UJI SITOTOKSIK ISOLAT AKTIF DARI EKSTRAK KLOROFORM RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa(L ) Lamk) TERHADAP SEL HELA DAN SIHA

(1)

commit to user

UJI SITOTOKSIK ISOLAT AKTIF DARI EKSTRAK KLOROFORM

RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.)

TERHADAP SEL HELA DAN SIHA

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oeh:

FINA ERNAWATI NIM M0406028

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM SURAKARTA


(2)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan penyakit penyebab kematian terbesar kedua setelah penyakit kardiovaskuler (Sukardiman et al., 2004). Di Indonesia, penderita kanker mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Menurut Ja’far dan Santoso (2010) di negara berkembang, kanker serviks merupakan penyebab utama kematian akibat kanker di kalangan wanita.

Usaha penyembuhan dengan obat sintetik umumnya masih relatif mahal dan memiliki efek yang besar. Oleh karena itu, sebagian besar penderita penyakit ini memilih cara lain dengan memanfaatkan bahan alam yaitu dengan menggunakan tanaman obat sebagai obat tradisional (Sukardiman et al., 2004).

Murdiyono (2008) telah meneliti fraksi 6 ekstrak kloroform rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) dan hasilnya diperoleh LC50-24 jam adalah 281,77 µg/ml. Menurut Meyer et al., (1982) senyawa uji dikatakan toksik jika harga LC50-24 jam kurang dari 1000 µg/ml. Ruwaida (2010) melakukan isolasi terhadap fraksi aktif rumput mutiara dan diperoleh 6 isolat, dua diantaranya yaitu isolat 4 dan 5 merupakan isolat aktif dengan LC50-24 jam 55,87 µg/ml dan 47,76 µg/ml. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap isolat 4 dan 5 karena berpotensi antikanker.


(3)

commit to user

Menurut Febriansah et al. (2008) dan IPTEKnet (2005) rumput mutiara telah lama digunakan dalam pengobatan kanker serviks. Sel HeLa dan SiHa merupakan turunan dari sel epitel kanker serviks, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengujian sitotoksisitas untuk mengetahui potensi isolat 4 dan 5 dalam penghambatan pertumbuhan terhadap sel HeLa dan SiHa. Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50-24 jam. Nilai IC50-24 jam dapat menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai sitotoksik.

Haryanti (2008) dalam penelitiannya menyebutkan IC50-24 jam ekstrak etanol rumput mutiara terhadap sel MCF-7 adalah 77 µg/ml. Sejalan dengan hal tersebut Suparman (2008) melaporkan IC50-24 jam yang didapat dari uji sitotoksik terhadap ekstrak etanol rumput mutiara adalah 116 µg/ml pada WiDr. Berdasarkan penelitian di atas maka perlu dilakukan uji sitotoksik isolat rumput mutiara terhadap sel HeLa dan SiHa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai IC50-24 jam dari isolat 4 dan 5 ekstrak kloroform yang terkandung dalam rumput mutiara yang berpotensi sebagai antikanker berdasarkan hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test


(4)

commit to user

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah nilai IC50-24 jam isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara terhadap sel HeLa dan SiHa?

2. Bagaimanakah efek sitotoksik pada sel HeLa dan SiHa setelah pemberian isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui nilai IC50-24 jam isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara terhadap sel HeLa dan SiHa.

2. Mengetahui efek sitotoksik pada sel HeLa dan SiHa setelah pemberian isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengobatan mengenai potensi isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara sebagai agen antikanker.

2. Memberikan informasi mengenai efek sitotoksik isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara terhadap sel Hela dan SiHa.


(5)

commit to user BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.)

Tumbuhan rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) merupakan salah satu dari sekian banyak tumbuhan liar yang mungkin terabaikan. Tumbuhan yang dianggap mengganggu ini seringkali dibabat habis saat membersihkan kebun atau pekarangan, padahal rumput mutiara merupakan salah satu sumber obat etnis (Gentry, 1993).

a. Klasifikasi

Division : Spermatophyta Subdivision : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Order : Rubiales

Family : Rubiaceae

Genus : Hedyotis

Species : Hedyotis corymbosa (L.) Lamk. (Hutchinson, 1959).

b. Basionim

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) mempunyai nama lain yaitu Oldenlandia corymbosa L.


(6)

commit to user

c. Nama Daerah

Nama daerah dari rumput mutiaraadalah rumput siku–siku, bunga telor belungkas, daun mutiara, katepan, urek–urek polo (Jawa), Pengka (Makasar), Shui xian cao (China) (IPTEKnet, 2005).

d. Morfologi Tanaman

Gambar 1. Habitus rumput mutiara (Crusson, 2007)

Rumput mutiara tumbuh rimbun berserak, tinggi 15-50 cm, tumbuh subur pada tanah lembab di sisi jalan dan pinggir selokan, mempunyai banyak percabangan seperti terlihat pada Gambar 1 di atas. Daun tunggal, berhadapan atau bersilang berhadapan, helaian relatif kecil, panjang 1-3,5 cm, lebar 1,5-7 mm, ujung dan pangkalnya runcing, berwarna hijau pucat, dengan sisik-sisik kecil sepanjang tepi daunnya, tangkai daun sangat pendek, atau hampir duduk, ibu tulang daun satu di tengah. Ujung daun mempunyai rambut yang pendek. Batang bersegi, bunga ke luar dari ketiak daun, bentuknya seperti payung berwarna putih, berupa bunga majemuk berjumlah 2-5. Mahkota 4, putih atau


(7)

commit to user

ungu dengan panjang kira-kira 2 mm, benang sari 4, ibu tangkai bunga (induk) keras seperti kawat, panjangnya 5-10 mm. Stipula interpetiolaris. Stamen apipetal seakan-akan di atas tabung mahkota. Ovarium inferior dan petala berlekatan. Buah berbentuk bulat dengan ujung pecah-pecah. Buah panjang 1,75-2 mm, lebar 2-2,5 mm, pada permukaan luar di dekat bagian ujung terdapat sisa kelopak berupa tonjolan kecil runcing (Backer dan Brink, 1965; Febriansah et al., 2008).

e. Kandungan dan Manfaat Rumput Mutiara

Tumbuhan rumput mutiara mempunyai kandungan kimia antara lain

hentriacontane, stigmasterol, ursolic acid, oleanolic acid, β-sitosterol,

sitisterol-D-glucoside, p-coumaric acid, flavonoid glycosides dan

baihuasheshecaosu (CBN Portal, 2007; IPTEKnet, 2005). Asyhar et al.

(2008) telah meneliti dalam ekstrak etanolik rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) terdapat kandungan senyawa ursolic acid dan oleanolic acid.

Hsu et al. (1998) meneliti tiga senyawa dari rumput mutiara yaitu

ursolic acid, oleanic acid, dan geniposidic acid. Hasilnya, ursolic acid dan

oleanic acid lebih jelas dalam menghambat pertumbuhan sel hep-2B dan perbesaran tumor sub cutan. Ma et al., (2005) meneliti bahwa ursolic acid dan 2 alpha-hydroxyursolic acid dapat menghambat aktivitas pertumbuhan empat sel tumor yaitu HL-60, BGC, Bel-7402 dan Hela.


(8)

commit to user

Ursolic acid termasuk dalam golongan senyawa triterpenoid pentasiklik yang secara alami dapat ditemukan pada sebagian besar tanaman herba dan tanaman berbuah. Struktur kimia ursolic acid dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia ursolic acid (Febriansah et al., 2008).

Rumput mutiara juga mengandung enam senyawa iridoid, yaitu

asperuloside, scandoside methyl ester, asperulocid acid, geniposidic acid, scandoside dan deacetylasperulosidic acid (Noiarsa et al., 2007). Rumput mutiara telah lama digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit, diantaranya tonsilis, bronkitis, gondongan, pneumonia, radang usus buntu, hepatitis, radang panggul, infeksi saluran kemih, bisul, borok, kanker limpa, kanker lambung, kanker serviks, kanker payudara, rektum, fibrosarcoma dan kanker nasopharynx (IPTEKnet, 2005; Febriansah et al., 2008). Penelitian Lin

et al., (2002) menunjukkan adanya efek anti inflamasi dari ekstrak tanaman rumput mutiara.


(9)

commit to user

2. Kanker

Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) maupun dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (Eka, 2007). Sel kanker timbul dari sel tubuh yang normal, tetapi mengalami transformasi atau perubahan menjadi ganas oleh bahan-bahan yang bersifat karsinogen (agen penyebab kanker) ataupun karena mutasi spontan. Transformasi sejumlah gen menjadi gen mutan disebut neoplasma atau tumor. Neoplasma merupakan jaringan abnormal yang terbentuk akibat aktivitas proliferasi yang tidak terkontrol (neoplasia). Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus pertumbuhan, yang pada akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya komunikasi antar sel (Lodish et al., 2004).

Sel kanker memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan sel normal dalam tubuh. Sifat umum dari kanker ialah sebagai berikut :

1. Sel kanker tidak mengenal program kematian sel yang dikenal dengan nama apoptosis. Protein p53 mampu mencegah replikasi dari DNA yang rusak pada sel normal dan mendorong penghancuran sendiri dari sel yang mengandung DNA yang tidak normal. Peristiwa ini disebut apoptosis. Apoptosis sangat dibutuhkan untuk mengatur berapa jumlah sel yang dibutuhkan dalam tubuh, secara fungsional dan menempati tempat yang tepat dengan umur tertentu.


(10)

commit to user

Bila telah melewati masa hidupnya, sel-sel normal (nonkanker) akan mati dengan sendirinya tanpa ada efek peradangan (inflamasi), namun sel kanker berbeda dengan karakteristik tersebut. Sel kanker akan terus hidup meski seharusnya mati (immortal). Mutasi dari gen p53 menyebabkan proliferasi dan transformasi sel menjadi kehilangan kendali (Hanahan dan Weinberg, 2000; Sofyan, 2000).

2. Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstraseluler atau asosial. Komunikasi ekstraseluler diperlukan untuk menjalin koordinasi antar sel sehingga mereka dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Berdasarkan sifatnya yang asosial, sel kanker bertindak semaunya sendiri tanpa mempedulikan kebutuhan lingkungannya. Sel kanker dapat memproduksi growth factor

sendiri sehingga tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan proliferasi. Sel kanker dapat tumbuh menjadi tidak terkendali (Hanahan dan Weinberg, 2000).

3. Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan tersebut dan tumbuh subur di atas jaringan lain membentuk anak sebar (metastasis). Semakin besar jangkauan metastasis tumor, kanker semakin sulit untuk disembuhkan. Kanker pada stadium metastasis merupakan penyebab 90% kematian penderita kanker (Hanahan dan Weinberg, 2000).

4. Sel kanker mampu membentuk pembuluh darah baru (neoangiogenesis) untuk mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri, pembuluh darah baru ini dapat


(11)

commit to user

mengganggu kestabilan jaringan tempat ia tumbuh (Hanahan dan Weinberg, 2000).

5. Sel kanker memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam memperbanyak dirinya sendiri (proliferasi), meski seharusnya ia sudah tidak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang seharusnya. Berdasarkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sinyal pertumbuhan dan kemampuan menghindar dari mekanisme apoptosis, sel kanker memiliki kemampuan tidak terbatas untuk bereplikasi (Hanahan dan Weinberg, 2000). Sel-sel yang mengalami kerusakan genetik tidak peka lagi terhadap mekanisme regulasi siklus sel normal sehingga akan terus melakukan proliferasi tanpa kontrol. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel dan salah satu akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (McKelvey dan Evans, 2003; Gondhowiarjo, 2004).

Serangkaian proses berkembangnya kanker disebut karsinogenesis. Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multi tahap yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas) (Hanahan dan Weinberg, 2000). Perubahan basa DNA (mutasi) merupakan perubahan selular mendasar yang menyebabkan terjadinya kanker. Kanker tidak berasal dari mutasi tunggal,


(12)

commit to user

namun dibutuhkan akumulasi dari beberapa mutasi (3 sampai 20 mutasi) dalam karsinogenesis (Lodish et al., 2000).

Karsinogenesis melibatkan inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis. Inisiasi merupakan perubahan spesifik pada DNA sel target yang menuntun pada proliferasi abnormal sebuah sel. Sel yang mengalami inisiasi atau prakanker dapat kembali ke tingkat normal secara spontan, tetapi pada tingkat lebih lanjut menjadi ganas. Promosi merupakan tingkat lanjutan dari tahap inisiasi. Sel-sel akan memperoleh beberapa keuntungan untuk tumbuh sehingga pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi bentuk tumor jinak. Tahap promosi berlangsung lama, bisa lebih dari sepuluh tahun. Pada tahap perkembangan (progression), terjadi instabilitas genetik yang menyebabkan perubahan-perubahan mutagenik. Proses ini akan menghasilkan klon baru sel-sel tumor yang memiliki aktivitas proliferasi, bersifat invasif (menyerang) dan potensi metastatiknya meningkat. Metastasis melibatkan beberapa tahap yang berbeda, termasuk memisahnya sel kanker dari tumor primer, masuk ke dalam sirkulasi, serta perlekatan pada permukaan jaringan baru (David danShivdasani, 2001).

3. Kanker Serviks

Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah sejenis kanker yang menurut data merupakan penyebab kematian nomor 1 pada wanita. Kanker leher rahim ini adalah kanker yang terdapat di serviks uterus, daerah organ


(13)

commit to user

reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, terletak di antara rahim dengan liang vagina (Candrakirana et al.,1990).

Kanker serviks umumnya 90% berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim (Gambar 3) (Candrakirana et al.,1990). Salah satu penyebab kanker serviks adalah HPV (Human Papilloma Virus). Virus ini menjangkit perempuan jika pasangannya mengidap virus tersebut. Perempuan perokok pun sangat rentan terhadap kanker serviks karena nikotin mempengaruhi selaput lendir (Sanif, 2007).

Gambar 3. Organ reproduksi wanita

Kanker serviks juga dapat dideteksi dengan pendarahan vagina, tetapi gejala kanker ini tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh. HPV 16 dan 18 merupakan penyebab utama pada 70% kasus kanker serviks di dunia. Perjalanan dari infeksi HPV hingga menjadi kanker seviks membutuhkan


(14)

commit to user

waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 10 hingga 20 tahun. Namun proses penginfeksian ini seringkali tidak disadari oleh para penderita, karena proses HPV kemudian menjadi pra kanker sebagian besar berlangsung tanpa gejala (Nuryastuti et al., 2002).

4. Human Papilloma Virus (HPV)

Human Papiloma Virus (HPV) adalah suatu virus yang terdiri lebih dari 80 tipe dan terbagi atas dua, yaitu virus berisiko tinggi yang terdiri dari 12 tipe dan virus berisiko rendah (Lagrange et al., 2005). Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung afinitas protein E6 dalam mengikat gen

p53 dan protein E7 dalam mengikat gen Rb, yang mempunyai arti penting dalam karsinogenesis kanker serviks (Prayitno et al., 2005).

Ada 2 tipe pengelompokan HPV yaitu tipe yang berisiko rendah terdiri dari HPV tipe 6,11, 42, 43, dan 44. Tipe yang kedua yaitu HPV berisiko tinggi terdiri dari tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 58, 59 dan 68, HPV tipe beresiko tinggi dapat menyebabkan kanker serviks. HPV tipe 16dan 18dianggap paling berpotensi sebagai penyebab kanker serviks (Hollema, 1998).

HPV berdiameter sekitar 55 nm dan mengandung genom yang cukup besar (BM 5 x 106 berbanding 3 x 106). HPV berbentuk bulat seperti terlihat pada Gambar 4 (Lagrange et al., 2005).


(15)

commit to user

Gambar 4. Morfologi Human Papilloma Virus (Lagrange et al., 2005)

Human Papilloma Virus adalah virus DNA-circular dengan genome 7800-8000 base pairs. Virus ini mempunyai kapsul isohedral yang telanjang tanpa selubung dengan 72 kapsomer. Penyusunan genom Papilloma virus lebih kompleks (Mendelshon et al., 1995). Genome virus ini terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein yang berperan pada replikasi genome, mengontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi sel. The late region (L)

berisi L-genes yang mengkode protein capsid. Protein E6 (onco-protein) high-risk

HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor gene-p53. Protein E6 pada HPV 16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP). Jadi dengan penurunan kadar protein p53 dalam sel akan berakibat pada kegagalan pengendalian


(16)

commit to user

pertumbuhan sel, karena tidak terjadinya hambatan aktivasi sel (Mendelshon et al. 1995; Prayitno et al., 2005).

5. Sel HeLa

Sel HeLa merupakan continuous cell line yang tumbuh sebagai sel yang semi melekat. Sel HeLa diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks) manusia. Sel ini diisolasi tahun 1951 dari seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks, berusia 30 tahun (Syaifuddin, 2007).

Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel (LabWork Study Guideand Lecture Notes, 2000). HeLa bersifat immortal yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada. Strain-strain baru dari sel HeLa telah dikembangkan dalam berbagai macam kultur sel, tapi semua sel HeLa berasal dari keturunan yang sama. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi HPV 18 dan berbeda dengan sel serviks yang normal (Parhardian et al., 2004).

Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang digunakan adalah media RPMI 1640. Medium RPMI 1640 mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein


(17)

commit to user

transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim (Freshney, 1986).

6. Sel SiHa

Sel SiHa adalah sel kanker serviks akibat infeksi Human Papilloma Virus

(HPV) sehingga mempunyai sifat berbeda dengan sel leher rahim normal. SiHa

cell line mengandung genom HPV 16 (Nuryastuti et al., 2002). HPV 16 merupakan DNA virus yang berukuran kecil dengan untai ganda (Lee et al., 2003).

Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengeekspresikan 2

onkogen (gen pemicu tumor), yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat immortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000).

7. Sitotoksik

Sitotoksik adalah sifat toksis atau beracun yang dimiliki oleh suatu senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksik adalah suatu uji secara in vitro

dilakukan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan suatu obat, makanan, kosmetika, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Pengujiaan ini selain menggunakan kultur sel juga uji farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan


(18)

commit to user

obat-obat terapeutik dan mengamati toksisitas baik akut maupun kronik (Freshney, 1986).

Dua metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah metode perhitungan langsung (direct counting) dengan menggunakan biru tripan (trypan blue) dan metode MTT assay. Uji MTT assay merupakan salah satu metode yang digunakan dalam uji sitotoksik (Doyle dan Griffith, 2000).

Studi untuk mempelajari proliferasi, viabilitas, dan mortalitas sel dalam rangka pencarian senyawa antitumor membutuhkan keakuratan kuantifikasi jumlah sel hidup dalam kultur. Uji MTT [3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] merupakan uji yang sensitif, kuantitatif, dan terpercaya. Metode ini merupakan metode kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan menggunakan ELISA

reader (Doyle dan Griffith, 2000).

Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50-24 jam. Nilai

IC50-24 jam menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi

sel sebesar 50% dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika proliferasi sel (Meiyanto et al., 2005). Nilai IC50-24 jam dapat menunjukkan potensi suatu


(19)

commit to user

senyawa sebagai sitotoksik. Sifat sitotoksik memiliki tiga tingkatan, yaitu sangat aktif bila nilai IC50-24 jam <10 µM, aktif dengan nilai IC50-24 jam 10-20 µM, dan nilai

IC50-24 jam >20 µM dinyatakan tidak aktif (Ito et al., 2003).

Menurut Kamuhabwa et al. (2000), ekstrak uji dengan nilai IC50-24 jam <100 µg/ml tetap dikatakan memiliki potensi antiproliferasi meskipun nilainya kecil. Nilai IC50-24 jam di bawah 100 µg/mL menunjukkan adanya potensi ekstrak uji sebagai agen kemoprevensi(Meiyanto et al., 2003). Semakin besar harga IC50-24 jam maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Semakin banyak sel yang hidup, semakin banyak kristal formazan yang terbentuk, semakin tinggi nilai absorbansi yang diperoleh dan mengindikasikan mortalitas yang rendah. Akhir dari uji sitotoksik dapat memberikan informasi persentase (%) sel yang mampu bertahan hidup, sedangkan pada organ target memberikan informasi langsung tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle dan Griffths, 2000).

8. Siklus sel

Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik). Siklus sel secara normal terbagi dalam empat fase, yaitu G1, S, G2, M dan diselingi dengan fase istirahat, yaitu G0 (De Vita et al., 1997). Secara umum siklus sel seperti pada Gambar 5.


(20)

commit to user

Gambar 5. Siklus sel (Avivah, 2007)

Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai mempersiapkan untuk melakukan sintesis DNA dan juga melakukan sintesis RNA dan protein (Livington dan Shivdasani, 2001; King, 2004). Tahap selanjutnya masuk fase S, yaitu fase terjadinya replikasi DNA. Pada akhir fase ini sel telah berisi DNA ganda dan kromosom telah mengalami replikasi (De Vita et al., 1997, MacDonald dan Ford, 1997). Fase S berakhir, sel masuk dalam fase pramitosis (G2) dengan ciri: sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain, dan masih berlangsungnya sintesis RNA dan protein. Sewaktu mitosis berlangsung (fase M) sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba, dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Tahap selanjutnya sel memasuki fase istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut sel induk (stem cell) (De Vita et al., 1997).

Sel tumbuh Sel bersiap-siap

untuk membelah (Pramitosis)

Replikasi DNA Mitosis


(21)

commit to user

Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya pada siklus sel diatur beberapa

checkpoint. Kontrol checkpoint berfungsi untuk memastikan bahwa kromosom utuh dan tahap-tahap kritis siklus sel telah sempurna sebelum memasuki tahap selanjutnya (Livingston danShivdasani, 2001).

Pada kanker terjadi perubahan pengaturan siklus sel. Selama perkembangan sel kanker biasanya mempengaruhi ekspresi protein-protein pengatur siklus sel. Pada sel kanker juga terjadi ketidakmampuan kontrol

checkpoint, mengakibatkan respon menyimpang terhadap adanya kerusakan seluler. Ketidakmampuan kontrol checkpoint menyebabkan inisiasi fase S atau mitosis tetap berlangsung meskipun ada kerusakan seluler dan ketidakstabilan genetik yang selanjutnya menimbulkan clone maligna (De Vita et al., 1997, Mac Donald dan Ford, 1997).

9. Apoptosis

Apoptosis merupakan program bunuh diri dari sebuah sel. Program ini memiliki peran penting untuk menjaga homeostasis perkembangbiakan sel. Apoptosis merupakan suatu proses aktif yakni kematian sel melalui digesti enzimatik oleh dirinya sendiri dan mekanisme yang efisien untuk mengeliminasi sel yang tidak diperlukan dan mungkin berbahaya bagi tubuh sehingga dapat menyelamatkan organisme (William, 1991). Pada sel-sel kanker program apoptosis ini telah mengalami gangguan sehingga sel akan mengalami metastasis (Naim, 2006).


(22)

commit to user

Secara fisiologis, apoptosis berlangsung melalui 2 jalur utama yakni jalur ekstrinsik atau jalur DR (Death Reseptor), dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria. Pada jalur ekstrinsik, apoptosis dimulai setelah DR pada membran plasma berikatan dengan protein Fas, suatu glycocylated cell-surface protein dengan berat molekul 42-52 kDa atau dengan TNF-α yang diproduksi oleh limfosit T atau makrofag yang mengalami sensitisasi. Reaksi ini akan berlangsung melalui apoptotic pathway dan diikuti oleh aktivitas dari seperangkat enzim (FAAD, TRADD, kaspase 8 dan 10), untuk selanjutnya menstimulasi efektor apoptosis. Sebagian induksi yang berasal dari TNF-α juga akan menstimulasi mitokondria (Kromoer et al., 1997). Proses jalur ekstrinsik ini bisa dipicu oleh stimulasi dari luar sel seperti stimulasi hormonal misalnya tiroid yang tidak bisa diimbangi oleh hormon pertumbuhan (GH) akibat defisiensi dari GH, juga toksin, stres oksidatif dan masuknya Ca2+ ke dalam sel (Kroemer et al., 1997)

Pada jalur intrinsik, aktivasi apoptosis dapat terjadi di intraseluler, yaitu inisiasi apoptosis muncul akibat produksi biokimia yang berasal dari stres intraseluler seperti stres oksidatif, perubahan redoks, ikatan kovalen kimia, peroksidasi lipid (Reed, 1997). Zat-zat tersebut memberikan signal terhadap mitokondria sehingga menyebabkan perubahan mitokondria itu sendiri, dimulai dengan terbukanya membran bagian luar yang diikuti pembengkakan matriks dan hilangnya potensial membran. Hal ini akan menyebabkan keluarnya


(23)

protein-commit to user

protein mitokondria termasuk sitokrom c sebagai aktivator kaspase dalam hal ini mengaktivasi kaspase 9 untuk menggerakkan efektor apoptosis (Green, 1998).

Apoptosis akan menghasilkan apoptotic bodies yang terdiri dari fragmen sisa-sisa sel, yang akan difagositosis oleh sistem retikuloendotelial di sekitarnya. Regulasi apoptosis adalah untuk mempertahankan homeostasis normal, menjaga keseimbangan proliferasi dan kematian sel di dalam organ multiseluler. Salah satu fungsi apoptosis adalah mencegah kanker dengan cara mengeliminasi sel-sel kanker. Pada hampir semua proses kematian sel, signal cascade terjadi melalui bantuan senyawa oksigen reaktif sebagai molekul pembawa isyarat (messenger) (Kroemer et al., 1997).

Apoptosis dapat dibagi dalam 3 tahap yaitu : a. Tahap inisiasi

Selama fase inisiasi yang heterogen, sel menerima stimulus yang menginduksi kematian, kehilangan faktor -faktor yang menunjang ketahanan hidup, kekurangan suplai untuk metabolisme dan terjadi pengikatan reseptor yang meneruskan sinyal kematian, misalnya pengikatan Fas/FasL, TNF/TNFR dan lain-lain. Reaksi kimia yang berperan dalam fase inisiasi ini sangat heterogen bergantung pada seberapa lethal stimulus yang diterima. Tahap inisiasi tergantung pada deathinducing signal untuk mengaktifkan

proapototic signal transduction cascade. Signal yang menginduksi apoptosis antara lain reactive oxygenspecies (ROS), nitrogen intermediate dan Ca2+.


(24)

commit to user

b. Tahap efektor

Pada tahap ini, proses inisiasi dilanjutkan dengan reaksi metabolik dengan pola yang lebih teratur, dan sel mengambil keputusan atau komitmen untuk “bunuh diri”.

c. Tahap degradasi

Pada fase degradasi atau fase eksekusi, terjadi peningkatan berbagai aktivitas, termasuk peningkatan aktivasi enzim-enzim katabolik dan produksi

reactive oxygen species (ROS). Pada fase ini perubahan morfologi dan biokimiawi sel, di antaranya fragmentasi DNA, serta degradasi berbagai jenis protein (Reed, 1997).

Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apoptosis (misalnya karena mutasi), atau bila inisiatif untuk melakukan apoptosis dihambat (oleh virus), sel yang rusak dapat terus membelah tanpa batas, yang akhirnya menjadi kanker. Sebagai contoh, salah satu hal yang dilakukan oleh virus papilloma manusia (HPV) saat melakukan pembajakan sistem genetik sel adalah menggunakan gen onkogen

E6 yang mendegradasi protein p53. Padahal protein p53 berperan sangat penting pada mekanisme apoptosis. Oleh karena itu, infeksi HPV dapat berakibat pada tumbuhnya kanker serviks (Hussain et al., 2003).


(25)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Kanker serviks merupakan penyebab kematian terbesar di kalangan wanita. Usaha penyembuhan dengan obat sintetik umumnya masih relatif mahal dan memiliki efek samping yang besar. Hal ini menyebabkan orang memilih alternatif untuk memanfaatkan bahan alam yaitu dengan menggunakan tanaman obat. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk komoditas obat ini adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.).

Murdiyono (2008) telah meneliti fraksi 6 ekstrak kloroform rumput mutiara dan hasilnya diperoleh LC50-24 jam adalah 281,77 µg/ml. Menurut Meyer et al., (1982), senyawa uji dikatakan toksik jika harga LC50-24 jam lebih kecil dari 1000 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kloroform rumput mutiarabersifat toksik dan berpotensi anti kanker. Penelitian Ruwaida (2010) mengisolasi fraksi aktif dalam ekstrak kloroform dan diperoleh isolat 4 dan 5 sebanyak senyawa aktif berdasarkan metode

Brine Shrimp Lethality Test (BST) dengan LC50-24 jam masing-masing 55,87 µg/ml dan 47,76 µg/ml, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut potensi rumput mutiara sebagai anti kanker.

Febriansah et al. (2008) menyebutkan bahwa rumput mutiaratelah digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit salah satu diantaranya adalah kanker serviks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa nilai IC50-24 jam isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara terhadap sel HeLa dan SiHa.


(26)

commit to user

Uji eksperimental secara in vitro dengan menggunakan human cell line

memiliki keuntungan yaitu memiliki homogenitas sel yang cukup tinggi serta tidak dijumpai variasi individual. Dalam penelitian ini menggunakan sel kanker serviks (sel HeLa dan SiHa), kemudian sel kanker akan dikulturkan dalam medium RPMI 1640. Kemampuan isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara dapat diketahui dengan melakukan pengujian sitotoksisitas untuk mengetahui nilai IC50-24 jam. Nilai

IC50-24 jam di bawah 100 µg/mL menunjukkan adanya potensi ekstrak uji sebagai agen

kemoprevensi(Meiyanto et al., 2008). Semakin kecil nilai IC50-24 jam berarti senyawa uji semakin toksik dan sebaliknya. Bagan pemikiran di atas disajikan dalam Gambar 6.


(27)

commit to user

Gambar 6. Bagan alir pemikiran

Pengobatan sintetik relatif mahal dan mempunyai efek samping

yang besar Kasus kanker serviks

merupakan penyebab kematian terbesar pada

watina

Isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara bersifat anti kanker

(Murdiyono, 2008 dan Ruwaida, 2010)

Percobaan in vitro

Pengujian sitotoksisitas dengan sel kanker serviks (sel HeLa dan SiHa)

Penentuan nilai IC50-24 jam Pencarian senyawa aktif


(28)

commit to user C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Isolat 4 dan 5 dari ekstrak kloroform rumput mutiara diduga bersifat sitotoksik sehingga mempunyai nilai IC50-24 jam <100 µg/ ml.

2. Peningkatan konsentrasi isolat aktif dari ekstrak kloroform rumput mutiara diduga dapat menurunkan pertumbuhan sel Hela dan SiHa.


(29)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Juli 2010, di LPPT (Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

B. Bahan Dan Alat

1. Bahan

Isolat 4 dan 5 rumput mutiara, Cell line HeLa (HPV 18) dan SiHa (HPV

16). Bahan lain adalah MTT {3-(4,5- dimethylthiazol- 2yl) 2,5

diphenyltetrazoliumbromide} (Sigma), Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma), medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) 1640 (Sigma), Fungison, Streptomisin (Sigma)/ Penisilin (Gibco BRL), SDS (Stop Solution), DMSO, hepes dan tripsin (Sigma Chem. CO. St. Louis. USA).

2. Alat

Microplate 96 sumuran (Nunclone), sentrifuge Sigma 3K12 (B. Braun Biotech International), blue tip dan yellow tip, incubator CO2 Jacketed Incubator (NuaireTM IR autoflow), ELISA reader, hemocytometer (New Bauer), tabung conical steril (nunclone), scarper, tissue culture flask (nunclone), laminar airflow (Nuaire), tangki nitrogen cair, mikroskop fluoresensi, mikroskop fase kontras


(30)

commit to user

(Olympus, Jepang), mikropipet (Soccorex), vorteks (Genie), Timbangan elektrik (Sartorius).

C. Cara Kerja

a. Pembuatan sampel uji

1. Larutan uji dibuat dengan melarutkan masing-masing isolat 4 dan 5 pada media RPMI 1640.

2. Larutan induk dibuat serangkaian seri kadar yang dibutuhkan dengan pengenceran menggunakan media RPMI 1640.

3. Seri kadar yang digunakan untuk uji sitotoksisitas adalah: (200, 100, 50, 25, 6.25, 3.125 1.5625, 0.78125, 0.390625 dan 0.1953125 ml), kontrol positif doksorubisin, kontrol sel dan kontrol medium.

b. Preparasi sel Hela dan SiHa

1. Sel Hela dan SiHa ditumbuhkan hingga konfluen.

2. Media RPMI 1640 yang digunakan untuk menumbuhkan sel dibuang. 3. Kultur sel dipindahkan ke dalam conical tube berisi 20 ml media RPMI

1640 kemudian disentrifuge 2000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang kemudian diresuspensi dengan 10 ml media RPMI 1640.

4. Kerapatan sel dihitung dengan mengambil suspensi sel sebanyak 20 µl lalu ditambahkan trypan blue sebanyak 180 µl, sel dihitung dengan bantuan haemocytometer pada mikroskop cahaya dengan perbesaran 100


(31)

commit to user

kali. Jumlah sel total yang diperoleh dibagi 4 dan dikalikan dengan faktor pengenceran dan konstanta 104/ml.

c. Uji sitotoksisitas

1. Sebanyak 100 µl medium RPMI 1640 yang mengandung suspensi sel dengan kerapatan sekitar 2 × 104 sel/ml dimasukkan ke dalam 93 sumuran

Microplate 96 sumuran.

2. Isolat 4 dan 5 diberikan 100 µl pada peringkat konsentrasi yang berbeda secara triplet, dengan menggunakan mikropipet kemudian masing-masing konsentrasi isolat sampel uji yang telah disiapkan dalam eppendorf steril dipindahkan ke dalam sumuran.

3. Hal yang sama juga dilakukan pada kontrol positif doksorubisin dan kontrol sel dalam media RPMI 1640, masing-masing dipindahkan ke dalam sumuran.

4. Plate diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator CO2 37°C dengan kadar CO2 5%.

5. Penambahan MTT 5 mg/ml pada akhir inkubasi sebanyak 100 µl setiap sumuran.

6. Plate diinkubasi lagi selama 4 jam pada 37oC, CO2 5%.

7. Plate ditambahkan reagen stop solution yang bersifat detergenik (SDS 10% dalam HCl 0,01 N) 100 ml/sumuran yang akan melarutkan formazan.


(32)

commit to user

8. Plate diinkubasi semalam pada 37oC, 5% CO2 kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 550 nm(Meiyanto et al., 2008).

d. Cara Memperoleh Data

Data absorbansi yang diperoleh dikonversi ke dalam persen sel hidup. Hasil pengamatan sel hidup ditampilkan dalam bentuk persentase sel hidup dengan rumus:

% sel hidup = x100%

(Meiyanto et al., 2005) Persentase kematian diperoleh dari hasil pengurangan 100% sel-% sel hidup.

D. Analisis data

Tahap selanjutnya dilakukan analisis regresi linier dengan mengubah persentase kematian menjadi angka probit untuk menentukan nilai IC50-24 jam.


(33)

commit to user BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Sitotoksik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik isolat aktif dari ekstrak kloroform rumput mutiara (H. corymbosa (L.) Lamk.) terhadap sel HeLa dan SiHa. Dua isolat aktif rumput mutiara, yaitu isolat 4 dan isolat 5, diuji secara lanjut berdasarkan sitotoksiknya terhadap sel HeLa dan SiHa. Hal ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik masing-masing isolat terhadap sel HeLa dan SiHa sehingga dapat ditentukan besarnya nilai IC50-24 jam dari masing-masing isolat.

Pada penelitian ini menggunakan metode MTT karena relatif cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk mengukur sampel dalam jumlah besar. Namun, pada penggunaan metode MTT ini senyawa uji yang digunakan tidak boleh senyawa yang berwarna karena akan menimbulkan bias terhadap nilai absorbansi (Doyle dan Griffiths, 2000).

Uji sitotoksisitas dimulai dengan menumbuhkan kultur sel HeLa dan SiHa hingga konfluen dalam medium RPMI 1640 untuk mendapatkan jumlah sel sesuai dengan kebutuhan uji. Medium RPMI 1640 digunakan karena medium ini merupakan jenis medium yang umum digunakan pada kultur sel (Freshney, 2000). Medium ini terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam organik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung


(34)

hormon-commit to user

hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan dalam pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim.

A.1. Sel HeLa

Sebelum diberi perlakuan, dilakukan persiapan terhadap kultur sel. Sel HeLa ditumbuhkan hingga konfluen dalam medium RPMI. Jumlah sel yang telah konfluen terlihat menempel rapat di dasar flask (Gambar 7.a). Morfologi sel HeLa akan terlihat berbentuk lonjong seperti daun. Jumlah sel yang telah konfluen selanjutnya dilakukan pemanenan sel untuk selanjutnya digunakan dalam uji sitotoksik. Media kultur sel dibuang untuk memudahkan pemanenan dan perhitungan sel, kemudian ditambahkan dengan 100 µl tripsin agar sel lepas dari dasar flask. Sel yang lepas dari dasar sel dan sel yang hidup akan berbentuk bulat–bulat serta terlihat mengapung di permukaan (Gambar 7.b).

Gambar 7. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x sebelum pemberian tripsin (a) dan setelah pemberian tripsin (b).

b a


(35)

commit to user

Sel sebelum pemberian tripsin terlebih dahulu dilakukan pencucian dengan PBS yang berfungsi untuk menghilangkan serum dalam media RPMI 1640 yang tertinggal, karena serum ini dapat menghambat kerja tripsin (Freshney, 2000). Pemberian tripsin berfungsi sebagai enzim protease yang melepaskan interaksi antara molekul glikoprotein dan proteoglikan dengan permukaan flask, akibatnya sel akan kehilangan kemampuannya untuk melekat pada permukaan flask dan terlihat mengapung (Doyle dan Griffith, 2000).

Sel yang telah dipanen kemudian dilakukan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan kedalam

microplate. Variasi konsentrasi yang digunakan pada isolat 4 dan 5 adalah 200; 100; 50; 25; 12,5; 6,25; 3,125; 1,525; 0,78125; dan 0,390625 µg/ml. Doxorubicin digunakan sebagai kontrol positif dengan variasi konsentrasi mulai dari 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625; 0,3125; 0,15625; 0,078125; 0,0390625; dan 0,1953125 µg/ml. Selain itu digunakan pula kontrol negatif berupa kontrol sel dan kontrol medium RPMI 1640.

Medium yang berisi sel didistribusikan dalam 96 sumuran masing-masing 100µl, kemudian ditambahkan variasi konsentrasi isolat 4 dan 5 sebanyak 100µl secara triplet. Tahap berikutnya, microplate yang berisi sel dan sampel uji diinkubasi selama 24 jam dan dilakukan pengamatan selanjutnya.

Pengamatan morfologi sel setelah perlakuan dilakukan di bawah mikroskop. Pada perlakuan isolat 4, pada konsentrasi 200 µg/ml jumlah sel yang mati lebih


(36)

commit to user

sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sel yang mati pada perlakuan isolat 5. Hal ini terlihat pada Gambar (8.a) sel yang hidup dan berbentuk bulat jernih masih tampak terlihat lebih banyak. Sel kontrol negatif tampak berbentuk seperti daun, menempel di dasar flask, sedangkan pada kontrol positif, doxorubisin, terlihat banyak sel yang mati dan berwarna keruh. Gambar lengkap pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 8. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan isolat rumput mutiara pada perlakuan (a) Isolat 4 konsentrasi 200 µg/ml, (b) Isolat 5 konsentrasi 200 µg/ml, (c) doxorubixin konsentrasi 10 µg/ml, (d) kontrol sel.

Keterangan: (1) sel hidup, (2) sel mati

2 1

(d) (c)

(a) (b)

1

2 1

1


(37)

commit to user

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa isolat 5 mampu menghambat pertumbuhan sel HeLa lebih besar bila dibandingkan dengan isolat 4. Hal ini juga terlihat pada jumlah persentase kematian sel, pada isolat 5 konsentrasi 200 µg/ml mampu menyebabkan kematian sel sebesar 84.946%, sedangkan isolat 4 pada konsentrasi yang sama hanya mampu menyebabkan kematian sel sebesar 14.874%. Persentase kematian sel untuk setiap perlakuan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan data absorbansi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 1. Persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan isolat 4 dan 5

Konsentrasi (µg/ml) Rata-rata absorbansi % Kematian sel Isolat 4

200 1.627 14.874

100 1.642 13.978

50 1.642 13.978

25 1.666 12.545

12.5 1.677 11.888

6.25 1.683 11.529

3.125 1.687 11.290

1.5625 1.794 4.898

0.78125 1.851 1.493

0.390625 2.036 -9.558

Isolat 5

200 0.454 84.946

100 0.812 63.560

50 1.574 18.041

25 1.576 17.921

12.5 1.64 14.098

6.25 1.645 13.799

3.125 1.655 13.202

1.5625 1.658 13.023

0.78125 1.717 9.498

0.390625 1.779 5.794

Kontrol sel 1.876


(38)

commit to user

Berdasarkan hasil pada Tabel 1, isolat 4 pada konsentrasi tertinggi (200 µg/ml) belum menunjukkan kematian 50%, hanya sebesar 14.874%. Oleh karena itu konsentrasi isolat 4 perlu dinaikkan hingga diperoleh kematian 50% untuk menentukan nilai IC50-24 jam. Konsentrasi isolat 4 dinaikkan diatas 200 µg/ml hingga 1000 µg/ml. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 2, sedangkan nilai absorbansi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 2. Persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan isolat 4

Konsentrasi (µg/ml) Rata-rata absorbansi % kematian sel Isolat 4

1000 1.234 39.199

500 1.493 24.158

250 1.519 22.648

125 1.585 18.815

62,5 1.58 19.106

31,25 1.595 18.235

15,625 1.565 19.977

1,9531 1.604 17.712

Kontrol sel 1,909

Kontrol media 0.187

Pada Tabel 2 terlihat bahwa hingga konsentrasi 1000 µg/ml isolat 4 hanya mampu menyebabkan kematian sebesar 39.199%. Berdasarkan data tersebut maka isolat 4 tidak toksik terhadap sel HeLa.Namun sebaliknya, isolat 5 pada konsentrasi 100 µg/ml mampu menyebabkan kematian sel HeLa sebesar 63.56%. Oleh karena itu

IC50-24 jam isolat 5 untuk sel HeLa <100 µg/ml.

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 terlihat bahwa penambahan konsentrasi isolat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kematian sel. Jumlah


(39)

commit to user

sel yang hidup pada kontrol sel lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sel hidup yang ada pada masing-masing perlakuan. Hal ini sesuai dengan Gambar (8.d) yaitu terlihat pada kontrol negatif jumlah sel yang hidup lebih banyak bila dibandingkan dengan perlakuan penambahan isolat 4 dan 5 maupun pada doxorubisin. Data kematian sel pada perlakuan doxorubisin dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan data-data tersebut maka dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini isolat 5 lebih toksik dibandingkan isolat 4 pada sel HeLa (Gambar 9).

Gambar 9. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan isolat rumput mutiara pada perlakuan (a) IC50 isolat 4 (konsentrasi 1000 µg/ml), (b) IC50-24 jam isolat 5 (konsentrasi 100 µg/ml).

Keterangan: (1) sel hidup, (2) sel mati

Gambar (9.a) menunjukkan bahwa hingga konsentrasi 1000 µg/ml masih terlihat banyak sel yang hidup, sedangkan pada Gambar (9.b) konsentrasi 100 µg/ml jumlah sel yang mati lebih banyak bila dibandingkan dengan Gambar (9.a) yaitu sebesar 63.560% (Tabel 1).

a b

1 2

1


(40)

commit to user

Perhitungan terhadap persentase kematian sel dilakukan untuk menentukan nilai IC50-24 jam dari masing-masing perlakuaan. IC50-24 jam merupakan konsentrasi yang menyebabkan penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50% dari populasi sel. Perhitungan IC50-24 jam menggunakan analisa probit dan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisa probit ini diperoleh dengan mengubah persentase kematian menjadi angka probit dengan menggunakan tabel probit (Lampiran 4), kemudian dibuat grafik persamaan regresi linier antara probit dan log konsentrasi. Gambar 10 merupakan kurva persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 4 terhadap sel HeLa, sedangkan kurva persamaan regresi linier isolat 5 terhadap sel HeLa dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 10. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 4 terhadap sel HeLa.

y = 0.023x + 19.944 r2 = 0.884


(41)

commit to user

Gambar 11. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 5 terhadap sel HeLa.

Kurva persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit doxorubisin terhadap sel HeLa tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit Doxorubisin terhadap sel HeLa.

y = -0.880x + 6.712 r2 = 0.869

y = -0.663x+ 5.204 r2 = 0.912


(42)

commit to user

Berdasarkan hasil analisa probit yang dilakukan didapatkan nilai IC50-24 jam isolat 5 sebesar 88.10 µg/ml dan 2.03 µg/ml untuk doxorubisin, sedangkan isolat 4 tidak dilakukan perhitungan IC50-24 jam karena hingga konsentrasi 1000 µg/ml belum menunjukkan persentase kematian 50% dan menurut Meyer et al. (1982) nilai IC50-24 jam >1000 µg/ml dinyatakan tidak toksik. Jadi semakin besar nilai IC50-24 jam maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Suatu ekstrak tanaman berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen antikanker bila memiliki IC50-24 jam <100 µg/ml (Ueda et

al., 2002). Nilai IC50-24 jam <100 µg/ml menunjukkan adanya potensi senyawa uji sebagai agen kemoprevensi(Meiyanto et al., 2008). Berdasarkan hasil tersebut maka isolat 5 mempunyai kemampuan dalam penghambatan pertumbuhan sel HeLa dan berpotensi sebagai agen kemoprevensi.

A. 2. Sel SiHa

Sebelum diberi perlakuan, dilakukan persiapan terhadap kultur sel. Sel SiHa ditumbuhkan hingga konfluen dalam medium RPMI 1640. Jumlah sel yang telah konfluen terlihat menempel rapat di dasar flask (Gambar 13.a). Jumlah sel yang telah konfluen selanjutnya dilakukan pemanenan sel, dalam memudahkan pemanenan dan perhitungan sel, media kultur sel dibuang kemudian ditambahkan dengan 100 µl tripsin agar sel lepas dari dasar flask. Sel yang lepas dari dasar sel dan sel yang hidup akan berbentuk bulat–bulat serta terlihat mengapung di permukaan (Gambar 13.b).


(43)

commit to user

Gambar 13. Kenampakan morfologi sel SiHa pada perbesaran 100x sebelum pemberian tripsin (a) dan setelah pemberian tripsin (b).

Sel sebelum pemberian tripsin terlebih dahulu dilakukan pencucian dengan PBS yang berfungsi untuk menghilangkan serum dalam media RPMI 1640 yang tertinggal, karena serum ini dapat menghambat kerja tripsin (Freshney, 2000). Tahap selanjutnya, sel yang telah dipanen kemudian dilakukan penambahan medium RPMI 1640 sehingga diperoleh suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke dalam

microplate.

Variasi konsentrasi yang digunakan pada isolat 4 dan 5 adalah 1000; 500; 250; 125; 62,5; 31,25; 15,625; 7,8125; 3,90625; dan 1,953125 µg/ml. Doxorubicin digunakan sebagai kontrol positif dengan variasi konsentrasi mulai dari 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625; 0,3125; 0,15625; 0,078125; 0,0390625; dan 0,1953125 µg/ml. Kultur sel digunakan sebagai kontrol negatif selain itu digunakan kontrol medium RPMI 1640.

Medium yang berisi sel didistribusikan dalam 96 sumuran masing-masing 100µl, kemudian ditambahkan variasi konsentrasi isolat 4 dan 5 sebanyak 100µl


(44)

commit to user

secara triplet. Tahap berikutnya, microplate yang berisi sel dan sampel uji diinkubasi selama 24 jam dan dilakukan pengamatan selanjutnya.

Setelah dilakukan inkubasi selama 24 jam, sel kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x maka akan terlihat adanya perubahan morfologi sel. Seperti halnya pada sel HeLa, sel yang mati akan terlihat adanya perubahan bentuk, sel berwarna keruh dan mengapung.

Morfologi sel SiHa setiap perlakuan secara lengkap tersaji pada Lampiran 6. Penetapan jumlah sel yang mati dan hidup pada pengujian sitotoksisitas dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penetapan yang dilakukan berdasarkan pada parameter kerusakan membran, gangguan sintesis dan degradasi makromolekul, modifikasi kapasitas metabolisme, serta perubahan morfologi sel. Petunjuk toksisitas berdasarkan adanya kerusakan membran meliputi perhitungan sel yang mengambil (up take) atau tidak bahan pewarna seperti biru tripan. Perubahan morfologi dapat diketahui dengan mikroskop electron (Snell dan Mullock, 1987 dalam Rahmawati, 2004).

Berdasarkan metode MTT, sel yang hidup akan membentuk kristal formazan seperti yang terlihat pada Gambar 14. Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS. Intensitas warna ungu yang terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif


(45)

commit to user

melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Reaksi pembentukan kristal formazan tersaji pada Gambar 15.

Gambar 14. Kenampakan sel hidup yang membentuk kristal formazan, (1) sel hidup, (2) sel mati.

Gambar 15. Reaksi MTT menjadi formazan (Mosmann, 1983)

Reduksi MTT menjadi garam formazan terjadi jika enzim reduktase dalam mitokondria dalam keadaan aktif. Reduksi dalam sel melibatkan reaksi enzimatik dengan NADH atau NADPH yang dihasilkan oleh sel hidup sehingga menghasilkan endapan yang tidak larut. Pemecahan MTT terjadi pada mitokondria sel yang hidup oleh enzim suksinat dehidrogenase. Absorbansi yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi biru formazan yang larut dalam SDS. Reduksi garam tetrazolium merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendeterminasikan proliferasi sel. Garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning berkurang sebagai akibat dari

1

2

Mitokondria reduktase


(46)

commit to user

aktivitas metabolisme sel terutama oleh kerja enzim suksinat dehidrogenase (Mosmann, 1983).

Konsentrasi yang diujikan pada sel SiHa dimulai dari 1000 µg/ml karena sebelumnya telah dilakukan uji pendahuluan mulai konsentrasi 200 µg/ml untuk isolat 4 dan 5, namun hasilnya menunjukkan persentase kematian sel belum mencapai 50%, oleh karena itu konsentrasi dinaikkan hingga memperoleh 50% kematian. Persentase kematian pada sel SiHa dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan nilai absorbansi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 3. Persentase kematian sel SiHa setelah perlakuan dengan isolat 4 dan 5

Konsentrasi (µg/ml) Rata- rata absorbansi % kematian Isolat 4

1000 1.053 31.904

500 1.123 25.467

250 1.128 24.974

125 1.134 24.451

62.5 1.181 20.078

31.25 1.275 11.423

15.625 1.300 9.085

7.8125 1.324 6.896

3.90625 1.372 2.430

1.953125 1.375 2.137

Isolat 5

1000 1.097 27.869

500 1.126 25.190

250 1.127 25.067

125 1.147 23.281

62.5 1.192 19.046

31.25 1.225 16.012

15.625 1.251 13.597

7.8125 1.305 8.651

3.90625 1.35 4.493


(47)

commit to user

Berdasarkan hasil pada Tabel 3 persentase kematian hingga konsentrasi 1000 µg/ml baik isolat 4 dan 5 belum menunjukkan 50% kematian. Padahal konsentrasi >1000 µg/ml suatu senyawa dapat dikatakan tidak toksik, karena semakin besar nilai

IC50-24 jam maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Jadi dapat dikatakan bahwa

isolat 4 dan 5 tidak toksik pada sel SiHa.

Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 16 terlihat bahwa hingga konsentrasi 1000µg/ml masih banyak sel yang hidup.

Gambar 16. Kenampakan morfologi sel SiHa pada perbesaran 100x setelah penambahan isolat rumput mutiara pada perlakuan (a) isolat 4 (konsentrasi 1000 µg/ml), (b) isolat 5 (konsentrasi 1000 µg/ml), (c) doxorubixin konsentrasi 10 µg/ml, (d) kontrol sel.

Keterangan: (1) sel hidup, (2) sel mati

(a)

2 1

(b) 2

1

(c)

2

(d)


(48)

commit to user

B. Mekanisme Penghambatan Isolat

Adanya perbedaan ketoksikan isolat 4 dan 5 pada sel HeLa dimungkinkan karena adanya perbedaan kandungan dalam masing-masing senyawa tersebut. Ruwaida (2010) melaporkan bahwa isolat 4 belum dapat diketahui golongan senyawanya, sedangkan isolat 5 diidentifikasi merupakan senyawa golongan terpenoid.Profil KLT terhadap kandungan isolat 4 dan 5 tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Profil kromatogram isolat 4 dan 5 rumput mutiara dengan pereaksi deteksi semprot vanillin-asam sulfat, isolat 4 (1), isolat 5 (2). Ruwaida (2010) melaporkan bahwa dalam isolat 5 terdapat senyawa golongan terpenoid dengan adanya bercak warna biru pada Rf 0,81 (Gambar 17). Deteksi dengan pereaksi semprot valinin-asam sulfat akan menunjukkan hasil positif adanya terpenoid bila terdapat bercak berwarna antara biru sampai ungu. Namun sebaliknya isolat 4 menunjukkan hasil yang negatif pada pereaksi tersebut. Pengujian lebih lanjut

1 Rf

0.75

0 0.25

0.5


(49)

commit to user

terhadap isolat 5 membuktikan bahwa isolat 5 bukan senyawa ursolic acid

berdasarkan metode KLT.

Adanya perbedaan kandungan senyawa tersebut juga akan mempengaruhi ketoksikan pada sel kanker. Salah satu golongan terpenoid yaitu monoterpen, dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor, salah satu diantaranya yaitu limonen. Senyawa ini mempunyai kemampuan kemoprevensi pada beberapa tipe kanker. Mekanisme aksi dari monoterpenoid yaitu dengan cara memblok dan menekan aktivitas tumor (Crowell, 1999). Contoh lainnya, taxol merupakan senyawa golongan diterpen dari tanaman Taxus brevifolia yang telah digunakan secara luas untuk pengobatan kanker serviks dan kanker payudara. Mekanisme aksi antikanker taxol yaitu dengan cara menstabilkan tubulin sehingga mencegah terjadinya pembelahan sel (Artanti et al., 2005). Taxol diketahui mampu menghambat mitosis dengan cara menyebabkan kerusakan pada mikrotubul, karena menghalangi terbentuknya mikrotubul sehingga akan terjadi pengeblokan pada proses mitosis (Lesney, 2004).

Hal lain yang dapat menyebabkan adanya perbedaan ketoksikan suatu senyawa terhadap sel yaitu adanya molekut target yang berbeda pada setiap sel kanker. Sebagai contoh yaitu fitosterol, senyawa ini merupakan steroid dalam golongan triterpen dan mempunyai struktur yang mirip dengan kolesterol (Gambar 18).


(50)

commit to user

(a) (b) (Awad dan Carol, 2000) Gambar 18. Struktur senyawa (a) β-sitosterol dan (b) 3β-hidroksi kolesterol. Bentuk fitosterol yang umum yaitu β-sitosterol, campesterol dan stigmasterol. Adanya kemiripan struktur membran molekul target sehingga memudahkan senyawa tersebut untuk melewati membran sel (Awad dan Fink, 2000). Adanya kemudahan senyawa dalam melewati struktur membran ini dapat dianalogkan seperti model gembok-kunci (lock-key), hal ini menyebabkan senyawa tersebut akan lebih mudah masuk dan mempengaruhi aktivitas yang terjadi di dalam sel. Struktur membran sel tersaji dalam Gambar 19.

Gambar 19. Struktur membran sel (Sheeler, 1983).

Plasma membran glikoprotein

glikolipid

Protein reseptor


(51)

commit to user

Faktor lain yang dapat menyebabkan adanya perbedaan kemampuan isolat 4 dan 5 terhadap sel HeLa dan SiHa karena adanya faktor yang berbeda yang menyebabkan kedua sel kanker tersebut. Sel HeLa merupakan sel kanker serviks yang disebabkan oleh HPV (Human Papilloma Virus)18 sedangkan SiHa oleh HPV 16. Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung dari

afinitas protein E6 dalam mengikat gen p53 dan protein E7 dalam mengikat protein

Rb. Protein E6 dari HPV 18 dan HPV 16 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53

melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway

(E6AP), sehingga akan terjadi penurunan kadar gen p53. Hal ini menyebabkan gen p53 tidak dapat bekerja secara normal sehingga akan terdegradasi (Gambar 20) (Lagrange et al., 2005).


(52)

commit to user

Disisi lain adanya pengikatan protein E7 terhadap pRb, akan menyebabkan hal yang sama seperti pada gen p53. Ikatan E7 dengan pRb tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E27 (faktor transkripsi) oleh pRb (Gambar 21). Tidak adanya pengikatan gen E2F menyebabkan gen tersebut menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimulasi siklus sel (Prayitno et al., 2005).

Gambar 21. Mekanisme pengikatan E7 terhadap protein Rb (Prayitno et al., 2005). Contoh lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sukardiman et al. (2005) melaporkan bahwa senyawa andrograpolida dari tanaman sambiloto mampu mematikan atau menginduksi sel HeLa dengan IC50 sebesar 109.90 µg/ml. Andrograpolida merupakan senyawa diterpen yang mempunyai aktivitas sebagai inhibitor terhadap aktivitas enzim DNA topoisomerase II. Fungsi enzim DNA topoisomerase mempunyai peran yang sangat penting dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker. Oleh karena itu


(53)

commit to user

akan menyebabkan proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi fragmentasi atau kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses di dalam sel secara apoptosis.

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Jamora et al. (2001) yaitu dengan melakukan isolasi terhadap senyawa diterpen dari jamur yaitu senyawa clerocidin yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim DNA topoisomerase II. Hasil penelitian menyatakan bahwa senyawa clerocidin memiliki aktivitas apoptosis terhadap sel HeLa. Miao et al. (2003) juga melakukan uji induksi senyawa diterpenoid kuinon salvicina yang juga diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim DNA topoisomerase II dan hasil penelitiannya menyebutkan bahwa senyawa salvicina mampu membunuh sel kanker MDR (Multi Drug Resistant) dengan mekanisme apoptosis. Adanya berbagai mekanisme aksi pada masing-masing tipe terpenoid, maka diperlukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui terpen dari isolat 5. Akan tetapi untuk mengetahui mekanisme penghambatan pertumbuhan pada sel HeLa maupun SiHa dapat dilakukan dengan pengujian lebih lanjut melalui

mechanism-based assay. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan apoptosis dengan menggunakan metode doublestainning menggunakan etidium bromide-acrydine orange, sel yang hidup akan berflouresensi hijau karena hanya menyerap


(54)

commit to user

bromide mampu melewati membran. Hal ini sebagai penanda bahwa sel yang mati telah kehilangan permeabilitas membrannya (Meiyanto et al., 2008)

Salah satu obat antikanker yang banyak terdapat di pasaran adalah doxorubisin. Doxorubisin merupakan agen kemoterapi golongan antrasiklin yang memiliki aktivitas antikanker spektrum luas dan telah lama digunakan pada berbagai jenis kanker. Senyawa ini mempunyai aktivitas antikanker dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Rock dan De Michele (2003) menerangkan bahwa mekanisme aksi doxorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi diantara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengacauan template. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah dengan melibatkan ikatan dengan lipid membran sel yang akan mengubah berbagai fungsi seluler dan berinteraksi dengan DNA topoisomerase II membentuk komplek pemotongan DNA.

Namun penggunaan doxorubisin sebagai agen kemoterapi dibatasi oleh efek toksik terhadap jaringan normal terutama jantung dan mampu menekan sistem imun (Wattanapiyakul et al., 2005). Oleh karena itu terus dilakukan upaya pencarian senyawa aktif dari bahan alam. Berdasarkan nilai IC50-24 jam isolat 5 pada sel HeLa yaitu sebesar 88.10 µg/ml, maka isolat 5 dapat diperhitungkan sebagai salah satu alternatif senyawa antikanker. Penggunaan senyawa antikanker dari bahan alam dapat dikombinasikan dengan obat antikanker secara sinergis dan diharapkan dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap doxorubisin. Sebagai contohnya yaitu sel MCF-7 merupakan salah satu sel kanker payudara yang resisten terhadap agen


(55)

commit to user

kemoterapi, akan tetapi kombinasi penggunaan doxorubisin dengan fraksi butanolik kapang endofit buah makasar mampu meningkatkan sensitifitas sel MCF-7 terhadap doxorubisin sehingga memperkuat pemacuan apoptosis sel MCF-7. Penggunaan tunggal fraksi butanolik tersebut mempunyai IC50-24 jam 48 µg/ml dan 148 nM pada doxorubisin, akan tetapi sinergisme fraksi butanolik tersebut dengan doxorubisin terlihat dari nilai CI (Indeks Combinasi) <0,9 (Kumala et al., 2009). Oleh karena itu penggunaan kombinasi antara senyawa antikanker dari bahan alam dengan obat antikanker merupakan salah satu alternatif pengobatan saat ini.


(56)

commit to user BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Isolat 5 mempunyai nilai IC50-24 jam sebesar 88.10 µg/ml terhadap sel HeLa, sedangkan isolat 4 mempunyai nilai IC50-24 jam >1000 µg/ml. Akan tetapi pada sel SiHa baik isolat 4 maupun 5 keduanya mempunyai nilai IC50-24 jam > 1000 µg/ml.

2. Isolat 4 dan 5 mempunyai efek sitotoksik terhadap sel HeLa dan SiHa yaitu adanya penghambatan pertumbuhan pada kedua sel kanker tersebut, akan tetapi efek sitotoksik terbesar yaitu isolat 5 terhadap sel HeLa.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai senyawa yang mempunyai efek sitotoksik terhadap penghambatan pertumbuhan sel HeLa.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penghambatan dan mekanisme apoptosis pada sel HeLa.


(57)

(1)

commit to user

Disisi lain adanya pengikatan protein

E7

terhadap

pRb

, akan menyebabkan

hal yang sama seperti pada gen

p53

. Ikatan

E7

dengan

pRb

tersebut menyebabkan

tidak terikatnya gen

E27

(

faktor transkripsi

) oleh

pRb

(Gambar 21). Tidak adanya

pengikatan gen

E2F

menyebabkan gen tersebut menjadi aktif dan akan membantu

c-myc

untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimulasi siklus sel (Prayitno

et al.

,

2005).

Gambar 21. Mekanisme pengikatan E7 terhadap protein Rb (Prayitno

et al.

, 2005).

Contoh lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sukardiman

et al.

(2005)

melaporkan bahwa senyawa andrograpolida dari tanaman sambiloto mampu

mematikan atau menginduksi sel HeLa dengan IC

50

sebesar 109.90 µg/ml.

Andrograpolida merupakan senyawa diterpen yang mempunyai aktivitas sebagai

inhibitor terhadap aktivitas enzim DNA topoisomerase II. Fungsi enzim DNA

topoisomerase mempunyai peran yang sangat penting dalam proses replikasi,

transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker. Oleh karena itu


(2)

commit to user

akan menyebabkan proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker

semakin lama, sehingga akan terbentuk

Protein Linked DNA Breaks

(PLDB),

akibatnya terjadi fragmentasi atau kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya

berpengaruh terhadap proses di dalam sel secara apoptosis.

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Jamora

et al

. (2001) yaitu dengan

melakukan isolasi terhadap senyawa diterpen dari jamur yaitu senyawa clerocidin

yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim DNA topoisomerase

II. Hasil penelitian menyatakan bahwa senyawa clerocidin memiliki aktivitas

apoptosis terhadap sel HeLa. Miao

et al

. (2003) juga melakukan uji induksi senyawa

diterpenoid kuinon salvicina yang juga diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor

enzim DNA topoisomerase II dan hasil penelitiannya menyebutkan bahwa senyawa

salvicina mampu membunuh sel kanker MDR (

Multi Drug Resistant

) dengan

mekanisme apoptosis. Adanya berbagai mekanisme aksi pada masing-masing tipe

terpenoid, maka diperlukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui terpen dari isolat

5. Akan tetapi untuk mengetahui mekanisme penghambatan pertumbuhan pada sel

HeLa maupun SiHa dapat dilakukan dengan pengujian lebih lanjut melalui

mechanism-based assay

. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan apoptosis

dengan menggunakan metode

doublestainning

menggunakan

etidium

bromide-acrydine orange

, sel yang hidup akan berflouresensi hijau karena hanya menyerap


(3)

commit to user

bromide

mampu melewati membran. Hal ini sebagai penanda bahwa sel yang mati

telah kehilangan permeabilitas membrannya (Meiyanto

et al.

, 2008)

Salah satu obat antikanker yang banyak terdapat di pasaran adalah

doxorubisin. Doxorubisin merupakan agen kemoterapi golongan antrasiklin yang

memiliki aktivitas antikanker spektrum luas dan telah lama digunakan pada berbagai

jenis kanker. Senyawa ini mempunyai aktivitas antikanker dan spesifik untuk fase S

dalam siklus sel. Rock dan De Michele (2003) menerangkan bahwa mekanisme aksi

doxorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi

diantara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui

pengacauan

template

. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah dengan melibatkan

ikatan dengan lipid membran sel yang akan mengubah berbagai fungsi seluler dan

berinteraksi dengan DNA topoisomerase II membentuk komplek pemotongan DNA.

Namun penggunaan doxorubisin sebagai agen kemoterapi dibatasi oleh efek

toksik terhadap jaringan normal terutama jantung dan mampu menekan sistem imun

(Wattanapiyakul

et al.,

2005). Oleh karena itu terus dilakukan upaya pencarian

senyawa aktif dari bahan alam. Berdasarkan nilai

I

C

50-24 jam

isolat 5 pada sel HeLa

yaitu sebesar 88.10

µg/ml, maka isolat 5 dapat diperhitungkan sebagai salah satu

alternatif senyawa antikanker. Penggunaan senyawa antikanker dari bahan alam dapat

dikombinasikan dengan obat antikanker secara sinergis dan diharapkan dapat

meningkatkan sensitifitas sel terhadap doxorubisin. Sebagai contohnya yaitu sel

MCF-7 merupakan salah satu sel kanker payudara yang resisten terhadap agen


(4)

commit to user

kemoterapi, akan tetapi kombinasi penggunaan doxorubisin dengan fraksi butanolik

kapang endofit buah makasar mampu meningkatkan sensitifitas sel MCF-7 terhadap

doxorubisin sehingga memperkuat pemacuan apoptosis sel MCF-7. Penggunaan

tunggal fraksi butanolik tersebut mempunyai

I

C

50-24 jam

48 µg/ml dan 148 nM pada

doxorubisin, akan tetapi sinergisme fraksi butanolik tersebut dengan doxorubisin

terlihat dari nilai CI (

Indeks Combinasi

) <0,9 (Kumala

et al

., 2009). Oleh karena itu

penggunaan kombinasi antara senyawa antikanker dari bahan alam dengan obat

antikanker merupakan salah satu alternatif pengobatan saat ini.


(5)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

1.

Isolat 5 mempunyai nilai

I

C

50-24 jam

sebesar 88.10 µg/ml terhadap sel HeLa,

sedangkan isolat 4 mempunyai nilai

I

C

50-24 jam

>1000 µg/ml. Akan tetapi pada

sel SiHa baik isolat 4 maupun 5 keduanya mempunyai nilai

I

C

50-24 jam

> 1000

µg/ml.

2.

Isolat 4 dan 5 mempunyai efek sitotoksik terhadap sel HeLa dan SiHa yaitu

adanya penghambatan pertumbuhan pada kedua sel kanker tersebut, akan

tetapi efek sitotoksik terbesar yaitu isolat 5 terhadap sel HeLa.

B.

Saran

1.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai senyawa yang mempunyai

efek sitotoksik terhadap penghambatan pertumbuhan sel HeLa.

2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penghambatan dan

mekanisme apoptosis pada sel HeLa.


(6)