Pembebasan (Vimutti) “Hilangnya nafsu adalah kondisi pendukung untuk pembebasan”: Setiap

Pembebasan (Vimutti) “Hilangnya nafsu adalah kondisi pendukung untuk pembebasan”: Setiap

momen-jalan supra-duniawi dengan segera diikuti dengan beberapa momen dari pengalaman supra-duniawi yang jenisnya berbeda yang disebut “buah” (phala). Buah menandakan kenikmatan dari tingkatan pelepasan yang terealisasi, yang diakibatkan oleh pekerjaan jalan membasmi kekotoran- kekotoran batin. Sebagaimana pencapaian jalan adalah sebuah pengalaman menggembirakan yang sangat kuat yang membutuhkan pengeluaran jumlah energi yang besar sekali, pencapaian buah dicirikan dengan kedamaiannya, ketentramannya, dan ketenangannya yang membahagiakan. Jika pencapaian-jalan digambarkan dengan sebuah putusnya rantai yang menahan seorang tahanan secara tiba-tiba, buah dapat dibandingkan dengan diri tahanan tersebut yang menikmati cita rasa kebebasan yang berada di luar keadaan tertahannya.

Penyelesaian keempat jalan dan buah akan menghasilkan pembebasan penuh (vimutti): “Dengan penghancuran kebusukan-kebusukan, ia secara langsung merealisasi untuk dirinya, memasuki, dan tinggal di dalam pembebasan pikiran, pembebasan kebijaksanaan tersebut, yang tanpa kebusukan.” [29] Belenggu-belenggu yang terhalus dan yang terkuat telah dihancurkan, dan kini tidak ada lagi yang akan menjadi ikatan selanjutnya. Telah menghancurkan pembusukan-pembusukan mental di tingkatan latensinya yang paling dasar, yogi telah menyelesaikan tugasnya. Tidak ada lagi yang harus dilakukan, dan tidak ada yang harus ditambahkan pada apa yang telah dilakukan. Ia tinggal di dalam pengalaman yang hidup dari pembebasan.

Pembebasan yang direalisasi oleh arahat memiliki sebuah aspek yang beruas dua. Aspek yang satu adalah pembebasan dari ketidaktahuan dan kekotoran- kekotoran batin yang dialami selama rangkaian kehidupannya, yang lain Pembebasan yang direalisasi oleh arahat memiliki sebuah aspek yang beruas dua. Aspek yang satu adalah pembebasan dari ketidaktahuan dan kekotoran- kekotoran batin yang dialami selama rangkaian kehidupannya, yang lain

Karena ia telah menghancurkan kekotoran-kekotoran batin, gangguan apapun yang mungkin menyerang seseorang tidak akan lagi mengganggunya. Meskipun objek-objek indra yang indah dan mencolok masuk ke dalam jangkauan pencerapannya, mereka tidak dapat menaklukkan pikirannya: “Pikirannya tetap tak tersentuh, kokoh, tak tergoyahkan, memandang ketidakkekalan dari segala sesuatu.” [30] Di dalam diri seorang arahat, keserakahan, kebencian dan kebodohan batin yang merupakan akar-akar ketidakbajikkan yang mendasari semua kejahatan, telah sepenuhnya ditinggalkan. Ketiganya bukan hanya sekadar ditekan, namun telah dimatikan hingga ke tingkatan latensinya, jadi mereka tidak akan lagi mampu untuk muncul kembali di masa yang akan datang. Penghancuran keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin dinamakan nibbana yang mana dapat direalisasi semasa hidup; ini adalah nibbana yang tampak di sini dan kini. “Sejauh para bhikkhu telah merealisasi pemusnahan sempurna dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, sejauh itu pula nibbana dapat direalisasi, segera, mengundang, menarik, dan dapat dipahami oleh yang bijaksana.” [31] Oleh karena dalam pencapaian ini lima kelompok masih terus Karena ia telah menghancurkan kekotoran-kekotoran batin, gangguan apapun yang mungkin menyerang seseorang tidak akan lagi mengganggunya. Meskipun objek-objek indra yang indah dan mencolok masuk ke dalam jangkauan pencerapannya, mereka tidak dapat menaklukkan pikirannya: “Pikirannya tetap tak tersentuh, kokoh, tak tergoyahkan, memandang ketidakkekalan dari segala sesuatu.” [30] Di dalam diri seorang arahat, keserakahan, kebencian dan kebodohan batin yang merupakan akar-akar ketidakbajikkan yang mendasari semua kejahatan, telah sepenuhnya ditinggalkan. Ketiganya bukan hanya sekadar ditekan, namun telah dimatikan hingga ke tingkatan latensinya, jadi mereka tidak akan lagi mampu untuk muncul kembali di masa yang akan datang. Penghancuran keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin dinamakan nibbana yang mana dapat direalisasi semasa hidup; ini adalah nibbana yang tampak di sini dan kini. “Sejauh para bhikkhu telah merealisasi pemusnahan sempurna dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, sejauh itu pula nibbana dapat direalisasi, segera, mengundang, menarik, dan dapat dipahami oleh yang bijaksana.” [31] Oleh karena dalam pencapaian ini lima kelompok masih terus

Namun meskipun bagi arahat gangguan-gangguan yang disebabkan kekotoran-kekotoran batin tidak muncul, ia masih mengalami “setakaran gangguan” yang dikondisikan oleh tubuh dengan keenam indranya. [33] Meskipun ia tidak dapat ditaklukkan oleh keserakahan dan kebencian, ia masih mengalami kesenangan dan kesakitan; meskipun ia tidak dapat menghasilkan kamma yang mengikat pada samsara ia masih harus memilih dan bertindak dalam batasan yang ditentukan oleh keadaannya. Akan tetapi, pengalaman semacam itu bagi arahat adalah sepenuhnya sisa. Itu hanya sekadar perlakuan dari simpanan kamma masa lalu miliknya, yang mana masih dapat berbuah dan menimbulkan respon-respon selama tubuh yang diperoleh melalui nafsu keinginan yang terdahulu masih berdiri. Namun karena nafsu keinginan di dalam pikiran telah habis, tidak ada lagi pembaruan lingkaran kehidupan dan kematian baginya di masa depan. Semua perasaan, dialami dengan tidak melekat dan tidak bergembira di dalamnya, akan menjadi tenang. Mereka tidak memunculkan nafsu keinginan yang baru, tidak lagi memancing ekspektasi-ekspektasi baru, tidak mengarah pada akumulasi kamma yang baru; mereka sekadar hidup dengan tanpa menghasilkan bibit-bibit yang baru hingga akhir masa hidupnya. Dengan hancurnya tubuh ketika ia meninggal, arahat mengakhiri proses tanpa awal dari penjadian. Inilah tahapan kedua dari pembebasan – pembebasan dari eksistensi yang diperbarui, dari kelahiran, penuaan, dan kematian yang akan datang: “Orang bijaksana yang damai tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati, tidak khawatir, tidak mendamba. Baginya tidak ada lagi kemungkinan ia akan terlahir kembali. Dengan tidak terlahir, bagaimana mungkin ia menjadi tua? Tidak menua, bagaimana mungkin ia dapat mati?” [34] Karena, dengan pembebasan dari eksistensi yang berlanjut, tidak ada lagi residu dari kelompok-kelompok yang masih berlangsung, pencapaian ini dinamakan “elemen nibbana tanpa residu.” [35]