GAMBARAN UMUM KETAHANAN PANGAN NASIONAL

A. GAMBARAN UMUM KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus, pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk dan yang kedua adalah setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan landasan bagi ketahanan pangan masyarakat yang selanjutnya menjadi pilar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional. Prioritas utama pembangunan ketahanan pangan adalah memberdayakan masyarakat agar mereka mampu menanggulangi masalah pangannya secara mandiri serta mewujudkan ketahanan pangan rumahtangganya secara berkelanjutan. (Dewan Ketahanan Pangan, 2009)

Inti persoalan dalam mewujudkan ketahanan pangan dalam tataran nasional terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Penduduk Indonesia meningkat dari 116,2 juta jiwa (tahun 1970) menjadi 237,6 juta jiwa (tahun 2010), atau kenaikan 2,0 kali lipat dan kurun waktu 40 tahun (lihat Grafik 4.1).

Sumber : BPS (berbagai terbitan, diolah)

Grafik 4.1

Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1975-2010

Permintaan pangan meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, serta perkembangan selera. Dinamika sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan secara nasional meningkat dengan cepat, baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya.

1. Keterkaitan Subsidi Pertanian dan Ketahanan Pangan

Ellis (1992) dalam Ilham (2006) mengatakan kebijakan harga yang merupakan upaya untuk menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan secara tidak langsung melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah

50000

100000

150000

200000

250000

19

75

19

77

19

79

19

81

19

83

19

85

19

87

19

89

19

91

19

93

19

95

19

97

19

99

20

01 20

03 20

05 20

07 20

09

Pen

(r

ib

u ji

wa)

Tahun

Kebijakan harga pangan dalam studi ini adalah kebijakan yang mempengaruhi harga pangan, dapat berupa kebijakan harga input maupun kebijakan harga output pertanian. Instrumen yang digunakan adalah subsidi. Subsidi yang digunakan berasal dari pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), berbagai bentuk subsidi yang dilakukan keberadaannya tidak selalu kontinu, tetapi berubah-ubah.

Subsidi pertanian dikeluarkan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, meningkatnya produksi akan berbanding lurus dengan peningkatan ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan yang meningkat selanjutnya akan meningkatkan konsumsi pangan penduduk, sehingga bisa dikatakan ketahanan pangan meningkat dengan asumsi ceteris paribus .

Realisasi anggaran subsidi pangan mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain (Nota Keuangan dan RAPBN):

a. Jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang mempunyai hak untuk membeli raskin;

b. Kuantum raskin per RTS per bulan;

c. Durasi penjualan raskin; dan

d. Subsidi harga raskin (selisih harga pembelian beras (HPB) oleh Bulog dengan harga jual raskin) per kilogram.

Perkembangan realisasi anggaran subsidi pangan, selama kurun waktu 1975 – 2010, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 13,85 Perkembangan realisasi anggaran subsidi pangan, selama kurun waktu 1975 – 2010, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 13,85

Sumber : Data Pokok APBN (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.2

Perkembangan Subsidi Pangan Indonesia Tahun 1975-2010

Realisasi subsidi pupuk dalam kurun waktu 1975-2010 yang disalurkan melalui BUMN produsen (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Iskandar Muda), dan bantuan langsung pupuk (BLP) yang disalurkan melalui PT Hyang Seri, dan PT Pertani dalam rangka

si

i Pan

g an

il y ar

p iah

Tahun Tahun

Realisasi anggaran subsidi pupuk mengalami perkembangan selama kurun waktu 1975 – 2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 18,35 triliun, dari sebesar Rp 63,1 milyar pada tahun 1975 dan terus meningkat mencapai sebesar Rp 18,41 triliun pada tahun 2010 (lihat Grafik 4.3). Kekosongan anggaran untuk subsidi pupuk pernah terjadi pada tahun 1993 dan 1999 – 2002, kemudian mulai diberlakukan kembali pada tahun 2003.

Sumber : Data Pokok APBN (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.3

Perkembangan Subsidi Pupuk Indonesia Tahun 1975-2010

Kebutuhan pupuk bersubsidi yang meningkat sejalan dengan upaya untuk mendukung, menjaga serta meningkatkan program ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk pertanian (khususnya beras). Pemerintah juga tetap akan

S ubs

idi

P upu

k (m

il ya

rupi

a h)

Tahun Tahun

Pengaruh subsidi pertanian yang terdiri dari subsidi pangan dan pupuk terhadap ketahanan pangan lebih relevan dengan melihat dampaknya terhadap ketersediaan energi dan protein serta konsumsi energi dan protein yang berasal dari bahan pangan menurut neraca bahan makanan BPS.

Sumber : Data Pokok APBN (berbagai terbitan, diolah)

Gambar 4.1

Perkembangan Subsidi Pertanian 1975-2010

Perkembangan realisasi subsidi pertanian menunjukkan tren yang semakin meningkat dari tahun 1975 – 2010. Perkembangan anggaran subsidi pertanian pada tahun 1975 subsidi pertanian sebesar Rp 141,14

si

d i Per

tan

ian

il y ar

iah

Tahun Tahun

2. Keragaan Ketersediaan dan Konsumsi Energi dan Protein

Kebijakan subsidi pertanian yang dilakukan pemerintah dari dulu hingga kini lebih banyak ditujukan untuk tanaman pangan, terutama beras sebagai bahan pangan utama penduduk. Keragaan ketersediaan dan konsumsi energi dan kalori dalam perkembangannya merupakan indikasi untuk melihat dampak kebijakan subsidi pertanian yang memiliki tujuan meningkatkan produksi pangan.

Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) dapat diketahui perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi per kapita bahan pangan selama tahun 1975 sampai dengan tahun 2010 memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dan berfluktuatif. Tingkat ketersediaan energi pada tahun 1975 sebesar 82.561,00 ribu kkal dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 255.619,73 ribu kkal. Capaian tertinggi ketersediaan energi per kapita terjadi pada tahun 2010 selama tahun 1975 sampai dengan 2010. Rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,67 % per tahun pada periode 1975 – 2010. Perkembangan ketersediaan Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) dapat diketahui perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi per kapita bahan pangan selama tahun 1975 sampai dengan tahun 2010 memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dan berfluktuatif. Tingkat ketersediaan energi pada tahun 1975 sebesar 82.561,00 ribu kkal dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 255.619,73 ribu kkal. Capaian tertinggi ketersediaan energi per kapita terjadi pada tahun 2010 selama tahun 1975 sampai dengan 2010. Rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,67 % per tahun pada periode 1975 – 2010. Perkembangan ketersediaan

Sumber : BPS (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.4

Perkembangan Ketersediaan Energi Pangan Indonesia

Tahun 1975-2010

Ketersediaan protein bahan pangan juga mengalami peningkatan selama tahun 1975 sampai dengan 2010. Perkembangan ketersediaan protein per kapita selama tahun 1975 – 2010 dapat dilihat pada Grafik

4.5. Ketersediaan protein juga mengalami peningkatan selama tahun 1975 –2010 memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pula. Tingkat ketersediaan protein pada tahun 1975 sebesar 1.622.615,49 ton dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 6.186.222,98 ton. Capaian tertinggi ketersediaan protein terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 6.266.193,71 ton selama tahun 1975 sampai dengan 2010.

50000

100000

150000

200000

250000

300000

19

75

19

77

19

79

19

81

19

83

19

85

19

87

19

89

19

91

19

93

19

95

19

97

19

99

20

01 20

03 20

05 20

07 20

09

K e te

rsed

iaan

e rg

i(

ri

b u kk

al

Tahun

Sumber : BPS (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.5

Perkembangan Ketersediaan Protein Pangan Indonesia

Tahun 1975-2010

Ketersediaan yang cukup sayangnya belum dikuti oleh kualitas yang memadai, karena sebagian besar dipenuhi oleh sumber nabati, padahal untuk mencapai komposisi pangan yang baik kontribusi energi dan protein hewani terhadap total energi harus sekitar 15% (Hardinsyah dan Tambunan, 2004 dalam Ilham, 2006).

Sumber : BPS (berbagai terbitan-diolah)

Diagram 4.1

Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1997-2010

buah/biji berminyak

minyak &

lemak

lain-lain

Kontribusi sumber energi selama periode 1975-2010 masih belum mencapai anjuran, bahkan sumber kalori yang berasal dari hewani jauh dibawah anjuran. Kalori dan protein nabati tersebut jika dirinci lebih jauh, sebagian besar bersumber dari beras (Diagram 4.1 dan 4.2), ini membuktikan bahwa kebijakan harga pangan selama ini bias ke arah padi-padian, khususnya beras.

Sumber : BPS (berbagai terbitan-diolah)

Diagram 4.2

Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1997-2010

Segi komposisi secara umum memperlihatkan ketersediaan pangan masih dapat dikatakan belum seimbang, hal ini antara lain dicirikan oleh sangat tingginya kontribusi pangan sumber karbohidrat, tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sebagai sumber protein, serta rendahnya sumber protein, vitamin, dan mineral (kacang-kacangan, pangan hewani, sayuran dan buah-buahan) (Bappenas 2000).

FAO (2006), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. BPS mempublikasikan hasil Susenas yang

buah/biji berminyak 18%

lain-lain

5%

1975-2010. Perkembangan konsumsi energi dan protein Indonesia pada tahun 1975 sampai dengan 2010 dapat dilihat pada Grafik 4.6 dan Grafik

Sumber : BPS (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.6

Perkembangan Konsumsi Energi Pangan Indonesia

Tahun 1975-2010

Sumber : BPS (berbagai sumber, diolah)

Grafik 4.7

su

si

n e rg

i (k

kal

/kap

Tahun

o n su

si

Pr

te

in

kg/k

ap

ita)

Tahun

Perkembangan konsumsi energi dan protein per kapita di Indonesia pada periode 1975-2010 mengalami kecenderungan yang masih berfluktuatif. Tingkat konsumsi energi dan protein selama periode 1975- 2010pada tahun 1975 sebesar 518,43 kkal/kap dan 9.335,66 kg/kap, kemudian pada tahun 2010 menurun menjadi 493,12 kkal/kap dan meningkat 12.194,65 kg/kap.