kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan
pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional.
50
Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah
perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun
internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini
mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang- undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur
namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.
51
Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang di
dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan
korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian sejauhmana perlindungan korban kejahatan di
Indonesia telah diterapkan.
52
Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan Lastgeving. Lastgeving
1. Memilih Kuasa Hukum
50
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 88
51
Theo, Op.Cit, hlm 69
52
Op.Cit, hlm 70
Universitas Sumatera Utara
diatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam NBW Belanda, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa Pasal 1792 KUH
Perdata. Mendefinisikan pemberian kuasa adalah Suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain penerima kuasalasthebber, yang menerimanya-untuk atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu
perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu.”
53
Selanjutnya ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa, yaitu
54
Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu
: a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan
b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.
55
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atauakta
: a. akta umum,
b. surat di bawah tangan, c. lisan,
d. diam-diam, e. cuma-cuma,
f. kata khusus, dan g. umum Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata.
53
Margiyanti, Lusi Moh. Yasir Alimi ed., 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan “Takdir” Secara Adil Yogyakarta: LSPAA, hlm 26
54
Ibid, hlm 27
55
Ibid, hlm 27
Universitas Sumatera Utara
notariel. Artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di hadapan dan di muka Notaris.
56
Dengan demikian pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian
kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak. Pemberian kuasa secara lisan
adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara
diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sedangkan pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.
57
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya pemberian kuasa itu hanya mengenai
kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa. Sedangkun pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima
kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
58
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, dalam bentuk tulisan di bawah tangan, dan dengan lisan. Pemberian kuasa dengan akta autentik adalah suatu
pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, artinya perjanjian kuasa itu dibuat di muka dan di hadapan notaris. Pemberian kuasa dalam
bentuk tulisan di bawah tangan merupakan perjanjian pemberiankuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Perjanjian pemberian kuasa
56
Ibid, hlm 28
57
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 44
58
Ibid, hlm 46
Universitas Sumatera Utara
secara lisan merupakan perjanjian pemberian kuasa, artinya pihak pemberi kuasa memberikan kuasa secara lisan kepada penerima kuasa tentang hal yang
dikuasakannya.
59
pengadilan maupun di muka pengadilan. Suatu contoh pemberian kuasa di luar pengadilan, yaitu penerima kuasa dikuasakan untuk menandatangani perjanjian kredit.
Ini disebabkan pemberi kuasa pada saat akan menandatangani perjanjian kredit tidak berada di tempat. Sehingga penerima kuasa yang mewakili menandatangani perjanjian
kredit tersebut. Begitu juga di pengadilan, pemberi kuasa menguasakan kepada seorang pengacara untuk mewakilinya di pengadilan. Ini disebabkan kurangnya kemampuan
dan pengetahuan dari pemberi kuasa dalam bidang hukum. Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa
biasanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik di luar
60
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh
pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Korban dari suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, akan tetapi bisa
juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada Pemberi kuasa merasa
tenang dan aman dalam menperjuangkan hak-haknya di pengadilan apabila yang mewakilinya mempunyai kemampuan dan pengetahuan hukum yang luas. Sehingga,
pada gilirannya ia akan mendapatkan hak yang dituntutnya di pengadilan. Biasanya surat kuasa yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik di luar
pengadilan maupun di pengadilan merupakan surat kuasa khusus. 2. Perlindungan bagi korban
59
Ibid, hlm 46
60
Ibid, hlm 47
Universitas Sumatera Utara
kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kitatemui dalam
kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahaan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk didalamnya. Berbagai pengertian korban banyak
dikemukakan, baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengeai korban kejahatan, sebagian di antaranya
adalah
61
Menurutnya, korban adalah ” mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
: 1. Arief Gosita
62
Korban Victims adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan 2. Muladi
63
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, maka dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara
langsung menderita akibat dari perbuatanperbuatan yang menimbulkan
kerugianpenderitaan bagi dirikelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang
61
Theo, Op.Cit, hlm 60
62
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Op.Cit., hlm.63
63
Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, Op.cit., hlm. 108
Universitas Sumatera Utara
mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban
kejahatan, akan tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan, yang mana walaupun yang
disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian
baik secara materiil maupun secara mental. Setiap hari, masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai
peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai mass media cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai
penderitaankerugian bagi korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu
ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga
yang berkompeten. Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus
menanganinya. Namun, untuk tahap awal perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan
keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini
perlu memperoleh perhatian yang serius. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat
Universitas Sumatera Utara
bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.
64
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah melalui
aparat penegak hukumnya, seperti pemberian perlindunganpengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis maupun
hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi
manusia serta instrumen penyeimbang. Disinilah dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan keluarganya memperoleh perlindungan.
. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, karena masyarakat
baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan
kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayan medis, bantuan hukum.
65
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi saat
menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi karena Pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga system of institutionalized
trust.
66
64
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, hlm. 47
65
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara, 2005, hlm 101
66
Ibid, hlm 103
Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.
Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua,
adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan
yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun
pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
67
Secara teoretis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaankerugian yang diderita oleh korban.
Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mentalpsikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materiuang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya
pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil seperti, harta bendanya hilang pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu
berlebihan.
68
67
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997, hlm. 172
68
Wahyu Wagiman, Op.Cit, hlm 104
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengenalan “Crimes Againts humanity” Kejahatan terhadap Kemanusiaan, pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah
terjadi Perang Dunia II, sebagaimana ditegaskan dalam Article 6 Charter of The International Military Trybunal Mahkamah Militer Internasional atau yang juga
dikenal dengan London Agreement, August 8, 1945. Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, melainkan hanya
menjabarkan kejahatan-kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
1
Dalam pergaulan masyarakat internasional, khususnya masyarakat bangsa- bangsa atau negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang mengerikan dari
Perang Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat prioritas dalam pengaturannya pada
dalam internasional. Dalam waktu yang tidak begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, konvensi
Genocide pada tahun 1949, dan setahun kemudian dihasilkan konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953
dikawasan Eropa Barat, lahirlah European Convention on Human Rights and fundamental Freedoms konvensi Eropa tentang Hak-Hak Asasi dan Kebebasan
Fundamental Manusia. Demikian pula dikawasan Amerika dan Afrika juga lahir
1
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Crimes Againts humanity,http:www.organisasi. Com, di akseskan tanggal 15 November 2010
Universitas Sumatera Utara