1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Selama beberapa tahun ini maraknya tindak kriminalitas merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat di kota
besar. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa tingkat kriminalitas terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di kota Yogyakarta. Menurut data
Badan Pusat Statistik, jumlah tindak kriminal di Yogyakarta pada tahun 2007 sebanyak 4.316 kasus, meningkat pada tahun 2008 sebanyak 5.183, pada
tahun 2009 terdapat 6.988 kasus kriminal, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebanyak 17.622 kasus kriminal
BPS, 2013. Pelaku tindak kriminal tidak hanya orang dewasa saja tetapi juga
remaja. Data yang bersumber dari laporan masyarakat dan pengakuan pelaku tindak kriminalitas yang tertangkap tangan oleh polisi mengungkapkan bahwa
selama tahun 2007 tercatat sebanyak 3,145 remaja yang menjadi pelaku tindak kriminal. Jumlah tersebut pada tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi
sebanyak 3,280 remaja dan sebanyak 4,213 remaja dengan kasus yang bermacam-macam BPS, 2013. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan
masyarakat karena remaja adalah aset bagi masa depan suatu negara. Kompas 2012 memberitakan bahwa tindak kriminalitas remaja
muncul dalam berbagai bentuk. Tindak kriminalitas tersebut tidak hanya
sebatas tawuran antar pelajar, tetapi juga pencurian, pemerkosaan, seks bebas, munculnya kelompok-kelompok atau geng motor, tindak kekerasan bahkan
pembunuhan. Selain itu, bentuk tindak kriminalitas yang lainnya adalah penyalahgunaan obat-obatan terlarang, perkelahian, perampasan, serta bentuk-
bentuk agresivitas lainnya dan juga permasalahan seksual. Remaja pelaku tindak pidana memiliki karakteristik yang dilihat dari
tiga faktor, yaitu faktor individual yang meliputi karakteristik demografis, sosial dan ekonomi; faktor keluarga yang meliputi ukuran keluarga,
keberadaan orang tua kandung dan status sosial ekonomi keluarga; dan faktor relasi sosial yang mencakup relasi sosial dengan keluarga dan relasi sosial
dengan masyarakat BPS, 2013. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2013, dilihat dari faktor
individual, faktor keluarga dan relasi sosial, remaja pelaku tindak pidana mayoritas merupakan remaja yang putus sekolah. Sebagian dari mereka masuk
ke dalam angkatan kerja, namun karena pendidikannya yang rendah, pekerjaan yang mereka peroleh hanya pekerjaan marginal yang selain lingkungan kerja
yang kurang baik, juga kurang mempunyai nilai ekonomi. Mayoritas remaja pelaku tindak pidana atau remaja nakal berasal dari keluarga yang kurang atau
tidak mampu secara ekonomi. Ditambahkan juga, remaja pelaku tindak pidana sebagian besar berasal dari keluarga yang memiliki kedua orang tua kandung
yang lengkap namun para orang tua dari para remaja antisosial biasanya gagal dalam memonitor perilaku anaknya, sehingga mereka seringkali tidak
mengetahui keberadaan anak remajanya dan apa yang sedang dilakukannya.
Remaja yang melakukan tindak kriminal akan mendapat sanksi berupa hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Moeljanto dalam Sari
2007 menjelaskan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan melanggar hukum. Orang yang dinyatakan bersalah secara pidana harus
bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya dengan menjalani hukuman di penjara dan memiliki status sebagai narapidana.
Kartono 2007 menyebutkan bahwa masyarakat narapidana adalah masyarakat yang dikucilkan, masyarakat asing yang penuh dengan stigma atau
noda sosial yang wajib dikucilkan. Selain itu, Kartono 2007 juga menambahkan bahwa pemenjaraan akan membuat narapidana mengalami
berbagai macam situasi yang tidak menyenangkan, seperti konflik batin, memiliki
kecenderungan untuk
menutup diri,
narapidana akan
mengembangkan reaksi yang stereotype yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat membenci dan mendendam, serta mendapat labe
l “tidak dapat dipercaya dan tidak bisa
bertanggung jawab” oleh masyarakat. Narapidana dianggap sebagai bagian masyarakat tuna susila dan kurang mampu memberikan partisipasi
sosial. Pengalaman sosial yang buruk seperti itu sering dialami oleh
seseorang yang menjadi narapidana, karena narapidana seringkali masih kurang dapat diterima secara utuh oleh lingkungan, tidak diberi kesempatan
yang sama dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan dipandang sebelah mata karena pernah menjadi narapidana. Disamping itu, seorang remaja yang
menjalani masa hukuman di dalam penjara cenderung akan merasa dirinya
tidak lebih berharga dibandingan dengan remaja lain yang seusianya, merasa gagal dan tidak memiliki harapan, merasa tidak ada yang menyayangi dan
kurang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya karena melakukan perbuatan yang tidak baik Kartono, 2007.
Sari 2007 mengungkapkan bahwa pemberian label tersebut memiliki dampak yang negatif bagi yang menjadi narapidana, khususnya
narapidana usia remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Label tersebut akan membuat remaja mengalami konflik batin, merasa dirinya tidak
berguna, dan putus asa, sehingga remaja tidak mampu menerima diri mereka. Penerimaan diri ini terkait erat dengan pembentukan konsep diri remaja
tersebut. Seorang narapidana remaja yang mampu menerima pengalaman dan
perubahan yang berhubungan dengan proses isolasinya di Lembaga Pemasyarakatan akan dapat menerima kenyataan dengan lapang dada. Hal ini
dikarenakan remaja dengan penerimaan diri memiliki keyakinan dan kemampuan dalam menjalani kehidupan dan menganggap dirinya berharga
sebagai seorang individu yang sederajat dengan individu lain, mampu menempatkan diri dan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya
sehingga individu tersebut dapat mengembangkan konsep diri yang positif. Sheerer dalam Sari, 2007. Sebaliknya seseorang yang penerimaan dirinya
negatif akan cenderung menyalahkan situasi dan tidak mampu menerima pengalaman hidupnya, memiliki hubungan sosial yang buruk, menyalahkan
dirinya sendiri dan merasa depresi Sari, 2007. Hal itu akan membentuk konsep diri yang negatif pada diri individu tersebut.
Konsep diri mutlak penting bagi semua orang, tidak terkecuali remaja yang menjadi narapidana dan menjalani masa hukuman di dalam
Lembaga Pemasyarakatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susan A. Jackson, Patrick R. Thomas, Herbert W. Marsh dan Christopher J. Smethurst
2001, disebutkan bahwa konsep diri dipandang sebagai faktor penting dalam perilaku seseorang dan berkontribusi terhadap kesehatan mental dan
well-being . Konsep diri berasal dan berkembang seiring dengan
pertumbuhannya. Hubungan antara individu, pola asuh, dan pengalaman, termasuk didalamnya pengalaman hidup beragama, memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap konsep diri Sari, 2007. Pengalaman hidup beragama yang dialami oleh individu akan
membentuk watak keberagamaan yang disebut oleh Allport sebagai kematangan beragama Allport dalam Indirawari, 2006. Pengalaman tersebut
akan membentuk respon terhadap stimulus yaitu berupa konsep dan prinsip yang diterima oleh orang tersebut. Nantinya, konsep dan prinsip tersebut akan
menjadi bagian penting dan bersifat menetap dalam diri individu sebagai agama. Jika keberagaaman pada individu sudah matang, maka kematangan
beragama itu yang akan mengarahkan individu untuk bersikap terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik
secara teoritis maupun praktek Indirawati, 2006.
Kematangan beragama dibentuk oleh berbagai hal, diantaranya dengan menjalankan rutinitas keagamaan sesuai dengan agama yang
dianutnya, selalu berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam beragama, bersikap toleran pada individu yang berbeda keyakinan, objektif
dan tidak dogmatis. Selain itu, menjadikan ajaran agama sebagai alat kontrol bagi motif-motif dan aktifitas yang dilakukan, serta bertingkah laku selaras
dengan nilai moral Indirawati, 2006. Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya
agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik dan keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku
keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Oleh karena itu kematangan beragama merupakan hal yang diproses sejak awal dan dapat
diupayakan sejak masa kecil individu karena kematangan beragama bisa dipelajari dan ditanamkan.
Berdasarkan data survey dan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan kota Yogyakarta, diketahui bahwa
narapidana yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan rutin mendapat pembinaan, tidak hanya pembinaan berupa soft skill tetapi juga pembinaan
keagamaan. Pembinaan yang diberikan antara lain sholat 5 waktu, sholat Jumat, sholat Ied serta pembinaan berupa dakwah rutin bagi narapidana yang
beragama Islam. Untuk narapidana yang beragama Kristiani juga
mendapatkan pembinaan berupa pelayanan iman setiap minggunya, begitu juga bagi narapidana yang menganut agama Hindu dan Budha.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dengan kata lain, apabila seseorang memiliki kematangan beragama yang baik, maka orang
tersebut akan memiliki mental dan psikis yang sehat serta terbuka pada pengalaman-pengalaman hidupnya. Hal tersebut juga dapat membantu
seseorang itu untuk dapat lebih bijak dalam melihat segala persoalan yang terjadi dan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga dapat membentuk
konsep diri yang positif. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana hubungan kematangan beragama terhadap konsep diri
remaja yang dalam hal ini adalah remaja yang menjadi narapidana.
B. RUMUSAN MASALAH