Tinjauan Tentang Padusan

5. Tinjauan Tentang Padusan

Indonesia merupakan bangsa dengan keanekaragaman yang komplek. Keanekaragaman meliputi agama, sosial, budaya, tradisi dan masih banyak lagi. Salah satu lingkup keberanekaragaman adalah dalam menyambut datangnya bulan ramadhan. Tiap daerah mempunyai tradisi dan cara menyambutnya. Tradisi sebagai salah satu bentuk kebudayaan bangsa yang masih dilestarikan dan mempunyai pendukung yang kuat, merupakan salah satu peninggalan budaya yang bisa memberi corak khas kepada kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul dari buah budi rakyat Indonesia seluruhnya.

Pada masyarakat Jawa (Tengah), setiap kali menjelang bulan Ramadhan, ada suatu tradisi tahunan yang dilakukan selain Nyadran (berziarah ke makam), yaitu tradisi padusan (dari kata adus atau mandi). Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Cokro yang masih tetap menjalankan kebudayaan asli. Masyarakat Cokro, yang dalam hal ini juga termasuk dalam masyarakat atau suku jawa, memiliki tradisi yang telah sekian lama bertahan hingga sekarang. Tradisi tersebut adalah tradisi padusan yang dilaksanakan setiap setahun sekali menjelang bulan puasa. Berdasar atas berbagai sumber, konon tradisi tersebut sudah ada sejak

kotoran yang menempel di badan atau di jiwa kita, sehingga dalam berpuasa dalam keadaan bersih jasmani dan rohani. Padusan dilakukan pada sumber- sumber air atau orang jawa biasa menyebut dengan umbul, padusan bisa juga dilakukan di kamar mandi rumah masing-masing, di kali atau sungai, danau atau kolam renang modern dan biasanya dilakukan secara masal. Pemandian Cokro Tulung merupakan salah satu lokasi yang cukup diminati masyarakat untuk menjalankan ritual ini, karena dianggap berhubungan dengan petilasan pemandian putri keraton. Setiap menjelang Ramadhan, ribuan orang berdesakan mendatangi lokasi ini. Pengunjung yang sebagian besar merupakan remaja berdesak-desakan hanya untuk menyaksikan prosesi pengguyuran tujuh pasang pemuda-pemudi yang duduk di depan kolam kecil yang merupakan mata air. Bergantian, kepala mereka diguyur dengan satu gayung air kembang. Seusai itu, sebuah wadah dari tanah liat yang juga berisi air kembang dibanting di depan kolam kecil tersebut sebagai penutup ritual (http://antokoe.wordpress.com/2007/09/05/marhaban-ya- Ramadhan/).

Salah satu alasan umbul dijadikan lokasi padusan, karena air dari sumbernya masih bersih. Diharapkan dengan mensucikan diri dengan air dari umbul tersebut jiwa dan raga menjadi bersih sebersih air dari umbul tersebut. Namun filosofi dan makna Padusan kini banyak bergeser. Jangankan mensucikan diri, ajang Padusan sering menjadi ajang-ajang maksiat. Pemaknaan terhadap tradisi dari suatu masyarakat banyak mungkin sekali akan beragam. Makna yang muncul bisa bersifat positif dan negatif, dan semua itu tergantung bagaimana persepsi dan sikap masyarakat terhadap adanya tradisi padusan tersebut, mengenai itu semua tentu ada sesuatu hal yang menjadi faktor yang mempengaruhinya. Seperti misalnya dalam masyarakat Cokro yang begitu heterogen memiliki latar belakang pemikiran dan cara pandang yang berbeda-beda pula. Kemudian dari bagaimana masing-masing individu menyikapinya dari situlah kamudian dapat ditarik persepsi yang pada akhirnya untuk menarik sebuah jawaban. Proses modernisasi telah mendorong penyerapan pengaruh, terutama budaya barat oleh

perkembangan, seiring dengan kemajuan zaman. Acara mandi massal ini telah berubah menjadi aktivitas plesiran yang diminati banyak warga masyarakat, apalagi makna padusan di kalangan generasi muda sudah banyak bergeser dari pemaknaan penyucian diri, tetapi padusan merupakan sarana rekreasi berenang bersama teman-teman pada saat hari libur menjelang puasa. Dinas pariwisata Kabupaten Klaten juga menyuguhkan beberapa hiburan guna menunjang pelaksanaan tradisi padusan dan juga untuk menarik para pengunjung. Kegiatan hiburan terlihat dengan berbagai macam pertunjukan seperti penampilan artis dangdut, musik regae, atraksi reog, dan berbagai karnaval kebudayaan. Kondisi ini ternyata juga dapat memberikan penghasilan tambahan bagi para tukang parkir di sekitar pemandian

Di kawasan ini, ada sekitar 7 buah umbul. Salah satu umbul yang terkenal adalah Umbul Ingas Cokro yang sering juga disebut dengan Cokro Tulung. Air-air dari umbul-umbul yang terletak di kawasan ini sering digunakan untuk bahan minuman air mineral atau suplai air PDAM.

Ritual padusan dan laku puasa sebenarnya sudah ada sejak ajaran Islam belum masuk ke Jawa. Semasa Kerajaan Majapahit, para ksatria, pujangga, brahmana, dan empu terbiasa melakoninya sebagai bentuk penyucian diri. Dimana secara fisik, tradisi padusan memang tidak Islami. Tradisi padusan merupakan tradisi adopsi dari kebudayaan tinggalan agama Hindu, Budha, dan Animisme. Namun, berkat para Wali Songo yang berhasil mengawinkan tradisi adat jawa dengan nafas Islam, tradisi padusan yang dilestarikan masyarakat Jawa itu tetap berlangsung. Tradisi bermakna simbolis hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, maupun dengan Tuhan Sang Maha Pencipta dan adat Jawa yang masih berlangsung di masyarakat pedesaan. Sedangkan modal utama menyambut bulan Ramadhan adalah iman, keikhlasan serta kesungguhan dalam menjaga kesucian bulan Ramadhan dan yang pasti memperbanyak ibadah sunah seperti tarawih, tadarus, bersedekah dan zakat. (http://antokoe.wordpress.com/ 2007/09/05/marhaban-ya-ramadhan/).

Kerangka berpikir merupakan jalur alur penalaran yang sesuai dengan tema dan masalah penelitian, serta didasarkan pada kajian teoritis. Kerangka berpikir ini digambarkan dengan skema secara holistik dan sistematik. Tradisi padusan dilaksanakan setiap setahun sekali menjelang datangnya bulan puasa yang diadakan di tempat-tempat pemandian. Hal ini mengundang banyak masyarakat untuk mendatangi tempat-tempat pemandian untuk melaksanakan padusan sekaligus mencari hiburan. Salah satu tempat yang cukup diminati masyarakat untuk melaksanakan tradisi padusan yaitu pemandian Cokro Tulung yang berada di wilayah kabupaten Klaten.

Pemaknaan terhadap tradisi oleh masyarakat mungkin sekali beragam. Makna yang muncul bisa bersifat positif maupun negatif, dan semua tergantung persepsi dan sikap masyarakat terhadap adanya tradisi padusan. Masyarakat dalam memberikan pemaknaan terhadap suatu tradisi tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya saja masyarakat Cokro yang heterogen memiliki latar belakang pemikiran dan cara pandang yang berbeda-beda. Kemudian dari bagaimana masing-masing individu menyikapinya dari situlah dapat ditarik persepsi yang akhirnya ditemukan suatu jawaban.

Tradisi Padusan memang mengalami perkembangan seiring kemajuan zaman, acara mandi massal ini telah berubah menjadi aktivitas plesiran yang diminati banyak warga masyarakat. Berbagai alasan pengunjung datang pada waktu padusan, ada yang ingin mencari hiburan atau sekedar refresing, ada juga ingin memfaatkan mata air atau mandi. Untuk menunjang acara padusan, Dinas Pariwisata kabupaten Klaten menyuguhkan beberapa hiburan untuk menarik para pengunjung. Selain itu dengan adanya padusan yang dilaksanakan satu tahun sekali menjelang bulan suci Ramadhan apakah berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat sekitar Cokro atau tidak berpengaruh sama sekali.

berpikir yang akan mempermudah dalam memahaminya.

Bagan 1. Skema kerangka berpikir

Masyarakat Desa Cokro

Pandangan / Persepsi

masyarakat sekitar