Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan melalui Pauseang pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Dolok Sanggul Kab.Humbang Hasundutan

(1)

TESIS

Oleh

TIGOR SINAMBELA

117011115/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIGOR SINAMBELA

117011115/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : TIGOR SINAMBELA Nomor Pokok : 117011115

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : TIGOR SINAMBELA

Nim : 117011115

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : STATUS KEPEMILIKAN TANAH PEMBERIAN

ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI

PAUSEANGPADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI

KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :TIGOR SINAMBELA Nim :117011115


(6)

ahli waris. Anak perempuan tidak mempunyai hak atas bagian dari harta peninggalan orangtuanya, namun anak perempuan dapat menikmati bagiandari harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian. Pauseang merupakan salah satu bentuk pemberian sebelum atau setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti emas, perabotan rumah tangga, perhiasan, dan tanah yang berbentuk sawah, kebun, ladang maupun tanah pekarangan. Penelitian yang mendalam terhadap pemberian tanah melaluipauseangperlu dilakukan, mengingat kedudukan anak perempuan saat ini telah menuju ke arah kedudukan yang sama dengan anak laki-laki secara nasional. Di samping itu, tanah sebagai objek pemberian, tidak terlepas kaitannya dari hukum tanah marga yang berlaku. Penelitian terhadap pemberian tanah melalui pauseang dilakukan untuk mengetahui alasan pemberian tanah melaluipauseangdilakukan dan juga untuk mengetahui status kepemilikan anak perempuan terhadap tanah pemberian tersebut.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empirisdengan sifat penelitian yangdeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat, hukum waris adat, serta kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Batak Toba. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/ jawaban dari permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian, pemberian tanah melalui pauseangkepada anak perempuan dilakukan karena faktor kasih sayang, ekonomi, tanah sebagai identitas kekerabatan dan kehormatan keluarga. Perkembangan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris secara nasional, tidak menyebabkan anak perempuan mempunyai hak milik atas tanah pemberian orangtuanya, melainkan hanya terbatas pada hak pakai saja.


(7)

inheritance law in Batak Toba community only recognizes son as the heir; however, a daughter has the right to ‘inherit’ a part of her parents’ property as a gift. ‘Pauseang’ is one of the types of gift before and after a daughter gets married; the gift can be objects such as gold, furniture, jewelry, and a plot of land such as irrigated rice field, dry field, small field, and garden. A profound research on the giving of land through ‘pauseang’ needed to be conducted since nationally the position of a daughter today tends to be equal to that of a son. Besides that, land as a gift cannot be separated from the prevailing rule of marga land. The research on the giving of land through ‘pauseang’ was conducted to find out the reason for giving land through ‘pauseang’ and to find out the status of a daughter’s ownership of the land.

The research used judicial empirical analysis with descriptive analytic method. It analyzed the gathered data and described phenomena, facts, and other aspects such as analyzing kinship relationship, adat inheritance law, and the position of a daughter in adat law of Batak Toba. The analysis was conducted to find out and to obtain the result/answer of the problems.

Based on the result of the research, it was found that the giving of land through ‘pauseang’ was done because the factors of love and affection, economy, and land as the identity for kinship and for family honor. The development of a daughter’s position as an heir nationally did not cause her to have property rights on land, given by her parents; she only had the right of use.


(8)

memberikan berkat dan kuasa-Nya dalam mengiringi langkah Penulis menyelesaikan tesis ini dengan judul “Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan melalui Pauseang pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Dolok Sanggul Kab.Humbang Hasundutan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Keberhasilan dalam penulisan tesis diperoleh dengan melalui beberapa proses, dimana dalam proses penulisan sampai dengan selesai tidak terlepas dari peran para pihak yang turut serta dalam memberi arahan, bimbingan, saran, kritik dan motivasi. Sehingga pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas sarana dan fasilitas kampus yang mendukung Penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dedikasi dalam memimpin dan memajukan Fakultas Hukum sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn), dimana selama masa kepemimpinannya telah menciptakan dan menjamin terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah dengan penuh perhatian memberikan arahan, saran, kritik maupun motivasi sehingga tesis dapat diselesaikan dengan baik.

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum dan Bapak Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn sebagai Dosen Penguji, yang telah banyak memberikan arahan, saran dan kritik yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini

8. Bapak Bontor Sinambela, Dirman Sinambela, Erikson Simbolon, Tunas Pasaribu, Notaris/PPAT di Kabupaten Humbang Hasundutan Pantun Panggabean, SH, MKn. serta narasumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan kerelaannya meluangkan waktunya untuk memberikan segala informasi penting yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini.

Demikian pula kepada orangtua Penulis, Ferro Sinambela, SH, M.Hum dan Betty Siregar, SH yang dengan perhatian penuh dan tidak pernah bosan memberikan motivasi, saran dan doanya yang sangat membantu Penulis khususnya pada saat Penulis mengalami kesulitan dan kebuntuan. Kiranya senantiasa diberi kesehatan, umur panjang dan dalam perlindungan Tuhan.

Kakak Penulis Ny.Mutiara Manurung br.Sinambela, SE, Ak., MM., abang ipar Penulis Saor Eirene Manurung, ST, MT, adik Penulis Tahi Bonar Sinambela serta teman dekat Penulis Mian Felicity br.Sinaga,SH yang juga telah memberikan dorongan semangat dan doa kepada Penulis.

Sahabat dan rekan-rekan Program Studi Magister Kenotariatan sekalian, khususnya Stambuk 2011 yang telah bersama-sama dengan Penulis mengikuti pendidikan sejak awal, kiranya hubungan baik yang sudah terjalin selama ini akan tetap terjalin untuk selanjutnya.


(10)

Penulis. Kiranya keberhasilan dan kesuksesan menghampiri kita semua.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan, akan tetapi Penulis berharap penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Hormat saya, Penulis,


(11)

Nama : Tigor Sinambela

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 12 Oktober 1988

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl.HM.Said Gg A No.1 Medan

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Ferro Sinambela,SH,M.Hum

Nama Ibu : Betty Siregar,SH

III. PENDIDIKAN

SD Budi Murni-IV Medan Tamat Tahun 2000 SLTP Budi Murni-I Medan Tamat Tahun 2003 SMU Budi Murni-I Medan Tamat Tahun 2006

S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

1. Spesifikasi Penelitian ... 26

2. Metode Pendekatan ... 26

3. Lokasi Penelitian ... 27

4. Populasi dan Responden ... 28

5. Sumber Data ... 30

6. Alat Pengumpulan Data ... 31


(13)

HASUNDUTAN ... 33

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 33

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba ... 39

C. Pemberian Menurut Hukum Adat ... 47

D. Faktor Penyebab Terjadinya Pemberian Tanah oleh Orangtua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang……… ... 54

E. Pengesahan Pemberian Tanah Melalui Pauseang ... 62

BAB III STATUS KEPEMILIKAN TANAH PEMBERIAN ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUIPAUSEANG ... 83

A. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 83

B. Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang ... 88

C. Pemberian Tanah dalam Perkembangannya Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung ... 100

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113


(14)

wanita, sebagai tanda jadi akan dilangsungkannya perkawinan 2. Ulaon= pesta

3. Manatap= memandang 4. Dolok= bukit

5. Onan = suatu bentuk perdagangan masyarakat antar desa yang dilakukan satu kali dalam seminggu

6. Tarikh= angka-angka tahun atau abad 7. Puak= sub suku

8. Genealogis territorial = keterikatan kelompok yang memiliki hubungan darah dalam suatu wilayah tertentu

9. Jolo tiniptip sanggar, bahen huru-huruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan“ yang artinya secara harafiah adalah terlebih dahulu dipotong pimping (sejenis ranting), sebelum membuat sangkar. Merupakan perumpamaan mengenai pentingnya marga,dimana sebelum saling mengenal, lebih dulu dipertanyakan marga, agar dapat diketahui

partuturan(sebutan kedudukan dalam adat) 10.Partuturan= sebutan kedudukan dalam adat 11.Hula-hula= pihak keluarga/ kerabat istri

12.Somba Marhula-hula= sikap hormat kepada keluarga/ kerabat pihak istri 13.Mata ni ari na binsar= matahari yang memberikan terang

14.Boru= anak perempuan

15. Elek Marboru = sikap menyayangi dan mengasihi orangtua anak perempuan terhadap keluarga suami anaknya

16. Tanoh SesanatauSaba Bangunan= pemberian tanah oleh orangtua kepada anak semasa hidupnya di daerah Lampung

17. Peunulang = pemberian harta oleh orangtua kepada anak di daerah Aceh 18. Hauma= sawah atau ladang

19. Porlak atau kobun= kebun 20. Jabu atau bagas= rumah 21. Huta= kampung

22. Indahan arian = pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuan yang sudah melangsungkan perkawinan yang dilakukan apabila telah lahir anak dari perkawinan tersebut. Indahan arian pada dasarnya adalah pemberian seorang kakek kepada cucunya yang telah lahir melalui ibunya.


(15)

24. Dondon Tua = pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila telah dia meninggal dunia.

25. Punsutali = pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuantersebut apabila ayahnya telah meninggal dunia.

26. Umpasa= perumpamaan

27. Dompak marmeme anak Dompak marmeme boru = suatu perumpamaan tentang anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama disuapi makanan dengan cara yang sama.

28. Simatua= mertua 29. Hela= menantu

30. Religius magis= berhubungan dengan kepercayaan

31. Mamungka = kegiatan membuka tanah yang masih berupa hutan belantara untuk dijadikan tempat tinggal

32. Mulajadi Na Bolon= sebutan kepada Sang Pencipta Alam Semesta

33. Mamboan Sipanganon = kegiatan mendatangi orangtua dengan membawa dan menghidangkan sejumlah makanan dengan maksud atau tujuan tertentu

34. Piso = uang yang diselipkan pada daun sirih dan diletakkan di atas sepiring beras


(16)

2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul ... 35 2.2. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36 2.3. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Penelitian ... 37


(17)

ahli waris. Anak perempuan tidak mempunyai hak atas bagian dari harta peninggalan orangtuanya, namun anak perempuan dapat menikmati bagiandari harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian. Pauseang merupakan salah satu bentuk pemberian sebelum atau setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti emas, perabotan rumah tangga, perhiasan, dan tanah yang berbentuk sawah, kebun, ladang maupun tanah pekarangan. Penelitian yang mendalam terhadap pemberian tanah melaluipauseangperlu dilakukan, mengingat kedudukan anak perempuan saat ini telah menuju ke arah kedudukan yang sama dengan anak laki-laki secara nasional. Di samping itu, tanah sebagai objek pemberian, tidak terlepas kaitannya dari hukum tanah marga yang berlaku. Penelitian terhadap pemberian tanah melalui pauseang dilakukan untuk mengetahui alasan pemberian tanah melaluipauseangdilakukan dan juga untuk mengetahui status kepemilikan anak perempuan terhadap tanah pemberian tersebut.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empirisdengan sifat penelitian yangdeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat, hukum waris adat, serta kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Batak Toba. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/ jawaban dari permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian, pemberian tanah melalui pauseangkepada anak perempuan dilakukan karena faktor kasih sayang, ekonomi, tanah sebagai identitas kekerabatan dan kehormatan keluarga. Perkembangan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris secara nasional, tidak menyebabkan anak perempuan mempunyai hak milik atas tanah pemberian orangtuanya, melainkan hanya terbatas pada hak pakai saja.


(18)

inheritance law in Batak Toba community only recognizes son as the heir; however, a daughter has the right to ‘inherit’ a part of her parents’ property as a gift. ‘Pauseang’ is one of the types of gift before and after a daughter gets married; the gift can be objects such as gold, furniture, jewelry, and a plot of land such as irrigated rice field, dry field, small field, and garden. A profound research on the giving of land through ‘pauseang’ needed to be conducted since nationally the position of a daughter today tends to be equal to that of a son. Besides that, land as a gift cannot be separated from the prevailing rule of marga land. The research on the giving of land through ‘pauseang’ was conducted to find out the reason for giving land through ‘pauseang’ and to find out the status of a daughter’s ownership of the land.

The research used judicial empirical analysis with descriptive analytic method. It analyzed the gathered data and described phenomena, facts, and other aspects such as analyzing kinship relationship, adat inheritance law, and the position of a daughter in adat law of Batak Toba. The analysis was conducted to find out and to obtain the result/answer of the problems.

Based on the result of the research, it was found that the giving of land through ‘pauseang’ was done because the factors of love and affection, economy, and land as the identity for kinship and for family honor. The development of a daughter’s position as an heir nationally did not cause her to have property rights on land, given by her parents; she only had the right of use.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan

sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif).1Menurut Soerjono Sukanto, hukum adat merupakan keseluruhan adat baik yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.2

Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat merupakan seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari para fungsionaris hukum seperti para hakim adat, kepala adat dan kepala desa dalam hubungannya secara langsung satu sama lain dan timbal balik dengan masyarakat berdasarkan ikatan struktural maupun ikatan lainnya.3

1

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung: Alumni, 2002), hal.27

2Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat,(Yogyakarta : Liberty, 2000), hal.9


(20)

Menurut Djojodigoeno, hukum adat yang merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata, keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif.

Hukum adat harus bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu keadaan atau suatu situasi tertentu (plastis).4 Menurut Bushar Muhammad,

hukum adat yang ada akan patut untuk dipertahankan atau tidak, bergantung kepada kesadaran masyarakat.5

Eksistensi berlakunya hukum adat di samping hukum nasional sampai saat ini, dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) maupun putusan badan peradilan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 eksistensi berlakunya hukum adat dapat dilihat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Badan negara dan peraturan merupakan dua hal yang dipertahankan menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Badan negara yang dimaksud adalah lembaga-lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial seperti pengadilan

4Iman Sudiyat,Op.Cit.,hal.13-14 5Bushar Muhammad,Op.Cit.,hal.19


(21)

gubernemen, pengadilan asli, pengadilan asli, pengadilan desa dan swapraja. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah seperti dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling)dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang pada

prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku

Burgerlijk Wetboek (BW) atau disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Pemberlakuan peraturan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS dapat dilihat pada bagian pertimbangan hukum hakim dalam Putusan MA No.1596K/Pdt/1985 tanggal 27 Januari 1987 yang memutuskan perkara penerapan hukum waris untuk orang-orang Indonesia asli adalah hukum waris adat, bukan hukum perdata (BW) berdasarkan peraturan mengenai Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS.6

UUD 1945 tidak menyebutkan istilah hukum adat secara eksplisitdalam

pasal-pasalnya, tetapi dengan masih tetap diberlakukannya badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup memadai sebagai sebuah pedoman bahwa di luar hukum perundang-undangan masih diakui pula adanya hukum-hukum yang tidak tertulis.7

6Otje Salman Soemadiningrat,Op.Cit.,hal.152 7Ibid.


(22)

Eksistensi masyarakat hukum adat secara implisit dapat ditemukan

pada Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 18B yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam memutuskan suatu perkara hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan eksistensi hukum adat itu sendiri yang merupakan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Eksistensi hukum adat di bidang pertanahan dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan negara. Demikian puladiatur dalam Pasal 3 bahwa pelaksanaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat atau yang serupa dengan itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta


(23)

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Bertitik tolak dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat dualisme hukum yang mengatur di bidang pertanahan. Menurut Utrecht, sifat tersebut merupakan hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan hukum itu sendiri.8

Hukum adat mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat adat.Dalam kehidupan masyarakat adat, penggunaan istilah hukum adat sangat jarang ditemukan. Masyarakat cenderung menggunakan istilah adat.Istilah tersebut mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat terkait dan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa.9Adat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun setelah adanya masyarakat.10

Menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan

8

E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962), hal.35

9I Gede A.B.Wiranata,Hukum Adat Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal.3 10Ibid


(24)

kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.11Hukum adat mengatur berbagai sendi kehidupan masyarakat adat seperti mengatur kehidupan keluarga, perkawinan, waris, tanah, hutang piutang dan pelanggaran terhadap hukum adat.12

Ketentuan dalam pewarisan diatur oleh hukum waris adat. Menurut Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab tentang Hukum Adat”, hukum waris adat didefenisikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.13Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat.Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/ pengoperan dan peralihan/ perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi.14

11Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983),

hal.93

12

Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, 2001,Op.Cit..,hal.118-119

13Soepomo,Bab-Bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta: 1993), hal. 72 14Iman Sudiyat,Op.Cit.,hal.173


(25)

Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris adalah harta keluarga yang dapat berupa harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa ke dalam keluarga, usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada waktu perkawinan dan harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.15

Hukum waris suatu golongan masyarakat tidak terlepas dan dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan atas tiga corak, yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental ataubilateral.

Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.16

Menurut Wirjono Prodjodikoro17, bahwa di antara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan yaitu ;

15Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia.,1983,Op.Cit.,hal. 277

16Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1993), hal.23 17Wirjono Prodjodikoro,Hukum Waris Di Indonesia,Cet-II, (Bandung: Sumur, 1983), hal. 15-16


(26)

1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan (Patriachaat, Vaderrechtelijk) atau disebut juga patrilineal terdapat di daerah Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali ;

2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matriachaat, Moderrechtelijk) atau disebut jugamatrilinealterdapat Minangkabau; 3. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan

(Parental,Ouderrechtelijk) terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materiel maupun immateriel). Ada tiga sistem yang dikenal dalam hukum waris adat, yaitu18:

1. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan yang dapat dilihat pada suku Batak, Jawa, Sulawesi)

2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris yang dapat dilihat pada suku Minangkabau

3. Sistem kewarisan mayorat terdiri dari :

a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, yang terdapat di daerah Lampung b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, terdapat pada masyarakat di tanah Samendo.

Sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal mempengaruhi

kedudukan janda dan anak perempuan. Anak perempuan tidak mewarisi harta peninggalan orangtuanya karena adanya perkawinan jujur, yang


(27)

mengakibatkan anak perempuan setelah melangsungkan perkawinan, dilepaskan dari kelompok hidup kerabatnya (bapak).19 Pada susunan kekeluargaan yang bersifat kebapakan ataupatrilineal,yang menjadi ahli waris

hanya anak laki-laki tidak termasuk anak perempuan, oleh karena anak perempuan setelah melangsungkan perkawinan akan keluar dari lingkungan keluarganya yang semula.20 Dalam perkembangannya, dalam kehidupan masyarakat adat dengan sistem kekerabatan patrilineal telah dikenal adanya

pemberian harta kekayaan orangtua kepada anak perempuannya.

Eman Suparman mempersamakan pemberian dengan hibah. Menurut Eman Suparman, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.21 Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orangtua untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewarisan dan juga untuk mencegah perselisihan.22

Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan, yaitu23:

19Iman Sudiyat,Op.Cit.,hal.23

20G.H.S.L Tobing, Pengaturan Hukum waris Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional,

(Jakarta: Majalah BPHN Nomor 1 Tahun 1989), hal.27

21

Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat & BW,(Bandung: PT.Refika Aditama, 2005), hal.81

22Soepomo,Op.Cit.,hal.91 23Eman Suparman,Op.Cit., hal.81


(28)

1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup

2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma

3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat

4. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun benda tetap

5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis

Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian dalam hukum adat adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hanya berupa hak pakai yang dilakukan sebelum atau sejak adanya perkawinan dan selama perkawinan.24

Pemberian atau hibah juga diatur dalam hukum nasional, yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Titel X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Hibah menurut Pasal 1666 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah pada waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,


(29)

menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Barang-barang yang dihibahkan dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, sepanjang barang yang dihibahkan merupakan barang yang sudah ada saat penghibahan terjadi.25Tanah merupakan barang tidak bergerak26, oleh karena itu tanah dapat dihibahkan.

Hibah tanah merupakan salah satu perbuatan hukum mengenai hak atas tanah27 dan PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum terhadap tanah termasuk hibah.28 Sehingga dapat diketahui bahwa hibah tanah tidak lagi tunduk pada ketentuan Pasal 1682 KUH Perdata bahwa hibah adalah sah apabila dilakukan dengan akta notaris yang minut (naskah aslinya) harus disimpan notaris.

Akta hibah merupakan suatu akta otentik yang mempunyai keistimewaan sebagai suatu bukti yang sempurna (volledig bewijs-full evident)

tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan akta resmi kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa yang

25Lihat Pasal 1667 KUH Perdata 26

Lihat Pasal 506 KUH Perdata

27

Lihat Pasal 2 PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP 37/1998)


(30)

sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.29

Pemberian orangtua kepada anaknya semasa hidup, terjadi dengan corak dan tujuannya masing-masing di setiap lingkungan adat yang berbeda-beda seperti pada masyarakat Batak Karo yang disebut pemere, masyarakat Daya

Kendayan di Kalimantan, di Lampung, Banten, Aceh maupun Jawa.30

Masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan menganut sistem kekerabatan patrilineal

dimana perempuan bukan merupakan ahli waris dari orangtuanya sampai saat ini. Anak perempuan tidak berhak memiliki bagian dari harta kekayaan orangtuanya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sistem perkawinan jujur yang

dianut oleh masyarakat Batak Toba. Anak perempuan setelah melakukan perkawinan dianggap telah berpindah dari kelompok marga orangtuanya ke

kelompok keluarga orangtua laki-laki, yang ditandai dengan pemberian uang

jujuratausinamot.

Anak perempuan juga tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya selama orangtuanya masih hidup ataupun setelah meninggal dunia.Harta peninggalan orangtua diberikan kepada anak laki-laki,

29I.G.Ray Widjaya,Merancang Suatu Kontrak,(Bekasi: Kesaint Blanc, 2004), hal.13

30Abi Yaser Handito, Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya kepada Anak dalam Hukum Waris Adat Batak Karo,Tesis,(Medan: USU, 2011), hal.54-55


(31)

khususnya anak laki-laki tertua yang menjadi penanggung jawab atau tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya.

Dalam perkembangannya anak perempuan dimungkinkan untuk menikmati harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian yang disebut dengan pauseang. Pauseang yang diberikan, dapat berupa barang keperluan rumah tangga, perhiasan, emas, tanah, ladang dan sawah (hauma). Tanah

pauseang pada umumnya diberikan kepada anak perempuan saat orangtua masih hidup tetapi ada juga orangtua yang menentukan dulu tanah pauseang

yang akan diberikan untuk kemudian nanti diterima setelah orangtua meninggal dunia.31

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui pemberian tanah pauseang

kepada anak perempuan tidak terlepas dari pengaruh hukum waris adat, sistem kekerabatan dan hukum tanahyang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal tersebut yang melatarbelakangi pentingnya untuk dilakukan penelitian dengan judul “Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(32)

1. Mengapa dilakukan pemberian tanah oleh orangtua kepada anak perempuannya melalui pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul

Kabupaten Humbang Hasundutan?

2. Bagaimana status kepemilikan tanah yang diberikan kepada anak perempuan melaluipauseang?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan dilakukannya pemberian tanahpauseang oleh

orangtua kepada anak perempuannya di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan

2. Untuk mengetahui status kepemilikan tanahyang diberikan kepada anak perempuan melaluipauseang

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas mengenai pemberian tanah yang diberikan orang tua kepada anak perempuan menurut hukum adat Batak Toba


(33)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan tambahan pemahaman tentang dinamika yang secara nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum dan masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan secara khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan dalam melakukan pembangunan hukum ke arah yang lebih baik lagi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan“ memiliki kemiripan dengan beberapa judul penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

Pada tahun 2002, Lila Triana peserta Pasca Sarjana USU Program Magister Kenotariatan telah melakukan penelitian dengan judul “Hibah kepada Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat”. Pokok permasalahan penelitian dititikberatkan pada latarbelakang diberikannya hibah


(34)

kepada anak angkat dalam kaitannya dengan hukum Islam dan dibandingkan dengan hukum adat, serta peran Pengadilan Agama dalam pembatalan hibah yang diberikan.

Pada tahun 2005, Getty Rumetha Sitio peserta Pasca Sarjana USU Program Magister Kenotariatan juga telah melakukan penelitian dengan judul “Pemisahan dan Pembahagian Harta Warisan Secara Damai di Hadapan Notaris (Kajian Kasus Terhadap Masyarakat Suku Batak Non Muslim di Kota Medan)”. Pokok permasalahan penelitian dititikberatkan pada pelaksanaan pemisahan dan pembagian harta warisan masyarakat non muslim di kota Medan melalui oleh notaris dibandingkan dengan hukum adat masyarakat Batak Toba.

Sebagaimana diuraikan di atas, latarbelakang dan pokok permasalahan yang dilakukan dalam penelitian sebelumnya berbeda dengan latarbelakang dan pokok permasalahan yang akan diteliti, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan


(35)

oleh teori.32Teori didefenisikan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.33Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan.34

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.35Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.36

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem)

yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka

32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia

Press,1982), hal.6

33M.Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: FE UI, 1996), hal.203

34Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka

Utama, 1997), hal.21

35

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal.6

36Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,


(36)

berpikir dalam penulisan.37Sehingga fungsi teori dalam penulisan teori ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.

Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen Ehrlich tentang hukum yang hidup (living law).Eugen Ehrlich berpendapat

bahwa hukum tidak dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri ke dalam kehidupan nyata masyarakat. Hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri.38

Eugen Ehrlich juga mengemukakan pendapatnya tentang keadilan yang merupakan salah satu nilai dalam masyarakat. Dalam melakukan penelitian terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, ahli hukum harus berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan yang statis dan yang dinamis. Keberadaan keadilan yang statis dalam masyarakat cenderung mempertahankan kondisi-kondisi masyarakat yang ada, namun keberadaan keadilan yang statis akan

37

M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet-I, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80


(37)

diperlunak oleh keadilan yang dinamis yang diarahkan oleh cita-cita individualisme dan kolektivisme.39

Berdasarkan pendapat Eugen Eurlich mengenai hukum yang hidup (living law) dan keadilan tersebut, dapat diketahui bahwa keadilan dalam

masyarakat senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan perubahan keadilan menyebabkan terjadinya perubahan kebiasaan hidup masyarakat. Oleh karena hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (living

law), maka secara otomatis, perubahan kebiasaan hidup masyarakat

menyebabkan terjadinya perubahan hukum yang ada.

Menurut Djojodigoeno40, hukum adat mempunyai sifat yang khas sebagai aturan yang tidak tertulis. Hukum adat mempunyai sifat yang hidup dan berkembang. Hukum adat menjadi dinamis apabila dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam dasar-dasar hukum sepanjang jalan sejarahnya.

Pada satu sisi, hukum adat bersifat tradisional karena melanjutkan tradisi luhur yang cenderung mempertahankan pola-pola yang terbentuk, sedangkan pada sisi lain sebagai hukum yang hidup dan berkembang, hukum adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat.41

39

Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.191

40Otje Salman Soemadiningrat,Op.Cit.,hal.35 41Ibid.


(38)

Hukum adat Batak Toba sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Batak Toba, ada dikarenakan masyarakat Batak Toba menghendakinya. Hukum adat Batak Toba berasal dari kesadaran moral dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat Batak, hanya laki-laki yang merupakan ahli waris. Prinsip waris tersebut dilatarbelakangi oleh sistem kekerabatan patrilineal dan sistem perkawinan

jujuryang dianut oleh masyarakat Batak.42

Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi pelemahan terhadap prinsip waris pada masyarakat Batak. Anak perempuan dapat menikmati bagian harta kekayaan orang tuanya melalui pembekalan atau pemberian tanah secara pauseang. Pemberian tanah melalui pauseang merupakan bukti telah terjadinya pergeseran dan perubahan dalam masyarakat.Perubahan ini telah dianggap masyarakat Batak Toba khususnya masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai sesuatu yang adil dan wajar dilakukan orangtua terhadap anak perempuannya.43

Dalam hukum adat, dikenal adanya pemindahan hak atas tanah.Setiap subyek hukum baik sebagai kodrati maupun pribadi hukum mempunyai suatu kewenangan untuk memindahkan haknya atas tanah kepada pihak lainnya. Pemindahan hak atas tanah merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan pemindahan hak dan kewajiban yang sifatnya tetap atau mungkin juga bersifat

42Eman Suparman,Op.Cit.,hal.41


(39)

sementara. Pemindahan hak atas tanah dapat terjadi karena pemberian. Subjek hukum yang melakukan pemberian tanah harus benar-benar menguasai dan memiliki tanah tersebut. Menurut hukum adat, dengan memberikan tanah tersebut maka hak milik atas tanah akan berpindah seketika itu juga.44

Menurut Soerjono Sukanto45, hak atas tanah menurut hukum adat dapat dibedakan atas hak pribadi hukum (masyarakat, keluarga luas, kerabat) atas tanah dan hak pribadi kodrati atas tanah. Hak pribadi hukum atas tanah merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat sebagai suatu kesatuan sedangkan hak pribadi kodrati atas tanah dimiliki secara individu.

Menurut Iman Sudiyat46, hak pribadi kodrati atas tanah terdiri dari hak milik, hak menikmati hasil, hak pakai, hak keuntungan jabatan, hak wenang beli dan hak wenang pilih. Pembagian tersebut didasarkan pada bentuk usaha dari tanah yang bersangkutan yang berkaitan erat dengan penguasaan dan pemilikan atasnya. Hak milik merupakan hak terkuat di antara hak-hak perorangan yang lain.

Berdasarkan uraian mengenai hak atas tanah menurut hukum adat, maka dapat ditentukan jenis hak apa yang melekat atas tanah pauseang yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya. Penentuan jenis hak yang melekat atas tanah tersebut tentunya tidak terlepas dari latarbelakang

44Eman Suparman,Op.Cit.,hal.196

45Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, 1983,Op.Cit.,hal.172-173 46Ibid.,hal.181-182


(40)

pemberian tanah pauseang dan hukum adat yang berkaitan pemberian tanah dalam masyarakat setempat yaitu masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori.Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.47Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.48

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahdan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabelyang ingin menetukan adanya gejala empiris.49

Pemberian yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian tanah melalui pauseang yang pernah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang ada di lokasi penelitian berdasarkan hukum adat Batak Toba

47Hilman Hadikusuma,Op.Cit., hal.15

48Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,1984,Op.Cit.,hal.133 49Koentjoroningrat.Op.Cit.,hal.21


(41)

yang berlaku.Pemberian terjadi antara orangtua kandung sebagai pemberi dan anak perempuan kandung sebagai penerima, dimana keduanya beragama Kristen.

Konsepsi lainnya yang ada dalam penelitian ini dapat dilihat pada uraian sebagai berikut :

a. Status kepemilikan yang dimaksud adalah jenis hak anak perempuan terhadap tanah yang diberikan oleh orangtuanya melaluipauseang

b. Huta merupakan daerah persekutuan yang didiami oleh masyarakat adat

yang berasal dari satu marga atau lebih. Huta dihuni oleh masyarakat

margaasal maupunmargapendatang.50

c. Tanah yang dimaksud dapat berupa sawah (h/auma), ladang, kebun, tanah

kosong maupun pekarangan rumah

d. Pauseang adalah pemberian orang tua kepada anak perempuan pada saat

berumah tangga yang dapat berupa benda bergerak seperti perabotan rumah tangga dan perhiasan emas maupun barang tidak bergerak berupa tanah, ladang atau sawah (hauma).51

e. Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat Batak Toba beragama Kristen yang bertempat tinggal di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan

50Richard Sinaga, Kamus Batak Toba-Indonesia: Kosakata, Istilah-istilah Adat, Ungkapan, Tamsil dan Peribahasa,(Balige: Dian Utama, 2008), hal.19


(42)

f. Dalihan Na Tolu adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu52, merupakan falsafah/ pandangan hidup yang melandasi hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba.53

g. Panjaean adalah pemberian orang tua kepada anak laki-lakinya sebagai modal hidup untuk berkeluarga54

h. Boru adalah anak perempuan, dalam acara perkawinan boru diartikan sebagai pihak keluarga atau kerabatmargamempelai wanita55

i. Hula-hula adalah sekelompok orang yang memiliki marga yang sama denganmargaorangtua laki-laki perempuan dalam perkawinan.56

j. Dongan sabutuhaataudongan sahutaadalah sekelompok orang yang memilikimargaatausub margayang sama57

k. Anak perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak perempuan kandung yang lahir dari perkawinan sah seorang laki-laki dan seorang perempuan menurut hukum adat Batak Toba

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang menggunakan pengetahuan sebagai sumber primer dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip umum serta mengadakan ramalan generalisasi sampel yang diteliti.58

52Dony Boy Faisal Panjaitan, Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige), Skripsi, (Medan: USU, 2009), hal.11

53Djaren Saragih dkk,Op.Cit.,hal.22 54

Ibid.,hal 83

55

Richard Sinaga,Op.Cit.,hal.15

56Djaren Saragih,dkk,Op.Cit.,, hal.22 57Ibid.


(43)

Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti jalan menuju dan secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.

Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.59Bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.60 Maka dapat dilihat peran penting metode dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.61 Adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

58

Komarudin,Metode Penulisan Skripsi dan Thesis,(Bandung: Angkasa, 1974), hal.27

59Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Op.Cit.,hal. 6

60Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 2007), hal.43 61Ulber Silalahi,Metode Penelitian Sosial,(Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal.13


(44)

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.Adapun yang dimaksud

dengan penelitian yang bersifatdeskriptif analitis adalah suatu penelitian yang

dapat menggambarkan secara rinci dan sistematis mengenai objek yang diteliti.62Penelitian ini menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba, hukum waris adat Batak serta kedudukan perempuan dalam hukum adat Batak Toba, sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/ jawaban dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.

2. Metode Pendekatan

Studi hukum dibagi menjadi 2 (dua) cabang studi, pertama menyatakan bahwa hukum dipelajari dan diteliti sebagai studi mengenai law in book

sedangkan kedua menyatakan bahwa hukum dapat dipelajari sebagai suatu studi mengenailaw in action. Oleh karena mempelajari dan meneliti hubungan

timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain maka penelitian terhadap hukum sebagai law in action merupakan studi sosial yang

nondoctrinalyang bersifat empiris.63

62Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit., hal.10

63Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia


(45)

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Penelitian yuridis

empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan

penelitian terhadap efektivitas hukum.64 Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat

faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terjadi di masyarakat secara langsung untuk menjawab pokok permasalahan.65

Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi hukum dan efektivitas hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul, sehingga penelitian yang dilakukan dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian yaitu mengenai status kepemilikan tanahpauseangyang diberikan orangtua kepada anak perempuan.

3. Lokasi Penelitian

Daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Dolok Sanggul yang merupakan ibukota dari Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan Dolok Sanggul memiliki luas wilayah 107,46 km2 yang terdiri dari 27 desa yaitu Aek Lung, Huta Gurgur, Hutabagasan, Hutaraja, Janji, Lumban Purba, Matiti I, Matiti II, Pakkat, Parik Sinomba, Purba Dolok, Purba Manalu, Saitnihuta, Sampean, Sihite I, Sihite II, Silaga-laga, Sileang, Simangaronsang,

64Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit., hal.51 65Ronny Hanitijo Soemitro,Op.Cit., hal.24


(46)

Simarigung, Sirisirisi, Sosor Gonting, Sosor Tambok, Bonani Onan, Lumban Tobin dan Pasaribu serta 1 kelurahan yaitu Pasar Dolok Sanggul.66Mengingat banyaknya jumlah desa dan kelurahan yang akan diteliti serta jaraknya yang saling berjauhan, maka penelitian tidak dilakukan di semua desa. Dari keseluruhan desa yang berjumlah 27 (duapuluh tujuh) desa dan kelurahan yang berjumlah 1 (satu) kelurahan, dipilih 5 (lima) desa sebagai sampel.

Adapun kelima desa tersebut, yaitu: a. Desa Janji

b. Desa Hutaraja c. Desa Sihite I d. Desa Silaga-laga e. Desa Pasaribu

Pemilihan kelima desa sebagai lokasi penelitian, karena masyarakat di lokasi penelitian ini masih tunduk pada ketentuan hukum adat Batak Toba dan pemberian tanah melalui pauseang masih dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehingga diharapkan lokasi penelitian dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan penelitian.

4. Populasi dan Responden

Menurut Winardi, populasi atau universe adalah kelompok semua

elemen yang mendukung keterangan yang diperlukan guna untuk menjelaskan


(47)

sebuahproblematau alasan-alasan maksudnya yaitu sekelompok manusia yang

bermukim di suatu wilayah atau daerah penelitian dan dapat pula merupakan elemen/bagian dari tempat penelitian.67Populasi penelitian ini merupakan semua orang Batak Toba yang bertempat tinggal di 28 (duapuluh delapan) desa/kelurahan di Kecamatan Dolok Sanggul yang pernah melakukan pemberian tanah melalui pauseang dan ditentukan pula desa yang dijadikan

sampel penelitian sebanyak 5 (lima) desa.

Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, terdapat 86 (delapan puluh enam) orang yang pernah melakukan pemberian tanah melalui

pauseang.Dari populasi, ditentukan sebanyak 6 (enam) orang dari masing-masing desa sampel sebagai responden,sehingga responden dalam penelitian berjumlah 30 (tigapuluh) orang. Penentuan responden dilakukan secara

purposive sampling, dimana responden dianggap telah dapat mewakili dan memberikan jawaban atas permasalahan penelitian. Penentuan responden dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan biaya mengingat populasi yang sulit untuk diwawancarai karena harus bekerja serta tempat tinggal populasi yang berjauhan.

Informasi yang diperoleh dari responden, didukung dan diperkuat pula dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan nasrasumber (informan).Adapun narasumber (informan) dalam penelitian ini terdiri dari :


(48)

a. Dirman Sinambela merupakan tokoh adat di Desa Sihite I b. Erikson Simbolon merupakan tokoh adat di Desa Hutaraja c. Tunas Pasaribu merupakan tokoh adat di Desa Pasaribu

d. Bontor Sinambela merupakan tokoh adat dan Kepala Desa Janji

e. Pantun Panggabean merupakan Notaris/PPAT di Kabupaten Humbang Hasundutan

5. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yaitu:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara (interview) yang dilakukan terhadap :

(1). Orangtua yang pernah memberikan tanah melaluipauseang

(2). Anak perempuan yang pernah menerima tanah melaluipauseang

(3). Tokoh masyarakat dan kepala desa

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh bahan acuan untuk penulisan tesis ini, yaitu:

(1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari nomor dasar, yaitu Undang-undang Dasar 1945,


(49)

perundang-undangan, putusan pengadilan dan hukum yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum adat

(2). Bahan hukum sekunder yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti ketentuan-ketentuan dan komentar mengenai hukum waris adat, jurnal, buku-buku petunjuk lain maupun yang diperoleh dari situs internet (website) yang

memberikan kejelasan terhadap penelitian ini. 6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Studi dokumen

Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan, buku, laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan kepustakaan lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara

Wawancara dilakukan terhadap narasumber (informan) secara terarah

dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti

7. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan


(50)

tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.68 Metode kualitatif dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang

secara lisan sehingga menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data

yang dapat menggambarkan seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat hukum yang diteliti. Dari pembahasan dan analisis ini akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

68Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),


(51)

BAB II

PEMBERIAN TANAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUIPAUSEANGPADA MASYARAKAT

BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan Dolok Sanggul sebagai ibukotanya, yang disahkan pada tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan adalah 251.765,93Ha yang terdiri dari 10 kecamatan, 153 desa dan 1 kelurahan. Kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu Kecamatan Dolok Sanggul, Baktiraja, Lintong Nihuta, Onan Ganjang, Pakkat, Paranginan, Parlilitan, Pollung, Sijama Polang dan Tarabintang.69

Kecamatan Dolok Sanggul sebagai salah satu kecamatan dan ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan, secara geografis berada di ketinggian

1300-1622 m di atas permukaan laut dan secara astronomis terletak pada 2˚9’ - 2˚25’

69http://www.humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=460&Itemid=61diakses pada tanggal 5 November 2013


(52)

Lintang Utara dan 98˚35’ - 98˚49’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai

berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Marade, Sipituhuta, Aeknauli I dan Aeknauli II Kecamatan Pollung

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Hutatinggi dan Sirang Gitgit Kecamatan Parmonangan

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siponjot (Silaban) Kecamatan Lintong ni Huta

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sibuluan Kecamatan Onan Ganjang

Wilayah Kecamatan Dolok Sanggul memiliki luas 20.930 Ha yang terdiri dari 27 desa yaitu Aek Lung, Huta Gurgur, Hutabagasan, Hutaraja, Janji, Lumban Purba, Matiti I, Matiti II, Pakkat, Parik Sinomba, Purba Dolok, Purba Manalu, Saitnihuta, Sampean, Sihite I, Sihite II, Silaga-laga, Sileang, Simangaronsang, Simarigung, Sirisirisi, Sosor Gonting, Sosor Tolong, Sosor Tambok,Bonani Onan, Lumban Tobing, dan Pasaribu serta 1 kelurahan yaitu Pasar Dolok Sanggul.70

Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul sebesar 48.512 jiwa,yang terdiri dari laki-laki sebanyak 23.995 jiwa dan perempuan

70 http://humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id-221:profil-kecamatan&catid=61:dolok-sanggul&Itemid=231diakses tanggal 5 November 2013


(53)

sebanyak 24.517 jiwa dengan rincian sebagaimana diuraikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul

No. Desa/ Kelurahan Jumlah

Keluarga Jumlah Penduduk 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Desa Aeklung DesaBona Ni Onan Desa Hutabagasan Desa Hutagurgur Desa Hutaraja Desa Janji

Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba

DesaLumban Tobing Desa Matiti 1

Desa Matiti 2 Desa Pariksinomba Desa Pakkat DesaPasaribu Desa Purba Dolok Desa Purba Manalu Desa Saitnihuta Desa Sampean Desa Sihite 1 Desa Sihite 2 Desa Silagalaga Desa Sileang Desa Simangaronsang Desa Simarigung Desa Sirisirisi Desa Sosorgonting Desa Sosor Tambok Desa Sosor Tolong

325 360 420 420 433 156 1249 262 165 440 317 238 320 544 424 385 477 111 272 183 217 346 423 193 385 315 117 89 1.589 1.824 2.253 1.959 1.532 790 6.662 1.419 812 1.981 1.687 1.064 1.745 2.939 1.999 1.966 2.406 533 1.243 1.189 1.257 1.833 2.058 895 1.892 1.784 545 265

Jumlah 9.586 48.512


(54)

Berdasarkan Tabel 2.1., jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul sebanyak 48.512 jiwa yang terdiri dari 9.586 keluarga.Jumlah penduduk dan keluarga paling banyak terdapat di Kelurahan Pasar Dolok Sanggul sebesar 6.662 jiwa dan 1249 keluarga.

Tabel 2.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Desa/ Kelurahan Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Desa Aeklung DesaBona Ni Onan Desa Hutabagasan Desa Hutagurgur Desa Hutaraja Desa Janji

Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba

DesaLumban Tobing Desa Matiti 1 Desa Matiti 2 Desa Pariksinomba Desa Pakkat Desa Pasaribu Desa Purba Dolok Desa Purba Manalu Desa Saitnihuta Desa Sampean Desa Sihite 1 Desa Sihite 2 Desa Silagalaga Desa Sileang Desa Simangaronsang Desa Simarigung Desa Sirisirisi Desa Sosorgonting Desa Sosor Tambok Desa Sosor Tolong

761 923 1.208 958 832 470 3.242 754 400 900 838 946 880 1.323 1.034 950 1.206 263 598 657 631 724 974 433 945 761 254 133 828 901 1.045 1.001 700 320 3.420 665 412 1081 849 118 865 1.616 965 1.016 1.200 270 645 532 626 1.109 1.084 462 947 1.023 291 132

Jumlah 23.995 24.517


(55)

Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin perempuan jumlahnya lebih banyak sebesar 24.517jiwa apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 23.995 jiwa.

Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap ilmu pengetahuan yang dapat berguna untuk memajukan berbagai bidang kehidupan masyarakat.Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi sampel penelitian beranekaragam mulai dari masyarakat yang tidak/ belum sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), tamat SD, Sekolah Lanjutan Tahap Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), Diploma I-III, Strata 1 maupun Strata II. Adapun komposisi tingkat pendidikan masyarakat di lokasi sampel penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Penelitian

No Desa Tidak/ belum sekolah Tidak Tamat SD

SD SLTP SMU Perguruan

Tinggi Jumlah 1 . 2 . 3. 4 . 5 . Janji Hutaraja Sihite 1 Silaga-laga Pasaribu 87 272 238 114 494 19 374 292 311 85 40 263 297 210 360 64 370 269 202 621 388 479 325 148 1065 33 20 18 39 84 621 1778 1259 1024 2709

*Sumber : Data Kecamatan Dolok Sanggul

Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi sampel penelitian telah menyadari peran penting dari pendidikan untuk


(56)

memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang tamat SLTA lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tidak sekolah dan tidak tamat SD, bahkan di setiap desa telah ada masyarakat yang menyelesaikan pendidikannya pada tingkat perguruan tinggi.

Mayoritas penduduk di Kecamatan Dolok Sanggul memeluk agama Kristen, dimana mata pencaharian masyarakatnya bergerak di bidang pertanian, perkebunan dan perdagangan. Di bidang pertanian, masyarakat Dolok Sanggul terkenal dengan produksi kemenyan yang dikenal luas dan hasilnya telah dijual baik ke daerah-daerah yang ada di Indonesia maupun ke luar negeri. Kecamatan Dolok Sanggul juga dikenal sebagai penghasil daging kuda yang juga menjadi makanan khas daerah tersebut. Perkembangan kehidupan masyarakat di Kecamatan Dolok Sanggul lebih cepat apabila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, Dolok Sanggul pada awalnya merupakan hutan rimba yang masih dihuni oleh binatang buas dan semak belukar. Pemberian nama Dolok Sanggul berawal dari perjalanan ibu-ibu Batak menuju ke tempat pesta (ulaon) yang harus melewati daerah Dolok

Sanggul. Pada perjalanan yang memakan waktu kira-kira satu hari perjalanan tersebut, mereka beristirahat tepat di Dolok Sanggul yg dulu masih hutan belantara dan tanpa sadar sanggul ibu itu tertinggal di daerah tersebut.


(57)

Hal tersebut baru disadari setelah sampai di tempat tujuan pesta. Para ibu tersebut kemudian memutuskan untuk mencarinya pada saat pulang dari tempat pesta, namun sanggul tidak ditemukan lagi. Dalam perjalanan pulang ke tempat asal, mereka memandang (manatap) dari Dolok Nabolon yang

berada di Kecamatan Pollung dan menyadari bahwa tempat itu sangat indah sehingga memutuskan mulai membuka lahan di tempat tersebut. Mereka menamakan tempat tersebut dengan nama Dolok Sanggul, karena daerah tersebut berupa bukit yang dalam bahasa Batak adalah dolok dan katasanggul

berasal dari sanggul mereka yang ketinggalan dan telah hilang di daerah

tersebut.71

Tradisi masyarakat di lokasi penelitian masih sering dilakukan seperti pelaksanaan pekan atau onan yaitu suatu bentuk perdagangan antar desa satu

kali dalam seminggu yang dilakukan setiap hari Jumat.Pada saat onan,

masyarakat setempat beramai-ramai membawa hasil berladang dan pertanian selama satu minggu untuk dijual ke pembeli yang berasal dari desa lainnya atau bahkan desa yang berada di kecamatan atau kabupaten yang berbeda. B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba


(58)

Sumatera Utara memiliki 3 (tiga) bagian penduduk asli, yaitu Batak, Melayu (Pesisir Sumatera Timur) dan Nias. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam mengklasifikasikan seluruh daerah Indonesia di dalam 19 (sembilanbelas) lingkungan hukum adat di Indonesia. Kesembilanbelas lingkungan hukum adat tersebut, sebagaimana dikutip oleh Soepomo72adalah :

a. Aceh

b. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias c. Daerah Minangkabau beserta Mentawai d. Sumatera Selatan

e. Daerah Melayu f. Bangka dan Belitung g. Kalimantan (Tanah Dayak) h. Minahasa

i. Gorontalo j. Daerah Toraja k. Sulawesi Selatan l. Kepulauan Ternate m.Maluku, Ambon n. Irian

o. Kepulauan Timor

p. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) q. Jawa Tengah dan Timur (beserta Madura)

r. Daerah-saerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) s. Jawa Barat.

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara penulis sejarah mengenai pengertian nama Batak. Menurut Batara Sangti, bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya


(59)

subjektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).73 Asal

kata Batak kemungkinan besar berasal dari kata Bataha sebagai nama salah

satu kampung/negeri di Burma/ Siam yang merupakan kampung/negeri asal orang Batak sebelum menyebar ke Nusantara.74

Asal usul suku Batak sebelum berada di Nusantara masih belum diketahui dengan pasti karena masih terdapat perbedaan pendapat sarjana tentang hal tersebut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa suku Batak berasal merupakan ras Proto Melayu yang berbahasa Austronesia, namun ada pula yang menyatakan bahwa suku Batak berasal dari India belakang.75

Menurut sejarah di kalangan suku Batak di Indonesia khususnya Batak Toba, sebelum terjadi persebaran masyarakat, tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.76 Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Batak meliputi daerah-daerah pegunungan Bukit Barisan yang berpusat di Danau Toba, dan berbatasan dengan daerah Aceh (setelah lahir kesultanan

73Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977), hal.17 74Ibid.,hal.26

75

E.H.Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya sebagai Sarana Pembangunan,(Bandung: Tarsito, 1982), hal.10

76Torop Eriyanto,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Pontianak Kota di Kota Pontianak, Tesis, (Medan: USU, 2005), hal.61-62


(60)

Aceh tahun 1513) di sebelah utara, tanah Melayu di sebelah timur, tanah Minangkabau di sebelah selatan dan Lautan Hindia di sebelah barat.77

Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang terdiri dari beberapa sub suku (puak). Pada mulanya, suku Batak masih bersatu

padu dalam lingkungan Dinasti Tuan Singamangaraja (Si Raja Batak), yang terdiri dari 3 sub suku, yaitu Gayo Alas (Aceh tua/asli), Pakpak dan Toba. Setelah terjadinya Perang Padri/Bonjol di tanah Batak, lahir beberapa sub suku (puak) baru, yaitu Simalungun, Dairi, Karo, Angkola-Mandailing dan

Batak-Melayu.78

Menurut Djaren Saragih79, masing-masing sub suku Batak dengan wilayah atau lingkungan adatnya dapat dibagi atas :

a. Batak Simalungun yang mendiami daerah sekitar Sibaganding, dari Sipiso-piso sampai perbatasan Tebing Tinggi, dari Parapat sampai ke Tongging dekat Saribudolok

b. Batak Karo yang bertempat tinggal di wilayah Laupakam sampai ke Gunung Sibayak dan Merek sampai ke Berastagi dan Kabanjahe

c. Batak Toba mendiami daerah wilayah dataran tinggi Toba yaitu daerah-daerah Toba Holbung, Silindung, Humbang, Pahae dan Pulau Samosir

77Batara Sangti,Op.Cit.,hal.27 78Ibid.,hal.24-25


(61)

d. Batak Pakpak-Dairi, mendiami daerah Dairi di sekitar Sidikalang

e. Batak Angkola mendiami sekitar Batang Toru, Padang Lawas, Sipirok dan Padang Sidempuan

f. Batak Mandailing mendiami daerah Penyabungan dan Natal

Sistem hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul, ditandai dengan pencantuman marga di belakang

nama seseorang. Marga merupakan suatu bentuk kelompok orang-orang yang

merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari

satumargamemakai nama identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil.80

Perkataan marga berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya jalan atau

satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat.81Marga tidak

terlepas dari asal mula sejarah masyarakat Batak.Marga berasal dari Si Raja

Batak yang diyakini oleh suku Batak khususnya orang Batak Toba, merupakan nenek moyang suku Batak.

Si Raja Batak, Raja Sisingamangaraja ke-I adalah yang pertama kali melahirkan suatu ajaran (doktrin) yang mewajibkan dan mengharuskan

tiap-tiap orang membuat marga-marga secara genealogis territorial tanpa kecuali

80J.G.Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004), hal.9 81TM Sihombing, Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat), (Jakarta:


(62)

sebagaimana terdapat dalam peraturan (uhum) berbentuk peribahasa Batak

Jolo tiniptip sanggar, bahen huru-huruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto

partuturan“ yang artinya adalah terlebih dahulu dipotong pimping (sejenis

ranting), sebelum membuat sangkar; Lebih dulu dipertanyakan marga, agar

dapat diketahuipartuturan (sebutan kedudukan dalam adat).82Kewajiban untuk

mempertanyakan margaterlebih dahulu menjadi identitas dan titik tolak untuk

mengetahui sebutan kedudukan dalam adat (partuturan) kekerabatan orang

Batak. Marga yang diwajibkan untuk dimiliki setiap orang Batak, menjadi

pengikat hubungan kekerabatan sesama orang Batak dimana dan kemanapun orang Batak pergi.83

Menurut Djaren Saragih, marga memiliki peranan yang penting bagi

masyarakat Batak Toba, karena masyarakat Batak Toba memanggil seseorang dengan memanggil marga bukan nama. Masyarakat Batak Toba hanya

memanggil nama kepada anak-anak saja.84Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka (martaromboatau

martutur)adalah dengan berpedoman padamargayang dimiliki seseorang.

82Batara Sangti,Op.Cit.,hal. 334 83Ibid.,hal.335


(63)

Setiap orang pada masyarakat Batak mempunyai marga, sehingga

demikian masyarakat Batak yang menarik garis keturunan dari laki-laki (patrilineal), terdiri dari kumpulan marga-marga.Marga yang satu dengan

marga yang lainnya saling mempunyai hubungan tertentu dalam beberapa hal

seperti dalam hubungan perkawinan. Hubungan perkawinan mengakibatkan antaramargayang satu memiliki kedudukan denganmargayang lainnya.85

Marga bagi masyarakat Batak Toba memiliki kedudukan penting yang

mempunyai tiga fungsi yaitu mengatur tata adat, tata pergaulan dan hubungan kekeluargaan.86

2. Dalihan Na Tolu sebagai Falsafah Hubungan Kekerabatan

Kehidupan kekerabatan marga-marga Batak Toba menganut falsafah

Dalihan Na Tolu.Falsafah hubungan kekerabatanDalihan Na Tolumerupakan

perumpamaan yang berasal dari tungku tiga kaki yang terbuat dari batu yang biasa digunakan masyarakat Batak Toba untuk memasak. Dengan adanya ketiga kaki pada tungku tersebut, periuk sebagai alat memasak yang diletakkan di atasnya menjadi diam dan tegak. Ketiadaan salah satu kaki pada tungku akan menyebabkan masakan yang berada di atasnya tumpah, demikian pula dalam kehidupan masyarakat Batak yang harus saling mendukung antara

hula-85Ibid.,hal.17

86 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani,Pokok-pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba),(Jakarta: Mars 26, 1988), hal.9


(64)

hula, boru dan dongan sabutuha atau dongan tubu untuk menegakkan,

menghormati dan mentaati adat.87

Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu

sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah masyarakat Batak.Falsafah Batak Toba sebagai dasar untuk bersikap terhadap kerabat yaitu Dalihan Na Tolu adalah

Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru".88

Somba Marhula-hula, mengandung makna untuk bersikap hormat

kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu.Hula-hula

diibaratkan seperti mata ni ari binsar yang berarti seperti matahari yang

memberikan cahaya kehidupan di segala bidang dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga harus dihormati.89

Elek Marboru mengandung makna untuk bersikap mengasihi atau

menyayangi putri (boru) dan kelompok parboru yang terdiri dari menantu

(hela), orangtua dan keturunannya.90Manat mardongan tubu mengandung

makna untuk bersikap berhati-hati terhadap kerabat satumargadan teman satu

marga.91

87Ibid.,hal.22

88Torop Eriyanto,Op.Cit.,hal.66 89

Tiorista,Hak Mewaris Anak Perempuan dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir),Tesis, Medan: USU, 2008, hal.44

90Ibid. 91Ibid.


(1)

dapat memberikan perlindungan hukum dan menjamin kepastian hukum terhadap hak anak perempuan atas tanah yang diterima melalui pauseang.

Hal tersebut tidak terlepas dari peran aktif Badan Pertanahan Nasional, PPAT maupun kalangan akademik memberikan penyuluhan hukum untuk lebih meningkatkan kesadaran dan memberikan pemahaman yang intensif kepada masyarakat mengenai pentingnya pemberian tanah yang dilakukan di hadapan PPAT.

Badan Pertanahan Nasional dan PPAT juga harus tetap menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas serta menjalankan fungsi dan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Hak anak perempuan atas tanah pemberian melalui pauseang hanya terbatas pada hak pakai saja bukan hak milik. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ada perbedaan kedudukan antara anak perempuan dengan anak laki-laki serta menunjukkan lemahnya kedudukan anak perempuan. Mengingat bahwa secara nasional antara laki-laki dan perempuan telah menuju ke arah persamaan kedudukan yang sama, maka sebaiknya kepada anak perempuan diberikan hak milik atas tanah yang diberikan melalui


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986

Dijk,Van,Pengantar Hukum Adat Indonesia (Terjemahan A.Soehardi), W.Van Hoeve, Bandung, 1954

Eriyanto, Torop,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Pontianak Kota di Kota Pontianak,

Tesis, USU, Medan, 2005

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Haar, Ter, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994

Hadikusuma,Hilman,Hukum Waris Adat,Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1993 ---,Hukum Perjanjian Adat,PT Alumni, Bandung, 1982 Handito, Abi Yaser, Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua

Semasa Hidupnya kepada Anak dalam Hukum Waris Adat Batak Karo, Tesis, 2011

Hisyam, M.,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,FE UI, Jakarta, 1996

Ihromi, T.O.,dkk., Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2006

Irianti, Sulistyowati, Perempuan dalam Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003


(3)

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

Komarudin,Metode Penulisan Skripsi dan Thesis,Angkasa, Bandung, 1974 Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet-I, Mandar Maju, Bandung,

1994

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993

Muhammad, Bushar,Asas-asas Hukum Adat,Pradnya Pramita, Jakarta, 1975 Nasution, Bahder Johan,Metode Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 2007 Panjaitan, Dony Boy Faisal, Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum

Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak di Kecamatan Balige), Skripsi, FH USU, Medan, 2009

Prasetyo, Teguh, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris di Indonesia, Cet-II., Bandung: Sumur, 1983

Purbacaraka, Purnadi & A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,Cet-2,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Ridwan,Achmad Fauzie,Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, 1982 Sangti, Batara,Sejarah Batak,Karl Sianipar Company, Balige, 1977

Saragih, Djaren, dkk.,Hukum Perkawinan Adat Batak,Tarsito, Bandung, 1980 Sihombing, T.M ., Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat


(4)

Siahaan, Nalom, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, Prima Anugrah, Jakarta, 1982

Sihotang, Jailani dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba),Mars 26, Jakarta, 1988

Silalahi, Ulber,Metode Penelitian Sosial,PT.Refika Aditama, Bandung, 2009 Sinaga, Richard,Kamus Batak Toba-Indonesia: Kosakata, Istilah-istilah Adat,

Ungkapan, Tamsil dan Peribahasa,Dian Utama, 2008

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982

---,Hukum Adat Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983

---, Hukum Adat Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,

Alumni, Bandung, 2002

Soemitro, Ronny Hanitidjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Persada, Jakarta, 1990

Soepomo,Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993 ---,Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003 Soeroso, R.,Pengantar Ilmu Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Sudarsono,Kamus Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 2007

Sudiyat, Iman,Asas-asas Hukum Adat,Liberty, Yogyakarta, 2000

Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Hibah Untuk Anak di Bawah Umur,Tesis, UNDIP, Semarang, 2010


(5)

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat & BW,PT.Refika Aditama, Bandung, 2005

Tambunan,E.H.,Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya sebagai Sarana Pembangunan, Bandung: Tarsito, 1982,

Tiorista,Hak Mewaris Anak Perempuan dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir), Tesis, USU, Medan, 2008

Vergouwen, J.G.,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Lkis, Yogyakarta, 2004

Widjaya, I.G.Ray,Merancang Suatu Kontrak,Kesaint Blanc, Bekasi, 2004 Wignojodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Alumni,

Bandung, 1973

---, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995

Winardi,PengantarMetodologi Research, Bandung: Alumni, 1989

Wiranata, I Gede A.B., Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis,

Andi, Yogyakarta, 2006 Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(6)

PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Majalah dan Makalah Hukum

Sitepu, Runtung, Bahan Kuliah Hukum Waris Adat, Program Studi Magister Kenotariatan USU, Medan, 2012

Tobing,G.H.S.L., Pengaturan Hukum Waris Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta, Majalah BPHN Nomor 1 Tahun 1989

Situs Internet

http://www.humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&vie w=article&id=460&Itemid=61diakses pada tanggal 5 November 2013 pkl.08.00 WIB

http://humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=ar ticle&id-221:profil-kecamatan&catid=61:dolok-sanggul&Itemid=231


Dokumen yang terkait

Upaya Perempuan Batak Toba Menuju Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak (Suatu kajian berperspektif perempuan Batak Toba di Desa Parbubu II,Kecamatan Tarutung)

2 35 130

Struktur Kalimat Bahasa Batak Toba Di Kabupaten Humbang Hasundutan Kecamatan Lintong Ni Huta Berdasarkan Hubungan Subjek Dan Predikat: Analisis Teori X-Bar

13 210 63

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan

5 49 172

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

3 109 153

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

2 5 7

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 1

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 7

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 2

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 55