15 tantangan dari berbagai pihak yang merasa bahwa impor beras
bukanlah upaya yang bijak terutama bagi kalangan penduduk yang bergerak dibidang usaha pertanian. Selain dari upaya-upaya yang
bersifat crash programs ini, sebenarnya masih terdapat banyak program reguler gun mengentaskan kemiskinan seperti subsidi
minyak tanah, bantuan beras miskin Raskin, subsidi buku, subsidi transportasi untuk kereta api dan kapal laut, dan lain-
lain yang jumlah totalnya hampir mencapai Rp. 40 Trilyun per tahun.
Kegagalan program-program ini secara gamblang dapat disimpulkan dari kericuhan serta masalah yang timbul pada operasionalisasi
dan implemenasi
program-program tersebut
di lapangan.
Selanjutnya ditenggarai
pula bahwa
program pengentasan
kemiskinan bukanlah semata-mata masalah yang terkait pada aspek ekonomi, namun juga aspek-aspek lain terutama aspek sosial dan
kesempatan usaha.
Kedepan sepertinya
dengan rencana
mentransformasi BLT menjadi program bantuan dalam bentuk lain yang lebih mendidik, administrasi pengawasan dan penilaian
program yang lebih menekankan pada pencapaian output dan outcome sedikit banyak dapat memperbaiki lemahnya kinerja pemerintah
dalam upaya pengentasan kemiskinan.
1.2.3 Keuangan Negara
Masalah penerimaan dan pengeluaran negara tidak kalah pentingnya dalam
isu-isu sentral pembangunan
perekonomian Indonesia.
Komitmen nasional untuk meminimalkan, bila mungkin melepaskan ketergantungan keuangan negara terhadap hutang luar negeri dan
selanjutnya lebih mengandalkan dana masyarakat dari dalam negeri atau dana lain dari luar yang tidak terlalu mengandung resiko
biaya
inter-generations bukanlah
hal yang
mudah untuk
diimplementasikan. Walaupun tidak dipungkiri bahwa tingkat ketergantungan keuangan negara terhadap hutang luar negeri
memang telah terbukti berhasil dengan beberapa indikatornya yaitu pelunasan hutang IMF tanpa dibarengi dengan gejolak pasar
dan penurunan rasio nilai hutang luar negeri pada dua tahun terakhir menjadi 37,5 pada tahun 2006 dari 46,8 pada tahun
sebelumnya 2005.
Mengandalkan penerimaan negara pada pajak sepertinya bukan pilihan terbaik karena sifat pengaruh pajak yang ditenggarai
lebih bersifat dis-insetif terhadap pembangunan perekonomian dibandingkan sebagai device dalam memacu pertumbuhan ekonomi
yang lebih cepat. Terlebih bila kita melihat lebih dalam lagi bahwa
keputusan untuk
lebih mengandalkan
pajak sebagai
penerimaan negara malah akan memperlemah daya saing negara kita dalam menumbuh-kembangkan perekonomian produktif lewat investasi
dan kegiatan usaha dibandingkan dengan negara-negara lain terutama negara-negara tetangga. Kinerja pemerintah dalam upaya
meningkatkan penerimaan pajak memang menunjukkan keberhasilan. Dalam perubahan APBN 2006 terlihat bahwa penerimaan dari pajak
16 termasuk bea masuk dan cukai telah mencapai Rp. 423 Trilyun,
angka yang setara dengan 65 dari total penerimaan negara, menggeser dominasi peran penerimaan negara dari minyak dan gas
bumi.
Namun angka realisasi penerimaan pajak ini juga mengandung resiko karena tercatat bahwa penerimaan pajak sejumlah itu lebih
didominasi oleh pembayar pajak besar. Seribu orang pembayar pajak besar memiliki kontribusi lebih dari 60 dari total
penerimaan pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya reformasi pajak masih belum dapat dikatakan optimal karena ini membuktikan
bahwa upaya intensifikasi pajak masih merupakan prioritas utama dibandingkan upaya ekstensifikasi-nya. Penggenjotan penerimaan
pajak via intensifikasi ini dapat membahayakan kesinambungan fiskal negara karena sangat rentan pada keberadaan para pembayar
pajak besar tersebut yang dengan mudah dapat saja merelokasikan kegiatan usaha-nya ke negara-negara lain yang memiliki sistem
pajak lebih menguntungkan mereka.
Pemanfaatan dana lain dalam aspek sisi pembiayaan untuk penerimaan negara melalui penerbitan obligasi atau Surat Utang
Negara SUN
cukup menjanjikan
hasilnya. Penerimaan
SUN berdasarkan net penerbitan selama dua tahun terakhir meningkat
pesat dari Rp. 22,2 Trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 29,67 Trilyun pada akhir bulan Juli, 2005. Kepemilikan asing dari
total penerbitan SUN juga menunjukkan tendensi meningkat yaitu Rp. 10,74 Trilyun di pertengahan tahun 2004 menjadi Rp. 26.25
Trilyun pada akhir tahun 2005, dengan kata lain terjadi aliran masuknya dana asing Rp. 15.5 Trilyun. Pemerintah sepertinya
berhasil memanfaatkan dana tersebut untuk menutup defisit anggarannya yang pada tahun 2006 ini diperkirakan akan mencapai
1,2 dari total PDB. Namun ketergantungan penerimaan negara pada portofolio seperti ini juga beresiko terhadap kesinambungan
fiskal seperti halnya penerimaan pajak yang terlalu mengandalkan pada pembayar pajak besar. Upaya lain seperti privatisasi BUMN
pasca BPPN juga sepertinya bukanlah opsi yang dapat diterima oleh banyak kalangan walaupun terbukti upaya privatisasi
inidapat sedikitnya memperluas ruang nafas dan ruang gerak keuangan negara untuk lebih fokus pada pengeluaran-pengeluaran
yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat umum.
Dari sisi pengeluaran, beban terberat pada APBN 2006 adalah membengkaknya pengeluaran subsidi bahan bakar minyak akibat
terus naiknya harga minyak mentah internasional. Dalam hal pengeluaran kesejahteraan lainnya, sepertinya besaran APBN 2006
untuk
pendidikan masih
belum dapat
mengikuti apa
yang diamanatkan oleh UUD 1945 dengan ketentuan pengalokasian 20
dana APBN untuk sektor pendidikan. Pengeluaran-pengeluaran untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan pegawai negeri secara
umum juga tidak dapat direalisasi secara optimal, malahan yang terjadi adalah peningkatan drastis gaji para pegawai negeri
golongan tinggi serta anggota DPR. Dengan pendekatan klasifikasi belanja pengeluaran rutin dan pembangunan, APBN 2006 terlihat
17 tetap menonjolkan dominasi pengeluaran rutin untuk gaji pegawai,
pembelian barang dan pembayaran hutang luar negeri. Di sisi lain, pengeluaran pembangunan cenderung mengalami penurunan
terus menerus selama 3 tahun terakhir. Tabel berikut memperlihatkan perkembangan tiga item pengeluaran yaitu belanja
pembangunan, Pembayaran hutang dan belanja pegawai.
18
Tabel. 1.9 Jumlah Beberapa Item Pengeluaran Pemerintah
Trilyun Rupiah
Item 2004
2005 2006
Belanja Pembangunan 71.9 49.6
45 Bayar Utang
108.7 93.9
118.5 Belanja Pegawai
54.2 61.1
77.77
Sumber: BPS, BI, dan Kadin
Sepertinya pada tahun 2007, terdapat kecenderungan yang sama dengan apa yang telah ditunjukkan oleh kinerja APBN 2006, dimana
penerimaan pemerintah akan tetap diandalkan dari penerimaan pajak, sisi pembiayaan akan tetap mengandalkan SUN terutama SUN
dalam
bentuk valuta
asing. Pemerintah
juga berupaya
memperlonggar beban pembiayaan subsidi lewat upaya konversi subsidi BBM kepada penggunaan Elpiji yang beban subsidinya masih
jauh lebih rendah. Dalam aspek pengeluaran sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh nota RAPBN 2007, upaya pemerintah untuk
melepaskan diri dari beban hutang luar negeri tetap menjadi prioritas
utama dimana
upaya pencapaian
20 pengeluaran
pendidikan tetap masih menjadi harapan di tahun-tahun mendatang.
1.2.4 Investasi