tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 yaitu menyusun suatu hukum nasional
yangmemberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang. Ketiadaan hukum nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut
pandang International Criminal Court ICC.
92
Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Penadilan
C. Menurut Statuta Roma
93
1 Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana
satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan
yangmemberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut lihat pertanyaan 4 dan 5
:
2 Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut
untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
3 Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi
situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, International Criminal Court ICC akan memberlakukan yuridiksi
ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
92
Ibid
93
www.elsam.co.id , diaksekan tanggal 21 November 2010
Universitas Sumatera Utara
Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi
akan dilakukan. Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hokum.
Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara
negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc
kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi di bekas Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan.
Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta.
Statuta Roma yang menetapkan ketentuan tentang dapat disidik, dituntut, dan diperiksanya di Majelis Pengadilan Internsional sejumlah pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan yang menetapkan sejumlah asas yang juga merupakan asas Hak Asasi Manusia, merupakan, pada hakikatnya, instrumen hukum internasional yang, meskipun
bukan instrumen hukum internasional per se, merupakan instrumen hukum internasional yang memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia international legal
instrument ensuring the protection of human rights.
94
Statuta Roma adalah instrumen internasional tentang kejahatan menurut hukum internasional. Namun, di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan yang pada
hakikatnya, menetapkan sejumlah tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang pelakunya dapat dituntut dan dipidana serta memuat sejumlah prinsip yang merupakan
94
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005, Penerbit Elsam, Jakarta, hlm 12
Universitas Sumatera Utara
asas-asas Hak Asasi Manusia.
95
Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen internasional mengenai kejahatan menurut hukum
internasional, yang selain bertujuan menindas kejahatan internasional tertentu, juga merupakan instrumen internasional yang melindungi Hak Asasi Manusia dan
menghormati asas-asas Hak Asasi Manusia tertentu, serta mengukuhkan peraturan perundang-undangan nasional tentang penyelesaian yudisial pelanggaran hak asasi
manusia yang dapat dipidana, sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut
96
a Tema Hak Asasi Manusia yang pelanggarannya dikriminalisasikan dan, dengan
demikian, dilindunginya Hak Asasi Manusia yang bersangkutan oleh aturan ini, adalah sebagai berikut:
:
1 Hak hidup Pasal 6 a, Pasal 7.1 a, Pasal 8.2 a ii, P a s a l 8.. 2 b vi, Pa s a l 8 .
b xi, P a s a l 8 . 2 c i, dan P a s a l 8. 2 e 1 ; ii Hak untuk tidak diperbudak Pasal 7. l c dan Pasal 7.1g;
iii Hak untuk bebas bertempat tinggal wilayah negara Pasal 7.1d; iv Hak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum dan hak
atas perlakuan yang adil dari pengadilan yang objek dan tidak berpihak Pasal 7.1c;
v Hak untuk tidak disiksa Pasal 7.1 f, Pasal 8.2a iii, dan Pasal 8.2 c viHak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat Pasal 7.1g,
Pasal 8.2 b xxi, Pasal 8.2 b xxii, Pasal 8.2 c ii, Pasal 8.2 c ii, dan Pasal 8.2 e vi ;
95
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Op.Cit, hlm 50
96
Wahyu Wagiman, Op.Cit, hlm 61
Universitas Sumatera Utara
vii Hak beragama dan menjalankan ibadat menurut agama dan Kepercayaannya Pasal 8.2 b ix dan Pasal 8.2 e iv ;
viii Hak mempunyai milik dan atas perlindungan hak miliknya Pasal 8.2 b xiii, Pasal 8.2 b xvi, Pasal 8.2 e v, dan Pasal 8.2 e xii;
ix Hak memperolah keadilan Pasal 8.2 c vi ; dan x Hak hidup tenteram, aman, dan damai Pasal 8.2 e i ;
Asas HAM yang juga menjadi asas Statuta Roma: i Asas tidak berlaku surutnya aturan hukum kecuali dalam keadaan.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik - KIHSP -, 1966 Pasal 11 dan Pasal 24 ;
ii Asas ne bis in idem Pasal 20; iii Asas legalitas Pasal 22 dan Pasal 23;
iv Asas kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan pengadilan Pasal63; v Asas praduga tak bersalah Pasal 66;
vi Hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil. fair trial
vii Pemberian perlindungan kepada korban dan saksi Pasal 68. Pasal
66; dan
28. Harus digarisbawahi bahwa dalam hal ini Statuta Roma memasukkan norma substantif hak asasi manusia, terutama dengan mendefinisikan kejahatan
terhadap kemanusiaan tanpa perlu adanya hubungan dengan konflik bersenjata. Selain itu Statuta Roma juga memuat ketentuan tentang unsur-unsur kejahatan
yang kemungkinan juga akan terdapat lintas rujuk dengan perangkat hukum internasional hak asasi manusia maupun yurispridensinya. Dalam menafsir
Universitas Sumatera Utara
definisi penyiksaan misalnya, Majelis Pengadilan Internsional dapat mengacu pada Konvensi Penyiksaan dan yurisprudensi terkaitnya.
29. Salah satu ketentuan yang paling penting berkaitan dengan ini adalah Pasal 21 3 yang menyatakan bahwa: “Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan
pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan
pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat 3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat-
pendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain”. Dalam hal ini Judge Pillay menyatakan bahwa untuk menjamin
perlindungan yang paling penting dan mendasar, dengan diskresi yang ada, hakim-hakim oleh karena itu akan mengambil dari hukum hak asasi manusia.
30.Oleh karena itu walaupun, Majelis Pengadilan Internsional pada dasarnya adalah sebuah lembaga peradilan juridical institution, namun demikian,
keberadaannya dan hasil kerjanya pada masa depan akan membantu memajukan hak asasi manusia dengan menciptakan rekam historis tentang apa yang salah
pada masa lalu the past wrongs, menawarkan sebuah forum bagi korban untuk menyuarakan pendapatnya dan menerima kompensasi serta pemuasan atas
kejahatan masa lalu, menciptakan preseden yuridis dan efek jera bagi para pelaku kejahatan yang paling berat dengan menghukum para pelaku.
Dengan menarik perhatian pada kejahatan yang paling berat dan kemudian melakukan penghukuman pada pelakunya, Majelis Pengadilan Internsional akan
menjadi sebuah contoh bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Dengan demikian, seperti sebuah lembaga pengadilan di tingkat nasional,
Majelis Pengadilan Internsional akan menjadi sebuah upaya yang melengkapi
Universitas Sumatera Utara
komplementer bagi upaya hak asasi manusia baik masa kini maupun masa depan.
32. Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan instrumen yang melindungi sejumlah Hak Asasi Manusia dan yang juga menjunjung sejumlah
prinsip yang juga merupakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, Statuta Roma turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya Hak Asasi Manusia
serta dijunjungnya prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang sudah dilakukan oleh instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia, baik internasional, maupun
regional, ataupun nasional. Oleh karena itu, menjadi pihaknya RI pada Statuta Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen bangsa Indonesia untuk
tidak saja mengambil bagian dalam upaya komunitas internasional untuk menindas dan mencegah kejahatan paling serius yang merupakan urusan
komunitas internasional secara keseluruhan melainkan juga menegaskan komitmen nasionial dan internasionalnya untuk menjunjung tinggi dan
melindungi Hak Asasi Manusia.
D. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Landasan yuridis berdirinya pengadilan