PERBEDAAN KADAR MAGNESIUM SERUM ANTARA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG MATI TENGGELAM DI AIR TAWAR DENGAN DI AIR LAUT

(1)

PERBEDAAN KADAR MAGNESIUM SERUM ANTARA TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus) YANG MATI TENGGELAM DI AIR TAWAR

DENGAN DI AIR LAUT

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BHETARIA SANTOSO

G 0006059

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus

Putih (Rattus norvegicus) yang Mati Tenggelam di Air Tawar dengan di Air

Laut

Bhetaria Santoso, NIM : G 0006059, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Kamis , Tanggal 25 maret 2010

Pembimbing Utama

Nama

: Hari Wujoso, dr., M.M., Sp.F

NIP

: 196210221995031001

...

Pembimbing Pendamping

Nama

: Prof.Bhisma Murti, dr., MPH., MSc., Ph.D

NIP

: 195510211994121001

...

Penguji Utama

Nama

: Andy Yok S, drg., M.Kes


(3)

Anggota Penguji

Nama

: Enny Ratna Setyawati, drg

NIP

: 19521103198003200

...

Surakarta, ………..

Ketua Tim Skripsi

Sri Wahjono, dr., M.Kes.

NIP. 194508241973101001

Dekan FK UNS

Prof.Dr. A. A. Subijanto, dr., M.S.

NIP. 194811071973101003

DAFTAR ISI

PRAKATA... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAM PIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.

Latar Belakang Masalah ...

1

B.

Perumusan Masalah...

4


(4)

D.

Manfaat Penelitian...

4

BAB II LANDASAN TEORI... 5

A.

...

Ti

njauan Pustaka...

5

1.

Tenggelam...

5

a.

Definisi dan Klasifikasi Tenggelam ...

5

b. Mekanisme Tenggelam ...

7

c.

Patofisiologi Kematian Akibat Tenggelam ...

11

2...

M

agnesium...

13

a.

Homeostatis Magnesium ...

13

b. Pemeriksaan Kadar Magnesium...

15

c.

Serum Penanda Mati di Air Tawar dan di Air laut ...

18

d. Evaluasi Kadar Magnesium ...

19

3...

Ca

iran Tubuh dan Elektrolit...

20

B...

Ke

rangka Pemikiran...

23

C...

Hi

potesis ...

23


(5)

A.

...

Je

nis Penelitian ...

24

B...

Lo

kasi Penelitian ...

24

C...

Su

bjek Penelitian...

24

D.

...

Te

knik Sampling ...

24

E...

Id

entifikasi Variabel ...

24

F.

...

De

finisi Operasional Variabel ...

25

G.

...

Al

at dan Bahan Penelitian ...

27

H.

...

Ca

ra Kerja ...

28

I.

...

De

sain Penelitian ...

29

J...

Te

knik Analisis Data ...

29

BAB IV HASIL PENELITIAN... 30


(6)

BAB VI SIM PULAN DAN SARAN... 38

A.

...

Si

mpulan ...

38

B...

Sa

ran...

38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok kloroform, kelompok air t aw ar, dan kelompok air laut ... 31

Tabel 4.2. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok kloroform, kelompok air t aw ar, dan kelompok air laut dengan uji M ann


(7)

Tabel 4.3. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok kloroform, kelompok air laut dengan uji M ann Whit ney………... 31

Tabel 4.4. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok air t aw ar ,

dan kelompok air laut dengan uji M ann Whit ney………. 32


(8)

Diagram 4.1. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok klorof orm, kelompok air t aw ar, kelompok dan air laut ……… 33


(9)

DAFTAR LAM PIRAN

Lam piran A. Dat a Penelit ian

Lam piran B. Hasil Uji Kr uskal-Walls Terhadap Kadar M agnesium Ser um Tikus Put ih

Lam piran C. Hasil Uji ANOVA Terhadap Kadar M agnesium Serum Tikus Put ih

Lam piran D. Hasil Uji Post Hoc Terhadap Kadar M agnesium Serum Tikus Put ih

Lam piran E. Hasil Uji M ann-Whit ney Terhadap Kadar M agnesium Serum Tikus


(10)

Lam piran G. Surat Ijin Penelit ian

Lam piran H. Fot o-fot o Penelit ian

ABSTRAK

Bhetaria Santoso, G 0006059, 2010. Perbedaan Kadar Magnesium Serum Antara

Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Mati Tenggelam di Air Tawar dengan di Air

Laut.

Tujuan penelitian : Kasus tenggelam telah lama menjadi dilema dalam ilmu

kedokteran forensik. Mungkin dijumpai korban yang tenggelam di sungai tetapi

ditemukan di laut. Perbedaan salinitas air tawar dan air laut dapat menimbulkan

perbedaan pada kadar magnesium serum, sehingga diharapkan dapat membantu

menentukan lokasi pasti kematian korban tenggelam. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium serum pada tikus putih (Rattus

norvegicus) yang mati tenggelam di air tawar dengan di air laut.

Metode penelitian : Jenis penelitian yang digunakan yaitu eksperimental

laboratorik dengan desain penelitian eksperimen kuasi post test only with control

design. Sampel yang digunakan adalah 14 ekor tikus putih jantan, dipilih secara

convenience sampling, dibagi dalam tiga kelompok, yaitu enam ekor tikus putih

kelompok kontrol yang dikorbankan secara asfiksia menggunakan kloroform,dan

tiga ekor tikus putih kelompok perlakuan ditenggelamkan di air tawar,dan lima

ekor tikus putih kelompok perlakuan ditenggelamkan di air laut. Darah diambil

dari jantung kiri dan dipisahkan dari serum menggunakan sentrifuge. Kadar

magnesium serum kemudian diukur dengan atomic absorption spectroscopy. Data

yang diperoleh dianalisis menggunakan Kruskall Walls dan Mann Whitney

dengan tingkat kemaknaan 0.05.

Hasil penelitian : Rata-rata kadar magnesium serum pada kelompok kontrol,

kelompok air tawar, dan kelompok air laut secara berurutan sebesar 3.58 mg/dL,

3.40 mg/dL dan 6.98 mg/dL. Analisis dengan uji Mann Whitney menunjukkan

perbedaan rata-rata kadar magnesium serum antara kelompok air tawar dan

kelompok air laut sebesar 2.26

mg/dL, dengan nilai signifikansi p sebesar 0.036

(p<0.05).


(11)

Simpulan penelitian : Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar

magnesium serum antara tikus yang tenggelam di air tawar dan air laut, dengan

kadar magnesium serum pada tikus yang ditenggelamkan di air laut paling tinggi

dibandingkan kedua kelompok lainnya.


(12)

ABSTRACT

Bhetaria Santoso, G 0006059, 2010. The Difference of Magnesium Serum Levels

between Fresh Water and Sea Water Drowning in Rats.

Objective : The drowning is prostrated as a dilemma for the forensic medicine. A

victim drowned in a river can have the body found in the ocean. The difference of

salinity in fresh and sea water can affect changes in magnesium serum levels,

which can be used to confirm the place where the death really happened. This

study aimed to determine the magnesium serum level in rats which were drowned

in fresh water, compared with those in sea water.

Methods : This study is laboratory trials with post test only control design.

Samples were drawn from 14 male rats, convenience sampling in three groups :

control which asphyxiated with chloroform, n=6; which were drowned in fresh

water, n=3; and which were drowned in sea water, n=5. Blood samples were

drawn from left chamber of the heart and were centrifuged to obtain the serum.

The magnesium serum level was measured using atomic absorption spectroscopy.

Kruskall Walls and Mann Whitney were used to analyze the data.

Results :

The average serum magnesium levels in the control group, group of

freshwater and seawater groups respectively for 3.58 mg/dL, 3.40 mg/dL and 6.98

mg/dL. Analysis with Mann Whitney test showed an average difference of serum

magnesium levels between groups of freshwater and seawater groups at 2.26 mg /

dL, with a significance value of p is 0.036 (p <0.05).

Conclusion :

This review has shown that there was a significant difference of

magnesium serum level between fresh water and sea water drowning. The

magnesium serum level in rats which were drowned in sea water is the highest of

all.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Lat ar Belakang M asalah

Besarnya angka kejadian t enggelam di seluruh dunia sangat ber variasi, t er gant ung pada akses ke air , iklim, dan kebiasaan ber enang (Wikipedia, 2009). Sepert i dilaporkan oleh Shepherd dan M art in (2005), set iap t ahun sekit ar 150.000 orang m eninggal akibat t enggelam. Pada kenyat aannya, angka t ersebut kemungkinan lebih besar oleh karena t idak semua kejadian t enggelam dilaporkan (Idris, et al., 2003). Di Inggris t erdapat 450 korban t enggelam per t ahunnya at au 1:150.000 populasi, sedangkan di USA set iap t ahunnya t erdapat 6.500 korban t enggelam at au 1:50.000 populasi (Wikipedia, 2009).

Kasus t enggelam t elah lama m enjadi dilema dalam ilmu kedokt eran forensik. Pada kasus pembunuhan misalnya, pelaku kejahat an m enenggelamkan korban ke dalam sungai t et api korban dit emukan di laut (Locali, et al., 2006). Di dalam kasus ini, ilmu kedokt eran forensik mempunyai kont ribusi besar dalam melakukan pem eriksaan mayat unt uk m enent ukan sebab dan cara kemat iannya, apakah kecelakaan, pembunuhan, at au bunuh diri (Idr ies, 1997), ser t a menent ukan lokasi past i kemat ian korban.

Tenggelam m erupakan kasus yang kom pleks dan bukan sekedar masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan (Idries, 1997). Per ubahan pat ofisiologi yan g


(14)

diakibat kan oleh t enggelam, t er gant ung pada jumlah dan sifat cairan yang t erhisap sert a lamanya hipoksemia t erjadi (Rijal, 2001). Asf iksia merupakan penyebab kemat ian dalam kasus t enggelam. Asfiksia t erjadi karena penyumbat an saluran pernapasan oleh cairan yang masuk ke dalam saluran nafas sehinga menghalangi penyerapan oksigen ke dalam t ubuh.

Set elah air masuk dalam saluran napas, perubahan keseim bangan cairan t ubuh dan kimia darah merupakan gangguan yang serius. Unt uk membukt ikan gangguan t ersebut , pem eriksaan laborat orium cairan t ubuh sangat diperlukan, t erut ama pem eriksaan darah. Karena m ekanism e kemat ian pada kasus t enggelam berbeda-beda, keadaan t ersebut akan m emberi w arna pada pemeriksaan mayat dan pem eriksaan laborat orium. Dengan kat a lain, kelainan yang didapat kan pada kasus t enggelam t ergant ung dari mekanism e kemat iannya (Idries, 1997).

M ekanisme t enggelam dalam air laut berbeda dengan t enggelam dalam air t aw ar (Idries, 1997). Pada korban yang t enggelam dalam air laut , air akan dit arik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan int er st it ial paru karena konsent rasi elekt rolit dalam air laut lebih t inggi daripada dalam darah, sehingga menimbulkan edema pulmoner, hemokonsent rasi, dan hipovolemi (Budiyant o, 1997). Ber beda dengan air laut , air t aw ar bersif at hipot onik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera didist ribusikan, sehingga pada korban yang mat i t enggelam dalam air t aw ar t erjadi absorpsi cairan yang masif (Rijal, 2001). Air t aw ar akan masuk ke dalam aliran darah sekit ar alveoli karena konsent rasi elekt rolit dalam air t aw ar lebih rendah daripada konsent rasi elekt rolit dalam darah, sehingga t erjadi hemodilusi


(15)

darah. Akibat pengenceran darah yang t erjadi, t ubuh mencoba mengat asi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium dari serabut ot ot jant ung sehingga kadar ion kalium dalam plasma meningkat . Perubahan keseimbangan ion K+ dalam serabut ot ot jant ung akan mendorong t erjadinya fibrilasi vent rikel (Budiyant o, 1997).

M agnesium ber peran pent ing dalam m empert ahankan homeost at is kalsium dan kalium yang normal. Hal ini memper mudah t ransport asi nat rium dan kalium melew at i membran sel (ber t anggung jaw ab t erhadap hipokalemia sekunder yang t erjadi pada hipomagnesia), dan m empengaruhi kadar kalsium int r asel melalui ef eknya pada sekresi PTH. Hipomagnesia t er ganggu dengan p elepasan PTH dan dengan ef eknya pada jaringan sasaran sehingga dapat t erjadi hipokalsemia yan g disebabkan oleh hipomagnesemia.

Konsent rasi magnesium serum m erupakan salah sat u pengukuran yang sering digunakan di laborat orium. M agnesium mer upakan salah sat u elekt rolit pent ing dalam cairan t ubuh, pengamat an t erhadap kadar magnesium serum darah diharapkan dapat membant u menent ukan lokasi kemat ian dengan t epat . Kadar magnesium serum pada vent rikel kiri dapat digunakan unt uk m embedakan ant ara aspirasi di air t aw ar dan air laut. Kadar magnesium serum dalam jant ung dan darah t epi m eningkat secara t ajam pada kasus t enggelam di air laut dibandingkan dengan kasus lainnya. Penanda ini sangat ber guna unt uk diagnosis dan membedakan t enggelam di air t aw ar at au di air laut

Kar ena mekanism e kemat ian pada kasus t enggelam di air t aw ar dan air laut berbeda, keadaan t ersebut akan mengakibat kan perbedaan pada pem eriksaan


(16)

mayat dan pem eriksaan laborat orium (Idries, 1997).

B.

Perumusan M asalah

Apakah ada perbedaan kadar magnesium serum ant ara t ikus put ih (Rat t us

norvegicus) yang mat i t enggelam di air t aw ar dengan di air laut ?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan lat ar belakang di at as, penulis ingin menget ahui perbedaan kadar magnesium serum ant ara t ikus put ih (Rat t us nor vegicus) yang mat i t enggelam di air t aw ar dengan di air laut .

D.

M anfaat Penelitian

1. M anf aat Teorit is

Penelit ian ini digunakan unt uk membukt ikan t eori yang sudah ada dan diharapkan dapat memberikan kont ribusi bagi Ilmu Kedokt eran For ensik unt uk membant u menegakkan diagnosis korban t enggelam di air t aw ar at au di air laut dan menent ukan lokasi past i kemat ian korban t enggelam.

2. M anf aat Prakt is

M anf aat prakt is yang diharapkan adalah penelit ian ini dapat digunakan sebagai dat a aw al unt uk penelit ian lebih lanjut mengenai perubahan hist opat ologis jaringan paru, sehingga dapat m enent ukan lokasi past i kemat ian dengan lebih akurat .


(17)

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pust aka

1.

Tenggelam

a. Definisi dan Klasifikasi Tenggelam

Berdasarkan konsensus W orld Congress on Drow ning yang diadakan di Amst erdam pada t ahun 2002, t enggelam didefinisikan sebagai suat u proses yang m engakibat kan gangguan respirasi oleh karena submersion/ immersion di dalam cairan (van Beeck, et al., 2005).

Submersion adalah keadaan saat seluruh t ubuh, t ermasuk salur an naf as, berada di dalam air, sedangkan immersion adalah tenggelam dengan hanya w ajah dan jalan nafas yang t erbenam (Idris, et al., 2003). Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kemat ian akibat mat i lemas (asf iksia) karena masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan (Budiyant o, 1997) yang diser t ai hilangnya fungsi pernapasan karena bronkus respirat or ius dan alveolus t erisi air (Rab, 1998). Bagian t erpent ing dari asfiksia adalah perjuangan m elaw an hal yang menyebabkan gangguan napas, salah sat unya adalah aspirasi air pada korban t enggelam. Selain gangguan pada saluran pernapasan, juga t erjadi perubahan lainnya (Rab, 1998), sepert i gangguan keseimbangan cair an t ubuh dan kimia darah yang t imbul segera set elah air t erinhalasi


(19)

sehingga dapat menimbulkan kemat ian.

Hasil akhir dari kejadian t enggelam harus dikat egorikan sebagai korban selamat at au meninggal. Korban selamat yait u korban yang t et ap hidup set elah kejadian akut dan gejala sisa akut maupun subakut . Sebagai cont oh, korban selamat didefinisikan sebagai korban t enggelam yang berhasil di-resusit asi dari hent i jant ung at au hent i nafas dan keluar dari rumah sakit at au berhasil bert ahan hidup dan kemudian meninggal oleh kar ena penyebab yang lain. Korban t enggelam yang berhasil mendapat kan r esusit asi di t empat kejadian t et api kemudian m enyerah kepada kondisi yang disebabkan oleh t enggelam, harus dikat egorikan sebagai kemat ian akibat t enggelam. Jika t erdapat hubungan sebab akibat yang jelas, t idak ada bat asan w akt u unt uk m enent ukan kemat ian akibat t enggelam.

Secara umum, penyebab kemat ian t erbanyak pada korban t enggelam adalah :

1) Kemat ian ot ak akibat hipoksia at au iskemia ot ak yang parah. 2) Acut e Respirat ory Dist ress Syndrome.

3) Kegagalan mult i organ akibat gangguan hipoksik at au iskemik yang parah.

4) Sindrom sepsis karena pneumonia aspirasi at au infeksi nosokomial. Korban yang selamat dapat diklasifikasikan berdasarkan keparahan dan t ipe morbidit as, seper t i gangguan neurologis at au gangguan


(20)

respirasi. Ada bermacam cara yang r elevan unt uk m engukur hasil akhir dari suat u kejadian t enggelam. Unt uk dew asa, pada umumnya menggunakan ABC score (Aw ake, Blunt ed, Comat ose), Glasgow Com a

Scale (GCS), sert a Glasgow -Pit t sburgh Cerebr al Perfor mance Cat egor ies (CPC) dan Over all Perf ormance Cat egories (OPC), sedangkanpada anak-anak menggunakan Pediat ric Cerebral Performance Cat egory Scale dan

Pediat ric Overall Performance Cat egory Scale (Idris, et al., 2003).

b. M ekanisme Tenggelam

Secara umum m ekanisme t enggelam dapat digolongkan menjadi dua, yait u dengan aspirasi cairan (t ypical at au w et dr ow ning) dan t anpa aspir asi cairan (at ypical at au dry dr ow ning). M ekanism e kemat ian dengan aspirasi cairan adalah asf iksia, sedangkan m ekanism e kemat ian t anpa aspirasi cairan adalah spasme laring at au ref leks vagal (Widi et al., 2006). Yang akan dibahas dalam penelit ian ini adalah mekanism e kemat ian dengan aspirasi cairan.

Proses t enggelam dimulai saat jalan nafas korban t er benam di baw ah permukaan cairan. Korban secara sadar m enahan naf asnya, kemudian diikut i dengan periode laryngospasm e involunt er yang disebabkan oleh adanya cairan di orofaring at au laring. Selama periode ini, korban t idak mampu m enghirup udara, sehingga kadar oksigen menurun dan karbondioksida t idak dapat dibuang keluar. Korban


(21)

kemudian menjadi hiperkarbia, hipoksemia, dan asidosis. Pada periode ini korban akan menelan air dalam jumlah banyak (M odell, et al., 1976). Per gerakan respirasi korban mungkin menjadi sangat akt if, t et api t idak ada pert ukar an udara karena obst ruksi laring. Saat t ekanan oksigen art eri t er us m enurun, laryngospasm e menghilang dan korban mengaspirasi cairan secara akt if dengan jumlah cairan yang t eraspirasi ber variasi (M odell dan M oya, 1966).

Per ubahan t erjadi di paru, cairan t ubuh, t ekanan gas darah, keseim bangan asam-basa, dan konsent rasi elekt rolit , yang bergant ung pada komposisi, volume cairan yang t er aspirasi, dan durasi t enggelam (M odell, et al., 1967). Proses t enggelam melibat kan gangguan hipoksia primer. Korban t enggelam yang t idak bernapas at au kehilangan kesadaran mengalami resiko menderit a gangguan hipoksia t ambahan saat diangkat dari air. Bahkan jika vent ilasi spont an berhasil dilakukan kembali, hipoksia bisa t et ap ada karena shunt ing int rapulmoner yang disebabkan oleh aspirasi air/ benda asing, dan kerusakan organ semakin bert ambah bahkan set elah m endapat kan peraw at an di rumah sakit (M odell, et al., 1966). Korban dapat pulih kembali set elah m endapat kan resusit asi, dengan at au t anpa t erapi t am bahan unt uk m enangani hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sert a m engembalikan f ungsi organ. Jika korban t idak segera diber i vent ilasi, at au t idak segera bernafas spont an, akan t erjadi hent i jant ung, yang akan menyebabkan kegagalan mult i organ dan kemat ian, yang semua it u disebabkan oleh hipoksia


(22)

jaringan.

Jant ung dan ot ak mer upakan dua or gan yang berisiko t erbesar mengalami kerusakan karena periode hipoksia yang relat if singkat . Perkembangan dari post hypoxic encephalopat hy dengan at au t anpa edema ot ak adalah penyebab t ersering kemat ian pada korban t enggelam yang diraw at di rumah sakit . Bagian t erpent ing dari asfiksia adalah perjuangan m elaw an hal yang m enyebabkan gangguan napas, salah sat unya adalah aspirasi air pada korban t enggelam.

Selain gangguan pada saluran pernapasan, juga t erjadi perubahan lainnya (Rab, 1998), sepert i gangguan keseimbangan cairan t ubuh dan kimia darah yang t im bul segera set elah air t eraspirasi sehingga dapat menimbulkan kemat ian. Penyebab ut ama dari kemat ian adalah hipoksia dan asidosis, yang m endor ong ke arah hent i jant ung (cardiac arrest ) (Wikipedia, 2009).

M enurut Cheng dan Yakobi (2006), t erdapat lima t ahapan pada kejadian t enggelam. Pr oses t enggelam diaw ali dengan kepanikan at au perlaw anan, kemudian diikuti oleh t enggelam dengan menahan naf as. Kemudian korban mulai menelan air sebelum akhirnya mulai kehilangan kesadaran. Tahap ini dimulai kira-kira set elah t iga m enit berada di dalam air. Dalam lima menit , ot ak mulai mengalami kerusakan. Denyut jant ung mulai t idak t erat ur, sebelum akhirnya berhent i berdenyut .


(23)

Pada anak-anak dapat dit emukan adanya mekanism e pert ahanan t ubuh t erhadap t enggelam (mammalian dive ref lex), sepert i yang biasa dit emukan pada mamalia, khususnya mamalia laut (Wikipedia, 2009). Reflek ini lebih sering dijumpai pada mamalia yang t enggelam di air dingin (kurang dari 680F at au 200C) daripada di air hangat (Wikipedia, 2009) dan berfungsi unt uk m elindungi t ubuh dengan cara m enghemat oksigen agar bisa ber t ahan lebih lama di air, dengan cara penur unan m et abolisme t ubuh sepert i pengaliran darah hanya ke jant ung, paru, dan ot ak (Cheng dan Yakobi, 2006). (Wikipedia, 2009) merinci reflek t ersebut m enjadi t iga pr insip dasar, yaitu :

1) Bradikardia, yait u penurunan denyut jant ung. Pada m anusia penurunan denyut jant ung ini bisa mencapai 50%.

2) Vasokonst riksi perifer, yait u penghambat an aliran darah ke ekst r emit as dengan t ujuan unt uk m eningkat kan pasokan darah dan oksigen ke organ-organ vit al, t erut ama ot ak.

3) Blood shif t, pengalihan aliran darah ke r ongga dada, yait u daerah ant ara diafragma dan leher, unt uk menghindari kolaps paru karena semakin dalam korban t enggelam, t ekanan air akan semakin t inggi.

M eskipun kasus ini jarang dijumpai, korban biasanya masih bisa dir esusit asi dan dikembalikan ke fungsi normalnya. Korban dilaporkan selamat , meskipun t elah t enggelam selama sat u jam (Wikipedia, 2009).


(24)

c. Pat ofisiologi Kematian Akibat Tenggelam

Gangguan keseimbangan cairan dan elekt rolit darah merupakan fakt or t erpent ing penyebab kemat ian t enggelam. Hal ini diperkuat hasil riset yang dilakukan Sw ann, et al. (1947) m enggunakan anjing yang seluruh t ubuhnya dit enggelamkan dalam air t aw ar dan air laut . Pada kedua m edia t er jadi t ransf er air secara berkesinambungan dalam dua arah ant ara r ongga alveolar dan darah, seper t i cont ohnya edema paru yang berkembang simult an dengan proses difusi. M ekanism e pert ukaran ini berbeda t ergant ung air yang masuk ke dalam saluran nafas, air laut at au air t aw ar, karena perbedaan kadar garam menyebabkan perbedaan mekanisme penyesuaian cairan dan el ekt rolit ant ara rongga alveolar dan pembuluh darah. Per pindahan cairan ini t erjadi dengan cepat sehingga set iap perbedaan osmolarit as ant ara kedua kompar t em en ini biasanya akan dikoreksi dalam w akt u det ik at au umumnya dalam menit (Guyt on dan Hall, 1997).

1) Tenggelam di air t aw ar

Air t aw ar lebih hipot onis bila dibandingkan dengan plasma darah (Giert sen, 1988). Air yang t eraspirasi dan berada dal am alveoli segera berpindah ke dalam sirkulasi darah. Keadaan t ersebut m enyebabkan ekspansi volum e darah, hem odilusi, dan hemolisis. Tubuh berusaha mengkompensasi dengan melepas ion kalium dari serabut ot ot sehingga kadar ion kalium dalam plasma meningkat (Budiyant o, et al., 1997). Overload dari sirkulasi, hiponat remia, dan t idak seimbangnya rasio


(25)

nat rium dan kalium bersama-sama dengan hipoksia ot ot jant ung secara fat al menyebabkan penur unan t ekanan sist olik jant ung yang dengan cepat diikut i f ibrilasi vent rikel yang menyebabkan kemat ian. Kemat ian dapat t erjadi dalam w akt u 4 sampai 5 menit (Budiyant o, et al., 1997).

2) Tenggelam di air laut

Pada w akt u air laut t eraspirasi ke dalam alveoli, perbedaan osmolarit as mengakibat kan penarikan air dari pembuluh darah paru menuju ruang alveolar. Hal t ersebut akan menyebabkan gangguan pada pert ukaran gas di alveolar, sehingga m enimbulkan hipoksia dan abnormalit as t horax yang disebabkan oleh edema paru dan at elekt asis. Air dalam sirkulasi darah yang diserap oleh alveoli bisa mencapai 42%. Unt uk m encegah sel semakin membengkak dan lisis, elekt rolit (nat rium, klorida, magnesium) dipompa ke dalam darah sehingga m enimbulkan sedikit perubahan pada keseimbangan rasio nat rium dan kalium. Konsent rasi elekt r olit yang t inggi dalam air laut m engakibat kan osmosis air secara t erus-menerus ke dalam jaringan paru (Guyt on dan Hall, 1997), sehingga t erjadi edema pulmoner, hem okonsent rasi, dan hipovolemi (Budiyant o,

et al., 1997). Edema pulmoner akut dapat t erjadi jika t erdapat peningkat an permeabilit as kapiler paru (non kardiogenik), at au saat t ekanan hidrost at ik kapiler paru mel ebihi t ekanan onkot ik plasma (kardiogenik), at au keduanya. M ekanisme pada korban t enggelam belum diket ahui dengan past i, t et api diduga kar ena peningkat an t ekanan kapiler paru dari sist em saraf simpat is, peningkat an t ekanan


(26)

negat if int ra-t orakal, at au respon adr energik t erhadap kondisi di dalam air yang belum dapat dijelaskan secara biokimia (Slade, et al., 2001). Kemat ian dapat t erjadi dalam 8 sampai 10 m enit (Budiyant o, et al., 1997).

2.

M agnesium

a. Homeostatis M agnesium

Magnesium adalah elektrolit penting dalam tubuh. Serupa

dengan kalium, magnesium terutama ditemukan dalam ICF.

Magnesium adalah suatu pengatur proses sel yang penting untuk

kehidupan. Fungsi magnesium yang paling baik didefinisikan

adalah untuk aktivasi beragam fungsi enzim. Sebagai contoh,

semua ATP memerlukan magnesium untuk aktivasinya.

M agnesium dibut uhkan unt uk sint esis asam nukleat dan prot ein, dan mempengaruhi ot ot secara langsung dengan menurunkan pelepasan aset ilkolin di t aut neurom uskular dan ganglia simpat is, menyebabkan t erjadinya suat u efek mirip-kurare.

Efek ini dapat berlaw anan dengan kadar kalsium yang berlebihan at au dengan pemberian kalium secara sim ult an. M agnesium berperan pent ing dalam m empert ahankan hom eost at is kalsium dan kalium yang normal;hal ini mempermudah t ranspor t asi nat rium dan kalium melew at i membran sel (ber t anggung jaw ab t erhadap hipokalemia sekunder yang t erjadi pada hipomagnesia), dan


(27)

mempengaruhi kadar kalsium int rasel melalui ef eknya pada sekr esi PTH. Hipomagnesia t erganggu dengan pelepasan PTH dan dengan ef eknya pada jaringan sasaran sehingga dapat t erjadi hipokalsemia yang disebabkan oleh hipomagnesemia.

Tubuh manusia mengandung sekit ar 2000mEq m agnesium. Sekit ar 67persen dari jumlah ini berada dalam t ulang, 31 persen di int rasel, dan kurang dari 2 persen dalam ECF. Kadar magnesium serum normal adalah 1,8 hingga 3,0 mg/ dl (1,5 hingga 2,5 mEq/ L). Dari seluruh magnesium plasma, sekit ar 35 persen t erikat prot ein, 55 persen bebas, dan 15 persen membent uk kompleks dengan fosf at , sit rat , dan ligan-ligan lainnya. Hanya M g++ t erionisasi bebas yang t ersedia unt uk proses biokimiawi. Normalnya, pert ukaran ant ara ECF M g++ dan M g++ t ulang t erjadi akibat kelebihan at au defisit ion ini. M g++ berada dalam dua bent uk di dalam sel: berikat an dengan komponen organik dan dalam larut an yang seimbang dengan bent uk M g++ bebas dalam plasma. Sebagian besar M g++ di dalam sel berikat an dengan ATP, sehingga M gATP berada dalam keadaan yang seimbang dengan ion M g++bebas. Dengan demikian, perpindahan M g++ bebas dapat membant u unt uk mengat ur cadangan ATP.

ATP pent ing unt uk semua proses m et abolisme, sehingga konsent rasi M g++ serum yang nor mal berperan pent ing unt uk mempert ahankan cadangan nukleot ida yang pent ing. M agnesium


(28)

adalah suat u kat ion int rasel, sehingga kadarnya dalam serum t idak selalu mencerminkan cadangan magnesium t ubuh t ot al.

b. Pemeriksaan Kadar M agnesium

Konsentrasi magnesium dalam serum merupakan salah satu

pengukuran yang sering digunakan di laboratorium. Pada waktu

pengumpulan dan penanganan spesimen hendaknya digunakan

serum atau plasma heparin, tetapi hindarkan garam Mg dari

heparin (Wikipedia, 2009).

Unt uk mengukur kadar M g serum, t erdapat berbagai met ode. Kebanyakan laborat orium modern m engukur M g serum dengan m et od e fot om et ri pijar emisi yang memberikan informasi mengenai jumlah at om magnesium dalam suat u cairan at au met ode elekt roda-ion selekt if yang menunjukkan jumlah at om magnesium yang ber t indak sebagai ion yang sebenarnya (M arshall dan Bangert , 2004). Penelit ian ini menggunakan met ode At omic Absorpt ion Spect roscopy, yang mempunyai kelebihan dalam hal kecepat an, sensit ivit as, dan met od e operasional yang mudah (Khandpur, 2005).

Dalam ilmu kimia analit ik, AAS merupakan suat u t eknik unt uk mengukur konsent rasi part ikel logam dalam sampel (Wikipedia, 2009), berdasar pada prinsip bahw a jumlah absorpsi yang t erjadi bergant ung pada jumlah molekul yang t erdapat dalam sampel (Khandpur, 2005).


(29)

AAS memberikan analisis kuantit at if yang akur at unt uk mengukur kandungan logam dalam air, sedimen, t anah, at au bat u. Sampel yang dianalisis harus dalam bent uk larut an, sehingga sampel padat harus dilarut kan t erlebih dahulu (Depart ment of Geology Colgat e Universit y, 2008).

AAS dapat digunakan unt uk menganalisis konsent rasi 62 larut an logam yang berbeda (Wikipedia, 2009). Unit absorpsi at om AAS mempunyai empat bagian dasar : lampu yang mengeluarkan gelombang cahaya yang spesifik unt uk logam t er t ent u, alat unt uk mengaspirasi sampel, pijar api at au furnace aparat us unt uk m enguapkan sampel, dan sebuah det ekt or fot on (Depart ment of Geology Colgat e Universit y, 2008). Unt uk mengurangi emisi dari at omizer at au dari lingkungan, spekt rofot omet er biasanya dilet akkan ant ara at omi zer dan det ekt or (Wikipedia, 2009).

AAS memanfaat kan absorpsi spekt rofot om et r i unt uk menget ahui konsent rasi analit dalam sampel. Hal ini mengacu pada hukum Beer-Lamber t (Wikipedia, 2009), dengan rumus

Absorbansi (A) =

ε

b c

Dimana

ε

adalah koefisien ekst insi, b merupakan panjang gelombang cahaya, dan c adalah konsent rasi. Pada pengukuran spekt rofot om et ri,

ε

dan b hampir konst an sehingga secara keseluruhan absorbansi (A) hanya


(30)

dipengaruhi oleh konsent rasi (c) (Khandpur, 2005).

Unt uk menganalisis suat u elem en digunakan sebuah lampu unt uk menghasilkan panjang gelombang cahaya t ert ent u yang akan diabsorpsi oleh elem en (Depar t em ent of Geology Colgat e Universit y, 2008). Larut an sampel diaspirasi ke dalam pijar api (Depart em ent of Geology Colgat e Universit y, 2008) dengan m engubah sampel cair menjadi gas at om dalam 3 langkah (Wikipedia, 2009), yait u :

1) Desolvasi : pelarut (solvent ) diuapkan, sehingga hanya t erdapat sampel kering.

2) Vaporisasi : sampel padat diuapkan menjadi gas.

3) At omisasi : elemen penyusun sampel didest ruksi menjadi at om-at om bebas.

Jika elekt ron dari elem en t ersebut t erdapat dalam pijar api, elekt ron akan naik ke or bit yang lebih t inggi dengan mengabsorpsi cahaya yang diproduksi oleh lampu sebelum m encapai det ect or (Wikipedia, 2009).

Lampu dipilih yang mempunyai spekt r um lebih sempit daripada spekt rum t ransisi at om, seper t i lampu kat oda berongga pada m et ode konvensional, dan dioda laser yang digunakan pada diode laser at omic

absor pt ion spect r omet ry (DLAAS) dan w avelengt h m odulat ion absor pt ion spect romet r y (Wikipedia, 2009).


(31)

Jika jumlah ener gi yang digunakan pada pijar api diket ahui, dan jumlah ener gi yang t er sisa pada det ekt or dapat diukur, maka memungkinkan hukum Beer-Lamber t unt uk m enghit ung berapa banyak t ransisi yang t erjadi, dan hal ini memberikan sinyal yang sesuai dengan konsent rasi elemen yang diukur (Wikipedia, 2009).

c. Serum penanda unt uk membedakan mati di air taw ar dengan di air laut

Sampel darah jantung ventrikel kanan dan kiri yang

digunakan untuk penanda serum antaralain: sodium (Na), klorida

(Cl), magnesium (Mg), BUN, kreatinin (Cr), (SP-A) dan cardiac

troponin T (cTn-T).

Penanda serum yang paling efisien adalah BUN jantung

kanan dan kiri yang digunakan untuk membedakan tenggelam

(hemodilusi) dan kadar Mg pada ventrikel kiri untuk membedakan

antara aspirasi di air tawar dan air laut

.

Suatu ciri yang khas dari tenggelam di air laut adalah

penurunan rasio kanan-kiri BUN dan meningkatnya kadar Cl, Mg,

dan Ca serum ventrikel kiri. Kadar serum cTn-T biasanya

digunakan sebagai pembeda dalam kasus IMA.

Tenggelam di air tawar menunjukkan peningkatan serum

SP-A, meskipun tidak seperti tenggelam di air laut dan IMA.

Penemuan ini menasehatkan penggunaan penanda serum pada


(32)

kasus kematian karena tenggelam. ( Department

of Legal

Medicine, Osaka City University Medical School, 2005).

d. Evaluasi kadar magnesium dan kalsium dalam hubungannya dengan penyebab kematian dalam autopsi forensik

Kasus aut opsi (t ot al, n=360), m eliput i luka t umpul (n=76), luka t ajam (n=29), asfiksia (n=42), t enggelam(n=28;air t aw ar, n=11;di air laut ), luka bakar (n=79), keracunan m et hamphet amine (M A) (n=8), t rauma (n=37), dan inf ark miokard akut / ischemia (AM I, n=61), hipot er mi (cold exposure, n = 12), hipert er mi (heat st roke, n = 7), kardiak akut (ACD, n = 86), pneumonia (n = 9) dan pendarahan spont an ser ebral (n = 11). Dalam seluruh kasus, t idak ada peningkat an kadar Ca dan M g serum yang signifikan.

Kadar Ca dan M g serum dalam jant ung dan dar ah t epi meningkat secara t ajam pada kasus t enggelam di air laut dibandingkan dengan kasus lainnya. Di samping it u, peningkat an kadar Ca yan g signif ikan diobservasi pada kasus t enggelam di air t aw ar dan luka bakar, dan peningkat an kadar M g pada kasus keracunan met hamphet amin dan asfiksia. Analisis t opografi menyimpulkan bahw a peningkat an kadar M g dan Ca serum t er gant ung aspirasi pada saat t enggelam di air laut , bahw a kadar Ca meningkat pada t enggelam di air t aw ar dan kasus luka bakar, sedangkan kadar M g meningkat pada kasus asfiksia, keracunan


(33)

met hamphet amin, at au infark miokard akut , t et api kadarnya m enurun pada kasus hipot ermia. Penanda ini sangat berguna unt uk diagnosis dan membedakan t enggelam di air t aw ar at au di air laut (Depart ment of Legal M edicine, Osaka Cit y Universit y M edical School, 2005).

3.

Cairan Tubuh dan Elektrolit

a.

Cairan Tubuh

Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka

menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan

elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari

fisiologis homeostatis. Keseimbangan cairan dan elekrolit

melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh.

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat

tertentu (zat terlarut). Elekrolit adalah zat kimia yang

menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion

jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam

tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan

didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan

elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total

dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh, Keseimbangan cairan

dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya;jika

salah satu terganggu maka akan berpengaruh


(34)

Seluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua

kompartemen utama : cairan ekstraselular dan cairan intraselular.

Kemudian cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan interstisial

dan plasma darah. Pada orang normal dengan berat 70 kilogram,

total cairan tubuh rata-ratanya sekitar 60 persen berat badan, atau

sekitar 42 liter. Persentase ini dapat berubah, bergantung pada

umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas (Guyton dan Hall, 1997).

1),

Kompartemen Cairan Intraselular (ICF, intracellular Fluid)

Kompart emen ini m erupakan dua per t iga dari keseluruhan air dalam t ubuh, at au sekit ar 40 persen dari cairan t ubuh (M ur ray, et al., 2003). Cairan int raselular dipisahkan dari cair an ekst raselular oleh membran sel selekt if yang sangat perm eabel t er hadap air, t et api t idak permeabel t erhadap sebagian besar elekt rolit dalam t ubuh. M em bran sel mempert ahankan komposisi cairan di dalam sel agar serupa sepert i yang t erdapat pada berbagai sel t ubuh lainnya. Cairan int raselular hanya mengandung sejumlah kecil ion nat rium dan klorida dan hampir t idak ada ion kalsium. Sebaliknya, cairan ini mengandung sejumlah besar ion kalium dan f osfat dit ambah ion magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang. Cairan int raselular juga m engandung prot ein empat kali lebih banyak daripada plasma (Guyt on dan Hall, 1997).


(35)

2), Cairan Ekst raselular (ECF, Ext racellular Fluid)

Kompart emen ini berisi sepert iga dari keseluruhan air di dalam t ubuh dan didist ribusikan di ant ara plasma sert a kompart em en int erst isial. Cairan ekst raselular berada dalam pergerakan yang t et ap di seluruh t ubuh. Cairan ini dengan cepat dit ranspor masuk ke dalam darah sirkulasi dan selanjut nya bercampur dengan darah dan cairan jar ingan set elah ber dif usi menembus dinding kapiler (Guyt on dan Hall, 1997).

Cairan ekst raselular m erupakan sist em penghant ar yang mengangkut nut rien sel, oksigen, berbagai macam ion sert a unsur mineral renik dan berbagai molekul pengat ur (hormon) yang mengkoordinasikan pelbagai fungsi pada sel yang t erpisah jauh (M urr ay, et al., 2003). Komposisi cairan ekst raselular t erdiri at as sejumlah besar ion nat rium,klorida, dan ion bikarbonat , dit ambah bahan makanan unt uk sel seper t i oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino.


(36)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

C.

Hipotesis

Hipot esis dalam penelit ian ini adalah t erdapat perbedaan kadar magnesium serum ant ara t ikus put ih (Rat t us nor vegicus) yang mat i t enggelam di air t aw ar Tenggelam di air t aw ar Tenggelam di air laut

Aspirasi cairan ke paru

Air t aw ar yang hipot onis menempat i alveoli

Air laut yang hipert onis menempat i alveoli

Tekanan osmot ik darah di kapiler paru lebih t inggi

daripada air t aw ar di alveoli

Tekanan osmot ik darah di kapiler paru lebih rendah daripada air laut di alveoli

Konsent rasi magnesium darah menurun

Konsent rasi magnesium darah meningkat

Per bedaan kadar magnesium darah Osmosis cairan dari alveoli

ke kapiler paru

Osmosis cairan dari kapiler ke alveoli


(37)

(38)

BAB III

M ETODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian

Jenis penelit ian yang digunakan adalah eksperim ent al laborat orik dengan desain penelit ian eksperim en kuasi post t est only w it h cont r ol design.

B.

Lokasi Penelitian

Penelit ian ini dilaksanakan di Laborat orium Kedokt eran Kehakiman dan M edikolegal Fakult as Kedokt eran Universit as Sebelas M aret Surakart a dan Laborat orium Klinik Budi Sehat .

C.

Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelit ian ini adalah t ikus put ih (Rat t us

norvegicus) jant an st rain Wist ar, sebanyak 14 ekor . Sampel diperoleh dari UPHP (Unit Pengembangan Hew an Per cobaan) Universit as Gajah M ada.

D.

Teknik Sampling

Subjek penelit ian dipilih dengan menggunakan convenience sam pling. Pengambilan sampel dilakukan sedemikian rupa sehingga ket erw akilannya dit ent ukan oleh penelit i ber dasarkan per t imbangan (Budiart o, 2001). Besar sampel pada penelit ian ini adalah n=14, dengan rincian 6 ekor kelompok kloroform, 3 ekor kelompok air t aw ar, dan 5 ekor kelompok air laut .


(39)

E.

Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelit ian ini adalah

1.

Variabel bebas : jenis air (air t aw ar dan air laut )

2.

Variabel t er gant ung : kadar magnesium serum

3.

Variabel perancu : a. Usia t ikus

b. Jenis kelamin t ikus c. Berat badan t ikus

d. Suhu udara lokasi penelit ian

F.

Definisi Operasional Variabel

1.

Jenis air (air t aw ar dan air laut )

Jenis air memakai skala pengukuran kategorikal/dikotomi karena

hanya ada 2 jenis air yang dipakai untuk percobaan. Air laut diambil dari

pantai Marina Semarang, sedangkan air tawar diambil dari Laboratorium

Forensik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tenggelam di air tawar pada penelitian ini adalah submersi di air

tawar dalam jangka waktu minimal 4 sampai 5 menit (Budiyanto, et al.,

1997), sedangkan tenggelam di air laut selama minimal 8 hingga 10 menit

(Budiyanto, et al., 1997). Pada air laut waktu kematiannya lebih lama

dibanding dengan mati di air tawar karena mekanisme kematian pada air

laut dengan oedem paru, yang prosesnya lebih lambat daripada mekanisme

kematian pada air tawar yang berupa fibrilasi ventrikel.


(40)

2.

Kadar magnesium serum

Yang dimaksud dengan kadar magnesium serum pada penelitian

ini adalah kadar magnesium serum setelah tikus ditenggelamkan secara

submerse di air tawar selama 5 menit atau di air laut selam 8 menit. Serum

didapat dari pungsi ventrikel kiri yang dilanjutkan dengan sentrifugasi

untuk memisahkan serum dengan hematokrit. Kadar magnesium serum

diukur menggunakan atomic absorption spectroscopy (AAS) yang

memanfaatkan absorpsi spektrofotometri untuk mengetahui konsentrasi

partikel logam dalam sampel. Hasil pengukuran kadar magnesium serum

ini berskala kontinu, dalam satuan mg/dL.

3.

Usia t ikus

Usia tikus adalah umur tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai

subjek penelitian yang ditentukan secara randomisasi. Skala pengukuran

dinyatakan dalam skala kontinu,dalam satuan bulan.

4.

Jenis kelamin t ikus

Jenis kelamin tikus yang digunakan sebagai subjek penelitian

adalah Rattus norvegicus jantan. Skala pengukuran dinyatakan dalam

skala kategorikal.

5.

Berat badan t ikus put ih

Berat badan tikus yang digunakan sebagai subjek penelitian adalah

Rattus norvegicus dengan berat badan sekitar 200-300 gram. Skala

pengukuran dinyatakan dalam skala kontinu,dalam satuan gram (g).


(41)

6.

Suhu udara lokasi penelit ian

Definisi keadaan udara lokasi penelitian adalah keadaan cuaca saat

dilakukan penelitian pada lokasi penelitian. Suhu udara lokasi penelitian

37

o

C. Skala pengukuran dinyatakan dengan skala kontinu dalam satuan

derajat Celcius (

o

C).

7.

Genetik

Genet ik pada set iap spesies berbeda-beda sehingga mungkin berpengaruh pada hasil pengukuran.

8.

Kondisi psikologis t ikus (st r ess)

Kondisi psikologis t ikus (st ress) dapat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sekit ar.

G.

Alat dan Bahan Penelitian

1.

Alat -alat yang diperlukan :

a. Kandang hew an percobaan (t ikus) b. Kandang perangkap t ikus

c. Timbangan hew an d. Bak air

e. St oples kedap udara f. Kapas

g. Alat pembedahan (scalpel, pinset , gunt ing, meja lilin)

h. Alat unt uk pengambilan spesimen darah (spuit dan t abung penampung) i. Alat sent rifuge


(42)

j. Alat at omic absorpt ion spect roscopy (AAS)

2.

Bahan-bahan yang diperlukan : a. 14 ekor t ikus put ih jant an b. Air laut

c. Air t aw ar d. Kloroform

H.

Cara Kerja

1.

Tikus dit imbang kemudian diadapt asikan selama 24 jam dengan pemberian makanan dan minuman.

2.

Tikus Wist ar jant an sebanyak 14 ekor dengan ber at badan dibagi dalam 3 kelompok, yait u kelompok kloroform sebanyak 6 ekor dan kelom pok air t aw ar sebanyak 3 ekor,dan kelompok air laut sebanyak 5 ekor.

3.

Kelompok kloroform dikorbankan secara asfiksia dengan cara memasukkan t ikus ke dalam st oples yang t elah dialasi dengan kapas berkloroform pada dasar st oples.

4.

Kelompok air t aw ar dikorbankan dengan cara dit enggelamkan di air t aw ar secara submerse selama 5 menit (Budiyant o, et al., 1997).

5.

Kelompok air laut dikorbankan dengan cara dit enggelamkan di air laut secara

submerse selama 8 menit (Budi yant o, et al., 1997).

6.

Darah diambil ± 3 cc dari vent rikel kiri menggunakan spuit ukuran 3 cc dengan jarum 27G.

7.

Darah dimasukkan ke dalam t abung, kemudian disent rifuge 3000 rpm selama 5 menit unt uk m em per cepat pemisahan serum.


(43)

8.

Kadar magnesium serum diukur m enggunakan at omic absorpt ion spect roscopy (AAS) dengan cara membandingkan t ingkat absorbansi magnesium dengan larut an st andard.

9.

Hasil pengukuran kadar magnesium (dalam sat uan mg/ dL).

10.

Set elah melakukan percobaan ini, t ikus put ih yang sudah dicoba dikubur.


(44)

Gambar 2. Kerangka penelit ian

J.

Teknik Analisis Data

Dat a yang diperoleh dianalisis secara st at ist ik menggunakan uji Kruskall Walls m enggunakan program SPSS versi 16. Perbedaan kadar magnesium serum pada ket iga kelompok diuji secara st at ist ik dengan uji Kruskall Walls. Perbedaan kadar magnesium serum ant ara kelompok air t aw ar dan air laut diuji secara

Sampel 14 ekor t ikus

3 ekor kelompok air t aw ar 6 ekor kelompok

klorof orm

5 ekor kelompok air laut

Dikorbankan secara asfiksia menggunakan

kloroform

Dit enggelamkan di air t aw ar selama 5 menit

Dit enggelamkan di air laut selama 8 menit

Kadar nat rium serum dihit ung dengan met ode AAS Darah diambil

±

3 cc dari vent r ikel kiri

Darah dimasukkan ke dalam t abung sent rifuge

Analisis st at ist ik dengan Kruskall Walls dan M ann Whit ney


(45)

st at ist ik dengan uji M ann Whit ney.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelit ian ini m engenai perbedaan kadar magnesium serum ant ara t ikus put ih (Rat t us nor vegicus) yang mat i t enggelam di air t aw ar dengan di air laut . Penelit ian ini dilaksanakan di Laborat orium Kedokt eran Kehakiman dan M edikolegal Fakult as Kedokt eran Universit as Sebelas M aret Surakart a dan Laborat orium Klinik Budi Sehat . Penelit ian ini dilakukan pada 14 (empat belas) ekor t ikus put ih (Rat t us nor vegicus) yang dibagi m enjadi t iga kelompok, yait u kelompok kloroform yang dikorbankan secar a asfiksia menggunakan klorof orm, kelompok air t aw ar yang dit enggelamkan di air t aw ar, dan kelompok air laut yang dit enggelamkan di air laut . Ket erangan: Pada pembahasan berikut nya kelompok kont r ol yang dikorbankan secar a asfiksia menggunakan klorofor m hanya akan dit ulis kelompok kloroform, kelompok perlakuan yang dit enggelamkan di air t aw ar hanya akan dit ulis kelompok air t aw ar, dan kelompok perlakuan yang dit enggelamkan di air laut hanya akan dit ulis kelompok air laut . Kelompok klorofor m t erdiri at as enam ekor t ikus put ih (Rat t us norvegicus), sedangkan kelompok air t aw ar t erdiri at as t iga ekor t ikus put ih (Rat t us norvegicus), dan kelompok air laut t erdiri at as lima ekor t ikus put ih. (Rat t us norvegicus). Jenis penelit ian yang digunakan adalah post

t est only w it h cont rol design. M asing-masing sampel dipilih dengan cara convenience


(46)

Hasil pengukuran kadar magnesium serum t ikus secara lengkap dapat dilihat pada lampiran. Pengukuran t ersebut m enunjukkan adanya perbedaan nilai rat a-rat a kadar magnesium serum pada masing-masing kelom pok sampel, yang disajikan dalam t abel berikut :

* ) Uji Kruskal Walls

Tabel 4.1. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok klorof or m, kelompok air t aw ar, dan kelompok air laut (mg/ dl)

Kelompok n M ean SD X2 * ) p

Kloroform 6 3.58 0.37 9.17 0.010

Air t aw ar 3 3.40 0.10

Air laut 5 6.98 0.16

Tot al 14 4.76 1.74

Tabel 4.2. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok kloroform, dan kelompok air t aw ar (mg/ dl)

Kelompok n M ean SD Z* ) p

Kloroform 6 3.58 0.37 0.39 0.714


(47)

* ) Uji M ann Whit ney

Tabel 4.3. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok klorofor m dan kelompok air laut (mg/ dl)

Kelompok n M ean SD Z* ) p

Kloroform 6 3.58 0.37 2.76 0.004

Air laut 5 6.98 0.16

* ) Uji M ann Whit ney

Tabel 4.4. Perbedaan kadar magnesium serum pada kelompok air t aw ar dan kelompok air laut (mg/ dl)

Kelompok n M ean SD Z* ) p

Air t aw ar 3 3.40 0.10 2.26 0.036

Air laut 5 6.98 0.16

* ) Uji M ann Whit ney

Dari t abel di at as dapat disimpulkan bahw a kadar magnesium rat a-rat a pada kelompok kloroform sebesar 3.58 m g/ dL, pada kelompok air t aw ar sebesar 3.40 mg/ dL, dan pada kelompok air laut sebesar 6.98 m g/ dL. M aka, dapat disimpulkan bahw a kadar magnesium serum rat a-rat a pada t ikus put ih (Rat t us norvegicus) yang mat i t enggelam di air t aw ar lebih rendah daripada mat i t enggelam di air laut . Dengan kadar magnesium


(48)

t ert inggi t erlet ak pada kelompok air laut . Ini berart i menunjukkan bahw a hipot esis sepert i yang dit ulis di at as benar.

Per bedaan rat a-rat a kadar magnesium serum pada t iap kelompok sampel t ersebut signifikan at au t idak, dapat diket ahui melalui analisis dat a dengan uji Kruskall Walls. Uji Kruskall Walls digunakan unt uk menget ahui perbandingan rat a-rat a ant ara lebih dari dua kelompok sampel. Hasil dari uji Kruskall Walls menunjukkan adanya perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum yang signifikan ant ara ket iga kelompok sampel sebesar 9.17 mg/ dL, dengan nilai p=0.010 (p<0.05).

Hasil dari uji M ann Whit ney yang m embandingkan kelompok kloroform dengan kelompok air t aw ar m enunjukkan adanya perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum yang t idak signifikan, dengan nilai p=0.714 (p>0.05) dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 0.39 m g/ dL. Pada perbandingan rat a-rat a kadar magnesium serum ant ar kelompok kloroform dengan kelompok air laut , t erdapat perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 2.76 m g/ dL, dengan nilai signifikansi p sebesar 0.004 (p<0.05).

Per bandingan kadar magnesium serum rat a-rat a pada uji M ann Whit ney yang dilakukan t er hadap kelompok air laut dan kelompok air t aw ar didapat kan hasil yang signif ikan, dengan nilai p sebesar 0.036 (p<0.05) dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 2.26 mg/ dL.

Hasil pengukuran kadar magnesium serum pada t abel 4 dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum t ikus ant ara ket iga kelompok sampel digambarkan lebih jelas


(49)

dalam graf ik berikut ini :

Diagram 4.1 Hasil pengukuran kadar magnesium ser um t ikus dan perbedaan rat a-rat a ant ara ket iga kelompok sampel.

Ket erangan :

a : perbedaan rat a-rat a kadar magnesium ser um dalam kelompok klorofor m t inggi, ini

A= perbedaan kadar

magnesium serum ant ara kelompok klorofor m

B=perbedaan kadar

magnesium serum ant ara kelompok air t aw ar

C=perbedaan kadar magnesium serum ant ara kelompok air laut

A

B


(50)

berart i menandakan bahw a sebaran dat a hasil penelit ian dari kelompok klorofor m t inggi.

b : perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum dalam kelompok air t aw ar sangat rendah, ini berart i m enandakan bahw a sebaran dat a hasil penelit ian dari kelompok air t aw ar rendah, dengan kat a lain hasil penelit ian dar i kelompok air t aw ar memberikan angka yang hampir sama pada set iap percobaanya.

c : perbedaan rat a-rat a kadar magnesium ser um dalam kelompok air laut rendah, ini berart i m enunjukkan bahw a sebaran dat a hasil penelit ian dari kelompok air laut rendah, dengan kat a lain hasil penelit ian dari kelompok air laut memberikan angka yang hampir sama pada set iap percobaannya.


(51)

BAB V

PEM BAHASAN

Pengukuran t er hadap kadar magnesium serum t ikus dari hasil penelit ian pada t abel 4 menunjukkan adanya perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum pada t iap-t iap kelompok sampel. Peneliiap-t ian ini hanya m engukur kadar magnesium serum seiap-t elah diberikan perlakuan (post t est only), karena adanya ket erbat asan alat sehingga t idak memungkinkan unt uk mengukur kadar magnesium serum pada t ikus sebelum diberikan perlakuan.

Adanya air di alveoli akan m empengaruhi surfakt an par u sehingga m enimbulkan

pulmonary shunt ing, baik pada alveoli yang at elekt asis (pada t enggelam di air t aw ar) maupun pada alveoli yang t erisi penuh dengan cairan (pada t enggelam di air laut ) (Golden, et al., 1997). Pada kelompok kloroform yang dikorbankan dengan cara asfiksia t idak t erjadi aspirasi cairan hipot onis maupun hipert onis ke dalam paru, sehingga t idak t erjadi pulm onary shunt ing yang dapat mengubah keseimbangan cairan maupun elekt rolit . Oleh karena it u, pada penelit ian ini yang digunakan sebagai acuan yait u hasil pengukuran kadar magnesium ser um pada kelompok kloroform, dengan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar ±3.58 m g/ dL (Tabel 4).

Rat a-rat a kadar magnesium serum pada kelompok air t aw ar lebih rendah daripada kelompok klorof orm maupun kelompok air laut , dengan kadar magnesium serum rat a-rat a sebesar ±3.40 m g/ dL (Tabel 4.1). Hal ini t er jadi karena jaringan


(52)

int erst isial yang t erdapat di ant ara alveoli dan kapiler paru bersif at per meabel t erhadap air t aw ar. Disamping it u, aspirasi air t aw ar yang bersifat hipot onis akan m enimbulkan perbedaan t ekanan osmot ik, sehingga t erjadi perpindahan cairan dari alveoli menuju kapiler paru (Rab, 1998). Dengan demikian, konsent r asi magnesium yang lebih r endah ini mem bukt ikan t erjadinya proses perpindahan cairan dari alveoli ke kapiler paru.

Berbeda dengan kelompok air t aw ar, rat a-rat a kadar magnesium serum pada kelompok air laut lebih t inggi daripada kelompok kloroform maupun kelompok air t aw ar, yait u sebesar ±6.98 m g/ dL (Tabel 4.1). Hal t ersebut kar ena aspirasi air laut yang hipert onis akan menimbulkan pert ukaran yang cepat : cairan yang mengandung banyak prot ein dari plasma berpindah ke paru dan beberapa bahan yang t erlarut dalam air laut (nat rium, klorida, dan magnesium) berpindah ke plasma.

Per bedaan rat a-rat a kadar magnesium serum pada t iap kelompok sampel t ersebut signifikan at au t idak, dapat diket ahui melalui analisis dat a dengan uji Kruskall Walls. Uji Kruskall Walls digunakan unt uk menget ahui perbandingan rat a-rat a ant ara lebih dari dua kelompok sampel. Hasil dari uji Kruskall Walls menunjukkan adanya perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum yang signifikan ant ara ket iga kelompok sampel sebesar 9.17 mg/ dL, dengan nilai p=0.010 (p<0.05).

Analisis kemudian dilanjut kan dengan uji M ann Whit ney yang ber t ujuan unt uk membandingkan rat a-rat a kadar magnesium ser um ant ara kelompok sampel (Tabel 4). Kelompok klorofor m dengan kelompok air t aw ar menunjukkan adanya perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum yang t idak signifikan, dengan nilai p=0.714 (p>0.05) dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 0.39 mg/ dL. Pada perbandingan


(53)

rat a-rat a kadar magnesium serum ant ar kelompok kloroform dengan kelom pok air laut, t erdapat perbedaan rat a-rat a kadar magnesium ser um yang signifikan, dengan nilai p=0.004 (p<0.05), dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 2.76 mg/ dL.

Hasil dari uji M ann Whit ney t erhadap hasil penelit ian ini didapat kan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium serum yang signif ikan ant ar a kelompok air t aw ar dan kelompok air laut , dengan nilai p=0.036 (p<0.05), dan perbedaan rat a-rat a kadar magnesium sebesar 2.26 m g/ dL. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahw a variabel bebas m emberikan kont ribusi dalam mempr ediksi nilai variabel t ergant ung, sehingga t erdapat perbedaan yang nyat a ant ara ket iga kelompok sampel pada penelit ian ini.

Hasil yang didapat kan dari penelit ian ini, yait u pengukuran kadar magnesium serum pada t ikus put ih, memperlihat kan adanya variasi hasil w alaupun t erdapat dalam sat u kelompok perlakuan yang sama. Variasi ini dimungkinkan karena perbedaan daya t ahan t ubuh t ikus dan kemampuan adapt asi t erhadap lingkungan. Kondisi psikologis t ikus juga dapat menjadi fakt or pent ing yang m enyebabkan t erjadinya variasi hasil pengukuran kadar magnesium serum, sebagai cont oh, st ress yang dialami t ikus pada w akt u dilakukan percobaan dengan cara dit enggelamkan at au dikorbankan secar a asfiksia. Selain it u, variasi hasil pengukuran kadar magnesium ini juga dapat disebabkan oleh variasi biologik, yait u perbedaan genet ik ant ar individu yang dapat berpengaruh pada perbedaan kadar magnesium serum.


(54)

BAB VI

SIM PULAN DAN SARAN

A.

Simpulan

Dari hasil penelit ian ini dapat dit arik simpulan sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan kadar magnesium serum yang signifikan ant ara t ikus yang t enggelam di air t aw ar dan air laut .

2. Kadar magnesium ser um ant ara kelompok air t aw ar dan kelompok air laut lebih t inggi pada kelompok air laut , dengan perbedaan rat a-r at a kadar magnesium serum yang signif ikan, dengan p=0.036 (p<0.05). Dan per bedaan rat a-rat a kadar magnesium serum sebesar 2.26 mg/ dL.

B.

Saran

M engingat t erdapat nya ket erbat asan dan kekurangan pada penelit ian ini, maka diperlukan penelit ian lebih lanjut yait u penelit ian yang serupa dengan hew an percobaan yang lebih t inggi t ingkat annya at aupun penelit ian serupa dengan perbedaan w akt u pem eriksaan post mort em, sehingga dapat dipergunakan lebih lanjut dalam menent ukan w akt u kemat ian. Perlu juga diadakan penelit ian secar a hist ologis unt uk m enget ahui perbedaan jaringan paru yang dit emukan pada korban t enggelam di air t aw ar dan air laut, sehingga dapat diaplikasikan unt uk menent ukan lokasi kemat ian dengan lebih akurat .


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bazzaz, F. J. 1994. Regulation of Na and Cl Transport in Sheep Distal

Airways. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 267 : 193-8.

Anderson, D. M . dan Lexicographer, C., 2002. Kamus Kedokt eran Dorland. Ed 29. Jakart a: EGC.

Budiarto, E. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta : EGC.

Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Idries, A. M., Sidhi,

Hertian, S., Sampurna, B., Purwadianto, A., Rizkiwijaya, Herkutanto,

Atmadja, D. S., Budiningsih, Y., Purnomo, S. 1997. Ilmu Kedokteran

Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Budiyono, 2004. St at ist ika unt uk Penelit ian. Surakart a: Sebelas M aret Universit y Pr ess.

Carella A, M erli S, De Zorzi C. 2009. Det erminat ion of magnesium in t he cardiac w all by means of spect rophot omet ry by at omic absorpt ion for diagnosis of deat h by drow ning. ht t p:/ / w w w .ncbi.nlm.nih. gov/ pubmed/ 4955504?ordinalpos =1& it ool=Ent rezSyst em2.PEnt r ez.

Pubm ed.Pubm ed_Result sPanel.Pubmed_Discover yPanel.Pubm ed.Discover y _RA& linkpos=2& log$=r elat edart icles& logdbfrom=pubmed. (13 Juli 2009).


(56)

Cheng, D. dan Yakobi, R. 2009. Drow ning. ht t p:/ / w w w.emedicinehealt h .com/ drow ning/ art icle_em. (13 Juli 2009).

Department of Geology Colgate University. 2008. Atomic Absorption

Spectrophotometer.http://departments.colgate.edu/geology/instruments

/aa. (13 Juli 2009).

Department of Legal Medicine, Osaka City University Medical School. 2005.

http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T6

W-4F0GBYS-2&_user=10&_coverDate=12%2F01%2F2005&_rdoc=1&_fmt=high

&_orig=search&_sort=d&_docanchor=&view=c&_searchStrId=12699

84198&_rerunOrigin=google&_acct=C000050221&_version=1&_url

Version=0&_userid=10&md5=7401db3a5bf1de2c6fbe16f13ade4050d

epartments.colgate.edu/geology/instruments/aa. (13 Juli 2009).

Department of Legal Medicine, Osaka City University Medical School. 2005.

http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6W7

W-4VR1TC7-1&_user=10&_origUdi=B6T6W-4F0GBYS-2&_fmt=high&_coverDate=04%2F30%2F2009&_rdoc=1&_orig=arti

cle&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&m

d5=0733650234e6862fa024a015f6927c76. (13 Juli 2009).

DiM aio, V. J. dan DiM aio, D., 2001. Forensic Pat hology. 2nd ed. CRC Press. hal: 399-407.

Fuller, R. 2007. Acid Rain Index. http://faculty.plattsburgh.edu/robert.fuller

/437web /Lec2Units&Dilutions/index. (13 Juli 2009).

Ganong, W. F., 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokt eran. Ed 17. Jakart a: EGC.

Giertsen, J. C. 1988. Drowning. In : Tedeschi, C. G., Eckert, W. G., Tedeschi, L.

G., eds. Forensic Medicine : A Study in Trauma and Environmental

Hazards. Vol. III. Philadelphia : W. B. Saunders Company. 1317-33.


(57)

Golden, F. S., Tipton, M. J., Scott, R. C. 1997. Immersion, Near Drowning, and

Drowning. Br J Anaesth. 79 : 214-25.

Guyt on, A. C. dan Hall, J. E., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokt eran. Ed 9. Jakart a: EGC.

Hamdani, N., 1992. Ilmu Kedokt eran Kehakiman. Ed 2. Jakart a: PT Gr amedia Pust aka Ut ama.

Handra, B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta : EGC.

Houssay, B.A., Lewis, J.T., Orias, O., Braun-Menendez, E., Hug, E., Foglia, V.G.,

Leloir, L.F. 1955. Human Physiology. New York : McGraw-Hill Book

Company, Inc.

Idries, A. M , 1989. Penyelidikan pada Kasus Kemat ian karena Tenggelam, dalam Penerapan Ilmu Kedokt eran Kehakiman dalam Proses Penyidikan. Ed I. Jakart a: PT Karya Unipers.

Idries, A. M. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa

Aksara.

Khandpur, R. S. 2005. Biomedical Instrumentation. Technology and Applications.

New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Locali R. F., Almeida M., Oliveira-Júnior I.S. 2006.Use of the Histopathology in

the Differential Diagnosis of Drowning in Fresh and Salty Water : an

Experimental Model Establishment in Rats.Acta Cir Bras. 21(4):203-6.


(58)

Marshall, W. J. dan Bangert, S. K. 2004. Clinical Chemistry. 5th ed. Philadelphia

: Elsevier Limited.

Modell, J., Moya, F., Newby, E. 1967. The effects of fluid volume in seawater

drowning. Ann Intern Med. 67: 68-80.

Murray, R., Granner, D., Mayes, P., Rodwell, V. 2003, ‘Harper’s Biochemistry’

In Biokimia Herper, 25

th

edn, eds. A.P. Bani dan T.M.N. Sikumbang,

EGC, Jakarta.

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan

Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press.

Mustafa, Z. 1995. Pengantar Statistik Deskriptif. Yogyakarta : Bagian Penerbitan

Fakultas Ekonomi UII.

Rab, T. 1998. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: PT Alumni.

Ranoemihardja,A. R, 1983. Ilmu Kedokt eran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsit o.

Rijal, S. 2001. Tinjauan Pustaka : Near Drowning (Hampir Tenggelam).

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus/2 (13 Juli 2009).

Shepherd, S.M. dan Martin, J. 2005, ‘Submersion Injury, Near Drowning’.


(59)

Slade, J. B., Hattori, T., Ray, C. S., Bove, A. A., Cianci, P. 2001. Pulmonary

Edema Associated With Scuba Diving : Case Reports and Review.

Chest. 120 : 1686-94.

Soegiat , Ahmadsumadi. (1972). M at i Tenggelam. Ber kala Ilmu Kedokt eran Univer sit as Gadjah M ada Yogyakart a. Jil 4:4. hlm 303-307.

Speicher, C. dan Smith, J. 1996. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Jakarta

: EGC.

Staub, N. C. dan Albertine, K. H. 1988. The structure of the lungs relative to their

principal function. In : Murray, J. F., Nadel, J. A., eds. Textbook of

Respiratory Medicine. Philadelphia : Saunders.12-36.

Swann, H. G., Brucer, M., Moore, C. 1947. Fresh Water and Sea Water Drowning

: A Study of The Terminal Cardiac and Biochemical Events. Tex Rep

Biol Med. 5: 423-38

Taufiqurohman, M. A. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.

Klaten : Perhimpunan Pemandirian Pemasyarakatan Indonesia

(CSGF).

Van Beeck, E.F., Branche, C. M ., Szpilman, D., M odell, J. H., dan Bier ens, J. J. L. M . (2005) A New Def init ion of Drow ning. Bullet in of World Healt h Organizat ion. 83(11):853-865.

Wikipedia. 2009. Atomic Absorption Spectroscopy.http://en.wikipedia.org/wiki/

Atomic_absorption_spectroscopy. (13 Juli 2009).


(60)

Wikipedia. 2009. Drowning. http://en.wikipedia.org/wiki/Drowning. (13 Juli

2009).


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bazzaz, F. J. 1994. Regulation of Na and Cl Transport in Sheep Distal Airways. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 267 : 193-8.

Anderson, D. M . dan Lexicographer, C., 2002. Kamus Kedokt eran Dorland. Ed 29. Jakart a: EGC.

Budiarto, E. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC.

Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Idries, A. M., Sidhi, Hertian, S., Sampurna, B., Purwadianto, A., Rizkiwijaya, Herkutanto, Atmadja, D. S., Budiningsih, Y., Purnomo, S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Budiyono, 2004. St at ist ika unt uk Penelit ian. Surakart a: Sebelas M aret Universit y Pr ess.

Carella A, M erli S, De Zorzi C. 2009. Det erminat ion of magnesium in t he cardiac w all by means of spect rophot omet ry by at omic absorpt ion for diagnosis of deat h by drow ning. ht t p:/ / w w w .ncbi.nlm.nih. gov/ pubmed/ 4955504?ordinalpos =1& it ool=Ent rezSyst em2.PEnt r ez.

Pubm ed.Pubm ed_Result sPanel.Pubmed_Discover yPanel.Pubm ed.Discover y _RA& linkpos=2& log$=r elat edart icles& logdbfrom=pubmed. (13 Juli 2009).


(2)

Cheng, D. dan Yakobi, R. 2009. Drow ning. ht t p:/ / w w w.emedicinehealt h .com/ drow ning/ art icle_em. (13 Juli 2009).

Department of Geology Colgate University. 2008. Atomic Absorption Spectrophotometer.http://departments.colgate.edu/geology/instruments /aa. (13 Juli 2009).

Department of Legal Medicine, Osaka City University Medical School. 2005. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T6

W-4F0GBYS-2&_user=10&_coverDate=12%2F01%2F2005&_rdoc=1&_fmt=high &_orig=search&_sort=d&_docanchor=&view=c&_searchStrId=12699 84198&_rerunOrigin=google&_acct=C000050221&_version=1&_url Version=0&_userid=10&md5=7401db3a5bf1de2c6fbe16f13ade4050d epartments.colgate.edu/geology/instruments/aa. (13 Juli 2009).

Department of Legal Medicine, Osaka City University Medical School. 2005. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6W7

W-4VR1TC7-1&_user=10&_origUdi=B6T6W-4F0GBYS-2&_fmt=high&_coverDate=04%2F30%2F2009&_rdoc=1&_orig=arti cle&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&m d5=0733650234e6862fa024a015f6927c76. (13 Juli 2009).

DiM aio, V. J. dan DiM aio, D., 2001. Forensic Pat hology. 2nd ed. CRC Press. hal: 399-407.

Fuller, R. 2007. Acid Rain Index. http://faculty.plattsburgh.edu/robert.fuller /437web /Lec2Units&Dilutions/index. (13 Juli 2009).

Ganong, W. F., 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokt eran. Ed 17. Jakart a: EGC.

Giertsen, J. C. 1988. Drowning. In : Tedeschi, C. G., Eckert, W. G., Tedeschi, L. G., eds. Forensic Medicine : A Study in Trauma and Environmental Hazards. Vol. III. Philadelphia : W. B. Saunders Company. 1317-33.


(3)

Golden, F. S., Tipton, M. J., Scott, R. C. 1997. Immersion, Near Drowning, and Drowning. Br J Anaesth. 79 : 214-25.

Guyt on, A. C. dan Hall, J. E., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokt eran. Ed 9. Jakart a: EGC.

Hamdani, N., 1992. Ilmu Kedokt eran Kehakiman. Ed 2. Jakart a: PT Gr amedia Pust aka Ut ama.

Handra, B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta : EGC.

Houssay, B.A., Lewis, J.T., Orias, O., Braun-Menendez, E., Hug, E., Foglia, V.G., Leloir, L.F. 1955. Human Physiology. New York : McGraw-Hill Book Company, Inc.

Idries, A. M , 1989. Penyelidikan pada Kasus Kemat ian karena Tenggelam, dalam Penerapan Ilmu Kedokt eran Kehakiman dalam Proses Penyidikan. Ed I. Jakart a: PT Karya Unipers.

Idries, A. M. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara.

Khandpur, R. S. 2005. Biomedical Instrumentation. Technology and Applications. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Locali R. F., Almeida M., Oliveira-Júnior I.S. 2006.Use of the Histopathology in the Differential Diagnosis of Drowning in Fresh and Salty Water : an Experimental Model Establishment in Rats.Acta Cir Bras. 21(4):203-6.


(4)

Marshall, W. J. dan Bangert, S. K. 2004. Clinical Chemistry. 5th ed. Philadelphia : Elsevier Limited.

Modell, J., Moya, F., Newby, E. 1967. The effects of fluid volume in seawater drowning. Ann Intern Med. 67: 68-80.

Murray, R., Granner, D., Mayes, P., Rodwell, V. 2003, ‘Harper’s Biochemistry’ In Biokimia Herper, 25th edn, eds. A.P. Bani dan T.M.N. Sikumbang, EGC, Jakarta.

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Mustafa, Z. 1995. Pengantar Statistik Deskriptif. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi UII.

Rab, T. 1998. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: PT Alumni.

Ranoemihardja,A. R, 1983. Ilmu Kedokt eran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsit o.

Rijal, S. 2001. Tinjauan Pustaka : Near Drowning (Hampir Tenggelam). http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus/2 (13 Juli 2009). Shepherd, S.M. dan Martin, J. 2005, ‘Submersion Injury, Near Drowning’.


(5)

Slade, J. B., Hattori, T., Ray, C. S., Bove, A. A., Cianci, P. 2001. Pulmonary Edema Associated With Scuba Diving : Case Reports and Review. Chest. 120 : 1686-94.

Soegiat , Ahmadsumadi. (1972). M at i Tenggelam. Ber kala Ilmu Kedokt eran Univer sit as Gadjah M ada Yogyakart a. Jil 4:4. hlm 303-307.

Speicher, C. dan Smith, J. 1996. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Jakarta : EGC.

Staub, N. C. dan Albertine, K. H. 1988. The structure of the lungs relative to their principal function. In : Murray, J. F., Nadel, J. A., eds. Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia : Saunders.12-36.

Swann, H. G., Brucer, M., Moore, C. 1947. Fresh Water and Sea Water Drowning : A Study of The Terminal Cardiac and Biochemical Events. Tex Rep Biol Med. 5: 423-38

Taufiqurohman, M. A. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Klaten : Perhimpunan Pemandirian Pemasyarakatan Indonesia (CSGF).

Van Beeck, E.F., Branche, C. M ., Szpilman, D., M odell, J. H., dan Bier ens, J. J. L. M . (2005) A New Def init ion of Drow ning. Bullet in of World Healt h Organizat ion. 83(11):853-865.

Wikipedia. 2009. Atomic Absorption Spectroscopy.http://en.wikipedia.org/wiki/ Atomic_absorption_spectroscopy. (13 Juli 2009).


(6)

Wikipedia. 2009. Drowning. http://en.wikipedia.org/wiki/Drowning. (13 Juli 2009).