Peristiwa 1965
1. Peristiwa 1965
Pertarungan narasi 1965:
Hadirnya Narasi Para Korban dan Historiografi Baru Mengenai 1965
Sejak rejim Orde Baru berakhir, muncul kecenderungan baru dalam penulisan sejarah masa lalu. Rejim Sejarah (meminjam istilah Ruti G.Teitel) yang telah bertahan selama 32 Sejak rejim Orde Baru berakhir, muncul kecenderungan baru dalam penulisan sejarah masa lalu. Rejim Sejarah (meminjam istilah Ruti G.Teitel) yang telah bertahan selama 32
Hadirnya narasi sejarah yang baru menggugat kebenaran sejarah yang selama ini dikuasai oleh para pemenang politik. Rejim politik Orde Baru yang menang dalam kemelut politik 1965 menciptakan rejim sejarahnya demi keberlangsungan kekuasaannya. Monumen Pancasila Sakti, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), adalah representasi rejim sejarah Orde Baru.
Para korban Orde Baru menghadirkan kembali masa lalu tetapi dari sudut pandang orang yang kalah, orang yang trauma dan orang yang telah lama bisu. Mereka tidak hanya bercerita tentang peristiwa-peristiwa besar, atau tentang kepahlawanan mereka. Mereka juga bercerita tentang peristiwa-peristiwa kecil, peristiwa yang dekat dalam kehidupan mereka, tentang derita dan kesenyapan hidup mereka.
Pada saat yang bersamaan, para sejarawan membuat historiografi baru mengenai peristiwa 1965. Menurut Gerry van Klinken, ada empat arus historiografi di era pasca- Orde Baru: (1) arus nasionalis ortodoks; (2) historiograsi sosial pada level nasional; (3)
historiografi ethno-nasionalis; dan (4) sejarah lokal. 91 Sejarawan Asvi Warman Adam menggunakan istilah pelurusan sejarah. Menurut Asvi, sejarah merupakan dialektika
antara masa lampau dengan masa sekarang. Dialog itu tidak berkesudahan antara sejarawan dan sumber yang dimilikinya. Bila ditemukan data baru, sejarah itu bisa
mengalami revisi. 92
Adanya historiografi baru membawa dampak yang luar biasa dalam penulisan sejarah di era pasca-Orde Baru. Apa yang terjadi di era 1965 khususnya soal gerakan pada tanggal
30 September, dan tindakan dari ABRI pimpinan Soeharto adalah peristiwa yang menjadi objek penelitian dan penulisan historiagrafi yang baru. Salah satu buku tentang peristiwa
91 Gerry van Klinken, “The Battle for History After Soeharto,” dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore University Press, 2005, hlm. 237.
1965 adalah buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal karangan John Roosa. 93 John menemukan sebuah bukti baru yang sangat penting berkenaan dengan G-30-S, yaitu
dokumen yang ditulis oleh Brigadir Jendral Suparjo (salah satu wakil komandan G-30-S). Penemuan dokumen itu telah mempengaruhi John dalam memikirkan kembali tentang kerumitan dan kemisteriusan dari gerakan 1965 dan kaitannya dengan pembunuhan massal yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
Para Penentang
Pada tahun 1999, Departemen Pendidikan membuat suatu proyek penulisan sejarah yang dipimpin oleh sejarawan Anhar Gonggong (seorang pengikut Nugroho Notosusanto). 94
Tujuan dari proyek ini adalah memberi arahan kepada para guru sejarah (tingkat dasar dan menengah) untuk mengatasi perbedaan versi tentang sejarah. Tugas dari proyek ini adalah mengakhiri ketidakpastian dan konsekuensi negatif yang akan mengancam kebersamaan.
Bulan Agustus 2007, Depdiknas dan Kejaksaan Agung mengadakan sweeping dan penarikan dari toko-toko buku atas sejumlah buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI dalam G-30-S/PKI. Di beberapa tempat, polisi bersama para guru membakar ratusan buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak sesuai dengan versi sejarah resmi. Alasan yang dikemukan adalah adanya berbagai versi sejarah terutama mengenai peristiwa G-30-S/PKI 1965 telah membingungkan para siswa dan orang tuanya.
Pada waktu yang hampir bersamaan juga terjadi sweeping terhadap buku-buku umum yang dianggap mengandung ajaran Marxisme-Leninisme. Toko Buku Ultimus di Bandung diserang sebuah kelompok pemuda. Acara seminar tentang Marxisme internasional di Bandung dibubarkan, dan seorang pembicara dari luar negeri dideportasi.
92 Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Tride, 2004. 93 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta:
Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. 94 Van Klinken (2005), hlm. 242.
Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kelompok-kelompok Islam membubarkan pertemuan para korban 1965.
Sweeping, pembakaran dan pelarangan terhadap peredaran buku-buku pelajaran sejarah, buku-buku kiri, serangan terhadap aktivitas ilmiah dan kebudayaan yang dituduh kiri adalah bentuk dari perang ingatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang anti terhadap komunisme. Bagi kelompok-kelompok itu, keragaman penulisan sejarah tidak hanya menimbulkan ketidakpastian terhadap sejarah yang telah diyakini selama tiga dasawarsa. Keberagaman sejarah dianggap berpotensi mengancam dan menghancurkan fondasi kebenaran dan legitimasi kekuasaan yang selama ini dipegang oleh kelompok tersebut.
Pertarungan di wilayah kebudayaan:
Prahara Budaya
Pada tahun 1995, terbit sebuah buku berjudul Prahara Budaya. Buku ini ditulis oleh dua
95 budayawan Manikebu, 96 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail. Pokok dari buku ini adalah memberi gambaran tentang situasi yang terjadi di masa lalu, khususnya serangan dari
pihak Lekra terhadap budayawan Manikebu.
Politik ingatan dari kedua penulis ini sangat jelas, yaitu menghadirkan masa silam versi mereka guna menghadapi makin populernya karya-karya Pramudya Ananta Toer di mata generasi muda. Pada level politik nasional, rejim Orde Baru juga menghadirkan hantu komunisme gaya baru. Tak henti-hentinya, pemerintah mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap gerakan komunisme gaya baru.
95 Istilah Manikebu memang agak problematik. Istilah ini dipakai oleh kelompok-kelompok yang anti dengan kubu penanda tangan Manifesto Kebudayaan untuk menghina. Manikebu sering diasosiakan
sebagai maninya kerbau. Namun demikian istilah ini terpaksa dipakai untuk menggambarkan perbedaan antara kedua kubu budayawan pada dasawarsa 1960-an.
96 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK, Bandung: Mizan, 1995.
Dalam sebuah diskusi di FISIP UI sekitar tahun 1995, Taufik Ismail mendapat reaksi negatif dari para mahasiswa. Para mahasiswa mempersoalkan nafsu membalas dendam Taufik terhadap budayawan Lekra yang telah menjadi korban rejim Orde Baru. Beberapa hari kemudian, seorang pengajar FISIP UI menulis di sebuah harian nasional mengenai adanya gerakan kiri baru di kampus UI.
Polemik Hadiah Magsasay untuk Pramudya Ananta Toer
Pemerintah Filipina menganugerahkan hadiah Magsasay kepada Pramudya Ananta Toer. Hadiah Magsasay adalah penghargaan yang prestisius bidang kebudayaan di tingkat Asia Tenggara. Penghargaan diberikan kepada Pram atas dedikasi dan sumbangannya di bidang kebudayaan dan kemanusiaan. Pemberian hadiah Magsasay kepada Pram mendapat reaksi yang beragam di dunia kebudayaan Indonesia. Sejumlah budayawan termasuk budayawan Manikebu yang dulunya menjadi lawan polemik Lekra mengecam pemberian hadiah Magsasay kepada Pram.
Para budayawan seperti Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Rendra, Ikranegara, dll., secara gencar mengingatkan masyarakat tentang apa yang dilakukan Pram di masa silam. Bagi mereka, Pram bertanggung jawab penuh atas nasib budayawan Manikebu yang tertindas pada jaman Orde Lama. Mereka menuntut pemerintah Filipina mencabut kembali hadiah Magsasay buat Pram. Mochtar Lubis yang pernah memperoleh hadiah Magsasay malah mengembalikan hadiah Magsasay ke pemerintah Filipina.
Sebaliknya, sekitar ratusan budayawan muda mendukung Pram. Termasuk di dalamnya adalah budayawan Goenawan Muhammad yang dulunya berseberangan dengan Pram. Para budayawan yang dimotori oleh Jaringan Kerja Budaya menganggap Pram sangat pantas memperoleh hadiah Magsasay atas karyanya yang monumental, Tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Goenawan Muhammad dan Lekra
Goenawan Muhammad (GM) adalah seorang budayawan yang unik. GM adalah seorang penandatangan Manifesto Kebudayaan pada dasawarsa 1960-an. Pada jaman itu, GM berhadap-hadapan dengan kubu Lekra. Setelah rejim Orde Baru berkuasa, budayawan Lekra tersingkir dari panggung kebudayaan Indonesia. Ketika budayawan Lekra tampil kembali ke panggung, tidak seperti rekan-rekannya di kubu Manikebu, GM justru menyambut dengan baik. Dalam polemik mengenai pemberian hadiah Magsasay terhadap Pramudya Ananta Toer, GM berbeda dengan rekan-rekan Manikebunya. GM memilih bergabung dengan budayawan lainnya yang mendukung Pramudya Ananta Toer.
Bentuk penghargaan GM terhadap karya budayawan Lekra juga ditunjukkan melalui sejumlah tindakan. Ketika Sanggar Bumi Tarung mengadakan pameran seni rupa ke-2 di Galeri Nasional Indonesia pada tanggal 19-29 Juni 2008, GM menyambut gembira melalui tulisannya di Kompas.