13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
1. Definisi Perilaku Seksual Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku diartikan sebagai
suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Skinner dalam Santrock, 2007 juga menyampaikan definisi yang serupa,
yaitu suatu respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,
kemudian organisme tersebut memberikan respon. Menurut Notoatmodjo 2007, perilaku adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Perilaku ini terjadi apabila ada suatu rangsangan dan rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi perilaku
tertentu. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai respon atau reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari lingkungan.
Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan
Rathus, Nevid, Fichner- Rathus, 2008. Untuk memperhalus kata seks, sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah pengalaman dan
diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan Rathus, Nevid, Fichner-
Rathus, 2008. Seksualitas juga didefinisikan sebagai suatu perasaan,
perilaku, dan identitas yang diasosiasikan dengan seks Levay Valente, 2006. Dengan demikian, seksualitas dapat diartikan sebagai pengalaman,
perasaan, perilaku, dan identitas yang berhubungan dengan seks, serta diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai,
perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan. Sarwono 2011 berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Objek seksualnya pun dapat berupa
orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Menurut Hurlock 2003 perilaku seksual remaja adalah dorongan untuk melakukan aktivitas
seksual yang muncul dari tekanan-tekanan terutama dari minat dan keingintahuan remaja tentang seksual tersebut. Notoatmojo 2007
menyatakan bahwa perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang
baik dalam diri maupun dari luar dirinya. Dengan demikian, perilaku seksual dapat disimpulkan sebagai segala tingkah laku atau tindakan yang
didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis atau sesama jenis yang berasal dari dalam maupun luar dirinya.
2. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Pranikah Perilaku seksual pranikah dapat dilakukan dengan diri sendiri
maupun dengan orang lain. Perilaku seksual ini dapat terjadi karena keinginan ataupun karena paksaan dari orang lain, termasuk paksaan yang
mengandung unsur-unsur kriminalitas. Bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah remaja yang terjadi karena keinginan sendiri dan tanpa
mengandung unsur kriminalitas dapat digolongkan kedalam beberapa bentuk, antara lain :
a. Menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual.
Menurut L”Engle, Brown, dan Kenneavy 2005, menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk
hal-hal seksual merupakan bentuk-bentuk perilaku seksual dalam kategori ringan yang sering dilakukan remaja.
b. Berpegangan Tangan dan Berpelukan Yuniarti dan Rusmilawaty 2015 dan
L”Engle et.al. 2005 menggolongkan berpegangan tangan dan berpelukan sebagai perilaku
seksual ringan. Berpegangan tangan dan berpelukan merupakan bentuk perilaku seksual yang sering dilakukan remaja Rathus, Nevid,
Fichner-Rathus, 2008; Wulandari Muis, 2014. c. Masturbasi
Masturbasi adalah satu bentuk utama dari ekspresi seksual seseorang yang dapat dilakukan dengan stimulasi manual ataupun menggunakan
bantuan dari stimulasi buatan seperti vibrator Rathus, et al., 2008. Masturbasi mengarah pada semua bentuk stimulasi diri yang dilakukan
sendiri dan berfokus pada organ genital Lehmiller, 2014.
d. Kissing Berciuman kissing dapat menjadi isyarat kasih sayang tanpa makna
erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun teman dekat. Bentuk ciuman dapat berupa ciuman pada pipi, dahi, ataupun bibir. Ciuman
pada bibir dapat berupa ciuman dengan memasukkan lidah ke dalam mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar
menempelkan bibir pada bibir pasangan atau simple kissing Rathus et al., 2008. Menurut Sarwono 2011, berciuman dengan bibir tertutup
merupakan ciuman yang umum dilakukan. Yuniarti dan Rusmilawaty 2015 menggolongkan deep kissing sebagai bentuk perilaku seksual
berat. e. Necking
Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
ciuman di sekitar leher ke bawah dan pelukan yang lebih mendalam Sarwono, 2011.
f. Touching Menyentuh touching merupakan suatu bentuk perilaku seksual
Wulandari Muis, 2014 dan bentuk yang umum dari foreplay Rathus et al., 2008. Touching atau membelai daerah sensitif genital
menggunakan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya dapat menimbulkan rangsangan Rathus et al., 2008.
g. Stimulasi Oral-Genital
Stimulasi oral-genital biasanya lebih sering dilakukan oleh pasangan yang baru menikah. Sama seperti touching, stimulasi oral-genital atau
biasa dikenal dengan istilah blow job bisa digunakan sebagai permulaan dari intercourse atau sebagai akhir dari aktivitas seksual
Rathus et al., 2008. h. Petting
Petting merupakan salah satu bentuk foreplay yang sering dilakukan
Rathus et al., 2008. Petting merupakan perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dengan organ kelamin,
tetapi lebih mendalam dari necking. Hal ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada,
kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian Sarwono, 2011
i. Intercourse Seksual intercourse atau coitus adalah aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan, di mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan Rathus, Nevid, Fichner-Rathus, 2008.
Sarwono 2011 mendefinisikan sebagai bersatunya dua orang secara seksual, yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita dan ditandai
dengan penis yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan
seksual Sarwono,
2011. L”Engle et.al. 2005
menggolongkan intercourse sebagai bentuk perilaku seksual dalam kategori berat.
Berdasarkan penjabaran di atas, perilaku seksual pranikah yang dilakukan karena keinginan sendiri dan tidak mengandung unsur-unsur
kriminalitas dapat dikelompokkan menjadi perilaku seksual yang dilakukan dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Perilaku seksual yang
dilakukan sendiri, seperti menaksir, menghayal, menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual, dan masturbasi. Perilaku seksual yang dilakukan
dengan orang lain, seperti membicarakan dan menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual, berpegangan tangan, berpelukan, kissing, necking,
touching , stimulasi oral-genital, petting, dan intercourse. Dalam penelitian
ini, peneliti akan menggunakan bentuk-bentuk perilaku seksual di atas sebagai dasar dalam melakukan pengukuran terhadap perilaku seksual
pranikah yang dilakukan remaja.
3. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah Faktor-faktor
yang mempengaruhi
perilaku seksual
dapat digolongkan kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Sarwono 2010 melihat bahwa perubahan-perubahan hormonal dapat meningkatkan hasrat seksual libido remaja. Chandra, Rahmawati, dan
Hardiani 2014 menjelaskan faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu perubahan hormon, kepercayaan diri, dan konsep diri.
Munawaroh 2012 juga menyebutkan konsep diri sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah dalam
kalangan remaja. Menurut Wulandari dan Muis 2014, remaja cenderung
bereksperimen dengan perilaku yang berisiko karena mereka ingin tahu bagaimana rasanya dan apa yang akan terjadi. Pendapat yang serupa juga
disampaikan oleh Laily dan Matulessy 2004, dalam Munawaroh, 2012 yang menyatakan bahwa rasa ingin tahu dapat mempengaruhi perilaku
seksual seseorang. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu
perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat kesetaraan gender, norma-norma agama, serta keterbatasan informasi dari
orangtua Chandra, Rahmawati, Hardiani, 2014. Menurut Meschke, Bartholomae, dan Zental 2002, dalam Yuniarti Rusmilawaty, 2015,
perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah faktor dari orangtua. Hal serupa juga dijelaskan oleh House et al. 2010, dalam Santrock, 2011
yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berkaitan dengan permasalahan seksual pada remaja adalah keluarga atau pengasuhan
orangtua. Intensitas komunikasi orangtua-anak Munawaroh, 2012 dan
kurangnya informasi tentang seks Sarwono, 2010 juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada umumnya
remaja putri memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks. Selama hubungan berpacaran, pengetahuan yang dimiliki
remaja tidak bertambah, tetapi justru informasi yang salah yang semakin bertambah. Hal tersebut disebabkan karena orangtua yang merasa tabu
untuk membicarakan seks dengan anak dan kedekatan anak dengan
orangtua yang sudah mulai berkurang sehingga mengakibatkan anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang justru tidak akurat,
khususnya teman Sarwono, 2010. Selain itu, faktor teman sebaya House et al., 2010, dalam Santrock, 2011 dan bujukan atau permintaan pacar
Laily Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012 juga dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual.
Menurut Sarwono 2010, adanya penundaan usia perkawinan menyebabkan penyaluran hasrat seksual yang dimiliki tidak dapat
dilakukan dengan segera. Hal ini juga didukung dengan adanya norma- norma agama yang masih tetap berlaku, di mana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan tersebut berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain, seperti berciuman
dan masturbasi. Faktor eksternal lain yang dikatakan mempengaruhi perilaku seksual remaja, yaitu agama atau keimanan yang kurang kuat
Chandra, et al.,2014, pengaruh dari film dan media massa Laily Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012, serta status sosial ekomoni
House et al., 2010, dalam Santrock, 2011. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
seksual dapat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti perubahan hormon, kepercayaan diri, konsep diri, dan rasa ingin tahu. Sementara itu, faktor
eksternal yang
mempengaruhi, seperti
agama dan
keimanan, perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat
kesetaraan gender, norma-norma agama, teman sebaya, bujukan atau
permintaan pacar, adanya penundaan usia kawin, serta keterbatasan informasi dari orangtua tentang seks.
4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja Perilaku seksual pranikah remaja dapat terjadi dalam konteks dan
bentuk relasi yang beraneka ragam, seperti : a. Perilaku seksual dalam relasi romantis atau dengan komitmen
1 Berpacaran Menurut Duvall dan Miller 1985, dalam Wulandari Muis, 2014
pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan dan mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang
disukai, dirasa nyaman, dan dapat mereka nikahi. Meier 2003, dalam Wulandari Muis, 2014 menyatakan bahwa pacaran
merupakan prediktor terkuat inisiasi aktivitas seksual. 2 Kohabitasi
Kohabitasi mengacu pada hidup bersama dan melakukan hubungan seksual meskipun tidak menikah Santrock, 2011. Menurut
Wilson dan Stuchbury 2010, dalam Santrock, 2011, sejumlah pasangan memandang kohabitasi bukan sebagai pendahulu
pernikahan namun sebagai sebuah gaya hidup. b. Perilaku seksual tidak tetap casual sex
Casual sex mengacu pada pertemuan seksual singkat antara orang
yang baru bertemu, teman atau orang yang saling kenal Farvid, 2015
atau pengalaman seksual tanpa adanya komitmen dalam suatu hubungan Bersamin, Zamboanga, Schwartz, Donnellan, Hudson,
Weisskirch, Kim, Agocha, Whitbourne, Carawa, 2013. 1 Hookup
Hookup dapat diartikan sebagai suatu pertemuan seksual antara
seseorang yang tidak mengenal satu sama lain pada level yang dalam Paul Hayes, 2002 dalam Lehmiller, 2014. Pertemuan
tersebut, juga dikenal sebagai one night stand, yang biasanya muncul setelah malam di bar atau setelah pesta. Penelitian
menemukan bahwa hookup berkaitan erat dengan penggunaan alkohol Paul, McManus, Hayes, 2000.
2 Friends with benefit FWB Menurut Lehmiller 2014, friends with benefit biasanya dianggap
sebagai hubungan di mana dua teman baik memutuskan untuk menjadi terlibat secara seksual. Bisson dan Levine 2009, dalam
Lehmiller, 2014 mendefinisikan friends with benefit sebagai suatu relasi pertemanan atau persahabatan yang agak khas, di mana
dalam relasi tersebut kedua individu kadang-kadang dapat melakukan hubungan seksual. Dalam relasi friends with benefits
ini, individu akan berusaha mempertahankan kedekatan dan relasi seksual tanpa mengembangkan atau tidak membangun perasaan
romantis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah remaja dapat dilakukan atau terjadi dalam konteks relasi romantis
dan disertai komitmen, seperti relasi berpacaran dan kohabitasi. Selain itu, perilaku seksual juga dapat terjadi dalam konteks casual sex atau tanpa
adanya komitmen dalam relasi, seperti hookup dan friends with benefit FWB.
B. KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA