Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan Dalam Self Dealing (Analisis Terhadap Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KERUGIAN

PERSEROAN DALAM SELF DEALING

(Analisis Terhadap Putusan Perkara Perdata

Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL)

TESIS

Oleh

M. FADLI HABIBIE

087005085/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Fiduciary duty merupakan hubungan kepercayaan antara direktur dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direktur hanya berkedudukan sebagai trustee semata, dan dituntut kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik (good faith), dan loyalitas (duty of loyality) terhadap perseroan dengan derajat yang tinggi (high degree). Dalam menjalankan perseroan, direksi sebagai organ didalamnya seringkali mengambil keputusan yang spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian atau sebaliknya dapat membawa keuntungan bagi perseroan jika diambil tindakan cepat dan tepat. Bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati karena direksi adalah orang yang memahami betul dan berpengalaman dibidangnya, dan mengenai perlindungan atas tindakan tersebut dilindungi oleh Business Judgement Rule. Namun disisi lain ada juga direksi yang mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dalam transaksi, hal ini tentunya menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara kepentingan pribadi direksi (trustee) dan kepentingan perusahaan (beneficiary). Jika hal tersebut terjadi maka segala kerugian yang timbul akibat transaksi tersebut ditanggung oleh pribadi direksi tersebut.

Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif artinya cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif.

Putusan Perkara Perdata Nomor 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus yang diambil, dimana seorang direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah tindakan kecurangan (fraud) yang direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank. Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty. Sejalan dengan hal itu PN. Jaksel memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi.


(3)

ABSTRACT

Fiduciary duty is a trust-based relationship between a director and the company under his supervision which makes the director holds a position as a trustee only and has high degree duty of care and skill, good faith, and loyalty toward the company. In managing the company, a director, as one of the organs of the company, often makes a speculative decision which tends to inflict loss to the company or he does it because there is a very important action to take to save the company from the loss inflicted or he needs to take the action because the quick and exact action can bring benefit to the company. However, the decision made by the director must be respected because the director is a person who knows much and is well-experienced in his field, and this director’s action is protected by the Business Judgment Rules. But, on the other hands, there is also the director who takes the chance to get benefit in a transaction. This condition results in conflict of interest between the personal interest of the director (trustee) and the interest of company (beneficiary). If this happens, all of the losses inflicted by the transaction will be personally born by the director.

This thesis is based on a normative legal study which tends to use secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were obtained through an analytical descriptive study which described the real-life situation or condition of the problems of this study to limit the study to an analysis or a classification without directly testing the hypothesis and theories used. This descriptive data collection was done through normative juridical approach.

The decision of Civil Case No. 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel is a sample case taken for this thesis in which the investment director directly did a Self Dealing Transaction by engineering the purchase of default or failed to pay Promissory Note by issuing a new Promissory Note that it seems that the transaction has no mistake. In the transaction, a cheating (fraud) done by the director is clearly seen and there is no good faith because it is done by scarifying PT Sigma Batara, the company under his supervision, through the purchase of the default Promissory Note belonged to PT. CBE through Indover Bank. This self-dealing action results in a personal responsibility because of his failure to implement his duty of care and automatically, it becomes a violation of fiduciary duty. Based on this condition, the Jakarta Selatan’s court of first instance decided that the director himself is guilty and must be personally responsible for it.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Wr, Wb.

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas waktu serta kesehatan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Selawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya.

Adapun Judul Tesis penulis mengenai “Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Perseroan Dalam Self Dealing (Analisis Terhadap Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.Jak.Sel)”. Penyelesaian tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu. DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ataskesempatan yang telah diberikan kepada penulis


(5)

untuk meneyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan bantuan pembenahan substansi penelitian tesis ini sehingga tesis ini dapat selesai tepat pada waktunya

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Anggota Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan bantuan yang sangat besar dalam tesis ini dengan segala maukan dan arahan sehingga tesis ini dapat selesai tepat pada waktunya.

5. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan masukan dan saran dalam tesis ini sehingga tesis ini dapat selesai tepat pada waktunya.

6. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Penguji dalam tesis ini yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaannya.

7. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum selaku Penguji dalam tesis ini yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaannya.

8. Para Guru Besar dan seluruh Civitas Akademika Sekolah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu di dalam perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya.


(6)

9. Kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Orang Tua Penulis Tercinta, Ayahanda Bapak Drs. H. M. Subandi Bsc dan Ibunda Dra. Hj. Nur Ramlah atas segala daya dan upaya yang telah mendidik, memberikan dukungan dan doa nya sejak perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

10. Kepada Sahabat-sahabat Terbaikku Agung Y SH, Radian Alfin SH, Mirvan A SH, Ipda M.S. Fuady, Ipda Dwi Hatmoko, Ipda Candra P., Ipda Adhi P., Ipda Oscar S., Ipda Alvin, Rony SE, Demma SH, Sahat SH, Hendry SH dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, Semua memberikan kontribusi dari pemikiran, saran, support, dan sampai kepada membantu persiapan Sidang Meja Hijau.

11. Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU yang telah banyak memberi bantuan dalam proses perkuliahan samapai dengan penulis menamatkan kuliahnya di Pasca sarjana Fakultas Hukum USU.

Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengemabanagn ilmu pengetahuan. Semoga Allah memberikan berkah, hidayah dan karunia kepada kita semua. Amin.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Medan, Agustus 2010 M. Fadli Habibie


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I Indentitas Pribadi

Nama Lengkap : M. Fadli Habibie

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 01 Februari 1987

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Karya Bakti No. 99

II Keluarga

Nama Ayah : Drs. H. M. Subandi BSc

Nama Ibu : Dra. Hj. Nur Ramlah

III Pendidikan

SD : Tahun 1992 -1998

SD Muhammadiyah- Medan

SMP : Tahun 1998-2001

SMP Dharma Pancasila- Medan

SMA : Tahun 2001-2004

SMA Negeri I Medan Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2004- 2008

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008-2010

Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

DAFTAR ISI

A B S T R A K … … … i

ABSTRACT...………ii

KATA PENGANTAR………iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...vi

D A F T A R I S I … … … . . . … … … v i i BAB I : PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah………... 10

C. Tujuan Penelitian………... 11

D. Manfaat Penelitian………... 11

E. Keaslian Penelitian……….… 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 12

1. Kerangka Teori………. 12

2. Kerangka Konsepsi………... 21

G. Metode Penelitian………. 25

1. Pendekatan Penelitian………... 25

2. Sumber Data………... 26

3. Teknik Pengumpulan Data ………. 26

4. Analisis Data ……….. 27

BAB II : PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA………... 28

A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia. ……… 28

B. Pengaturan Self Dealing di Amerika ………. 34

C. Pengaturan Self Dealing dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas……...…….. 41


(9)

BAB III : KRITERIA YANG DAPAT MENJERAT DIREKSI AGAR MEMPERTANGGUNGJAWABKAN

KERUGIAN PERUSAHAAN SECARA PRIBADI... 47

A. Tugas dan Tanggung Jawab yang Diberikan Kepada Direksi... 47

1. Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007... 47

2. Fiduciary Duty Sebagai Amanah yang Diberikan Kepada Direksi....………. 53

B. Coorporate Oportunity…….……… 57

C. Kriteria yang dapat Menjerat Direksi agar Mempertanggungjawabkan Kerugian Perusahaan secara Pribadi ….……….……… 61

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PUTUSAN PERDATA NO 305 / PDT.G / 1998 / PN.JAK.SEL…………...… 81

A. Perseroan Terbatas dan Prinsip keterbatasan Tanggung Jawab... 81

B. Pengaturan Kewajiban Direksi di dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 90

C. Putusan Perdata No. 305/PDT.G/1998/PN. JAKSEL 1. Duduk Perkara ... 96

2. Pertimbangan Hakim ... 102

D. Analisis Hukum ... 108

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN……….... 112

A. Kesimpulan………... 112

B. Saran………. 114


(10)

ABSTRAK

Fiduciary duty merupakan hubungan kepercayaan antara direktur dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direktur hanya berkedudukan sebagai trustee semata, dan dituntut kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik (good faith), dan loyalitas (duty of loyality) terhadap perseroan dengan derajat yang tinggi (high degree). Dalam menjalankan perseroan, direksi sebagai organ didalamnya seringkali mengambil keputusan yang spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian atau sebaliknya dapat membawa keuntungan bagi perseroan jika diambil tindakan cepat dan tepat. Bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati karena direksi adalah orang yang memahami betul dan berpengalaman dibidangnya, dan mengenai perlindungan atas tindakan tersebut dilindungi oleh Business Judgement Rule. Namun disisi lain ada juga direksi yang mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dalam transaksi, hal ini tentunya menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara kepentingan pribadi direksi (trustee) dan kepentingan perusahaan (beneficiary). Jika hal tersebut terjadi maka segala kerugian yang timbul akibat transaksi tersebut ditanggung oleh pribadi direksi tersebut.

Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif artinya cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif.

Putusan Perkara Perdata Nomor 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus yang diambil, dimana seorang direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah tindakan kecurangan (fraud) yang direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank. Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty. Sejalan dengan hal itu PN. Jaksel memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi.


(11)

ABSTRACT

Fiduciary duty is a trust-based relationship between a director and the company under his supervision which makes the director holds a position as a trustee only and has high degree duty of care and skill, good faith, and loyalty toward the company. In managing the company, a director, as one of the organs of the company, often makes a speculative decision which tends to inflict loss to the company or he does it because there is a very important action to take to save the company from the loss inflicted or he needs to take the action because the quick and exact action can bring benefit to the company. However, the decision made by the director must be respected because the director is a person who knows much and is well-experienced in his field, and this director’s action is protected by the Business Judgment Rules. But, on the other hands, there is also the director who takes the chance to get benefit in a transaction. This condition results in conflict of interest between the personal interest of the director (trustee) and the interest of company (beneficiary). If this happens, all of the losses inflicted by the transaction will be personally born by the director.

This thesis is based on a normative legal study which tends to use secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were obtained through an analytical descriptive study which described the real-life situation or condition of the problems of this study to limit the study to an analysis or a classification without directly testing the hypothesis and theories used. This descriptive data collection was done through normative juridical approach.

The decision of Civil Case No. 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel is a sample case taken for this thesis in which the investment director directly did a Self Dealing Transaction by engineering the purchase of default or failed to pay Promissory Note by issuing a new Promissory Note that it seems that the transaction has no mistake. In the transaction, a cheating (fraud) done by the director is clearly seen and there is no good faith because it is done by scarifying PT Sigma Batara, the company under his supervision, through the purchase of the default Promissory Note belonged to PT. CBE through Indover Bank. This self-dealing action results in a personal responsibility because of his failure to implement his duty of care and automatically, it becomes a violation of fiduciary duty. Based on this condition, the Jakarta Selatan’s court of first instance decided that the director himself is guilty and must be personally responsible for it.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perseroan memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Banyak masyarakat yang mengambil badan hukum ini sebagai pilihan dalam menjalankan usahanya dikarenakan pertanggungjawaban terbatas yang dimiliki oleh badan hukum ini. Peraturan perundang-undangan tentang perseroan terbatas (untuk selanjutnya disebut perseroan) telah beberapa kali mengalami perubahan, hingga terakhir kalinya diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Perubahan peraturan ini bertujuan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat akan pengaturan badan usaha dengan bentuk perseroan terbatas.1

Perseroan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban seperti halnya manusia dan oleh karenanya dapat mengadakan suatu hubungan hukum serta merupakan subjek hukum yang mandiri (Person Standi in Judicio). Sebagai subjek hukum yang mandiri, badan hukum Perseroan dianggap sama dengan manusia biasa yang secara hukum dapat digugat dan menggugat, memberikan kuasa, membuat perjanjian, mengatur kehidupannya sendiri, mempunyai utang piutang serta kekayaan tersendiri layaknya manusia biasa. 2 Perseroan terbatas juga memberikan kemudahan bagi

1

Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta : Visimedia, 2009), hal 9

2


(13)

pemegang saham untuk mengalihkan sebagian ataupun menjual perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.3 Berdasarkan UUPT Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 1 ayat (1) dapat diketahui bahwa perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Sebagai badan hukum, perseroan memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut artificial legal person, maka ia tidak memiliki kehendak dan tidak dapat bertindak sendiri, Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak untuk perseroan sesuai tujuan pendiriannya. Orang-orang yang menjalankan, mengurus dan mengawasi perseroan inilah yang disebut organ. Sebagaimana layaknya manusia, perseroan juga memiliki organ, hanya saja organ perseroan hanya tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Sahan (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris.4

Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh UUPT, anggaran dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan dewan komisaris. Tugas dan fungsi utama direksi adalah menjalankan roda manajemen perseroan secara menyeluruh. Dengan demikian, setiap anggota direksi haruslah orang yang berwatak baik, berpengalaman, mempunyai kompetensi menduduki jabatan dan melaksanakan setiap

3

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hal 1

4

Ridwan Khairandy, Perseroan sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, 2007, hal 5


(14)

kegiatan semata-mata untuk kepentingan perseroan.5 Ketidak-transparanan direksi dalam hal mengambil keputusan dan cenderung mengambil keuntungan adalah hal yang sering terjadi di dalam suatu perusahaan. Krisis Moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memperlihatkan bukti itu. Perusahaan-perusahaan besar yang dulu begitu kuat, ternyata hancur oleh sistem pengelolaan yang tidak baik, misalnya penggunaan dana untuk investasi jangka panjang sementara dana itu diperlukan perusahaan untuk kegiatan jangka pendek, pengucuran dana yang berlebihan kepada perusahaan yang dalam satu kelompok.6

UUPT mendefinisikan Direksi dalam Pasal 1 angka 5 yakni direksi sebagai organ perseoan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan untuk menjalankan tugasnya terdapat dalam Pasal 97 ayat (1), yang menyatakan bahwa:

“Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”7

Dalam hal ini perseroan akan tetap terus diwakili oleh Direksi, keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan, tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi, oleh karena itu, keberadaan direksi dalam perseroan

5

Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. (Jakarta : Gloria Printing, 2002) Hal 129

6

M. Irsan Nasaruddin- Indah Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta : Preneda Media, 2004), hal 244.

7

Pasal 92 ayat (1) ‘’ Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.”


(15)

terbatas sangat penting.8 Direksi dengan perseroan (korporasi) sebagai badan hukum terdapat hubungan fiduciary9 sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan. Dalam UUPT hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2)

“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”

Dalam menjalankan tugasnya direksi harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab direksi dalam menjalankan perseroan yakni duty of skill and care (prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi), duty of loyalty (itikad baik dari direksi semata-mata demi tujuan perseroan) dan no secret profit rule doctrine of corporate opportunity (tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau peruntukan bagi perseroan) serta memiliki tugas-tugas dan kewajiban yang berdasarkan undang-undang (statutory duty).10

Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik (Good Corporate Governance) juga merupakan tugas direksi yang harus dikembangkan olehnya dalam kepengurusan perseroan. Hal yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan manajemen

8

Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, keberadaan, tugas, wewenang, dan tangung jawab, (Jakarta : Ghalia, 2008), hal. 40

9

Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.

http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi diakses tanggal 27 Mei 2010

10

Robert J.P, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 1998), hal 5


(16)

perseroan adalah akuntabilitas dari perseroan itu sendiri. Berdasarkan prinsip tersebut, masing-masing komponen perusahaan, pemegang saham melalui lembaga RUPS, komisaris, dan direksi dituntut untuk mengerti dengan baik hak dan kewajiban, kewenangan, serta tanggung jawabnya.11 Dengan kata lain Lembaga RUPS merupakan lembaga yang dapat digunakan oleh komponen perusahaan dan pemegang saham untuk mengetahui bagaimana kinerja dari direksi mereka.12

Dengan demikian, direksi dan komisaris akan selalu menjaga profesionalismenya dalam mengamankan investasi dan asset perusahaan yang diamanatkan oleh pemegang saham khususnya dan stake holder pada umumnya. direksi juga dapat dan perlu untuk membuat mekanisme pengawasan internal bagi perseroan, yang meliputi bidang-bidang manajemen perusahaan pada umumnya, seperti keuangan, produksi, operasional dan marketing. Sementara itu, komisaris juga dituntut untuk harus terus menjaga kebijakan-kebijakan dalam keputusan direksi dan memberikan masukan-masukan untuk menghindari kesalahan manajemen serta penyalahgunaan wewenang oleh direksi dan karyawan dalam perseroan.

11

Ibid, hal 122

12

Adapun tanggung jawab direksi dalam kaitannya dengan RUPS pada umumnya adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang direksi perseroan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. karena tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS, dan Direksi itu sendiri diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, maka Direksi bertanggung jawab kepada RUPS untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya terhadap perseroan.

2. direksi wajib dan bertanggung jawab untuk membuat risalah RUPS.

3. direksi bertanggung jawab melaksanakan pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS tahunan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban seperti yang diatus dalam UUPT dan untuk kepentingan perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya.

4. menjalankan semua keputusan RUPS yang telah disahkan pada rapat.

5. direksi wajib memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para pemegang saham.

6. direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan.

7. direksi wajib mengadakan dan meminta persetujuan RUPS untuk perubahan anggaran dasar, penambahan modal perseroan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pembubaran perseroan.

Lihat,Parsian Simanungkalit, RUPS Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, (Jakarta : Yayasan Wajar Hidup, 2006), hal 74


(17)

Dalam praktik, masih banyak perusahaan besar yang tetap diatur oleh pemilik. Penempatan Direktur atau Komisaris yang masih bertalian keluarga atau sahabat karib dari pemegang saham merupakan konsekuensi dari keengganan pemilik untuk melepas sepenuhnya kendali perusahaan.13 Mengingat pentingnya peran direksi, maka sebagian besar perseroan yang baru didirikan, jabatan direksi biasanya dipegang oleh pemilik modal atau keluarganya, kecuali untuk perseroan-perseroan yang telah go public ataupun telah cukup lama berkembang sehingga diperlukan tenaga-tenaga professional untuk menanganinya.

Dalam menjalankan tugasnya tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh direksi dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh perseroan. Sepanjang bertindak sesuai apa yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang dilakukannya diluar batas dan kewenangan yang diberikan atau bahkan sesuatu yang dilakukannya demi kepentingan dirinya sendiri maka atas tindakan tersebut pribadi direksi dapat dimintakan pertanggung jawabannya.

Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.14 Tanggung jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditujukan baik terhadap perseroan itu sendiri, tiap-tiap pemegang saham atau kreditor dalam hal terjadinya kepailitan perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti baik perseroan, pemegang saham ataupun kreditor yang dirugikan sebagai akibat berkurangnya harta

13

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, Buku Kesatu, cetakan Ketiga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), , hal 52 (selanjutnya disebut Munir Fuady I)

14


(18)

kekayaan perseroan karena tidak adanya itikad baik direksi yang terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi. Ketentuan selanjutnya diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.

Dalam menjalankan sebuah perusahaan seringkali direksi sebagai sebagai organ didalamnya mengambil keputusan bisnis yang seringkali spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian yang lebih besar atau sebaliknya dapat membawa keuntungan besar bagi perusahaan jika diambil tindakan cepat yang tepat, karena bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati oleh semua pihak bahkan pengadilan, sebab mereka adalah orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama masalah yang kompleks, karena itu direksi patut diberikan diskresi yang besar, mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan bisnis tentunya adalah pihak direksi.15

Disisi lain ada juga direktur yang disela-sela kegentingan tersebut juga mengambil keuntungan pribadi didalamnya, dengan kata lain bukan untuk perusahaan, oleh karena itu disinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan si direktur itu sendiri. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban

15

Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 199 (selanjutnya disebut Munif Fuady II)


(19)

direksi maka dikhawatirkan direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga secara tidak langsung akan menghentikan continuous improvement dari perusahaan itu sendiri. Atas latar belakang itu pengadilan yang menganut sistem hukum common law mengembangkan konsep business judgement rule yang dimaksudkan untuk melindungi direksi dan karyawan hanya yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.

Tentu saja tidak semua keputusan dan kebijakan direksi dapat berlindung dengan alasan pertimbangan bisnis sehingga dapat berlindung dalam business judgement rule, walaupun business judgement rule merupakan penyeimbang prinsip fiduciary duty. Di Amerika Serikat, menurut Sutan Remy bahwa setelah beliau mempelajari putusan-putusan di Amerika, ternyata pengadilan-pengadilan itu tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian hal tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan anggota direksi tidak dapat diganggu guugat kecuali apabila pertimbangan tersebut didasarkan atas sutau kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan melanggar hukum (illegality). Sementara beberapa pengadilan lain berpendapat bahwa, seorang direktur yang mengambil alih pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgement rule, jika kerugian tersebut sebagai akibat kelalaian berat anggota direksi bersangkutan.16

Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi harus mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya

16

Sutan Remy Sjahdeni, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum bisnis, Vol 14, 2001, hal 101


(20)

para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian.17 Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Jika hal tersebut terjadi maka kerugian yang timbul dalam keputusan atau tindakan tersebut merupakan tanggung jawab pribadi direksi. Dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, tidak ada secara khusus mengenai pengaturan hal tersebut diatas namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 97 ayat (3) yaitu;

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”

Selanjutnya yang dimaksudkan pada ayat 2 Pasal 97 ayat (3) UUPT tersebut yakni berisi tentang kewajiban direksi yang harus melaksanakan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain jika direksi melakukan sesuatu yang tidak beritikad baik yakni dengan melakukan self dealing maka ia bisa dikatakan bersalah dan lalai dalam menjalankan tugasnya maka kerugian yang timbul ditanggung secara pribadi oleh direksi.

Berbeda dengan di Indonesia Negara-negara common law telah ada klasifikasi dari itikad baik tersebut, adapun yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law yakni dengan tidak melakukan hal-hal seperti menghadiri rapat-rapat, tidak mempelajari hal-hal mendasar dari bisnis perseroan dipimpinnya, tidak membaca laporan-laporan, tidak berupaya meminta bantuan yang diperlukan ketika telah ada isyarat mengenai datangnya bahaya

17

Sebagaimana dikutip dari Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials-cases Text, (New York:The Foundation Press Inc.1989.) oleh Bismar Nasution http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi diakses tanggal 27 Mei 2010.


(21)

terhadap perseroan, atau telah mengabaikan kewajiban untuk melakukan tindakan dengan berhati-hati. Sehubungan dengan hal ini, sistem hukum common law telah mengecam dan memperingatkan para anggota direksi perseroan untuk jangan hanya menjadi direksi boneka, yaitu hanya menjadi pajangan saja di dalam perseroan.18

Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, sebagai akibat dari tindakan direksi yang merugikan perseroan, maka perseroan dapat menggugat direksi tersebut untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang telah ditimbulkannya. Untuk membahas mengenai pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian perseroan yang akan diteliti dalam tesis ini, maka penulis melakukan analisis terhadap putusan perkara perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL antara PT. Sigma Batara melawan Mantan direksi Indover Bank, dimana perseroan yang bergerak dibidang perdagangan efek, penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan gugatan terhadap mantan direksinya yang telah melakukan tindakan sepihak (self dealing) yang merugikan perseroan dengan membeli surat utang (prommisory note) yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default) yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan dalam tesis ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di Indonesia?

2. Bagaimana kriteria yang dapat menjerat direksi agar mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan secara pribadi?

18


(22)

3. Bagaimana pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing pada Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kriteria yang dapat menjerat direksi agar mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan secara pribadi

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing pada Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Bersifat Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum perusahaan dan hukum ekonomi pada umumnya. Juga diharapkan menambah khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan substansi hukum perusahaan.


(23)

2. Bersifat Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang Pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian perseroan, serta memberi masukan kepada setiap orang yang merupakan anggota direksi agar lebih professional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada yang terdapat di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui penelitian mengenai bahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sudah ada, tetapi pembahasan mengenai self dealing belum pernah dilakukan oleh karena itu Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan Dalam Self Dealing belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Untuk mengetahui tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan Dalam Self Dealing didasarkan kepada teori yang saling berkaitan maksudnya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya,


(24)

19

Dalam kaitan teori yang dipergunakan dalam penulisan ini berawal dengan teori pengaruh manajerial (managerial influence theory), dimana perkembangan tentang pengaturan self dealing adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Di mulai pada hak perorangan yang lahir dari perjanjian dalam mendirikan Badan Hukum yang berbentuk PT. Pasal 1 ayat 1 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan mewakili persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Hak dan kewajiban tiap anggota badan hukum ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang menjadikan badan hukum atau perkumpulan tersebut didirikan atau diakui, menurut akta pendirian sendiri, perjanjian sendiri, atau peraturan perundang-undangan. Para anggota badan hukum sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan. 20 Dengan kata lain pertanggungjawaban tersebut adalah pertanggungjawaban terbatas atau tanggung jawab terbatas berkaitan dengan tindakan pengurus, pemegang saham maupun perseroan terbatas itu sendiri. Jadi makna terbatas itu sekaligus mengandung arti keterbatasan, baik dari sudut perseroan terbatas, penanam

19

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal 6

20


(25)

modal maupun pengurus perseroan terbatas. Oleh karena itulah tanggung jawab terbatas mengandung arti penting sebagai umpan pendorong agar orang bersedia ikut serta menanamkan modal. Jadi dengan pertanggungjawaban terbatas itu sudah dapat diramalkan seberapa besar maksimal resiko kerugian yang mungkin diderita.21

Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari perseroan untuk kepentingan perseroan dilimpahkan dengan menunjuk direksi sebagai agen dari perseroan yang dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun luar pengadilan. Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.22

Dalam sistem common law hal tersebut dikenal dengan prinsip fiduciary duties, dimana direktur telah mengikatkan diri dengan atau kepada perseroan untuk bertindak dengan itikad baik (bonafide) untuk kemanfaatan atau keuntungan perseroan. Segala hak dan kewajiban yang diberikan kepada direktur harus dijalankan untuk memajukan perseroan. Jadi, terdapat relasi integral antara kepentingan perseroan dengan itikad baik yang kedua-duanya harus dijalankan, dengan kata lain secara kumulatif bukan

21

Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 12 (selanjutnya disebut Rudhy Prasetya I)

22

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari landassan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip, yaitu : pertama, kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (Fiduciary Duty), dan kedua, prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care).

Lihat Chatamarrasyid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal aktual Hukum Perusahaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal 7


(26)

alternatif.23 Direksi dapat digugat secara pribadi kepengadilan negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya.24

Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik, yang telah diakomodasi dalam ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tersirat dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT ini bahwa anggota direksi Wajib melaksanakan tugasnya dengan iktikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (an withful sense of resposibility). Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Di Indonesia tidak ada pengaturan secara khusus mengenai hal ini namun hanya tesirat dalam ketentuan selanjutnya yakni diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Berkaitan dengan hal tersebut apabila direksi ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty25 –nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita perseroan, perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut.26

23

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening juncto UU No. 4 Tahun 1998, (Pustaka Utama Grafiti : Jakarta), 2002, hal 425

24

Frans Satrio Wicaksono, Op. cit., hal 119

25

Fiduciary berasal dari akar bahasa latin yaitu fides yang berarti faith (kepercayaan). Benny S. Tabalajuan dan Valerie Du Toit-low,1997, seperti dikutip oleh Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) , hal 39

26

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal 79-80


(27)

Hal ini berkaitan dengan Prinsip Tanggung Jawab Direktur atau yang sering disebut dengan Fiduciary Duty. 27 Prinsip ini meletakkan direktur sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (Duty of Care dan Duty of Loyality), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (High Degree).28

Dalam hal kelalaian tersebut, prinsip fiduciary duty oleh direksi ini dikembangkan sampai batas –batas tertentu dan diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam perseroan, jika terdapat unsur kelalaian dan pelampauan wewenang yang diberikan padanya maka kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggungjawab perseroan, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi direksi seluruhnya. Sebaliknya, direksi tidak bertanggungjawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat membuktikan bahwa direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenang yang diberikan anggaran dasar. Dalam hal demikian, perseroanlah yang memikul tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan perseroan yang dilakukan dengan pihak ketiga dan direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan perseroan.29

Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of

27

. Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya

28

. Munir Fuady, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal 81.(selanjutnya disebut Munir Fuady III)

29


(28)

relationship) antara direksi dan perseroan. Jika diperjelas lebih dalam, fiduciary of relationship tersebut mengandung tiga faktor penting, yaitu:

1. prinsip kehati-hatian dalam bertindak bagi direksi (duty of skill and care);

2. prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (duty of loyality); dan

3. prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit rule-doctrine of corporate opportunity)30

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para direktur untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi direktur untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha.

Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, direktur tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut maka muncul Teori Business Judgement Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.

Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, berdasarkan Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak, baik oleh pengadilan maupun pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat

30


(29)

dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu, kemudian disebutkan juga bahwa hal tersebut prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan direksi yang didasari iktikad baik dan kehati-hatian dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum.31

Dalam Ilmu hukum Teori Business Judgement Rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku direktur pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direktur yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali, disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap perusahaannya,yakni32:

a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau

31

Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas ( UU No. 40 Tahun 2007), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal 119

32


(30)

b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau

c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut

Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA Pasal 8.24(d), seorang direktur dipresumsi menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu.

Pengadilan-Pengadilan Amerika Serikat cukup berhati-hati dalam mencari keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri dan/atau menilai kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. Dengan perkataan lain pengadilan tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur, sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat (clear mistakes) yang lebih sering disebut (honest mistakes) kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang sering disebut dengan sebutan “Business Judgement Rule”.33

Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan

33 http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html. diakses


(31)

dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence”34

Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari itikad baik (good faith) dan prinsip kehati-hatian (due care) dalam businesss judgment rule bagi setiap anggota Direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary duty atau telah melakukan kelalaian berat (gross negligence), kecurangan (fraud), hal-hal yang di dalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), maka prinsip business judgment rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan. Dengan aturan Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi anggota direksi yang ingin lepas dari tanggung jawab renteng ataupun tanggung jawab pribadi direksi tersebut maka ia harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa :

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung a t a s t i n d a k a n p e n g u r u s a n m e n g a k i b a t k a n k e r u g i a n ; d a n d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

tersebut. 35

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penulis melakukan analisis terhadap putusan perkara perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL, dimana perseroan yang

34

Ibid

35

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, Jakarta; Forum Sahabat, 2008, hal 81


(32)

bergerak dibidang perdagangan efek, penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan gugatan terhadap mantan direksinya yang telah melakukan tindakan sepihak (self dealing) yang merugikan perseroan dengan membeli surat utang (prommisory note) yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default). Pelanggaran prinsip fiduciary duty dalam melakukan pengurusan perseroan dimana direksi melakukan sebuah kecurangan (fraud), sehingga seorang direksi yang mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap perseroan melakukan self dealing dimana pada saat itu kepentingan keuangan secara potensial bertentangan dengan kepentingan perseroan.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, maka untuk menghindari terjadinya salah tafsir dalam penelitian dan untuk menyamakan persepsi maka perlu penulis kemukakan beberapa konsep yang mengandung:

1.

P.T adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.36

2. Badan Hukum adalah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau

36


(33)

pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian.37

3. Pertanggungjawaban adalah Perbuatan bertanggung jawab (berkewajiban menanggung; memikul tangung jawab)38

4. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris.39

5. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.40

6. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwewenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.41

7. Fiduciary Duty adalah tugas yang dijalankan oleh Direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan).42 Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa: “fiduciary duty, a duty to act for someone else’s benefit, while subordinating one’s personal interest to that of the other person. It’s the hignest standars of duty implied by law”43 artinya : suatu tindakan untuk

37

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta ; Rajawali, 1983) hal 51

38

http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus/indonesia. diakses tanggal 31 Mei 2010

39

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 40 Tahun 2007

40

Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 40 Tahun 2007

41

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007

42

Munir Fuady II, hal 33

43

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (West Kellgg Boulevard; West Publishing, 1990), hal 675


(34)

dan atas nama orang lain, di mana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum.

8. Business Judgment Rule adalah aturan yang memberikan kekebalan atau perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehati-hatian dan itikad baik.44

9. Self Dealing adalah suatu keadaan dimana seorang pengambil keputusan dan perusahaan berada pada sisi yang berlawanan didalam sebuah transaksi tersebut atau dengan kata lain pengambil keputusan itu membantu mempengaruhi pengambilan keputusan perusahaan untuk memasuki atau menerima transaksi tersebut. “Ketika seorang pemegang kepercayaan memasuki sebuah transaksi dimana dalam transaksi itu kondisi perusahaan dalam kondisi yang tidak wajar, maka adalah sama halnya dengan ia merampas transaksi wajar dan nilai transaksi milik perusahaan yang bersangkutan”45

10. Conflict of Interest adalah suatu keadaan ketika kepentingan pribadi perseroan bercampur dengan kepentingan dari perusahaan. Situasi benturan tersebut dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur mengambil tindakan atau mempunyai keinginan yang dapat membuat hambatan dalam keobjektifan dan keefektifan berlangsungnya kegiatan perusahaan. Benturan

44

GunawanWidjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta; Forum Sahabat, 2008), hal 66

45


(35)

kepentingan juga dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur atau keluarga dari mereka menerima keuntungan pribadi sebagai hasil dari posisi mereka di perusahaan. 46 Perbuatan atau tindakan dalam mengambil keputusan dimana terdapat unsur benturan kepentingan antara para pihak dalam pengambilan keputusan.47

11. Tanggung Jawab Pribadi Direksi adalah keadaan dimana direksi tidak melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi sebagai patokan batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi direksi dapat juga terikut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.48

12. corporate opportunity adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya.49

46

http://www.lee.net/governance/code.pdf. Diakses tanggal 22 Agustus 2010

47

Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hal 32

48

M. Yahya harahap, Hukum Perseroan terbatas (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), hal 383

49


(36)

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif artinya ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sebagai organ perseroan misalnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum khususnya dibidang perseroan terbatas Bahan hukum tersier atau bahan penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.


(37)

2. Sumber Data

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya dikumpulkan dan dipelajari beberapa tulisan yang berhubungan topik tesis ini.

3. Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:50

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Atas Kerugian Perseroan. Dalam hal ini khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer ,51seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahan dokumen pribadi berupa pendapat pakar hukum yang erat kaitamnya dengan objek penelitian.

50

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal 88

51

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal 24


(38)

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum.52 Surat kabar, internet, serta majalah mingguan juga dapat menjadi bahan dalam penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang berkaitan dengan objek penelitian.

4. Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian tersebut selanjutnya diteliti kembali sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Pertanggungjawaban Pribadi Direksi dalam self dealing. Kemudian bahan hukum tersebut disesuaikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan dengan permasalahan tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan dalam Self Dealing. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada suatu kesimpulan. Diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban Direksi Perseroan sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asas-asas hukum atau kaedah-kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Terhadap Kerugian Perseroan.

52

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal 14-15


(39)

BAB II

PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA

A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, sebelum tahun 1995, pengaturan perseroan terbatas dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berasal dari Belanda dan diperlakukan di Indonesia tahun 1848.53

Tanggung jawab pemegang saham dan direktur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas masih relevan karena bunyi ketentuannya tidak berubah sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.54

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :

a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

53

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972) Hal 10.

54

Erman Rajagukguk, Pengelolaan Perusahaan yang Baik : Tanggung Jawab Pemegang saham, Komisaris dan Direksi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26. No 3- Tahun 2007


(40)

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.

Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No 40 tahun 2007 ini yang menyatakan bahwa pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi sama dengan maksud dari Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No. 1 tahun 1995. Hal ini meunjukkan telah lama ada pengaturan yang walaupun hanya tersirat mengenai transaksi yang berkaitan dengan kepentingan pribadi.

Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi secara pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi. Transaksi untuk pribadi ini merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interested transaction) oleh direksi suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi (langsung atau tidak langsung) dengan perseroan itu sendiri.

Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya : 55

1. Transaksi antara anggota famili dari direksi dengan perseroan. 2. Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan direksi yang sama.

3. Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain di dalam perusahaan mana pihak direksi mempunyai kepentingan financial tertentu

4. Transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaan.

55


(41)

Transaksi untuk pribadi (self dealing) ini dikatakan bahwa pihak direksi memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan. Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi yang dalam sejarah semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah-pilah. Di banyak negara, transaksi self dealing ini dibebankan kewajiban disclosure ke pundak direksi yang berbenturan kepentingan. Karena transaksi self dealing yang tidak layak betentangan dengan kewajiban (fiduciary duty) dari direksi, maka hukum membebankan kewajiban pribadi kepada direksi yang melakukan deal tersebut. Karena itu agar diperkenankan oleh hukum, maka transaksi self dealing tersebut haruslah dilakukan secara fair bagi perseroan, tidak mengandung unsur-unsur penipuan, atau ketidakadilan dan untuk transaksi tertentu dibebankan kewajiban disclosure kepada masyarakat, bahkan bagi perusahaan terbuka, ketentuan hukum di Indonesia selangkah lebih maju, yakni dengan dibebankannya kewajiban persetujuan rapat umum pemegang independen.56

Contoh dari transaksi self dealing yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan adalah penjualan aset perseroan kepada pribadi direksi atau kepada salah satu anggota keluarga dari direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari transaksi self dealing adalah berupa pertanggungjawaban pribadi dari direksi yang bersangkutan. Karena transaksi self dealing termasuk ke dalam transaksi yang berbenturan kepentingan yakni, dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat tidak fair bagi perseroan. Karena itu, kalaupun transaksi seperti itu diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut tetap layak dan dilakukan secara fair dan businesslike. Jadi jika menyangkut dengan harga

56


(42)

transaksi, harga tersebut tetap harga yang layak tanpa adanya tindakan mark up atau mark down. Karena itu, fokus pengadilan dalam transaksi self dealing tetap kepada fair atau tidaknya trransaksi yang dilakukan oleh direksi tersebut. Dengan demikian, khusus dalam hal transaksi self dealing tidak berlaku doktrin business judgement rule, yang ada pada prinsipnya mengajarkan bahwa pengadilan tidak ikut campur untuk menilai atau melakukan secondguess terhadap kebijaksanaan bisnis dari direksi perseroan.57

Seperti telah disebutkan bahwa pengaturan terhadap transaksi self dealing adalah dimaksudkan sebagai suatu langkah operasionalisasi dari doktrin hukum perseroan bahwa seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi dari perseroan yang belum tentu dirugikan. Namun prinsip hukum ini tidak berlaku mutlak bahkan sering kontroversial. Karena itu, mencari unsur pribadi tersebut akhirnya menimbulkan berbagai teori dan doktrin hukum yang dikaitkan dengan faktor sebagai berikut 58:

1. Pelanggaran total (flat prohibition) terhadap transaksi self dealing.

2. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair dan disetujui oleh mayoritas direksi independent.

3. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan pengadilan menganggapnya bahwa transaksi tersebut telah dilakukan secara fair.

4. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair atau disetujui oleh mayoritas pemegang saham independent yang telah diinformasikan secara layak (well informed)

57

Ibid, hal 208

58


(43)

Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum di Amerika serikat. Di sana pengaturan hukum tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap sebagai berikut:59 Tahap I : sejak Tahun 1880

Dalam tahap pertama ini semua kontrak self dealing disamaratakan. Yakni semua kontrak self dealing—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair atau tidak.

Tahap II: sejak Tahun 1890

Perkembangan doktrin self dealing dalam tahap kedua ini adalah bahwa suatu kontrak self dealing dapat dibenarkan manakala memenuhi kedua syarat sebagai berikut:

1. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, dan 2. transaksi tersebut tidak mengandung unsur-unsur ketidakadilan (unfairness)

dan penipuan (fraudlent).

Akan tetapi manakala dalam kontrak tersebut mayoritas direksi memiliki kepentingan, maka kontrak self dealing tersebut—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrakn tersebut fair atau tidak.

Tahap III: sejak Tahun 1960

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing oleh hukum umumnya dianggap sah kecuali di dalamnya mengandung unsur ketidakadilan.

Tahap IV: sejak Tahun 1975

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing dianggap sah manakala terpenuhi salah satu di antara 3 (tiga) unsur sebagai berikut:

59


(44)

1. Transaksi tersebut adil dan layak (just dan reasonable), atau

2. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, atau 3. diratifikasi oleh pemegang saham yang tidak berbenturan kepentingan.

Pengaturan seperti yang dikembangkan di tahap keempat ini misalnya diberlakukan oleh Undang-undang Perseroan (corporate act) California Tahun 1975, melalui Pasal 310.

Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks. Perkembangan dalam sejarah seperti ini terjadi karena berkembangnya beberapa teori hukum perseroan sebagai berikut:60

1. Teori Pengaruh manajerial

Menurut teori manajerial(managerial influence theory), maka perkembangan sejarah tentang pengaturan self dealing ini adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Menurut teori ini, pihak-pihak pengadilan dan legislatif terpesona dalam cengkraman pihak manajer perseroan.

2. Teori Perubahan Sistem Hukum dan Perilaku Sosial

Teori kedua ini menjelaskan adanya perubahan aturan hukum dalam sejarah dari larangan secara mutlak dan rigid terhadap transaksi self dealing kepada aturan hukum dan sejarah yang menjurus kepada sistem hukum dan perilaku sosial yang lebih mengarah kepada adanya sistem hukum yang lebih permisif dan fleksibel untuk disesuaikan dengan keadaan, situasi dan kondisi kasus per kasus.

60


(45)

3. Teori Pengaruh lawyer

Teori ketiga ini menjelaskan tentang aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku kepada sistem yang lebih relaks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing diuji di pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer, sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer.

4. Teori Pengaruh hakim /Pengadilan

Teori ini berasal dari pengadilan yang mulai menyadari bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan berbahaya melainkan jutru diperlukan oleh perseroan. Mengakui transaksi self dealing secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee dengan hubungan fiduciary dari direksi perseroan.

B. Pengaturan Self Dealing di Amerika

Direksi dalam menjalankan tugasnya bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas, maka konsekuensi (baik atau buruk) sebagai akibat perbuatannya itu pada prinsipnya dipikul oleh perseroan terbatas sendiri. Prinsip ini berlaku baik dalam sistem hukum Common Law (Amerika Serikat) maupun dalam sistem Civil Law (hukum Indonesia). Namun demikian prinsip tanggung jawab terpisah ini bukanlah prinsip yang steril, sehingga dalam hal-hal tertentu konsekuensi dan tindakan direktur tersebut harus


(46)

dipikul secara pribadi oleh direktur sendiri, sungguhpun dia bertindak untuk dan atas nama perusahaan.61

Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali, disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap perusahaannya,yakni62:

a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau

c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut

Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA (Revised Model Business Coorporation Act) Pasal 8.24(d), seorang direktur dipresumsi menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu.

61

Munir Fuady I,Op.Cit, hal 59.

62


(1)

tindakan sepihak (self dealing). Jika hal tersebut terjadi maka sudah sepantasnya direksi diminta pertanggungjawaban pribadinya jika timbul kerugian perseroan. 3. Putusan hakim adalah sangat tepat, Pembelian Promissory Note dari Indover Bank

dengan modus penerbitan Commercial Paper telah merugikan perseroan, karena perseroan harus mengeluarkan dana sebesar US$ 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu dolar Amerika serikat) sebagai biaya pembelian Promissory Note yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default) kepada Indover Bank. Tindakan direksi dalam pembelian Promissory Note tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dengan melakukan self dealing transaction, dimana kepentingan keuangan secara potensial bertentangan dengan kepentingan keuangan perseroan. Tentunya ini akan menjadi pelajaran direksi-direksi perseroan lainnya yang akan melakukan tindakan serupa dan lebih memilih mengurungkan niatnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1991

Amanat, Anisitus Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Penerapannya dalam Akta Notaris. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996

Budirto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Mataram : Ghalia Indonesia, 2009

Black, Henry Campbell Black’s Law Dictionary, West Kellgg Boulevard; West Publishing, 1990

Chatamarrasyid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal aktual Hukum Perusahaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004

___________, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000

Charlesworth and morse, Company Law. ELBS, Fourteenth Edition, 1991

Daniri, Mas Achmad, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. Jakarta : Gloria Printing, 2002

Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, 1994 ___________, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, 1996

___________, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002

___________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, Buku Kesatu, Cetakan Ketiga, Bandung : Citra Aditya Bakti.2002

___________, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003


(3)

___________, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta: PT Citra Aditya Bakti,1999

Ginting, Jamin, Hukum Perseroan Terbatas ( UU No. 40 Tahun 2007), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007

Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan terbatas Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Ichsan, Achmad, Hukum dagang, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1987

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perseroan Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996

Nasaruddin, M. Irsan dan Indah Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta : Preneda Media, 2004

Nasution, Bismar, dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Bandung : BooksTerrace & Library, 2005

P, Robert J, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Jakarta : Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 1998

Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, Jakarta ; Rajawali, 1983

Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jakarta : Djambatan, 1995 Prasetya, Rudhy, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban Terbatas dari

Perseroan Terbatas, Surabaya : Airlangga University Pres, 1983

______________ Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Bandung :Citra Aditya Bakti, 2002

Simanungkalit, Parsian, RUPS Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, Jakarta : Wajar Hidup, 2006

Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Sitompul, Zulkarnain, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 2002


(4)

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahan tentang Perseroan Terbatas, Bandung : Nuansa Aulia, 2006

Supramono, Gatot, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta :Djambatan, 1996

Soekanto Soerjono dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995

____________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990

Soemitro,Ronny Hanitijo, Metodologi penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982

Soepomo, R, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, Jakarta : Pradnya Paramita, 1972

Sjahdeini,Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening juncto UU No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti : Jakarta,2002

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Perseroan Terbatas, Bandung : Alumni, 2004

Wicaksono, Frans Satrio, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Jakarta: Visimedia, 2009

Widyono, Tri Direksi Perseroan Terbatas, keberadaan, tugas, wewenang, dan tangung jawab, Jakarta : Ghalia, 2008

Widjaja, Gunawan, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Jakarta; Forum Sahabat, 2008

____________,Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, Jakarta; Forum Sahabat, 2008

_______________, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005

Winardi, Asas-asas Manajemen, Bandung : Alumni, 1983

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006

Woon, walter, Company Law, Singapore : Longman, 1998


(5)

Yani, Ahmad, Gunawan Widjaja, Perseroan terbatas, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003

B. Peraturan Perundang-undangan

UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas C. Makalah, Jurnal

Ais, Chatamarrasjid, Pengaruh Doktrin piercing The Corporate Veil dalam Hakum Perseroan Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 6 Tahun 2003.

Erman Rajagukguk, Pengelolaan Perusahaan yang Baik : Tanggung Jawab Pemegang saham, Komisaris dan Direksi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26. No 3- Tahun 2007

Khairandy, Ridwan, Perseroan sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26

Nasution, Bismar, Diktat Hukum Perusahaan, Program Magister Ilmu Hukum USU, 2003

Sjahdeni, Sutan Remy, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum bisnis, Vol 14, 2001.

D. Internet

http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi http;//en.wikipedia.org/wikipedia.org/wiki/Corporations

http://en.wikipedia.org/wiki/Duty_of_Loyality http://www.lee.net/governance/code.pdf

http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/_/dict.aspx?word=Self-Dealing


(6)

http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus/indonesia