggungjawab yang luas kepada
polisi itu sehingga ia dapat melakukan hal-hal yang lebih luas lagi. Pada kasus
penggelapan deposito nasabah Bank Mandiri, maka pegawai yang melakukannya
dipidana sebagai pribadi, sementara secara perdata, Bank Mandirilah yang harus
mengganti deposito tersebut kepada nasabahnya. Sifat pertanggungjawaban
ondergesichkt sangat kasuistis. Terkadang seorang bawahan yang melakukan
perbuatan pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri,
sementara korporasi tempatnya bekerja dapat membebaskan diri dari
pertanggungjawaban suatu kerugian.
2. Organen, adalah sebutan bagi wakil suatu badan hukum dan wakil itu dalam
lapangan hukum perdata. Seseorang baru dianggap sebagai organ atau wakil
badan hukum apabila secara hukum orang tersebut mempunyai wewenang yang
sah untuk bertindak atas nama badan hukum yang diwakilinya. Menurut de
Heersen de leer, untuk dapat dianggap bertindak sebagai organ, Maka seseorang
harus bertindak masih dalam suasana formal dalam batas-batas wewenangnya.46
Selanjutnya ditambahkan Oleh Paul Scholten, bahwa suatu perbuatan itu masih
dapat dikatakan dalam suasana formal dari wewenangnya, ialah jika perbuatan itu
merupakan pelaksanaan tugas/pemenuhan pekerjaan atau dinasnya. Di dalam
struktur suatu korporasi, direktur adalah organ atau wakil, karena ditetapkan oleh
undang-undang. Tetapi tidak hanya direktur yang dapat bertindak sebagai organ.
46
(46)
Seorang kepala cabang bank juga dapat bertindak sebagai organ untuk hal-hal
tertentu. Tetapi wewenang tersebut tidak secara langsung diperoleh bersama
dengan jabatannya, tetapi memerlukan suatu prosedur tertentu, misalnya melalui
pengesahan atau surat kuasa yang menyatakan bahwa orang tersebut mempunyai
wewenang bertindak sebagai organ atau wakil korporasinya. Apabila seorang
organ bertindak melampaui wewenang yang dimilikinya dan melakukan suatu
perbuatan melawan hukum, maka pertanggungjawaban berlaku pribadi.
3. Apabila organ bertindak atas dasar suatu perintah jabatan yang mengikat dirinya
(ambtelijk bevel), maka tidak ada unsur kesalahan pribadi (persoonlijk schuld).
Di dalam hukum pidana hal ini dikenal juga sebagai alasan pernbenar suatu
tindak pidana yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana (Pasal 51 Ayat
(1) KUHP).
B. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum 1. Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas (PT) adalah merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi
yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat
terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang
sahamnya) untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual
seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.
Kata “perseroan” menunjukkan kepada modalnya yang terdiri atas “sero”
(47)
saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang tidak melebihi nilai nominal
saham yang diambil bagian dan dimilikinya.
Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat
sebagai pendukung hak dan kewajiban antara lain pengurus. Di dalam undang-undang
hukum dagang tidak ada satupun pasal yang menyatakan perseroan sebagai badan
hukum, namun dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas secara tegas dinyatakan pada Pasal 1 butir (1) bahwa berdasarkan perjanjian
perseroan adalah badan hukum.
Perusahaan Terbatas merupakan badan hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban sendiri yang terlepas dari para pendiri dan para pemegang saham. Dapat
menuntut di pengadilan dan dituntut, karena dipersamakan dengan pengertian orang.
(Pasal 24 UUPLH).
Ketentuan-ketentuan yang memuat syarat-syarat konstitutief dari badan
hukum yang dapat berupa Anggaran Dasar dan/atau undang-undang serta
peraturan-peraturan lainnya menunjukkan, orang-orang yang dapat bertindak untuk dan atas
pertanggungjawaban badan hukum. Orang-orang ini disebut organ. Sebagaimana
bunyi Pasal 1 angka 2 UUPT yang menjelaskan “Organ perseroan adalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris.”
Ketiga organ tersebut merupakan suatu esensialia dari organisasi itu.
Hukum memperhitungkan perbuatan dari pengurus (organ) kepada badan hukum itu.
(48)
atau korporasi. Sesuai dengan Pasal 1655 KUHPerdata yang mengatakan bahwa
pengurus dapat mengikatkan badan hukum dengan pihak-pihak ketiga.47
Kemudian Moenaf H. Regar menyatakan bahwa : Korporasi (dalam hal ini
persero) adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan
dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. Badan hukum dapat
memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak
menurut hukum, melakukan gugatan dan dituntut di depan pengadilan. Oleh karena
status badan hukum adalah buatan manusia, yang disebut pengurus atau pengelola,
yaitu organ PT, yaitu RUPS, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.48
Tindakan-tindakan organ itu hanya dapat mengikat PT, jika
tindakan-tindakannya didalam batas-batas wewenang yang ditentukan oleh anggaran dasar,
ketentuan-ketentuan lainnya dan hakikat dari tujuannya.49 Jadi dalam hal organ
bertindak di luar wewenangnya dan badan hukum tidak dapat
dipertanggungjawabkan, penguruslah yang dipertanggungjawabkan secara pribadi
jika pihak ketiga penderita kerugian karenanya.
2. Organ-Organ Perseroan
Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat
memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan,
47
Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Perseroan, Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung : Alumni, 2001), hal 15.
48
Regar, Moenaf H, Dewan Komisaris, Peranannya Sebagai Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000), hal. 9.
49
(49)
dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi, yang hanya mungkin dilaksanakan
oleh orang-perorangan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang
dimilikinya tersebut, ilmu hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari
masing-masing organ perseroan tersebut, yang berbeda satu dengan lainnya.
Perseroan Terbatas biasanya mempunyai 3 (tiga) organ, yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.50 Dewan Direksi
merupakan pengelola perusahaan, sementara Dewan Komisaris adalah pihak yang
bertugas mengawasi penyelenggaraan pengelolaan perusahaan, sedangkan RUPS
adalah rapat anggota (pemegang saham) sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam
peraturan korporasi karena yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang
merupakan pemegang saham dari korporasi tersebut.51
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum merupakan suatu organisasi yang
riil, yang mempunyai kekayaan yang bersubjek, yang menjelma sungguh-sungguh
dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
organ-organ yang ada padanya.52
Adapun organ-organ yang terdapat di dalam Perseroan Terbatas tersebut
adalah :
a. Rapat Umum Pemegang Saham;
b. Direksi;
50
Regar, Moenaf H, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Organ Perseroan, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000), hal.9. Pasal 1 angka 2 UUPT sendiri menyatakan bahwa Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum harus memiliki ketiga organ tersebut.
51
Muladi dan Prijatna, Dwidja, Op. Cit., hal. 14.
52
Syahrani, Riduan, Seluk beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal.56-57.
(50)
c. Komisaris;
RUPS merupakan lembaga pengambilan keputusan yang paling tinggi
dibandingkan dengan organ perseroan lainnya, sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 1 angka 3 UUPT yang menyatakan:
“Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ
perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang
segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris”.
Jadi, RUPS merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan
tertinggi, yang mempunyai semua kewenangan berdasarkan undang-undang atau
Anggaran Dasar. RUPS minimal dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali di wilayah
Indonesia. RUPS dilakukan ditempat kedudukan perseroan atau tempat dimana
perseroan melakukan usahanya. UUPT masih mengijinkan RUPS dilakukan di tempat
lain, dengan ketentuan tempat lain tersebut diatur dalam Anggaran Dasar dan masih
berada dalam wilayah Republik Indonesia.53 Ada dua macam RUPS, yaitu RUPS
tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan dilakukan paling lambat enam bulan
setelah tahun buku perseroan yang bersangkutan, sedangkan RUPS lainnya dapat
dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan perseroan.54
Direksi merupakan pengurus perseroan, yaitu alat perlengkapan perseroan
yang melakukan semua kegiatan dan mewakili perseroan, baik di dalam maupun di
53
Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) UUPT.
54
(51)
luar pengadilan.55 Pasal 82 UUPT menegaskan bahwa direksi bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ketentuan ini
memberikan pedoman kepada Direksi agar di dalam pengurus perseoran selalu
berorientasi pada kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam melaksanakan
tugasnya itu, Pasal 85 ayat (1) UUPT menyatakan setiap direksi wajib beritikad baik
dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan.
Direksi berkewajiban untuk mengelola jalannya perusahaan dengan sebaik
mungkin. Dewan Komisaris bertugas untuk mengawasi jalannya pengelolaan
perseroan oleh Direksi, serta pada kesempatan-kesempatan tertentu turut membantu
Direksi dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya Rapat Umum Pemegang Saham
perseroan berfungsi untuk melaksanakan kontrol secara menyeluruh atas setiap
pemenuhan kewajiban dari Direksi dan Dewan Komisaris perseroan atas aturan main
yang telah ditetapkan. Selama masing-masing organ dapat berperan dengan baik,
maka perseroan akan berjalan dengan baik, dan para pemegang saham perseroan akan
terjamin kepentingannya dalam perseroan.
Komisaris adalah pengawas dalam perseroan, karena tugas utamanya adalah
mengawasi kebijakan direksi serta memberikan nasehat kepada direksi di dalam
menjalankan perseroan.56 Berdasarkan Pasal 1 angka 3 tersebut di atas, wewenang
yang diberikan kepada RUPS oleh Pasal 1 angka 3 tidaklah mutlak, artinya
55
Budiarto, Agus, Op.Cit., hlm. 61.Hal ini sesuai dengan teori dari Otto Von Gierke bahwa pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum.
56
(52)
kekuasaan tertinggi yang diberikan oleh undang-undang kepada RUPS tidak berarti
dapat melakukan lingkup tugas dan wewenang yang telah diberikan undang-undang
dan anggaran dasar kepada direksi dan komisaris. Jadi dapat disimpulkan bahwa
semua kewenangan yang dimiliki oleh RUPS tidak dimiliki oleh direksi atau
komisaris, tetapi direksi dan komisaris mempunyai wewenang yang tidak dapat
dipengaruhi oleh RUPS.57
Perseroan Terbatas sebagai istilah yuridis yang digunakan di Indonesia (baik
dalam KUHD maupun UUPT) terdiri dari dua kata, yakni “perseroan” dan “terbatas”,
yang menunjukan pada batas tanggungjawab sekutu (para pesero). Hal ini berarti
bahwa Perseroan Terbatas adalah perusahaan akumulasi modal yang dibagi atas
saham-saham, dan tanggung jawab sekutu pemegang saham terbatas pada jumlah
saham yang dimilikinya.58 Para Pesero dari suatu Perseroan Terbatas hanya
bertanggungjawab sebesar modal yang dimasukkannya ke dalam Perseroan Terbatas,
sehingga pertanggungjawabannya juga sebesar modal yang dimasukkannya.
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum merupakan suatu organisasi yang
riil, yang mempunyai kekayaan yang bersubjek, yang menjelma sungguh-sungguh
dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
organ-organ yang ada padanya.59
57
Budiarto, Agus, Op.Cit., hlm. 57.
58
Emirzon, Joni, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : PT. Prenhalindo, 2002), hal. 88.
59
Syahrani, Riduan, Seluk beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal.56-57.
(53)
UUPT tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian perseroan
terbatas. Pasal 1 angka 1 UUPT hanya menyebutkan bahwa :
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.
Ketentuan di atas tidak memberikan arti yang jelas mengenai Perseroan
Terbatas. Pasal 1 angka 1 UUPT hanya memberikan penekanan tentang status badan
hukum Perseroan Terbatas dan dasar pendiriannya menurut hukum. Status badan
hukum ini diperoleh setelah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu setelah akta
pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT.60
Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUPT yang menyebutkan Perseroan
Terbatas berstatus sebagai badan hukum, maka pengurus tidak bertanggungjawab
secara pribadi, sebab Perseroan Terbatas yang bertanggungjawab untuk keseluruhan
tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukannya. Badan hukum adalah subjek
hukum yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum. Pihak ketiga
tidak boleh dirugikan karena perbuatan melanggar hukum dari Perseroan Terbatas.61
Perseroan Terbatas dapat dibedakan dalam beberapa macam, yakni sebagai
berikut:
60
Budiarto, Agus ,Op Cit, hal. 25.
61
Ridho, R Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
(1)
DAFTAR BACAAN A. Buku-Buku
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas, Universitas Muhammadiyah, 2000.
Arief, Nawawi, Barda, Kebijakan Legislatif mengenai Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Tindak Pidana Lingkungan, Makalah, Penataran Nasional Hukum
Pidana dan Kriminologi, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1997.
Arifin, Syamsul, Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, Medan : USU Press, 1993.
Ali, Chaidir, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1987.
Badrulzaman, Darus, Mariam dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
---, Investor Relations: Pemasaran dan Komunikasi Keuangan
Perusahaan Berbasis Kepatuhan, Jakarta : Grafiti Press, 2001.
Bapedaldasu, Panduan dan Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Sumut, Medan : 2001.
Easterbrook, H, Frank dan Fischel, R, Daniel, The Economic Structure of Corporate
Law, United States of America: Harvard University Press, 1996.
Emirzon, Jon, Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta : PT. Prenhalindo, 2002.
Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung : Citra Aditya, 1999.
---, Pasar Modal Modern, Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2001.
---, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Harahap, Yahya, M, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
(2)
Kantaatmadja, Komar, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung: Alumni, 1981.
Keenan, Denis & Biscare, Josephine, Smith & Keenan's Company Law for
Students,Financial Times, Pitman Publishing,1996.
Keraf, Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta : Buku Kompas, 2002.
Koeswadji, Hadiati, Hermien, dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.
Kretarto, Agus, Investor Relations, Pemasaran dan Komunikasi Keuangan
Perusahaan Berbasis Kepatuhan, Jakarta : Grafiti Perss, 2001.
Lotulung, Effendi, Paulus, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.
Lipton, Philip dan Herzberg, Abraham, Understanding Law, Brisbane : The Book Law Company Ltd, 1992.
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam, Peranan dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1997.
Muladi, Penerapan Tanggungjawab Korporasi dalam Hukum Pidana, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta : Editor Taftazani, The Habibi Centre, 2002.
---, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya
dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.
Muladi dan Prijatna, Dwidja, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1987.
Nugroho, A, Alois, Dari Etika Bisnis ke Ekobisnis, Jakarta : Grasindo, 2001.
Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta : Program Pasca Sarjana FH UI, 2001.
---, Perlindungan Lingkungan Hidup Melalui Pasar Modal, Dalam 75 Tahun Koesnadi Hardjasoemantri , Jakarta : Program Pascasarjana, FH UI,
(3)
Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997, Jakarta, 1998.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982. Rangkuti, Sundari, Siti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Hukum Lingkungan,
Surabaya: Airlangga University Press, 1996.
Rajagukguk, Erman, Perlindungan Lingkungan Hidup dari Sudut Kepentingan
Bisnis, Dalam 75 Tahun Koesnadi Hardjasoemantri, Jakarta : Program
Pascasarjana FH UI, 2000.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Perseroan, Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung : Alumni, 2001.
Rebsohadiprojo, Soekanto, (et.al), Pengantar Ekonomi Perusahaan, Yogyakarta : BPFE, 1990.
Regar, H, Moenaf, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Organ Perseroan, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000.
Salim, Emil, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung : Mandar Maju, 2000.
Susanto, I.S, Kejahatan Korporasi, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1995.
Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi
Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan :
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.
Siahaan, NHT, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta : Erlangga, 2004.
Simatupang, Burto, Richard, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta : Rhineka Cipta, 1996.
(4)
Sunggono, Bambang, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Suparni, Niniek, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta : Sinar Grafika, 1992.
Suwarsono, Analisis Lingkungan Bisnis Negara Berkembang, Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 1993.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : alumni, 1986.
Syahrin, Alvi, Asas-Asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan : Pustaka Bangsa, 2002.
Syahrani, Riduan, Seluk beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992.
Tjager, Nyoman, I, Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan bagi
Komisaris Bisnis Indonesia, Jakarta : PT Prehallindo, 2003.
Usman, Rachmadi, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Widjaja, Gunawan, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2000.
Widjaya, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : Gramedia, 2003.
Widjaya, Rai, I.G, Hukum Perseroan, Jakarta : KBI, 2000.
Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, 1999.
WALHI, Kesimpulan dan Putusan Proses Peradilan Masalah-masalah Lingkungan, Jakarta : Walhi, 1992.
(5)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.
C. Makalah
Gregory, J, Holly, dan Marsha E. Simms, Pengelolaan Perusahaan (Corporate
Governance) : Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting, Makalah
disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate
Governance), Kerja sama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan
University of South Carolina, Jakarta : tanggal 4 Mei 2000.
Kameo, Jeferson, Pertanggungjawaban Hukum Kasus Lapindo, Ph D dosen FH-UKSW Salatiga, alumnus The School of Law, Faculty of Law and Financial Studies Glasgow University, Scotland.
Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, Makalah disampaikan di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa, tanggal 27 April 2006.
Prasetya, Rudhy, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1989.
Syahrin, Alvi, Asas-Asas Hukum Lingkungan Kepidanaan, Makalah disampaikan pada Pertemuan dengan PPNS Bapedaldasu, Medan 23 Mei 2001.
(6)
Sitorus, Robinson, Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pemilu, (SPS Ilmu Hukum Pascasarjana USU : 2007).
E. Internet
Nasution, Bismar, dalam L.C. Soesanto, The Spectrum of Corporate Crime in
Indonesia, Universitas Diponegoro, http: //. aic. gov. au/ publications/ 12/
Soesanto.pdf. F. Surat Kabar