Uji Sitotoksik HASIL DAN PEMBAHASAN

commit to user 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Sitotoksik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik isolat aktif dari ekstrak kloroform rumput mutiara H. corymbosa L. Lamk. terhadap sel HeLa dan SiHa. Dua isolat aktif rumput mutiara, yaitu isolat 4 dan isolat 5, diuji secara lanjut berdasarkan sitotoksiknya terhadap sel HeLa dan SiHa. Hal ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik masing-masing isolat terhadap sel HeLa dan SiHa sehingga dapat ditentukan besarnya nilai IC 50-24 jam dari masing-masing isolat. Pada penelitian ini menggunakan metode MTT karena relatif cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk mengukur sampel dalam jumlah besar. Namun, pada penggunaan metode MTT ini senyawa uji yang digunakan tidak boleh senyawa yang berwarna karena akan menimbulkan bias terhadap nilai absorbansi Doyle dan Griffiths, 2000. Uji sitotoksisitas dimulai dengan menumbuhkan kultur sel HeLa dan SiHa hingga konfluen dalam medium RPMI 1640 untuk mendapatkan jumlah sel sesuai dengan kebutuhan uji. Medium RPMI 1640 digunakan karena medium ini merupakan jenis medium yang umum digunakan pada kultur sel Freshney, 2000. Medium ini terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam organik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon- commit to user 33 hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan dalam pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim. A.1. Sel HeLa Sebelum diberi perlakuan, dilakukan persiapan terhadap kultur sel. Sel HeLa ditumbuhkan hingga konfluen dalam medium RPMI. Jumlah sel yang telah konfluen terlihat menempel rapat di dasar flask Gambar 7.a. Morfologi sel HeLa akan terlihat berbentuk lonjong seperti daun. Jumlah sel yang telah konfluen selanjutnya dilakukan pemanenan sel untuk selanjutnya digunakan dalam uji sitotoksik. Media kultur sel dibuang untuk memudahkan pemanenan dan perhitungan sel, kemudian ditambahkan dengan 100 µl tripsin agar sel lepas dari dasar flask. Sel yang lepas dari dasar sel dan sel yang hidup akan berbentuk bulat–bulat serta terlihat mengapung di permukaan Gambar 7.b. Gambar 7. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x sebelum pemberian tripsin a dan setelah pemberian tripsin b. b a commit to user 34 Sel sebelum pemberian tripsin terlebih dahulu dilakukan pencucian dengan PBS yang berfungsi untuk menghilangkan serum dalam media RPMI 1640 yang tertinggal, karena serum ini dapat menghambat kerja tripsin Freshney, 2000. Pemberian tripsin berfungsi sebagai enzim protease yang melepaskan interaksi antara molekul glikoprotein dan proteoglikan dengan permukaan flask, akibatnya sel akan kehilangan kemampuannya untuk melekat pada permukaan flask dan terlihat mengapung Doyle dan Griffith, 2000. Sel yang telah dipanen kemudian dilakukan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan kedalam microplate. Variasi konsentrasi yang digunakan pada isolat 4 dan 5 adalah 200; 100; 50; 25; 12,5; 6,25; 3,125; 1,525; 0,78125; dan 0,390625 µgml. Doxorubicin digunakan sebagai kontrol positif dengan variasi konsentrasi mulai dari 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625; 0,3125; 0,15625; 0,078125; 0,0390625; dan 0,1953125 µgml. Selain itu digunakan pula kontrol negatif berupa kontrol sel dan kontrol medium RPMI 1640. Medium yang berisi sel didistribusikan dalam 96 sumuran masing-masing 100µl, kemudian ditambahkan variasi konsentrasi isolat 4 dan 5 sebanyak 100µl secara triplet. Tahap berikutnya, microplate yang berisi sel dan sampel uji diinkubasi selama 24 jam dan dilakukan pengamatan selanjutnya. Pengamatan morfologi sel setelah perlakuan dilakukan di bawah mikroskop. Pada perlakuan isolat 4, pada konsentrasi 200 µgml jumlah sel yang mati lebih commit to user 35 sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sel yang mati pada perlakuan isolat 5. Hal ini terlihat pada Gambar 8.a sel yang hidup dan berbentuk bulat jernih masih tampak terlihat lebih banyak. Sel kontrol negatif tampak berbentuk seperti daun, menempel di dasar flask, sedangkan pada kontrol positif, doxorubisin, terlihat banyak sel yang mati dan berwarna keruh. Gambar lengkap pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 8. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan isolat rumput mutiara pada perlakuan a Isolat 4 konsentrasi 200 µgml, b Isolat 5 konsentrasi 200 µgml, c doxorubixin konsentrasi 10 µgml, d kontrol sel. Keterangan: 1 sel hidup, 2 sel mati 2 1 d c a b 1 2 1 1 2 commit to user 36 Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa isolat 5 mampu menghambat pertumbuhan sel HeLa lebih besar bila dibandingkan dengan isolat 4. Hal ini juga terlihat pada jumlah persentase kematian sel, pada isolat 5 konsentrasi 200 µgml mampu menyebabkan kematian sel sebesar 84.946, sedangkan isolat 4 pada konsentrasi yang sama hanya mampu menyebabkan kematian sel sebesar 14.874. Persentase kematian sel untuk setiap perlakuan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan data absorbansi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 1. Persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan isolat 4 dan 5 Konsentrasi µgml Rata-rata absorbansi Kematian sel Isolat 4 200 1.627 14.874 100 1.642 13.978 50 1.642 13.978 25 1.666 12.545 12.5 1.677 11.888 6.25 1.683 11.529 3.125 1.687 11.290 1.5625 1.794 4.898 0.78125 1.851 1.493 0.390625 2.036 -9.558 Isolat 5 200 0.454 84.946 100 0.812 63.560 50 1.574 18.041 25 1.576 17.921 12.5 1.64 14.098 6.25 1.645 13.799 3.125 1.655 13.202 1.5625 1.658 13.023 0.78125 1.717 9.498 0.390625 1.779 5.794 Kontrol sel 1.876 Kontrol medium 0.202 commit to user 37 Berdasarkan hasil pada Tabel 1, isolat 4 pada konsentrasi tertinggi 200 µgml belum menunjukkan kematian 50, hanya sebesar 14.874. Oleh karena itu konsentrasi isolat 4 perlu dinaikkan hingga diperoleh kematian 50 untuk menentukan nilai I C 50-24 jam . Konsentrasi isolat 4 dinaikkan diatas 200 µgml hingga 1000 µgml. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 2, sedangkan nilai absorbansi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 2. Persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan isolat 4 Konsentrasi µgml Rata-rata absorbansi kematian sel Isolat 4 1000 1.234 39.199 500 1.493 24.158 250 1.519 22.648 125 1.585 18.815 62,5 1.58 19.106 31,25 1.595 18.235 15,625 1.565 19.977 1,9531 1.604 17.712 Kontrol sel 1,909 Kontrol media 0.187 Pada Tabel 2 terlihat bahwa hingga konsentrasi 1000 µgml isolat 4 hanya mampu menyebabkan kematian sebesar 39.199. Berdasarkan data tersebut maka isolat 4 tidak toksik terhadap sel HeLa. Namun sebaliknya, isolat 5 pada konsentrasi 100 µgml mampu menyebabkan kematian sel HeLa sebesar 63.56. Oleh karena itu I C 50-24 jam isolat 5 untuk sel HeLa 100 µgml. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 terlihat bahwa penambahan konsentrasi isolat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kematian sel. Jumlah commit to user 38 sel yang hidup pada kontrol sel lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sel hidup yang ada pada masing-masing perlakuan. Hal ini sesuai dengan Gambar 8.d yaitu terlihat pada kontrol negatif jumlah sel yang hidup lebih banyak bila dibandingkan dengan perlakuan penambahan isolat 4 dan 5 maupun pada doxorubisin. Data kematian sel pada perlakuan doxorubisin dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan data-data tersebut maka dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini isolat 5 lebih toksik dibandingkan isolat 4 pada sel HeLa Gambar 9. Gambar 9. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan isolat rumput mutiara pada perlakuan a IC 50 isolat 4 konsentrasi 1000 µgml, b I C 50-24 jam isolat 5 konsentrasi 100 µgml. Keterangan: 1 sel hidup, 2 sel mati Gambar 9.a menunjukkan bahwa hingga konsentrasi 1000 µgml masih terlihat banyak sel yang hidup, sedangkan pada Gambar 9.b konsentrasi 100 µgml jumlah sel yang mati lebih banyak bila dibandingkan dengan Gambar 9.a yaitu sebesar 63.560 Tabel 1. a b 1 2 1 2 commit to user 39 Perhitungan terhadap persentase kematian sel dilakukan untuk menentukan nilai I C 50-24 jam dari masing-masing perlakuaan. I C 50-24 jam merupakan konsentrasi yang menyebabkan penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50 dari populasi sel. Perhitungan I C 50-24 jam menggunakan analisa probit dan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisa probit ini diperoleh dengan mengubah persentase kematian menjadi angka probit dengan menggunakan tabel probit Lampiran 4, kemudian dibuat grafik persamaan regresi linier antara probit dan log konsentrasi. Gambar 10 merupakan kurva persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 4 terhadap sel HeLa, sedangkan kurva persamaan regresi linier isolat 5 terhadap sel HeLa dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 4 terhadap sel HeLa. y = 0.023x + 19.944 r 2 = 0.884 commit to user 40 Gambar 11. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit isolat 5 terhadap sel HeLa. Kurva persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit doxorubisin terhadap sel HeLa tersaji pada Gambar 12. Gambar 12. Persamaan regresi linier antara log konsentrasi dengan probit Doxorubisin terhadap sel HeLa. y = -0.880x + 6.712 r 2 = 0.869 y = -0.663x+ 5.204 r 2 = 0.912 commit to user 41 Berdasarkan hasil analisa probit yang dilakukan didapatkan nilai I C 50-24 jam isolat 5 sebesar 88.10 µgml dan 2.03 µgml untuk doxorubisin, sedangkan isolat 4 tidak dilakukan perhitungan I C 50-24 jam karena hingga konsentrasi 1000 µgml belum menunjukkan persentase kematian 50 dan menurut Meyer et al. 1982 nilai I C 50-24 jam 1000 µgml dinyatakan tidak toksik. Jadi semakin besar nilai I C 50-24 jam maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Suatu ekstrak tanaman berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen antikanker bila memiliki I C 50-24 jam 100 µgml Ueda et al., 2002. Nilai I C 50-24 jam 100 µgml menunjukkan adanya potensi senyawa uji sebagai agen kemoprevensi Meiyanto et al., 2008. Berdasarkan hasil tersebut maka isolat 5 mempunyai kemampuan dalam penghambatan pertumbuhan sel HeLa dan berpotensi sebagai agen kemoprevensi.

A. 2. Sel SiHa