Hubungan antara kematangan beragama dengan konsep diri pada remaja yang menjadi narapidana.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA

DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA YANG MENJADI

NARAPIDANA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Galuh Sekardhita Buana Candra Murti

089114110

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Untuk segala sesuatu ada masanya,

untuk apapun di bawah langit ada waktunya…

(Pengkotbah 3:1)

jika pada jalan hidupmu ada kerikil yang menggangu,

atau mungkin lubang yang berbahaya,

berbanggalah,

karena hidupmu tidaklah datar.

(Zarry Hendrik)

Karya sederhana ini ku persembahkan untuk: Bapak, Ibu, Mbak Lulu, juga Rama,

Sebagai ungkapan kasih dan ucapan terima kasih


(5)

(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA YANG MENJADI NARAPIDANA

Galuh Sekardhita Buana Candra Murti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Kematangan Beragama dengan Konsep Diri pada remaja yang menjadi narapidana. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan positif antara Kematangan Beragama dengan Konsep Diri pada remaja yang menjadi narapidana. Asumsinya, jika remaja yang menjadi narapidana memiliki kematangan beragama yang tinggi, maka remaja tersebut akan memiliki konsep diri yang positif. Semakin tinggi kematangan beragama narapidana remaja, semakin positif konsep diri yang dimilikinya. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel Kematangan Beragama sebagai variabel bebas dan variabel Konsep Diri sebagai variabel tergantung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 78 orang dengan kriteria remaja yang berusia 17-22 tahun, baik laki-laki maupun perempuan dan merupakan seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan skala kematangan beragama dan skala konsep diri. Dari 48 aitem dalam skala kematangan beragama, terdapat 11 aitem gugur dan 37 aitem valid, dari 40 aitem dalam skala konsep diri, terdapat 7 aitem gugur dan 33 aitem valid. Reliabilitas yang dihasilkan dari skala kematangan beragama yaitu 0,938 dan reliabilitas skala konsep diri yaitu 0,907. Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan linear. Data dianalisis menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson dengan bantuan SPPS for Windows versi 16.00. Hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa koefisien korelasi (r) yang didapatkan sebesar 0,728 (p<0.05). Hal ini berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima.


(7)

vii

RELATIONSHIP BETWEEN RELIGION MATURITY AND

SELF-CONCEPT IN ADOLESCENT’S PRISONER Galuh Sekardhita Buana Candra Murti

ABSTRACT

This research aim to know the relationship between Religion Maturity and

Self-Concept in adolescent’s prisoner. The existence of the positive relation between religion

maturity with self concept propose as the hypothesis of this research. The assumption is if the religion maturity is higher so self concept will be positive. The research variable was religion maturity as the independent variable and self concept as dependent variable. The subjects of the research were 78 people, adolescent aged between 17-22, both men and woman, and represents as a prisoner. The data collection was done through scattered religion maturity scale and self concept scale. From the 48 items scale religion maturity there are 11 items fall and 37 items valid, and from 40 items scale self concept there are 7 items fall and 33 items valid. The result shows reliability 0,938 for religion maturity and 0,907 for self concept. The result of the data analysis revealed that the distribution of the data is normal and linier. The data research were analyzed using correlation technique of Product Moment from Pearson helped by SPSS for Windows version 16.00. The result showed that the coefficient correlation was 0,728 (p<0.05). It means that the hypothesis of this research is accepted.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang sungguh teramat baik dalam hidupku. Terima kasih untuk setiap berkat, kasih dan anugerah yang selalu Engkau curahkan untukku. Aku sangat menyadari kalau aku boleh sampai pada titik perjalanan ini, semua itu tidak pernah lepas dari penyertaanMu. You are my awesome God!

2. Dr. Ch. Siwi handayani, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.

3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta memberikan banyak masukan untuk saya dari awal hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si., Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang sangat membantu saya selama kuliah.


(10)

x

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membagikan tidak hanya ilmu pengetahuan tetapi juga pelajaran hidup kepada penulis.

6. Mas Muji, Mas Donny, Mas Gandung, Pak Gie, Bu Nanik yang sudah banyak sekali membantu penulis selama menjalankan studi di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Gubernur DIY, Kementrian Hukum dan HAM DIY, Bapak Kalapas Wirogunan, Bapak Kalapas Cebongan serta Bapak Kalapas Narkotika atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian, juga kepada semua teman-teman narapidana yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih banyak.

8. Bapak dan Ibu yang selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan skripsiku ini. Terima kasih untuk setiap cinta, perhatian, dan teguran yang membentukku menjadi aku yang sekarang. Terima kasih untuk kesabarannya menghadapiku yang tidak mudah diarahkan ini. Love u both a lot. *hug and kiss*

9. Mbak Lulu dan Rama yang selalu mendukungku, tidak hanya selama proses skripsi ini aja, tapi juga dalam segala hal yang aku kerjakan. Love u both also.

10.Teman-teman terbaikku di kampus tecinta. Gita, Bertha, Eca, Arisa, Pritha, Tinna, Anna. Kalian sungguh teman-teman luar biasa. Aku belajar banyak sekali dari kalian. Semangat menyelesaikan skripsinya yaa.. Jangan patah semangat!


(11)

xi

11.Sahabat sekaligus partner berantemku, Berlin Adi Pranedya. Aku tau kamu selalu mendukungku, dengan caramu sendiri entah gimana. Akhirnya selesai juga skripsimu yang dianggurin berbulan-bulan.. :p dan akhirnya juga kita bisa wisudaan bareng.. Asiiikk! :D

12.Saudara-saudariku di Komisi Anak GKI Gejayan. Eda Kia, eda Winny, Caca, kak Martha, kak Angel, kak Ongky, Emon, Andre. Makasih banget buat segala pengertian, dukungan dan doa yang gak henti-hentinya buat aku. Akhirnya waktunya tiba juga. Skripsi ini selesai, kawan! :D

13.Stress Buddy, Mahesa Ahening Raras Kaesthi, yang selalu membantu mengusir stress dengan ajakan nonton dan mainnya. You helped me a lot, hes! So much thanks.. Terus semangat nyelesai’in skripsimu..

14.Kakak cantik dan Adik cantikku, kak Ais sama Wuri. Thanks a lot buat persaudaraan yang indah. You guys may be out of my sight, but never out of my mind.. *kiss kiss*

15.Saudari-saudariku dalam Kristus Yesus Ruthie, Irin, Ita. Makasih untuk setiap dukungan, untuk telinga yang sudi mendengar, juga doa yang Tuhan dengar. Semangat untuk Ruthie sama Irin yang sedang memulai proses skripsi, juga Ita partner job hunter. Selalu percaya bahwa penyertaan Tuhan tidak akan pernah lepas dari hidup kita.

16.Noni, Sita, Valent, Anggun, Winas, Krinyol. Makasiiihh.. Kalian benar-benar membantuku di saat-saat yang sungguh krusial selama proses akhir penyelesaian “anakku” ini.. God knows what u have did for me, guys.. :*


(12)

xii

17.Kakak-kakak satu pelayanan selama kurang lebih 5 tahun ini di Komisi Anak GKI Gejayan, terima kasih untuk banyak proses yang sudah boleh terlewati. Aku sungguh terberkati bertemu orang-oramg luar biasa seperti kakak-kakak semua. Mari terus setia dalam pekerjaan pelayanan untuk Tuhan!

18.Teman-teman DFJ GKI Gejayan. Terima kasih sudah selalu berbagi keceriaan. Let’s dance for God always!

Kiranya Tuhan memberkati setiap pribadi yang sudah membantu dan member dukungan dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi siapapun yang membacanya. Terima kasih.

Yogyakarta, 25 Februari 2013


(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ………. vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……… viii

KATA PENGANTAR ………. ix

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR BAGAN ……….……….. DAFTAR TABEL……… xvi xvii DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

A. Remaja ……….. 9


(14)

xiv

2. Karakteristik Perkembangan Remaja ………... 10

3. Pengertian Narapidana ……… 12

4. Remaja Akhir yang Menjadi Narapidana ……… 13

B. Konsep Diri ………... 13

1. Pengertian Konsep Diri ………... 13

2. Aspek Konsep Diri ……….. 15

3. Faktor yang Membentuk Konsep Diri ……… 17

4. Ciri-ciri Konsep Diri ………... 19

C. Kematangan Beragama ………. 20

1. Definisi Kematangan Beragama ………. 20

2. Ciri-ciri Kematangan Beragama ………. 21

D. Dinamika Hubungan Kematangan Beragama dengan Konsep Diri .. 23

E. Hipotesis ……… 24

BAB III METODE PENELITIAN ……… 25

A. Jenis Penelitian ……….. 25

B. Variabel Penelitian ……… 25

C. Definisi Operasional ………. 25

D. Subjek Penelitian ………... 27

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ……… 27

F. Kredibilitas Alat Ukur ………... 30

1. Validitas ……….. 30

2. Seleksi Aitem ……….. 30


(15)

xv

G. Metode Analisis Data ……… 32

1. Uji Asumsi ……….. 32

2. Uji Hipotesis ………... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 34

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ………... 34

B. Data Demografis Subjek Penelitian ……….. 34

C. Deskripsi Data Penelitian ……….. 35

D. Hasil Penelitian ………. 37

1. Uji Asumsi ……….. 37

2. Kategorisasi Subjek Penelitian ……… 39

3. Uji Hipotesis ………... 40

E. Pembahasan ………... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 45

A. Kesimpulan ………... 45

B. Saran ……….. 45

1. Untuk Remaja yang Menjadi Narapidana ………... 45

2. Untuk Instansi Lembaga Pemasyarakatan ……….. 45

3. Untuk Penelitian Selanjutnya ……….. 46

DAFTAR PUSTAKA ……….. 47


(16)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Konsep Diri ... 24 Bagan 2. Scatter Plot………...……….. 38


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penskoran Jawaban ……….. 27

Tabel 2. Blue Print Skala Konsep Diri ………...…………... 28

Tabel 3. Penskoran Jawaban ……….. 29

Tabel 4. Blue Print Skala Kematangan Beragama ………. 29

Tabel 5. Blue Print Skala Konsep Diri (Setelah Seleksi Aitem) ……… 31

Tabel 6. Blue Print Skala Kematangan Beragama (Setelah Seleksi Aitem) .. 31

Tabel 7. Data Usia Subjek Penelitian ………. 35

Tabel 8. Deskripsi Data Penelitian ………. 36

Tabel 9. Perbandingan Data Teoritis dan Empiris ………. 36

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ……….. 37

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ……… 38

Tabel 12. Norma Kategori Skor ………... 39

Tabel 13. Kategori Skor Konsep Diri dan Kematangan Beragama ………... 40


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala Penelitian ……… 50

Lampiran 2 : Reliabilitas dan Korelasi Aitem Total ……….. 57

Lampiran 3 : Uji Normalitas ……….. 64

Lampiran 4 : Uji Linearitas ……… 65

Lampiran 5 : Uji Hipotesis ………. 66


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Selama beberapa tahun ini maraknya tindak kriminalitas merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat di kota besar. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa tingkat kriminalitas terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di kota Yogyakarta. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah tindak kriminal di Yogyakarta pada tahun 2007 sebanyak 4.316 kasus, meningkat pada tahun 2008 sebanyak 5.183, pada tahun 2009 terdapat 6.988 kasus kriminal, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebanyak 17.622 kasus kriminal (BPS, 2013).

Pelaku tindak kriminal tidak hanya orang dewasa saja tetapi juga remaja. Data yang bersumber dari laporan masyarakat dan pengakuan pelaku tindak kriminalitas yang tertangkap tangan oleh polisi mengungkapkan bahwa selama tahun 2007 tercatat sebanyak 3,145 remaja yang menjadi pelaku tindak kriminal. Jumlah tersebut pada tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi sebanyak 3,280 remaja dan sebanyak 4,213 remaja dengan kasus yang bermacam-macam (BPS, 2013). Hal tersebut menimbulkan keprihatinan masyarakat karena remaja adalah aset bagi masa depan suatu negara.

Kompas (2012) memberitakan bahwa tindak kriminalitas remaja muncul dalam berbagai bentuk. Tindak kriminalitas tersebut tidak hanya


(20)

sebatas tawuran antar pelajar, tetapi juga pencurian, pemerkosaan, seks bebas, munculnya kelompok-kelompok atau geng motor, tindak kekerasan bahkan pembunuhan. Selain itu, bentuk tindak kriminalitas yang lainnya adalah penyalahgunaan obat-obatan terlarang, perkelahian, perampasan, serta bentuk-bentuk agresivitas lainnya dan juga permasalahan seksual.

Remaja pelaku tindak pidana memiliki karakteristik yang dilihat dari tiga faktor, yaitu faktor individual yang meliputi karakteristik demografis, sosial dan ekonomi; faktor keluarga yang meliputi ukuran keluarga, keberadaan orang tua kandung dan status sosial ekonomi keluarga; dan faktor relasi sosial yang mencakup relasi sosial dengan keluarga dan relasi sosial dengan masyarakat (BPS, 2013).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), dilihat dari faktor individual, faktor keluarga dan relasi sosial, remaja pelaku tindak pidana mayoritas merupakan remaja yang putus sekolah. Sebagian dari mereka masuk ke dalam angkatan kerja, namun karena pendidikannya yang rendah, pekerjaan yang mereka peroleh hanya pekerjaan marginal yang selain lingkungan kerja yang kurang baik, juga kurang mempunyai nilai ekonomi. Mayoritas remaja pelaku tindak pidana atau remaja nakal berasal dari keluarga yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi. Ditambahkan juga, remaja pelaku tindak pidana sebagian besar berasal dari keluarga yang memiliki kedua orang tua kandung yang lengkap namun para orang tua dari para remaja antisosial biasanya gagal dalam memonitor perilaku anaknya, sehingga mereka seringkali tidak mengetahui keberadaan anak remajanya dan apa yang sedang dilakukannya.


(21)

Remaja yang melakukan tindak kriminal akan mendapat sanksi berupa hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Moeljanto (dalam Sari 2007) menjelaskan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan melanggar hukum. Orang yang dinyatakan bersalah secara pidana harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya dengan menjalani hukuman di penjara dan memiliki status sebagai narapidana.

Kartono (2007) menyebutkan bahwa masyarakat narapidana adalah masyarakat yang dikucilkan, masyarakat asing yang penuh dengan stigma atau noda sosial yang wajib dikucilkan. Selain itu, Kartono (2007) juga menambahkan bahwa pemenjaraan akan membuat narapidana mengalami berbagai macam situasi yang tidak menyenangkan, seperti konflik batin, memiliki kecenderungan untuk menutup diri, narapidana akan mengembangkan reaksi yang stereotype yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat membenci dan mendendam, serta mendapat label “tidak dapat dipercaya dan tidak bisa bertanggung jawab” oleh masyarakat. Narapidana dianggap sebagai bagian masyarakat tuna susila dan kurang mampu memberikan partisipasi sosial.

Pengalaman sosial yang buruk seperti itu sering dialami oleh seseorang yang menjadi narapidana, karena narapidana seringkali masih kurang dapat diterima secara utuh oleh lingkungan, tidak diberi kesempatan yang sama dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan dipandang sebelah mata karena pernah menjadi narapidana. Disamping itu, seorang remaja yang menjalani masa hukuman di dalam penjara cenderung akan merasa dirinya


(22)

tidak lebih berharga dibandingan dengan remaja lain yang seusianya, merasa gagal dan tidak memiliki harapan, merasa tidak ada yang menyayangi dan kurang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya karena melakukan perbuatan yang tidak baik (Kartono, 2007).

Sari (2007) mengungkapkan bahwa pemberian label tersebut memiliki dampak yang negatif bagi yang menjadi narapidana, khususnya narapidana usia remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Label tersebut akan membuat remaja mengalami konflik batin, merasa dirinya tidak berguna, dan putus asa, sehingga remaja tidak mampu menerima diri mereka. Penerimaan diri ini terkait erat dengan pembentukan konsep diri remaja tersebut.

Seorang narapidana remaja yang mampu menerima pengalaman dan perubahan yang berhubungan dengan proses isolasinya di Lembaga Pemasyarakatan akan dapat menerima kenyataan dengan lapang dada. Hal ini dikarenakan remaja dengan penerimaan diri memiliki keyakinan dan kemampuan dalam menjalani kehidupan dan menganggap dirinya berharga sebagai seorang individu yang sederajat dengan individu lain, mampu menempatkan diri dan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya sehingga individu tersebut dapat mengembangkan konsep diri yang positif. (Sheerer dalam Sari, 2007). Sebaliknya seseorang yang penerimaan dirinya negatif akan cenderung menyalahkan situasi dan tidak mampu menerima pengalaman hidupnya, memiliki hubungan sosial yang buruk, menyalahkan


(23)

dirinya sendiri dan merasa depresi (Sari, 2007). Hal itu akan membentuk konsep diri yang negatif pada diri individu tersebut.

Konsep diri mutlak penting bagi semua orang, tidak terkecuali remaja yang menjadi narapidana dan menjalani masa hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susan A. Jackson, Patrick R. Thomas, Herbert W. Marsh dan Christopher J. Smethurst (2001), disebutkan bahwa konsep diri dipandang sebagai faktor penting dalam perilaku seseorang dan berkontribusi terhadap kesehatan mental dan well-being. Konsep diri berasal dan berkembang seiring dengan pertumbuhannya. Hubungan antara individu, pola asuh, dan pengalaman, termasuk didalamnya pengalaman hidup beragama, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri (Sari, 2007).

Pengalaman hidup beragama yang dialami oleh individu akan membentuk watak keberagamaan yang disebut oleh Allport sebagai kematangan beragama (Allport dalam Indirawari, 2006). Pengalaman tersebut akan membentuk respon terhadap stimulus yaitu berupa konsep dan prinsip yang diterima oleh orang tersebut. Nantinya, konsep dan prinsip tersebut akan menjadi bagian penting dan bersifat menetap dalam diri individu sebagai agama. Jika keberagaaman pada individu sudah matang, maka kematangan beragama itu yang akan mengarahkan individu untuk bersikap terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek (Indirawati, 2006).


(24)

Kematangan beragama dibentuk oleh berbagai hal, diantaranya dengan menjalankan rutinitas keagamaan sesuai dengan agama yang dianutnya, selalu berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam beragama, bersikap toleran pada individu yang berbeda keyakinan, objektif dan tidak dogmatis. Selain itu, menjadikan ajaran agama sebagai alat kontrol bagi motif-motif dan aktifitas yang dilakukan, serta bertingkah laku selaras dengan nilai moral (Indirawati, 2006). Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik dan keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Oleh karena itu kematangan beragama merupakan hal yang diproses sejak awal dan dapat diupayakan sejak masa kecil individu karena kematangan beragama bisa dipelajari dan ditanamkan.

Berdasarkan data survey dan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan kota Yogyakarta, diketahui bahwa narapidana yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan rutin mendapat pembinaan, tidak hanya pembinaan berupa soft skill tetapi juga pembinaan keagamaan. Pembinaan yang diberikan antara lain sholat 5 waktu, sholat Jumat, sholat Ied serta pembinaan berupa dakwah rutin bagi narapidana yang beragama Islam. Untuk narapidana yang beragama Kristiani juga


(25)

mendapatkan pembinaan berupa pelayanan iman setiap minggunya, begitu juga bagi narapidana yang menganut agama Hindu dan Budha.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dengan kata lain, apabila seseorang memiliki kematangan beragama yang baik, maka orang tersebut akan memiliki mental dan psikis yang sehat serta terbuka pada pengalaman-pengalaman hidupnya. Hal tersebut juga dapat membantu seseorang itu untuk dapat lebih bijak dalam melihat segala persoalan yang terjadi dan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga dapat membentuk konsep diri yang positif. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana hubungan kematangan beragama terhadap konsep diri remaja yang dalam hal ini adalah remaja yang menjadi narapidana.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat hubungan antara kematangan beragama terhadap konsep diri remaja yang menjadi narapidana?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara kematangan beragama pada diri remaja yang menjadi narapidana terhadap pembentukan konsep diri mereka.


(26)

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini secara teoretis bermanfaat menambah referensi keilmuan khususnya di bidang psikologi. Secara khusus, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran kepada praktisi perkembangan anak dan remaja mengenai hubungan kematangan beragama terhadap pembentukan konsep diri remaja yang menjadi narapidana. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para praktisi dalam mendampingi narapidana remaja dalam membangun konsep diri yang positif, sehingga diharapkan para remaja tersebut mampu memahami konsep dirinya untuk dapat memasuki masa dewasa dengan baik. Secara umum, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran kepada pembaca mengenai hubungan antara kematangan beragama dengan konsep diri pada narapidana remaja.


(27)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. REMAJA

Peneliti memilih remaja akhir sebagai subjek dalam penelitian ini. remaja mengalami tahap individuating-reflexive faith, yaitu tahap yang muncul pada masa remaja akhir dimana merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Inilah masa dimana remaja untuk pertama kalinya memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka (James Flower dalam Santrock, 2003).

1. Pengertian

Remaja berasal dari kata adolescence (Ali&Asrori, 2009) yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan. Gunarsa (2003) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah merupakan saat-saat yang dipenuhi dengan berbagai macam perubahan dan terkadang tampil sebagai masa yang tersulit dalam kehidupannya sebelum ia kemudian memasuki dunia dewasa. Santrock (2007) menjelaskan masa remaja akhir memiliki rentang usia antara 18-22 tahun. Serupa dengan Ali&Asrori (2009) yang mengemukakan bahwa usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun adalah fase remaja akhir.


(28)

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

Masa remaja seringkali dikenal sebagai masa mencari jati diri, atau oleh Erikson disebut dengan identitas ego (Ali & Asrori, 2009). Oleh karena itu, Ali & Asrori (2009) menyebutkan ada beberapa sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu :

1. Kegelisahan

Remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa depan, namun seringkali angan-angan dan keinginannya tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya. Di satu sisi mereka ingin mendapat pengalaman sebanyak mungkin untuk menambah pengetahuan, tetapi di sisi lain mereka merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani mengambil tindakan mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Hal tersebut mengakibatkan remaja diliputi perasaan gelisah.

2. Pertentangan

Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada dalam situasi antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu mandiri termasuk dalam hal finansial. Remaja juga sering mengalami kebingungan karena terjadinya pertentangan pendapat antara remaja dengan orang tua yang akhirnya pertentangan tersebut membuat keinginan untuk


(29)

melepaskan diri dari orang tua ditentang sendiri oleh remaja karena ada keinginan untuk memperoleh rasa aman.

3. Mengkhayal

Keinginan remaja untuk bertualang tidak semuanya dapat dilakukan dan seringkali malah memiliki hambatan, khususnya hambatan finansial karena kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orang tua. Hal tersebut menyebabkan mereka mencari kepuasan melalui khayalan dan fantasi mereka. Khayalan remaja putra biasanya meliputi soal prestasi dan jenjang karier, sedangkan remaja putri lebih mengkhayalkan romantika hidup. Khayalan tersebut tidak selamanya negatif, karena khayalan tersebut kadang-kadang dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif.

4. Aktivitas Kelompok

Banyaknya keinginan yang dimiliki oleh remaja seringkali terhalang oleh berbagai kendala yang akhirnya mematahkan semangat mereka. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan teman sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai masalah dapat diatasi bersama-sama.


(30)

5. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu

Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena didorong rasa ingin tahu yang tinggi tersebut, remaja memiliki kecenderungan ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu dan mencoba semua yang belum pernah dialaminya. Sangat penting adalah memberikan bimbingan kepada remaja agar rasa ingin tahunya dapat diarahkan pada kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Jika keinginan-keinginan remaja mendapat bimbingan dan penyaluran yang baik, maka akan menghasilkan kreativitas remaja yang sangat bermanfaat, namun jika tidak, maka dikhawatirkan dapat menjurus pada kegiatan maupun perilaku negatif.

3. Pengertian Narapidana

Prinst (2003) menyatakan bahwa narapidana adalah orang yang menjalani pidana dan hilang kemerdekaan di Lembaga Pemsyarakatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Dapat dikatakan bahwa narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hal yang sama diungkapkan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomer 58 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomer 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab


(31)

Undang-undang Hukum Acara Pidana (2011) yang menyatakan bahwa terpidana atau narapidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan penjelasan beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah seseorang yang melanggar hukum dan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan dari pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sehingga orang tersebut hilang kemerdakaan dan harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

4. Remaja Akhir yang Menjadi Narapidana

Remaja akhir yang menjadi narapidana adalah seseorang yang berusia 18 sampai 22 tahun yang melanggar hukum dan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan dari pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sehingga orang tersebut hilang kemerdekaan dan harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

B. KONSEP DIRI

1. Pengertian konsep diri

Konsep diri menurut Gunarsa (2003) merupakan sesuatu yang ada di dalam diri, pandangan dari dalam, pendapat kita mengenai diri sendiri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang besar terhadap


(32)

keseluruhan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Menurut Noesjirwan (dalam Lalu, 2008), konsep diri didefinisikan sebagai seluruh pandangan seseorang terhadap dirinya, meliputi bagaimana seseorang melihat dirinya, pemikiran juga pendapatnya mengenai dirinya sendiri, serta sikapnya terhadap dirinya.

Rini (e-psikologi, 2002) mengungkapkan bahwa konsep diri secara umum didefinisikan sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Konsep diri mengacu kepada evaluasi diri atau persepsi diri, dan hal tersebut menggambarkan apa yang menjadi keyakinan individu mengenai sifat yang ada dalam dirinya. Konsep diri menggambarkan bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya dalam area yang dianggap penting (Hadley, Elizabeth & Moore, 2008).

Menurut Susana (dalam Tim Pustaka Familia, 2006), semenjak konsep diri mulai terbentuk, seseorang akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya tersebut. Pandangan seseorang tentang dirinya akan menentukan tindakan yang akan diperbuatnya. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri, atau dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang tinggi.

Fitts (dalam Sutataminingsih, 2009) menjelaskan bahwa konsep diri adalah apa yang dilihat, dihayati, dan dialami oleh orang tersebut. Bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya, bereaksi


(33)

terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya. Hal ini menunjukkan kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek lain yang ada di kehidupannya.

Berdasarkan beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri yang meliputi keyakinan, penilaian, dan mengacu pada evaluasi diri atau persepsi diri dan menunjukkan kesadaran diri untuk melihat dirinya sendiri seperti yang dilakukan kepada obyek lain serta bagaimana sikapnya terhadap dirinya.

2. Aspek Konsep Diri

Menurut Fitts (dalam Amaliah, 2012 ), konsep diri terdiri dari 4 aspek, yaitu:

a. Aspek Kritik Diri

Aspek kritik diri menjelaskan tentang bagaimana seseorang menggambarkan dirinya dan kepribadiannya, juga bagaimana orang tersebut merespon kritik dan masukan dari orang lain. Selain itu, dalam aspek ini dapat dilihat apakah seseorang memiliki sifat defensif/tertutup atau terbuka terhadap kekurangan yang ada pada dirinya, dapat menerima dan mengevaluasi atau menolak kritik dari orang lain.


(34)

b. Aspek Harga Diri

Aspek ini merupakan komponen yang dominan dalam konsep diri, sehingga dapat dikatakan aspek harga diri merupakan inti dari konsep diri. Dalam aspek ini dijelaskan bagaimana seseorang menilai diri sendiri, apakah puas, tidak puas atau justru puas sekali saat orang tersebut mengamati dirinya sendiri. Semakin baik penilaian yang diberikan, maka semakin baik pula penghargaan yang diberikan pada dirinya. Harga diri terkait dengan perasaan berhasil dan pemahaman potensi diri, serta berkembang dari serangkaian penilaian diri dan keyakinan diri.

c. Aspek Integrasi Diri

Aspek ini menunjuk pada derajat integrasi antara bagian-bagian diri, yaitu kemampuan seseorang menyatukan seluruh aspek konsep diri menjadi satu keseluruhan yang utuh. Sejauhmana komponen-komponen tersebut dapat disatukan, menunjukkan pada sejauhmana kesesuaian (konsistensi) antara patokan perilaku & perilaku yang ditampilkan individu dalam kenyataannya. Konsistensi tersebut menunjukkan adanya integrasi yang cukup baik, dimana semakin berintegrasi bagian-bagian diri seseorang, akan semakin baik ia dalam menjalankan fungsinya.

d. Aspek Keyakinan Diri

Aspek ini mengandung penjelasan mengenai nilai-nilai, tingkah laku dan kemampuan yang dimiliki seseorang, serta menunjukkan


(35)

apakah seseorang tersebut merasa yakin atau tidak terhadap dirinya sendiri. Semakin besar aspek keyakinan diri seseorang, maka tingkat kepercayaan seseorang pada kemampuan dirinya juga semakin besar, dan ia semakin yakin dalam menilai diri serta kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.

3. Faktor yang Membentuk Konsep Diri

Burns (dalam Amaliah, 2012) menjelaskan bahwa ada 5 hal utama yang membentuk konsep diri seseorang. 5 hal tersebut yaitu:

a. Citra Tubuh

Citra tubuh dijelaskan sebagai evaluasi terhadap diri fisik. Ungkapan yang menggambarkan keadaan fisik seseorang akan dipersepsikan sebagai bagian dari dirinya secara umum.

b. Bahasa

Bahasa adalah sumber yang digunakan dalam pembentukan konseptualisasi dan verbalisasi. Simbol bahasa digunakan untuk membedakan inidividu satu dengan yang lainnya. Dengan memahami apa yang orang lain katakan tentang diri seseorang, maka orang tersebut akan memperoleh lebih banyak informasi mengenai dirinya. Informasi tersebut secara konsisten akan berkembang dan menjadi bagian dari konsep diri.


(36)

Coley (Burns dalam Amaliah, 2012) mengibaratkan konsep diri seperti “looking-glass-self”. Ia menjelaskan tentang diri seseorang yang dipersepsikan melalui refelksi dimata orang lain, terutama significant others. Pandangan dan penilaian dari orang lain ini yang akan menjadi gambaran seseorang mengenai dirinya.

d. Identifikasi

Identifikasi merupakan cara yang disadari oleh seseorang yang digunakan dalam berpikir dan berperilaku dengan cara yang sama dengan orang lain. Ketika proses ini berlangsung, seseorang akan membentuk konsep berpikir dan berperilaku sejauhmana ia merasa cocok dengan pandangan terhadap dirinya dan persetujuan dari lingkungan tentang konsep dirinya.

e. Keluarga

Keluarga memberikan indikasi awal kepada seseorang tentang apakah ia disayangi atau tidak, diterima atau tidak, merupakan seseorang yang berhasil atau gagal, orang yang berharga atau tidak. Hal ini terjadi karena keluarga merupakan agen sosialisasi pertama yang dijumpai oleh seseorang. Interaksi anak dengan orang tua ini memberikan pertimbangan tentang apa yang diharapkan saat ia berinteraksi dengan orang lain.

Kelima hal utama tersebut membentuk konsep diri dan saling berkaitan satu sama lain di dalam kehidupan sosial seseorang.


(37)

4. Ciri-ciri Konsep Diri

Berdasarkan cirinya, konsep diri dibagi menjadi 2 (Burns dalam Amaliah, 2012) yaitu:

a. Konsep Diri Positif

Seseorang yang memiliki konsep diri positif memiliki kriteria sebagai berikut:

o Merasa dirinya berharga, berkompeten dan percaya diri.

o Mampu memodifikasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup sesuai dengan pengalaman baru yang dihadapi.

o Tidak merasa khawatir akan masa lalu maupun masa yang akan datang.

o Percaya bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah hidup meskipun dihadapkan pada kegagalan.

o Dapat menerima diri dan merasa berharga seperti orang lain. o Peka terhadap kebutuhan orang lain.

b. Konsep Diri Negatif

Seseorang yang memiliki konsep diri negatif memiliki kriteria sebagai berikut:

o Merasa inferior, tidak berharga, tidak memiliki kemampuan dan perasaan tidak aman.

o Sangat peka terhadap kritik dan menganggap kritik sebagai bukti dari inferioritasnya.


(38)

o Sikap yang hiperkritis digunakan untuk mempertahankan citra diri yang kurang mantap dan mengalihkannya pada kekurangan yang dimiliki oleh orang lain.

o Sering menunjukkan respon yang berlebihan terhadap pujian yang diberikan orang lain.

o Bersikap malu-malu, mengasingkan diri dan tidak berminat terhadap persaingan.

o Sulit mengakui kelemahan dan kegagalan, serta cenderung menyalahkan orang lain apabila dirinya mengalami kegagalan.

C. KEMATANGAN BERAGAMA

1. Definisi Kematangan Beragama

Allport (dalam Indirawati, 2006) menyatakan bahwa kematangan beragama merupakan watak keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Kematangan beragama akan mengarahkan individu untuk bersifat dan terbuka pada semua fakta, nila-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek, dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Subandi (dalam Indirawati, 2006) mengungkapkan bahwa kematangan beragama adalah proses yang berlangsung terus menerus selama individu yang bersangkutan menjalani kehidupan dan baru akan berhenti jika individu tersebut sudah meninggal.


(39)

2. Ciri-ciri Kematangan Beragama

Ciri-ciri kematangan beragama menurut Allport (dalam Indirawati, 2006) ada 6, yaitu:

a) Kemampuan melakukan diferensiasi

Maksud dari kemampuan melakukan diferensiasi yaitu individu dapat bersikap dan berperilaku terhadapa agama secara objektif, kritis, reflekstif, tidak dogmatis, observatif dan tidak fanatik secara terbuka. Individu yang memiliki kematangan beragama akan mampu mengharmonisasikan rasio dengan dogma, mengobservasi dan mengkritik tanpa meninggalkan ketaatannya dan menempatkan rasionya sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragama selain dari segi sosial, spiritual, maupun emosional.

b) Berkarakter dinamis

Individu yang berkarakter dinamis memiliki arti bahwa di dalam diri individu tersebut agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Karakter dinamis ini meliputi motivasi intrinsik, otonom, dan independen dalam kehidupan beragama.

c) Konsistensi moral

Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada konsekuensi moral yang dimiliki, ditandai oleh keselarasan antara


(40)

tingkah laku dengan nilai moral. Individu yang matang beragama akan menyelaraskan antara tingkah laku dengan nilai moral agama yang diyakininya. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu mengubah atau mentransformasikan tingkah laku individu tersebut.

d) Komprehensif

Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan. Sehingga kematang beragama membuat individu mampu menerima perbedaan pendapat dengan individu lain, baik perbedaan agama maupun perbedaan pendapat secara intern dengan individu yang seagama.

e) Integral

Kematangan beragama akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek lain dalam kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan di dalamnya.

f) Heuristik

Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Orang yang matang dalam keberagamaannya akan selalu sadar dengan keterbatasan dirinya terhadap penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupannya,


(41)

sehingga ia secara aktif akan selalu progresif meningkatkan penghayatan dan pengamalannya di dalam beragama.

D. DINAMIKA HUBUNGAN KEMATANGAN BERAGAMA DENGAN

KONSEP DIRI

Seseorang yang memiliki kematangan beragama akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat. Selain itu, orang yang matang dalam beragama akan selalu mencoba patuh terhadap ajaran agamanya tersebut (Indirawati, 2006)

Banyak bukti yang menyebutkan bahwa orang yang banyak melakukan ritual keagamaan mendapatkan pengaruh positif bagi perilakunya dan cukup membuat kondisi kesehatan mereka stabil dan bahkan membaik dibandingkan mereka yang tidak melakukan (Indirawati, 2006).

Selain itu, seseorang yang memiliki kematangan beragama juga cenderung memiliki strategi coping yang baik dimana coping merupakan proses aktivitas kognitif dan perilaku (Indirawati, 2006).

Pengaruh positif bagi perilaku seseorang dan proses kognitif yang baik yang dimiliki oleh seseorang yang rajin melakukan ritual keagamaannya berkaitan dengan konsep diri seseorang. Dimana perilaku dan proses kognitif yang positif tersebut mempengaruhi pembentukan konsep diri yang juga positif pada diri seseorang.


(42)

Bagan 1. Hubungan Kematangan Beragama dan Konsep Diri

E. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara kematangan beragama dengan konsep diri. Semakin tinggi kematangan beragama maka semakin konsep dirinya semakin baik. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kematangan beragama, maka konsep dirinya semakin buruk.

Kematangan beragama

 Terbuka pada pengalaman.

 Berpengaruh positif pada kognisi dan perilaku.

Konsep diri positif


(43)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITAN

Penelitian tentang hubungan antara kematangan beragama dengan konsep diri pada remaja yang menjadi narapidana ini menggunakan metode penelitian Kuantitatif Korelasional. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan analisis dengan menggunakan data-data numerik. Data-data ini kemudian diolah dengan perhitungan statistik. Penelitian korelasional melihat hubungan antara variasi suatu variabel dengan variasi variabel lainnya yang didasarkan pada koefisien korelasi. (Azwar, 1998)

B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung sebagai berikut:

Variabel bebas (X) : kematangan beragama Variabel tergantung (Y) : konsep diri

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional variabel penelitian ini yaitu konsep diri dan kematangan beragama. Definisi operasional ini diambil berdasarkan karakteristik variabel, skala yang digunakan, dan skor yang diperoleh.


(44)

1. Kematangan Beragama

Kematangan beragama adalah watak keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman yang akan mengarahkan individu untuk bersifat dan terbuka pada semua fakta, nila-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek, dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Kematangan beragama memiliki enam karakteristik yaitu kemampuan melakukan diferensiasi, berkarakter dinamis, konsistensi moral, komprehensif, integral dan heuristik. Kematangan beragama diukur dengan menggunakan skala kematangan beragama. Skor rendah yang diperoleh dari skala tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki kematangan beragama yang rendah. Sebaliknya, jika skor yang diperoleh tinggi, maka subjek memiliki kematangan beragama yang tinggi juga.

2. Konsep Diri

Konsep diri adalah gambaran yang ada pada diri individu yang berisikan tentang bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian diri sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan. Konsep diri memiliki empat aspek yaitu kritik diri, harga diri, integrasi diri dan keyakinan diri. Semakin tinggi skor skala konsep diri yang diperoleh menunjukkan semakin positif konsep diri, sebaliknya, semakin rendah skor skala konsep diri menunjukkan semakin negatif konsep diri subjek.


(45)

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah remaja akhir yang menjadi narapidana yang memiliki ciri-ciri: 1) usia 17 tahun sampai 22 tahun, 2) masih menjalani masa tahanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, 3) menjalani masa tahanan paling sedikitnya 6 bulan, karena diasumsikan dalam jangka waktu tersebut individu mengalami dinamika pembentukan konsep diri.

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah dengan menyebarkan skala dalam bentuk kuesioner. Peneliti menggunakan dua skala yaitu:

1. Skala Konsep Diri

Pembuatan skala konsep diri ini didasarkan pada aspek-aspek yang ada pada teori Fittz. Tipe soal dalam skala konsep diri menggunakan tipe skala Likert. Pernyataan yang diberikan dalam soal terdiri dari pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Pilihan jawaban bergerak dari Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai, Sangat Tidak Sesuai.

Tabel 1. Penskoran Jawaban

Jawaban Aitem

Sangat Sesuai (SS)

Sesuai (S) Tidak Sesuai (TS)

Sangat Tidak Sesuai (STS)

Favorabel 4 3 2 1


(46)

Pada skala konsep diri peneliti membuat 40 aitem yang terdiri dari 10 aitem aspek kritik diri, 10 aitem harga diri, 10 aitem integrasi diri, 10 aitem keyakinan diri.

Tabel 2. Blue Print Skala Konsep Diri

Aspek Aitem Jumlah

Favorabel Unfavorabel Kritik Diri 3, 4, 17, 24, 40

(12,5%)

9, 11, 23, 30, 35 (12,5%)

10 (25%)

Harga Diri 1, 6, 12, 25, 36 (12,5%)

13, 20, 31, 34, 39 (12,5%)

10 (25%)

Integrasi Diri 2, 7, 16, 28, 37 (12,5%)

10, 14, 22, 26, 33 (12,5%)

10 (25%)

Keyakinan Diri 5, 18, 21, 29, 32 (12,5%)

8, 15, 19, 27, 38 (12,5%)

10 (25%)

Total 20 (50%) 20 (50%) 40 (100%)

2. Skala Kematangan Beragama

Skala kematangan beragama dibuat berdasarkan teori aspek kematangan beragama milik Allport. Peneliti juga menggunakan tipe skala Likert dalam skala kematangan beragama. Pernyataan yang diberikan dalam soal terdiri dari pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Pilihan jawaban bergerak dari Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai, Sangat Tidak Sesuai.


(47)

Tabel 3. Penskoran Jawaban

Jawaban Aitem

Sangat Sesuai (SS)

Sesuai (S) Tidak Sesuai (TS)

Sangat Tidak Sesuai (STS)

Favorabel 4 3 2 1

Unfavorabel 1 2 3 4

Pada skala kematangan beragama peneliti membuat 48 aitem yang terdiri dari 8 aitem aspek kemampuan melakukan diferensiasi, 8 aitem berkarakter dinamis, 8 aitem konsistensi moral, 8 aitem komprehensif, 8 aitem integral, dan 8 aitem heuristik.

Tabel 4. Blue Print Skala Kematangan Beragama

Aspek Aitem Jumlah

Favorabel Unfavorabel Kemampuan melakukan

diferensiasi

1, 12, 18, 41 (8,34%)

22, 23, 30, 33 (8,34%)

8 (16,68%) Berkarakter dinamis 2, 14, 24, 47

(8,34%)

27, 28, 36, 43 (8,34%)

8 (16,68%) Konsistensi moral 3, 9, 15, 31

(8,34%)

16, 20, 21, 38 (8,34%)

8 (16,68%)

Komprehensif 4, 7, 13, 35

(8,34%)

8, 17, 39, 42 (8,34%)

8 (16,68%)

Integral 6, 11, 26, 48

(8,34%)

25, 29, 40, 46 (8,34%)

8 (16,68%)

Heuristik 5, 10, 19, 32

(8,34%)

34, 37, 44, 45 (8,34%)

8 (16,68%)

Total 24 (50,08%) 24 (50,08%) 48


(48)

F. KREDIBILITAS ALAT UKUR

1. Validitas

Validitas mengandung arti sejauhmana alat ukur mampu mengukur secara tepat dan cermat apa yang seharusnya diukur (Azwar, 2011). Dalam penelitian ini validitas yang digunakan adalah validitas isi yang diuji oleh profesional judgement yaitu melalui penilaian dosen pembimbing.

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem dilakukan untuk mengetahui kesahihan dan menguji karakteristik aitem yang menjadi bagian dari tes tersebut. Tidak terdapat batasan umum angka minimal yang harus diperoleh sehingga suatu alat ukur dikatakan valid, namun jika diperoleh koefisien validitas dibawah 0,3 maka biasanya hasil tersebut dianggap tidak memuaskan (Azwar, 2011). Meskipun begitu, seringkali suatu tes yang memiliki koefisien validitas kurang tinggi masih berguna dalam membantu pengambilan keputusan. Dalam hal ini, penggunaan koefisien validitas dapat diturunkan menjadi 0,25 apabila jumlah aitem yang lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan oleh peneliti (Azwar, 2011).

Pada skala konsep diri, peneliti menggunakan koefisien validitas sebesar 0,25 dan diperoleh item yang gugur berjumlah 7. Untuk skala kematangan beragama, peneliti menggunakan koefisien validitas sebesar 0,3 dan diperoleh aitem yang gugur sebanyak 11 aitem. Aitem yang gugur pada skala konsep diri meliputi 2 aitem pada aspek harga diri, 1 aitem pada aspek integrasi diri, 2 aitem pada aspek kritik diri, dan 2 aitem pada aspek


(49)

keyakinan diri, sehingga pada akhirnya didapatkan 33 aitem yang sah pada skala penelitian konsep diri. Sedangkan aitem yang gugur pada skala kematangan beragama meliputi 2 aitem pada aspek kemampuan diferensiasi, 4 aitem pada aspek berkarakter dinamis, 1 aitem pada aspek komprehensif, 2 aitem pada aspek heuristik, dan 2 aitem pada aspek integral, sehingga akhirnya didapatkan 37 aitem yang sah pada skala kematangan beragama.

Tabel 5. Blue Print Skala Konsep Diri (Setelah Seleksi Aitem)

Aspek Aitem Jumlah

Favorabel Unfavorabel

Kritik Diri 3, 17, 24, 40 11, 23, 30, 35 8

Harga Diri 12, 25, 36 13, 20, 31, 34, 39 8

Integrasi Diri 2, 7, 16, 28, 37 10, 14, 22, 33 9 Keyakinan Diri 5, 18, 29, 32 15, 19, 27, 38 8

Total 15 14 33

Tabel 6. Blue Print Skala Kematangan Beragama (Setelah Seleksi Aitem)

Aspek Aitem Jumlah

Favorabel Unfavorabel Kemampuan melakukan

diferensiasi

1, 12, 18 22, 23, 33 6

Berkarakter dinamis 47 27, 28, 36 4

Konsistensi moral 3, 9, 15, 31 16, 20, 21, 38 8

Komprehensif 4, 7, 13, 35 8, 17, 42 7

Integral 11, 26 25, 29, 40, 46 6

Heuristik 5, 10, 19, 32 37, 44 6


(50)

3. Reliabilitas

Reliabilitas memiliki arti sejauhmana hasil dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran yang dapat dipercaya yaitu apabila dalam beberapa kali pengukuran terdapat kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2011). Pada penerapannya, koefisien reliabilitas berada pada rentang 0,00 sampai 1,00. Semakin mendekati 1,00 maka reliabilitasnya semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin mendekati 0,00 maka reliabilitasnya semakin rendah. Dalam penelitian ini reliabilitas yang diperoleh untuk skala konsep diri yaitu 0,907, sedangkan reliabilitas yang diperoleh untuk skala kematangan beragama yaitu 0,938. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala konsep diri dan skala kematangan beragama yang digunakan dalam penelitian ini memiliki reliabilitas yang tinggi.

G. METODE ANALISIS DATA

1. Uji Asumsi a. Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat apakah data penelitian berasal dari distribusi normal atau tidak. Data penelitian dapat dikatakan normal apabila p > 0,05 dan sebaliknya data penelitian dikatakan tidak normal apabila nilai p < 0,05 (Santoso, 2010). Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan analisis Kolmogorov-Smirnov.


(51)

b. Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah data mengikuti garis lurus atau tidak. Apabila data mengikuti garis lurus, maka peningkatan atau penurunan kuantitas di satu variabel akan diikuti secara linier oleh peningkatan atau penurunan kuantitas di variabel lainnya (Santoso, 2010). Data dikatakan linear jika memiliki nilai p < 0,05.

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis korelasi menggunakan product moment Pearson dengan SPSS 16.00 For Windows. Korelasi ini memiliki asumsi hubungan variabel yang linear (Santoso, 2010). Jika tidak linear maka akan terjadi underistimasi terhadap hubungan variabel.


(52)

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam waktu yang berbeda di tiga Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta, Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman, dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. Peneliti menggunakan metode try out terpakai dan tidak melakukan uji coba skala dikarenakan individu yang menjadi subjek dalam penelitian sangat terbatas. Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Yogyakarta dengan cara menyebar skala pada narapidana remaja usia 17 tahun hingga 22 tahun. Skala penelitian yang diberikan kepada subjek terdiri dari skala konsep diri dan skala kematangan beragama. Peneliti membagikan skala sebanyak 95 eksemplar. Skala yang dapat diteliti sebanyak 78 eksemplar. Beberapa skala tidak dapat diteliti dikarenakan subjek tidak mengisi identitas dengan lengkap atau subjek tidak menjawab seluruh item.

B. DATA DEMOGRAFIS SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian adalah remaja akhir yang menjadi narapidana dengan rentang usia 17 tahun sampa 22 tahun.


(53)

Tabel 7. Data Usia Subjek Penelitian

Usia Jumlah

17 6

18 6

19 12

20 19

21 15

22 20

C. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

Peneliti melakukan analisis deskriptif untuk melihat mean teoritik dan mean empirik dari subjek. Mean teoritik adalah skor ideal hasil penelitian, dan skor empirik merupakan rata-rata skor data yang hasilnya diperoleh dari angka rata-rata hasil penelitian. Subjek penelitian dapat dikatakan memiliki konsep diri yang cenderung positif apabila nilai mean empiriknya lebih besar daripada mean teoritik, begitu juga sebaliknya. Sama juga halnya subjek penelitian dikatakan memiliki kematangan beragama yang baik apabila nilai mean empiriknya lebih besar daripada mean teoritik, dan subjek penelitian memiliki kematangan beragama yang kurang apabila mean empiriknya lebih kecil daripada mean teoritik.


(54)

Tabel 8. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi Data Konsep Diri Kematangan Beragama

Mean 96, 27 109, 45

SD 12, 616 16, 150

X max 128 148

X min 63 60

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa mean pada skala konsep diri adalah 96,27; X maximal 128 dan X minimal 63, sedangkan pada skala kematangan beragama diketahui bahwa nilai mean sebesar 109,45; X maximal 148 dan X minimal 60.

Selanjutnya dilakukan perbandingan mean empirik dan mean teoritik pada skala konsep diri dan skala kematangan beragama. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut yang berisi mean teoritik, mean empirik, SD teoritik dan SD empirik.

Tabel 9. Perbandingan Data Teoritis dan Empiris

Skala Mean

Teoritik

Mean Empirik

SD Teoritik

SD Empirik

Konsep Diri 82,5 96,27 10,833 12,616

Kematangan Beragama 92,5 109,45 14,667 16,150

Setelah dilakukan penghitungan mean teoritik dengan cara manual dan mean empirik dengan menggunakan SPSS 16.00 For Windows, pada skala konsep diri mean empirik (96,27) lebih besar daripada mean teoritik (82,5). Kemudian pada uji t didapatkan p=0.000 yang berarti signifikan. Hal ini


(55)

menunjukkan bahwa konsep diri subjek penelitian cenderung lebih positif. Sedangkan pada skala kematangan beragama memiliki mean empirik (109,45) yang juga lebih besar daripada mean teoritik (92,5) dengan p=0.000 pada uji t yang berarti signifikan. Dapat dikatakan bahwa kematangan beragama subjek dalam penelitian ini cenderung tinggi.

D. HASIL PENELITIAN

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Berdasarkan analisis Kolmogorov-Smirnov dalam SPSS 16.00 For Windows, sebaran data dalam penelitian ini termasuk normal. Nilai p untuk skala konsep diri adalah 0,299. Sebaran data ini dapat dikatakan mengikuti distribusi normal karena hasil p > 0,1. Demikian juga dengan skala kematangan beragama yang memiliki nilai p 0,726.

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas

Konsep Diri Kematangan

Beragama

Kolmogorov-Smirnov Z .974 .691

Asymp. Sig. (2-tailed) .299 .726

Keterangan Normal Normal

b. Uji Linearitas

Pengujian linearitas dalam penelitian ini menggunakan SPSS 16.00 For Windows. Suatu data dikatakan linear jika p < 0,05. Setelah dilakukan uji linearitas, didapatkan hubungan konsep diri dengan kematangan


(56)

beragama dengan nilai p 0,00. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan konsep diri dengan kematangan beragama linear karena nilai p < 0,05.

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas

F Sig

Konsep Diri * (Combined) 2.081 .014

Kematangan Linearity 64.896 .000

Beragama Deviation from Linearity .549 .967

Bagan 2. Scatter Plot

Pola yang ditunjukkan pada scatter plot mengikuti garis lurus. Hal ini menunjukkan bahwa data linear.


(57)

2. Kategorisasi Subjek Penelitian

Skala kematangan beragama dan konsep diri dalam penelitian ini dibagi dalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hal ini bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2009)

Tabel 12. Norma Kategori Skor

Skor Kategori

(µ + 1,0 σ) ≤ X Tinggi

(µ - 1,0 σ) ≤ X < (µ + 1,0 σ) Sedang X ≤ (µ - 1,0 σ) Rendah

Keterangan:

µ : melambangkan mean teoritis

σ : melambangkan standar deviasi teoritis

Berdasarkan skala konsep diri, terdapat 33 aitem yang digunakan. Skor maksimal dari skala konsep diri yaitu 132 (33 aitem dikalikan 4 untuk skor jawaban sangat sesuai) dan skor minimal yaitu 33 (33 aitem dikalikan 1 untuk skor jawaban sangat tidak sesuai). Mean teoritik sebesar 82,5 (skor max 132 + skor min 33 dibagi 2). Standar deviasi teoritiknya 16,5 (skor max 132 – skor min 33 dibagi 6).

Pada skala kematangan beragama, terdapat 37 aitem yang digunakan. Skor maksimal dari skala kematangan beragama yaitu 148 (37 aitem dikalikan 4 untuk skor jawaban sangat sesuai) dan skor minimal


(58)

yaitu 37 (37 aitem dikalikan 1 untuk skor jawaban sangat tidak sesuai). Mean teoritiknya sebesar 92,5 (skor max 148 + skor min 37 dibagi 2). Standar deviasi teoritiknya yaitu sebesar 18,5 (skor max 148 – skor min 37 dibagi 6).

Tabel 13. Kategori Skor Konsep Diri dan Kematangan Beragama

Kategorisasi Konsep Diri Kematangan Frekuensi Beragama Konsep

Diri

Kematangan Beragama

Tinggi 93,33 ≤ X 107,167 ≤ X 47 47

Sedang 71,667 ≤ X < 93,33 77,833 ≤ X < 107,167 29 29

Rendah X ≤ 71,667 X ≤ 77,833 2 2

Berdasarkan tabel kategori skor di atas, dapat dilihat bahwa untuk skor konsep diri, terdapat47 subjek yang termasuk dalam kategori tinggi yang merupakan kategori skor yang paling besar jika dibandingkan dengan kategori lainnya. Begitu juga pada skor kematangan beragama, terdapat 47 subjek yang termasuk dalam kategori tinggi yang merupakan kategori skor yang paling besar dibandingkan kategori skor yang lain.

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPPS 16.00 For Windows. Uji hipotesis ini dilakukan setelah melihat bahwa hubungan antara konsep diri dengan kematangan beragama bersifat linear. Setelah melakukan pengujian didapatkan hasil bahwa konsep diri dengan kematangan beragama memiliki nilai korelasi 0,728.


(59)

E. PEMBAHASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan positif antara kematangan beragama dengan konsep diri. Berdasarkan analisis korelasi Product Moment Pearson, menunjukkan korelasi antara kematangan beragama dengan konsep diri bersifat positif yakni r = 0, 728, dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut memiliki arti bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Sifat positif dari angka koefisien korelasi (r) menunjukkan hubungan yang positif atau berbandung lurus. Selain itu, nilai r = 0,728 juga menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kedua variabel. Dengan kata lain, semakin tinggi kematangan beragama yang dimiliki oleh remaja tersebut maka akan semakin positif konsep diri mereka. Sebaliknya, semakin rendah kematangan beragama yang dimiliki oleh remaja tersebut maka akan semakin negatif juga konsep dirinya.

Hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki konsep diri dan kematangan beragama yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dari mean empirik pada skala konsep diri lebih besar daripada mean teoritiknya. Data pada skala konsep diri menunjukkan bahwa mean teoritis konsep diri sebesar 82,5 dan mean empiris sebesar 96,27. Begitu pula mean empirik pada skala kematangan beragama lebih besar daripada mean teoritik. Pada skala kematangan beragama, mean teoritiknya sebesar 92,5 dan mean empiriknya sebesar 109,45. Hal ini juga tampak dari kategorisasi subjek penelitian yang menunjukka bahwa 47 subjek berada dalam


(60)

kelompok yang memiliki kematangan beragama tinggi dan juga konsep diri yang positif.

Hasil perbandingan antara mean teoritis dan mean empirik dari deskripsi data dapat diketahui bahwa konsep diri dan kematangan beragama saling mendukung. Hal ini bisa berarti bahwa tingkat kematangan beragama yang tinggi pada diri remaja yang menjadi narapidana membentuk konsep diri yang positif.

Dalam penelitian yang dilakukan Sari (2007), dikatakan bahwa remaja yang melakukan tindak kriminal, dalam hal ini disebut juga narapidana, pada umumnya menaruh minat pada agama dengan salah satu contoh sikapnya adalah melakukan ritual keagamaan, mempercayai bahwa Tuhan memberikan ketenangan dan harapan untuk mendapat kebahagiaan serta menjadikan Tuhan sebagai sumber harapan dan pegangan hidup. Harapan seseorang untuk mendapat kebahagiaan adalah pengharapan yang realistis. Hal ini sesuai dengan Sutataminingsih (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif memiliki pengharapan yang realistik tentang kehidupannya.

Selain itu, Allport (dalam Indirawati, 2006) menjelaskan bahwa individu yang memiliki kematangan beragama akan menyelaraskan tingkah lakunya dengan nilai moral dan kepercayaan akan agama yang intens akan mampu mengubah tingkah laku individu tersebut. Dengan pembinaan keagamaan yang diperoleh narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan maka seorang narapidana remaja mendapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup


(61)

sesuai dengan pengalaman baru yang dihadapi. Nilai moral yang dihayati akan membentuk konsep diri yang positif karena seseorang akan berperilaku sejauhmana mendapat persetujuan dari lingkungan tentang konsep dirinya.

Konsep diri terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungannya dan bagaimana individu mengolah setiap pengalaman tersebut dalam dirinya. Remaja yang menjadi narapidana mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan, tetapi dengan pembinaan agama yang diperoleh maka remaja tersebut dapat mengolah pengalaman tidak menyenangkan tersebut dengan lebih terbuka dan percaya bahwa dirinya mampu menghadapai dan menyelesaikan masalah hidup meskipun dihadapkan pada kegagalan.

Setiap agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan bagi umatnya. Menurut Allport (dalam Indirawati, 2006), nilai-nilai yang diberikan oleh ajaran agama mengarahkan individu untuk bertingkah laku selaras dengan nilai moral. Nilai-nilai yang diyakini oleh individu akan membentuk konsep diri positif atau konsep diri negatif pada individu tersebut (Fitts dalam Amaliah, 2012).

Bentuk dari kematangan beragama seseorang tampak dari beberapa perilaku, diantaranya ketaatan melakukan ritual keagamaan, keinginan untuk terus memperkaya pemahamannya terhadap ajaran agamanya, dan memiliki toleransi terhadap orang lain yang berbeda agama dengannya. Seseorang yang sudah memiliki kematangan beragama menjadikan ajaran agama sebagai arahan dalam berpikir serta bertingkah laku. Hal tersebut mendukung pembentukan konsep diri yang positif dalam diri individu berdasarkan faktor


(62)

identifikasi, dimana individu akan membentuk konsep berpikir dan berperilaku sejauhmana ia merasa cocok dengan pandangan terhadap dirinya.

Penjelasan tersebut di atas yang membuat hubungan positif antara variabel kematangan beragama dan konsep diri. Kematangan beragama yang tinggi akan membentuk konsep diri yang positif pada remaja yang menjadi narapidana.


(63)

45

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kematangan beragama dengan konsep diri pada remaja yang menjadi narapidana. Sehingga dapat dikatakan, semakin tinggi kematangan beragama yang dimiliki remaja yang menjadi narapidana, maka akan semakin positif konsep diri yang dimilikinya. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.

B. SARAN

1. Untuk Remaja yang Menjadi Narapidana

Remaja yang menjadi narapidana diharapkan dapat meningkatkan kehidupan beragama, baik ketika masih di dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun nanti ketika sudah bebas. Selain itu, remaja yang menjadi narapidana juga diharapkan dapat mempertahankan konsep diri yang positif.

2. Untuk Instansi Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat lebih memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri anak binaannya sehingga narapidana remaja dapat


(64)

mengembangkan dan mempertahankan konsep diri yang positif, terutama dalam hal kegiataan keagamaan. Karena kehidupan beragama memiliki pengaruh terhadap pembentukan konsep diri seseorang. 3. Untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini tidak melihat faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsep diri pada narapidana remaja, seperti faktor lingkungan keluarga, harapan orang tua, teman sebaya, tingkat pendidikan maupun yang lainnya. Sehingga diharapkan untuk penelitian selanjutnya, faktor-faktor tersebut dapat dipertimbangkan untuk dapat melihat lebih mendalam tentang gambaran konsep diri narapidana remaja.


(65)

47

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad. (2009). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Amaliah. (2012). Gambaran Konsep Diri Pada Dewasa Muda yang Bermain Erepublik. UI. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Azwar, Saifuddin. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, Saifuddin. (2011). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2010). Profil Kenakalan Remaja.

Diunduh pada tanggal 5 April 2012 pukul: 13.05 dari: http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/files/search/searcht ext.xml

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2012). Jumlah Tindak Pidana Menurut Kepolisian Daerah, 2007-2011. Diunduh pada tanggal 5 April 2012 pukul

13.24 dari:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_suby ek=34&notab=1

Ediati, Annastasia. (2004). Kecenderungan Remaja Berperilaku Delinkuen Ditinjau Dari Dorongan Mencari Sensasi Dan Persepsi Terhadap Tersedianya Dukungan Dari Teman Sebaya. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro.

Gunarsa, Singgih D. (2003). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia

Hadley, Alena M., Hair, Elizabeth C., Moore, Kristin Anderson. (2008). Assesing What Kids Think About Themselves: A Guide To Adolescent Self-Concept For Out-Of-School Time Program Practitioners.Child Trends: Journal Haniman, Fatimah. (2000). Citra Diri dan Kenakalan Remaja Pada Siswa SMU/K

(SLTA) Peringkat Tinggi dan Peringkat Rendah di Surabaya. Anima: Indonesia Psychology Journal

Hurlock, E. B. (1989). Adolescent Development. New York: McGraw-Hill, Inc. Indirawati, Emma. (2006). Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan


(66)

Indonesia. (2011). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 58 tahun 2010 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri

Jackson, Susan A., Thomas, Patrick R., Marsh, Herbert W., Smethurst, Christopher J. (2001). Relationship Between Flow, Self-Concept, Psychological Skills, and Performance. Journal of Applied Sport Psychology, 13: 129-153

Kartono, Kartini. (2007). Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Lalu, Siprianus Lita. (2008). Konsep Diri Seorang Remaja yang Berasal dari Keluarga Broken Home Suatu Studi Kasus. USD. Skripsi. Tidak diterbitkan. Murdiyanto. (2001). Kondisi Psikologis Anak Nakal Di Boyolali. Media

Informasi Penelitian: Journal

Prinst, Darwan. (2003). Hukum Anak Indonesia. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti

Rini, J. F. (2002). Konsep Diri. www.e-psikologi.com

Santoso, Agung. (2010). Statistik untuk Psikologi: dari Blog Menjadi Buku. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Santrock, John W. (2003). Adolescence. Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga

Santrock, John W. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga

Sari, Octavia Dewi Alam. (2007). Studi Deskriptif Konsep Diri Remaja Pelaku Tindak Kriminal Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. USD. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Surayin. (2010). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit Yrama Widya

Sutataminingsih, Raras. (2010). Konsep Diri. USU: Perpustakaan Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak diterbitkan.

Tim Pustaka Familia. (2006). Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius

Yusuf, Syamsu LN. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


(67)

(68)

LAMPIRAN 1 SKALA PENELITIAN

Skala Konsep Diri

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Saya merasa puas dengan keadaan diri saya. 2. Saya merasa percaya diri dan yakin dalam

melakukan sesuatu.

3. Saya menyadari kelemahan yang ada pada diri saya.

4. Saya tidak berlarut-larut memikirkan kekurangan saya.

5. Saya merasa percaya diri dengan apa yang ada pada diri saya.

6. Saya menyadari kelebihan yang ada pada diri saya.

7. Ketika saya mengerjakan sesuatu, saya menggunakan kemampuan saya secara maksimal untuk menyelesaikannya.

8. Saya merasa orang lain memiliki kemampuan yang lebih baik dari saya. 9. Saya merasa tidak nyaman ketika menyadari

kelemahan yang ada pada diri saya.

10. Saya menganggap kritik yang ditujukan kepada saya sebagai bentuk ketidaksukaan orang lain kepada saya.

11. Saya menolak ketika ada orang yang mengkritik saya atas kekurangan saya. 12. Saya dapat menghargai diri saya sendiri. 13. Saya tidak dapat menemukan kelebihan


(69)

14. Saya tidak mengunakan kemampuan saya secara maksimal dalam mengerjakan sesuatu.

15. Saya sering merasa ragu-ragu ketika melakukan sesuatu.

16. Saya menyadari bahwa mengikuti aturan yang berlaku adalah hal yang perlu dilakukan.

17. Saya menerima kekurangan yang ada pada diri saya.

18. Saya merasa percaya diri ketika berhadapan dengan orang lain.

19. Saya sering merasa saya akan gagal ketika saya mengerjakan sesuatu.

20. Saya merasa kurang nyaman dengan diri saya.

21. Saya memiliki kemampuan yang sama dengan kebanyakan orang.

22. Saya merasa kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.

23. Saya tidak mengetahui kekurangan yang ada pada diri saya.

24. Saya mampu menerima kritik dari orang lain terhadap saya.

25. Saya menyukai setiap hal yang ada pada diri saya.

26. Saya mengikuti aturan yang berlaku hanya karena merasa tidak enak terhadap orang lain.

27. Saya merasa tidak memiliki kelebihan apapun.

28. Saya mampu menyesuaikan diri dengan situasi di sekitar saya.


(70)

29. Saya merasa yakin terhadap kemampuan yang saya miliki.

30. Saya merasa marah jika ada orang yang membicarakan kelemahan saya kepada saya. 31. Saya tidak puas dengan keadaan diri saya.

32. Saya yakin dapat berhasil ketika melakukan sesuatu.

33. Saya merasa tidak percaya diri dalam melakukan apapun.

34. Saya merasa tidak akan berhasil jika melakukan sesuatu.

35. Saya merasa tidak nyaman jika ada orang yang mengkritik saya.

36. Saya yakin akan berhasil melakukan sesuatu dengan kemampuan yang saya miliki. 37. Kritik yang ditujukan kepada saya adalah

untuk membuat saya menjadi orang yang lebih baik.

38. Saya merasa tidak percaya diri jika harus berhadapan dengan orang lain.

39. Saya merasa tidak berguna.

40. Saya menjadikan kritik yang saya terima untuk membuat saya menjadi orang yang lebih baik.


(71)

Skala Kematangan Beragama

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Saya mampu memahami dengan baik ajaran agama yang saya yakini.

2 Saya mampu mengamalkan ajaran agama yang saya yakini.

3. Saya memikirkan baik-baik konsekuensi yang akan saya hadapi sebelum saya melakukan sesuatu.

4. Saya dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang yang berbeda agama dengan saya.

5. Saya selalu berusaha untuk memperdalam pengetahuan saya mengenai agama yang saya yakini. 6. Menurut saya, ajaran agama yang saya

yakini dapat dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang saya peroleh.

7. Saya mampu menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat saya. 8. Saya merasa tidak nyaman saat berbicara

dengan orang yang berbeda agama dengan saya.

9. Saya menyadari bahwa saya memang harus bertanggung jawab atas tindakan yang saya lakukan.

10. Meskipun sulit, saya selalu berusaha mengamalkan ajaran agama yang saya yakini.

11. Ajaran agama yang saya yakini memberikan pengetahuan yang baik dan berguna bagi saya.


(72)

12. Saya rajin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan. 13. Saya tidak membeda-bedakan agama

yang diyakini seseorang dalam berteman. 14. Dalam bertindak, saya mempertimbangkan apakah tindakan tersebut sesuai dengan ajaran agama yang saya yakini.

15. Saya mengerti konsekuensi dari perbuatan saya.

16. Kalau memungkinkan, saya tidak mau bertanggung jawab atas akibat dari perbuatan saya

17. Saya jarang berkomunikasi dengan orang yang agamanya berbeda dengan saya. 18. Saya meyakini bahwa pada dasarnya

semua agama mengajarkan kebaikan kepada umatnya.

19. Saya menyadari keterbatasan saya dalam memahami seluruh ajaran agama yang saya yakini.

20. Saya tidak peduli dengan akibat yang akan terjadi dari tindakan yang saya lakukan.

21. Saya ingin bertindak sesuai keinginan saya tanpa harus menanggung resikonya. 22. Saya kurang memahami ajaran agama

yang saya yakini.

23. Saya menganggap hanya ajaran agama yang saya yakini saja yang mengajarkan kebaikan kepada umatnya.


(73)

24. Saya berhati-hati dalam memutuskan sesuatu sehingga hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama yang saya yakini.

25. Saya kurang dapat mengambil nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterapkan dari ajaran agama saya.

26. Ajaran agama yang saya yakini mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

27. Saya tidak mampu mengamalkan dengan baik ajaran agama yang saya yakini. 28. Saya merasa terbebani dengan

perintah-perintah agama yang saya anut.

29. Saya merasa ajaran agama saya kurang memberikan pengetahuan kepada saya. 30. Menurut saya, agama yang saya yakini

lebih baik daripada agama yang lain. 31. Saya berani bertanggung jawab atas

tindakan yang saya lakukan.

32. Saya sering berdiskusi dengan orang yang lebih mengerti untuk memperdalam pengetahuan saya mengenai agama yang saya yakini.

33. Saya sering merasa malas untuk mengikuti kegiatan keagamaan.

34. Saya yakin sudah sangat mengetahui ajaran agama yang saya yakini.

35. Saya dapat menghargai orang lain yang berbeda agama dengan saya


(1)

UJI NORMALITAS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

konsepdiri

kematanganbera gama

N 78 78

Normal Parametersa Mean 96.27 109.45 Std. Deviation 12.616 16.150 Most Extreme Differences Absolute .110 .078 Positive .110 .078 Negative -.056 -.063 Kolmogorov-Smirnov Z .974 .691 Asymp. Sig. (2-tailed) .299 .726 a. Test distribution is Normal.


(2)

LAMPIRAN 4

UJI LINEARITAS

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. konsepdiri *

kematanganberaga ma

Between Groups

(Combined) 8750.896 42 208.355 2.081 .014

Linearity 6497.844 1 6497.844 64.896 .000 Deviation from

Linearity 2253.053 41 54.953 .549 .967 Within Groups 3504.450 35 100.127


(3)

UJI HIPOTESIS

Correlations

konsepdiri

kematanganbera gama Konsepdiri Pearson Correlation 1 .728**

Sig. (2-tailed) .000

N 78 78

kematanganberagama Pearson Correlation .728** 1 Sig. (2-tailed) .000

N 78 78


(4)

LAMPIRAN 6

MEAN EMPIRIS

Mean Empiris Skala Konsep Diri dan Kematangan Beragama

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum Konsepdiri 78 96.27 12.616 63 128 kematanganberagama 78 109.45 16.150 60 148


(5)

vi

KONSEP DIRI PADA REMAJA YANG MENJADI NARAPIDANA

Galuh Sekardhita Buana Candra Murti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Kematangan Beragama dengan Konsep Diri pada remaja yang menjadi narapidana. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan positif antara Kematangan Beragama dengan Konsep Diri pada remaja yang menjadi narapidana. Asumsinya, jika remaja yang menjadi narapidana memiliki kematangan beragama yang tinggi, maka remaja tersebut akan memiliki konsep diri yang positif. Semakin tinggi kematangan beragama narapidana remaja, semakin positif konsep diri yang dimilikinya. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel Kematangan Beragama sebagai variabel bebas dan variabel Konsep Diri sebagai variabel tergantung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 78 orang dengan kriteria remaja yang berusia 17-22 tahun, baik laki-laki maupun perempuan dan merupakan seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan skala kematangan beragama dan skala konsep diri. Dari 48 aitem dalam skala kematangan beragama, terdapat 11 aitem gugur dan 37 aitem valid, dari 40 aitem dalam skala konsep diri, terdapat 7 aitem gugur dan 33 aitem valid. Reliabilitas yang dihasilkan dari skala kematangan beragama yaitu 0,938 dan reliabilitas skala konsep diri yaitu 0,907. Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan linear. Data dianalisis menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson dengan bantuan SPPS for Windows versi 16.00. Hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa koefisien korelasi (r) yang didapatkan sebesar 0,728 (p<0.05). Hal ini berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima.


(6)

vii

RELATIONSHIP BETWEEN RELIGION MATURITY AND

SELF-CONCEPT IN ADOLESCENT’S PRISONER

Galuh Sekardhita Buana Candra Murti

ABSTRACT

This research aim to know the relationship between Religion Maturity and Self-Concept in adolescent’s prisoner. The existence of the positive relation between religion maturity with self concept propose as the hypothesis of this research. The assumption is if the religion maturity is higher so self concept will be positive. The research variable was religion maturity as the independent variable and self concept as dependent variable. The subjects of the research were 78 people, adolescent aged between 17-22, both men and woman, and represents as a prisoner. The data collection was done through scattered religion maturity scale and self concept scale. From the 48 items scale religion maturity there are 11 items fall and 37 items valid, and from 40 items scale self concept there are 7 items fall and 33 items valid. The result shows reliability 0,938 for religion maturity and 0,907 for self concept. The result of the data analysis revealed that the distribution of the data is normal and linier. The data research were analyzed using correlation technique of Product Moment from Pearson helped by SPSS for Windows version 16.00. The result showed that the coefficient correlation was 0,728 (p<0.05). It means that the hypothesis of this research is accepted.