9. Putih: Warna suci dan bersih, natural, kosong, tak berwarna, netral, awal baru, kemurnian dan kesucian. Warna yang sangat bisa dipadukan dengan warna apapun.
10.Abu Abu: Intelek, Masa Depan kayak warna Milenium, Kesederhanaan, Kesedihan www.selimutmaya.com
2.1.7 Identitas Maskulinitas
Beruntung atau tidak beruntung, laki-laki selalu dianggap menempati posisi lebih tinggi daripada perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki
lebih sempurna daripada perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki dan permpuan bertindaj sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan berada
dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki. Juliet Mitchell 1994 mendeskripsikan patriarki dalam suatu term “the law of father” yang
masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya.
Lain halnya yang dijelaskan oleh Heidi Hartmann 1992 salah seorang feminis sosial diman patriarki adalah relasi hirarki antara laki-laki dan perempuan dimana
lakilak lebih domnan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hierarkis semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow 1992, perbedaan fisik ecara sistematis mendorong laki-laki
untuk menolak feminitas untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki
mendominasi perempuan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Identitas jenis kelamin merupakan soal pilihan. Orang meyakini bahwa dirinyalah pria atau wanita, namun terdapat perbedaan derajat yang mencolok tentang
persepsi individu terhadap diri mereka sendiri sebagi pemilik sejumlah ciri-ciri maskulin dan feminin. Orang yang sangat maskulin adalah orang yang menganggap dirinya
memiliki ciri-ciri minat, kegemaran dan ketrampilan bermasyarakat secara khusus dikaitkan dengan sifat kejantanan. Dalam kehidupan sosialnya, laki-laki dibentuk untuk
tumbuh menjadi makhluk yang kuat dan keras, bahkan kata-kata maskulin sangat dekat artinya dengan kata otot musele. Laki-laki tidak dirpekenankan untuk menangis,
berkeluh kesah atau menunjukkan sikap-sikap lemah lembut yang identik dengan perempuan. Mereka dituntut untuk memenuhi apa yang disebut dengan “manhood” atau
kode etik laki-laki maskulinitas. Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewa oleh masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan kebebasan nuntuk
melakukan apa saja yang bagi perempuan itu dilarang dan itu dianggap sebagai suatu kewajaran. Mereka diajarkan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih berkuasa
dibandingkan lawan jenisnya, dituntut untuk selalu tampil kuat, tidak terlihat lemah www.indomedia.com
Maskulinitas adalah karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras dan kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin berpolitik dan urusan sejenisnya
yang mengambarkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek kehidupan sehari-hari. Maskulinitas seringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri yang melekat pada laki-
laki. Maka mucul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat, perkasa, pemberani, petualang, dan sebgainya. Maskulinitas juga diidentikkan dengan
mobilitas, gerak, gairah berkompetisi dan bertanding. Stereotipe maskulinitas lantas
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
acapkali disejajarkan dengan aktivitas olahraga dan jiwa spportifitas www.layarperak.com
.
Sedangkan Menurut Beynon Nasir 2007 Maskulinitas dapat dikelompokkan dalam delapan kategori yaitu:
1. No Sissy Stuff: Seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik
yang berasosiasi dengan perempuan. 2.
Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan
status yang sangat lelaki. Atau dalam masyarakat Jawa: seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo istri, bondo harta, turonggo kendaraan,
kukiro burung peliharaan, dan pusoko senjata atau kesaktian. 3.
Be a Sturdy Oak. kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak
menunjukkan emosi, dan tidak memunjukkan kelemahannya. 4.
Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.
5. New man as nurturer: Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak,
misalnya, untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik.
6. New man as narcissist: laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup
yuppies yang flamboyan dan perlente, laki-laki semakin suka memanjakan dirinya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dengan produk-produk komersial properti, mobil, pakaian atau artefak personal yang membuatnya tampak sukses.
7. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism, laki-laki membangun
kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time, bersenang-
senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya bersama teman-temannya, bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat
lelucon-lelucon yang diangap merendahkan perempuan. 8.
Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama Laki-laki metroseksual adalah
orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis.
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut
Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan tidak melekat
dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu.
Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang melaksanakan peran
jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang
dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
identitas jenis kelamin dimana perilaku tersebut tidak diaki sebgaai perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat. Tidak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang
tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki
dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelmain di rumah tangga.
Maskulinitas juga dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Maskulinitas sendiri
bukan merupakan sebuah pembberian dari Tuhan dan sudah dimiliki sejak lahir melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan ciri maskulinias pada sosok
laki-laki. Maskullinitas dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu laki-laki berpenis dan perempuan tidak berpenis namun sebgai bagian dari gender yang
merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan peran dalam kehidupan sosial. Seperti pendapat Harding 1968 dan Siva 1989,
feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya dapat saling dipertukarkan, artinya, feminitas tidak mesti hanya dimili oleh kaum
perempuan dan maskulinitas tidak semata-mata milik kaum laki-laki Fakih, 2001 :101. Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma
budaya masyarakat maka citra ideal telah dilekatkan pada laki-laki dengan cirinmaskulin dan perempuan dengan ciri feminin. Selain itu, stereotip maskulinitas senantiasa
dilekatkan pada kaum laki-laki dalam bentuk konsepsi sifat-sifat yang selalu bermakna positif, diantaranya yakni: rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas dan doninan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Kasiyan,2008 : 52 singkatnya maskulinitas telah disepakatai secara sosial sebagai citra ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.
Dalam peran tradisional pria harus jadi seorang pemimpin, baik dirumah maupun masyarakat luas. Helen Andelin mengemukakan wanita harus mematuhi suami
mereka dan menikamti perlindungan yang diberikan. Pria harus menjadi kepala keluarga yang tidak boleh digugat, istri harus menerima suami sebagai pemimpin mendukung dan
mematuhinya Sears et al, 1991:218
2.2 Kerangka berpikir