14 dispute yang terjadi antara pekerja dan pengusaha. Hal ini
diperparah pula oleh penolakan pihak wakil tenaga kerja terhadap kenaikan UMP dan UMK di berbagai daerah di Indonesia yang
dianggap tidak sesuai dengan standar konsumsi layak hidup KLH. Sebaliknya, tidak sedikit pula keluhan dan ketidakpuasan pihak
pengusaha dengan kenaikan UMK dan UMP yang menurut mereka semakin mempersulit ruang gerak usaha mereka dengan semakin
tingginya biaya produksi, sementara pasar produksi mereka baik domestik maupun ekspor dianggap tidak menunjukkan perbaikan
signifikan.
Di tahun-tahun
mendatang sepertinya
masalah ketenagakerjaan nasional masih akan tetap menjadi topik yang
harus dibenahi mengingat pentingnya isu ketenagakerjaan terhadap aspek-aspek yang lebih luas selain aspek ekonomi saja seperti
aspek politik, keamanan dan ketertiban, serta sosial budaya.
1.2.2 Kemiskinan
Bila kita membandingkan antara angka pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk miskin di Indonesia pada dua tahun
terkakhir 2005
– 2006,
maka dapat
kita lihat
bahwa kecenderungan
yang terjadi
di Indonesia
adalah fenomena
paradoksial bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif dibarengi pula dengan adanya kenaikan jumlah penduduk miskin.
Angka terakhir laporan BPS akhir bulan Maret 2006 memperlihatkan bahwa pada saat naiknya laju pertumbuhan ekonomi sebesar hampir
6 dibandingkan tahun sebelumnya, telah terjadi pula peningkatan 11 jumlah penduduk miskin menjadi 39.05 juta orang pada tahun
2006. Angka peningkatan 11 ini merupakan jumlah yang cukup fantastis namun dapat dimengerti oleh banyak pihak mengingat
bahwa kenaikan harga BBM pada tahun 2005 pengaruhnya sangat besar dalam memicu besaran peningkatan jumlah penduduk miskin
ini sekaligus meng-offset pengaruh dan multiplier positif dari naiknya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2005.
Disadari pula bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok terutama beras makin membuat jumlah penduduk miskin makin meningkat pula.
Selain itu ditenggarai pula bahwa tingkat kemiskinan ini dipicu pula oleh kecilnya porsi kepemilikan lahan oleh masyarakat. Data
menunjukkan bahwa 67 masyarakat miskin berada di daerah pedesaan, 90 dari mereka bekerja, mayoritas sebagai buruh usaha
pertanian sementara 10 lainnya tidak bekerja. Oleh karenanya disadari pula bahwa kebijakan mengenai land reform dimana
terjadi pendistribusian kepemilikan lahan dari yang dikuasai negara kepada masyarakat agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan
produktif.
Upaya-upaya pemerintah lewat program-program pro-poor growth seperti Bantuan Langsung Tunai BLT sepertinya tidaklah seampuh
seperti yang diperkirakan oleh para pengambil kebijakan. Upaya impor beras guna menekan melonjaknya harga-harga umum yang
dipicu oleh harga beras yang makin mahal juga mendapatkan
15 tantangan dari berbagai pihak yang merasa bahwa impor beras
bukanlah upaya yang bijak terutama bagi kalangan penduduk yang bergerak dibidang usaha pertanian. Selain dari upaya-upaya yang
bersifat crash programs ini, sebenarnya masih terdapat banyak program reguler gun mengentaskan kemiskinan seperti subsidi
minyak tanah, bantuan beras miskin Raskin, subsidi buku, subsidi transportasi untuk kereta api dan kapal laut, dan lain-
lain yang jumlah totalnya hampir mencapai Rp. 40 Trilyun per tahun.
Kegagalan program-program ini secara gamblang dapat disimpulkan dari kericuhan serta masalah yang timbul pada operasionalisasi
dan implemenasi
program-program tersebut
di lapangan.
Selanjutnya ditenggarai
pula bahwa
program pengentasan
kemiskinan bukanlah semata-mata masalah yang terkait pada aspek ekonomi, namun juga aspek-aspek lain terutama aspek sosial dan
kesempatan usaha.
Kedepan sepertinya
dengan rencana
mentransformasi BLT menjadi program bantuan dalam bentuk lain yang lebih mendidik, administrasi pengawasan dan penilaian
program yang lebih menekankan pada pencapaian output dan outcome sedikit banyak dapat memperbaiki lemahnya kinerja pemerintah
dalam upaya pengentasan kemiskinan.
1.2.3 Keuangan Negara