POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI D

INDONESIA Sebuah Tinjauan Kritis

Robertus Robet

Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis

© 2008 ELSAM

Editor Bahasa: Erasmus Cahyadi Editor Isi: Eddie Sius Riyadi

Cetakan Pertama: Agustus 2008

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Penerbitan ini dimungkinkan atas kerja sama antara ELSAM dan ICTJ Jakarta

Penerbit:

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail: office@elsam.or.id ; Web-site: www.elsam.or.id

Kata Sambutan Agung Putri

Saudari-saudara, warga republik yang kami hormati.

Dalam rangka mendirgahayukan momen peringatan hari berdirinya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang ke-15, di antara pelbagai kegiatan seremonial yang konvensional maupun progresif, ELSAM menerbitkan dua buku. Buku yang pertama, yang ditulis oleh Robertus Robet, mengangkat sebuah subjek khusus dan besar yang fenomenal dalam lebih dari dua dekade di pelbagai belahan dunia dan satu dekade di Indonesia, yaitu “keadilan transisional” (transitional justice). Sebenarnya, ELSAM telah banyak mempublikasikan subjek ini sebelumnya dalam seri buku bertajuk “seri transitional justice” yang kurang lebih terdiri dari 8 judul, jurnal DIGNITAS (dua edisi), buletin ASASI, dan pelbagai briefing paper dan position paper. Yang membedakan buku yang ditulis Robertus Robet dibanding beberapa terbitan kami sebelumnya adalah bukan sekadar soal perspektif yang digunakan, tetapi terutama soal penempatan posisi ELSAM di dalamnya.

Dari segi perspektif, Robet melihat persoalan transisi politik bukan sebagai suatu keniscayaan demokratisasi melainkan sebuah kontingensi. Kontingensi ini tampak bukan sekadar dalam pertarungan Realpolitik melainkan juga dalam kontestasi gagasan normatif. Karena itu, politik hak asasi manusia juga bersifat kontingen. Dalam kontingensi seperti itulah ELSAM mau tidak mau dengan segala daya dan kemampuannya berupaya memainkan perannya. Peran itu terasa sulit dilakoni di samping karena realitas Realpolitik baik di tingkat birokrasi dan mesin politiknya maupun di tingkat civil society yang tidak terkonsolidasi dengan baik, juga karena pertarungan gagasan itu – tidak seperti di Afrika Selatan dan Amerika Latin – kurang didukung oleh kalangan akademisi yang mumpuni.

Buku kedua, yang ditulis oleh Abdul Manan, sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah biografi ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ELSAM tetapi lebih menyorot pada beberapa gagasan-gagasan, program-program dan agenda besar yang diusung ELSAM, yang secara signifikan berkontribusi pada perkembangan demokrasi, penegakan keadilan, dan pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan yang dijumpai Elsam dalam pergulatannya mempromosikan HAM, buku ini mengangkat beberapa pengalaman faktual tentang keberhasilan ELSAM dalam advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, advokasi kebijakan, dan penyelenggaraan pendidikan publik berupa pelatihan dan kursus hak asasi manusia bagi para human rights defenders. Tidak kurang dari itu, buku kedua ini juga menyoroti soal peran ELSAM dalam menginisiasi, mendukung, meneruskan, dan merawat beberapa gagasan besar dan penting seperti gerakan studi hukum kritis dan kaitannya dengan gagasan “negara hukum demokratis” (rule of law), hak atas penentuan nasib sendiri (right to self-determination) dan hak-hak masyarakat adat, keadilan transisional (termasuk di dalamnya adalah soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

Apa maksud dari penerbitan kedua buku tersebut? Lebih dahulu lagi, apa maksud kita merayakan hari jadi ELSAM? Bukanlah karena kelatahan kita melakukan ini, melainkan karena kita mau sejenak memetik momen kontemplatif dan reflektif di tengah banalitas aksi keseharian kita. Peringatan hari lahir adalah momen kultural untuk merenungi kebermaknaan diri dan merebut kembali otentisitas yang sempat menguap bersama keringat aksi kita. Sejarah perdaban berkisah – bahkan sampai pada zaman audiovisual sekarang ini – bahwa tidak ada hal lain yang lebih membawa kita ke kontemplasi tentang makna kehadiran kita di dunia ini ketimbang berenang dalam arus kata-kata. Biarkan kata itu menghampiri kita, dan sejenak berhentilah kita berkata-kata. Biarkan kita diam, jangan ada kata terucap. Biarkan kata-kata itu yang berkata.

Demikianlah. ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu dalam keheningan, lalu kemudian mendengarkan untaian kata dari kedua buku tersebut. Seorang pembaca yang sejati adalah seorang yang mampu berhening dan membiarkan arus kata- Demikianlah. ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu dalam keheningan, lalu kemudian mendengarkan untaian kata dari kedua buku tersebut. Seorang pembaca yang sejati adalah seorang yang mampu berhening dan membiarkan arus kata-

Saudari-saudara sesama warga republik mungkin sudah memiliki prapengetahuan tentang ELSAM, termasuk gagasan-gagasannya, program dan agendanya, kekurangan dan kelebihannya. Tetapi, bersikap sebagai “sang pemula” akan membawa Anda pada sebuah realitas lain yang mungkin tidak akan pernah Anda dapatkan kalau Anda sudah selalu memiliki prapengetahuan dan praduga. Sikap sang pemula adalah sikap yang kita butuhkan sekarang ini untuk membangun sebuah konsolidasi masyarakat sipil untuk kembali menegakkan dan merebut kembalinya politik. Sikap sang pemula adalah sikap sang demokrat sejati, sang republikan berkeutamaan, seorang negarawan yang handal dan setiawan.

Akhir kalam, semoga kehadiran kedua buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan hari lahir ELSAM yang ke-15 ini menggugah kita untuk sejak saat ini saling “hadir” sebagai “sang pemula” yang otentik, penuh ketertarikan, penuh pesona, dan penuh ketakterdugaan. Republik ini sudah muak dengan banalitas. Republik ini merindu agen- agen progresif, penuh pesona, dan kreatif. Semoga.

Jakarta, 14 Agustus 2008

Dra. Agung Putri, M.A.

(Direktur Eksekutif ELSAM)

Kata Sambutan Asmara Nababan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, biasa disingkat ELSAM, kami dirikan 15 tahun yang lalu dalam semangat untuk turut memperjuangkan dan mencapai visi terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. Visi tersebut masih sangat relevan hingga sekarang, karena meskipun rejim otoriter telah diganti dengan rejim demokrasi namun berbagai ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlangsung, bahkan pelanggaran berat hak asasi manusia masa lampau tidak atau belum dapat diselesaikan.

Untuk memperjuangkan dan mencapai visi tersebut, kami telah merumuskan misi sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil, politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. Misi ini dilakukan melalui serangkaian program dan tindakan yang saling berkaitan dan berkesinambungan, muali dari riset, pelatihan, pengembangan jaringan, hingga advokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami masyarakat dan, tentu saja, kebijakan publik yang berdampak terhadap hak asasi manusia, dalam 15 tahun terakhir ini.

Dalam rangka perayaan ulang tahun ELSAM yang ke-15, sekaligus bersamaan dengan peringatan 10 tahun reformasi, juga 100 tahun kebangkitan nasional dan 63 tahun kemerdekaan Indonesia, serta 60 tahun Deklarasi Universal HAM, kami menerbitkan buku yang merekam ideal yang kami perjuangkan serta bagaimana pengalaman ELSAM dalam memperjuangkannya. Tentu maksud dari buku ini tidak untuk gagah-gagahan, namun jauh melampaui itu semua, yang utama kami maksudkan tetap sebagai salah satu usaha berkontribusi bagi gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Melalui buku ini, kami bermaksud berbagi wawasan dan pengalaman ELSAM dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Ini bukan buku yang bercerita tentang kisah sukses, tetapi Dalam rangka perayaan ulang tahun ELSAM yang ke-15, sekaligus bersamaan dengan peringatan 10 tahun reformasi, juga 100 tahun kebangkitan nasional dan 63 tahun kemerdekaan Indonesia, serta 60 tahun Deklarasi Universal HAM, kami menerbitkan buku yang merekam ideal yang kami perjuangkan serta bagaimana pengalaman ELSAM dalam memperjuangkannya. Tentu maksud dari buku ini tidak untuk gagah-gagahan, namun jauh melampaui itu semua, yang utama kami maksudkan tetap sebagai salah satu usaha berkontribusi bagi gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Melalui buku ini, kami bermaksud berbagi wawasan dan pengalaman ELSAM dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Ini bukan buku yang bercerita tentang kisah sukses, tetapi

Dengan rasa gembira kami menyambut penulisan dan penerbitan buku ini, yang telah merespon dan menjawab maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman tersebut. Apa yang ingin kami bagikan ini ditulis dan diterbitkan dalam dua buku yang berbeda namun saling berhubungan. Kedua buku ini ditulis oleh penulis yang berkomitmen dan dari luar ELSAM, untuk mendukung objektivitas, namun dengan tetap memanfaatkan dokumen-dokumen resmi ELSAM serta mewawancarai sejumlah pihak, khususnya dari lingkungan para pendiri, pengurus, dan aktivis ELSAM, selain memanfaatkan informasi dari media massa serta pemerhati ELSAM.

Buku pertama, berjudul “Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia” ditulis oleh Sdr. Robertus Robet, aktivis muda yang energik sekaligus sekretaris jendral Perhimpunan Pendidik Demokrasi (P2D). Buku ini merekam ideal yang diperjuangkan ELSAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya yang terjadi di masa lalu, secara berkeadilan dalam konteks masa transisi politik pasca-Soeharto. Buku kedua, berjudul “Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM” ditulis oleh Sdr. Abdul Manan, wartawan muda penuh komitmen sekaligus sekretaris jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Buku ini merekam pengalaman ELSAM sebagai sebuah ornop yang memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia dengan berbagai problem dan tantangan yang dihadapi, dari masa pendiriannya hingga kini, sejak dominannya wacana pembangunan di bawah rejim otoriter hingga reformasi dan transisi demokrasi.

Kami berterima kasih kepada Sdr. Robertus Robet dan Sdr. Abdul Manan yang telah menjawab dan merealisasikan maksud kami dengan meluangkan waktu – dalam berbagai kesibukannya – serta perhatian dan komitmennya bagi penulisan kedua buku yang sangat berharga ini. Juga haturan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dan memungkinkan kedua buku ini disusun dan terbit.

Akhir kata, kami berharap kedua buku ini dapat berguna bagi para pembaca dan mencapai maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman dalam upaya kita bersama untuk memperjuangkan hak asasi manusia demi mencapai Indonesia yang lebih beradab, demokratis, dan berkeadilan.

Selamat membaca.

Jakarta, 17 Agustus 2008

Asmara Nababan

(Ketua Badan Pengurus Perkumpulan ELSAM)

Daftar Isi:

Kata Sambutan Daftar Isi Pendahuluan: Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Bab 1: Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan Pengantar

Asal Usul dan Mistifikasi Diskursus Normatif Fragmentasi dan Pergeseran Keagenan Politik Penutup: Apa yang Tersisa?

Bab 2: Kritik Atas Logika Transisi di Indonesia

Pengantar Pembakuan Transisi yang Mematikan Politik Demokrasi sebagai Perjumpaan yang Partikular dan Universal Kondisi-Kondisi Diskursif Hak Asasi Manusia di Indonesia Batas-Batas Ekuivalen Politik Kesimpulan

Bab 3: Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transisi

Pengantar Akar Kekejaman: Munculnya Negara Otoritarian Konfigurasi Politik Wacana KKR Menolak KKR: Mengharapkan Ada Eichmann di Jakarta? Penutup

Bab 4: Pertarungan Merebut Kebenaran Masa Lalu

Pendahuluan Sejarah Kekerasan Orde Baru Pertarungan Memperebutkan Masa Silam di Era Pasca-Orde Baru Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Penutup: Tentang Kebenaran Politik

Pendahuluan:

Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Ada paradoks dalam perkembangan hak asasi manusia belakangan ini. Paradoks itu tampak dari dua kecenderungan yang sepertinya saling menihilkan. Di satu sisi, orang mengakui kemajuan-kemajuan dalam legalisasi norma-norma serta instrumen hak asasi dengan berbagai ratifikasi konvenan hak-hak sipil dan politik serta kovenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Juga diakui makin berkembangnya diskursus mengenai hak asasi itu sendiri yang diikuti dengan intensitas yang makin tinggi untuk membasiskan segala urusan di bawah payung hak. Selain itu, pada saat yang sama seiring dengan menguatnya isu hak, praktik politik juga secara perlahan mulai lebih berorientasi pada demokrasi dan cara-cara damai, sebagaimana terlihat dalam isu “reformasi” berbagai alat represi Negara serta efisiensi birokrasi. Namun demikian, di sisi yang lain, pada saat yang sama makin banyak juga orang yang resah dengan meluasnya berbagai bentuk konflik dalam masyarakat, intoleransi, dominasi dan pernyataan kebencian di ruang publik serta ketidakpuasaan sejumlah korban atas penyelesaian kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Ketidakpuasaan ini juga bisa ditambah dengan kenyataan bahwa di saat kita menikmati kebebasan sipil dan demokrasi, pada saat yang sama kerja-kerja lembaga HAM semacam Komnas-HAM, misalnya, dianggap lebih buruk ketimbang kerja lembaga yang sama di masa politik otoritarian. Demokrasi tidak hanya menginstalasikan berbagai kemajuan, pada saat yang sama – di atas kemajuan itu – ia juga mentransparansikan berbagai persoalan dalam perjuangan dan pelembagaan hak asasi. Demokrasi telah merelatifkan segala jenis perjuangan yang semula dianggap prinsipil beserta peralatan institusionalnya.

Dulu, di masa otoritarianisme, hak asasi – dalam hal ini terutama hak kebebasan politik – merupakan isu paling subtansial. Dengan itu, di bawah legitimasi melawan otoritarianisme, kita mempunyai kebiasaan untuk mempersatukan hak asasi dan demokrasi menjadi satu kesatuan. Itu terjadi karena memang secara konkret keduanya absen dalam kepolitikan otoritarianisme, sehingga mempersatukan keduanya dalam satu nafas tuntutan perjuangan sebagai imajinasi politik menjadi relevan untuk menggantikan otoritarianisme.

Setelah rejim otoritarian runtuh, demokrasi menjadi arena di mana segala norma, nilai dan ideologi diinstalasikan di atasnya. Akibatnya, di jaman demokrasi ini, hak asasi secara normatif telah dipisahkan dengan demokrasi dan direlatifkan setidaknya dengan isu hak-hak yang lain kalau bukan oleh ideologi-ideologi politik yang relatif “baru”. Pemisahan ini kemudian juga diikuti dengan pemisahan aktor-aktor pengusungnya; dulu lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga advokasi serta gerakan mahasiswa dianggap sebagai satu-satunya tiang penyangga civil society, tetapi sekarang orang berbicara mengenai partai dan komisi-komisi sebagai tiang utama perjuangan kepentingan. Ini diikuti dengan makin banyaknya orang-orang yang dulunya aktivis hak asasi manusia beralih profesi dan “naik kelas” menjadi aktivis partai dan anggota di komisi-komisi.

Keadaan ini memperlihatkan satu kecenderungan asimetris yakni bahwa, di satu sisi, sebagai imajinasi emansipasi yang berjasa mendobrak politik otoritarian, hak asasi terus dianggap sebagai nilai perjuangan substantif, sementara pada arah yang lain, seiring dengan penjamakan kekuasaan dalam demokrasi, berbagai bentuk pengelolaan dan peralatan pengorganisasiannya justru semakin terfragmentasi. Dengan kata lain, dewasa ini terjadi diskrepansi yang mendalam antara imajinasi esensial hak asasi dengan cara memperjuangkannya. Diskrepansi inilah yang menghasilkan suatu keadaan yang membingungkan dalam hak asasi kita dewasa ini: semakin banyak ayat-ayat HAM diakomodasi, semakin kuat pula ketidakpuasaan orang terhadap kondisi perlindungan dan jaminan hak asasi di Indonesia.

Dalam situasi paradoksal ini, banyak pejuang hak asasi bersikap gamang sehingga sering kali mereka mengambil sikap yang sama dengan berbagai kelompok yang sejak dulu memang telah bersikap sinis terhadap demokrasi. Kekecewaan para korban dan penggiat advokasi terhadap keadaan seperti itu membawa mereka kepada semacam tuduhan fatalistik bahwa demokrasi dan kebebasan bukan lain hanya sejenis “alat” saja dari kepentingan borjuasi asing. Ditambah dengan keadaan di mana Negara relatif lemah, sementara lembaga judikatif dan legislatif dipenuhi oleh korupsi, sinisme terhadap demokrasi dengan gampang diarahkan menjadi kebencian terhadap demokrasi. Di sini para aktivis HAM dengan gampang berpotensi menjadi satu deret dengan para pendukung Soeharto dan kaum fundamentalis. Orang terperangkap dalam suatu keadaan "memaki-maki demokrasi” sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari demokrasi. Dengan kata lain, dalam praktik dan pengalaman saat ini di Indonesia kita menemukan adanya kebingungan yang mengarah kepada destruksi akibat pemisahan antara hak asasi dengan demokrasi.

Di titik ini – untuk menghindari kekecewaan dan destruksi yang lebih parah – kita perlu membangun kesadaran yang baru, tidak hanya mengenai makna yang terpisah-pisah dan khusus antara demokrasi dan hak asasi, tetapi juga tentang praktik dan konsepsi yang menjembatani keduanya yakni: politik. Persoalan ini dapat dirumuskan dalam satu formulasi sebagai: bagaimana politik hak asasi dijalankan dalam tatanan demokrasi?

Hak asasi manusia, sebagaimana kita mengerti dari perjuangannya sepanjang sejarah – baik perjuangan dalam arti praktik advokasi “non-legal” sehari-hari dalam wujud perlawanan para korban maupun dalam arti legaliasasi dan diplomasinya – pada dasarnya bukan lain adalah imajinasi universalitas yang tanpa batas mengenai keadilan dan martabat manusia. Ia bisa dirumuskan dalam hukum, pasal dan ayat-ayat, namun ia tidak akan pernah selesai dan terpuaskan dalam “fullness” melalui ayat-ayat, konvensi dan diplomasi itu. Ia akan terus berkembang seiring dengan tuntutan dan perilaku dari jaman ke jaman. Sementara demokrasi bukan lain adalah fasilitas yang memberikan kemungkinan bagi segala nilai dan imajinasi untuk mengungkapkan dirinya: baik imajinasi universal semacam hak asasi maupun imajinasi lain yang bertentangan dengan Hak asasi manusia, sebagaimana kita mengerti dari perjuangannya sepanjang sejarah – baik perjuangan dalam arti praktik advokasi “non-legal” sehari-hari dalam wujud perlawanan para korban maupun dalam arti legaliasasi dan diplomasinya – pada dasarnya bukan lain adalah imajinasi universalitas yang tanpa batas mengenai keadilan dan martabat manusia. Ia bisa dirumuskan dalam hukum, pasal dan ayat-ayat, namun ia tidak akan pernah selesai dan terpuaskan dalam “fullness” melalui ayat-ayat, konvensi dan diplomasi itu. Ia akan terus berkembang seiring dengan tuntutan dan perilaku dari jaman ke jaman. Sementara demokrasi bukan lain adalah fasilitas yang memberikan kemungkinan bagi segala nilai dan imajinasi untuk mengungkapkan dirinya: baik imajinasi universal semacam hak asasi maupun imajinasi lain yang bertentangan dengan

Di titik ini, untuk “mengamankan” hak asasi, kita membutuhkan pandangan dan konsepsi yang lebih fundamental tentang hak asasi dan politik. Selama ini dalam paraktik dan kebiasaan lama, kita selalu memandang hak asasi manusia hanya sebatas sebagai hukum semata-mata. Kita biasanya melupakan basis dan pengandaian utama hak asasi manusia yakni politik itu sendiri.

Pentingnya politik dalam hak asasi manusia dapat dilihat dalam logika fungsional hak asasi manusia itu sendiri. Hak asasi dapat berfungsi sebagai hak asasi hanya apabila ia memenuhi prasyarat yakni bahwa pertama secara normatif ia bersifat fundamental dan universal; kedua, ia berada dalam jaminan suatu institusi politik umum; ketiga, ia menjadi bagian dari sistem hukum institusi kenegaraan itu. Artinya, hak asasi selalu bertautan dengan idealisasi, negara dan proses kewargaan di dalamnya. Singkatnya, hak asasi manusia selain berdiri sebagai norma universal, ia juga mesti selalu dipikirkan dengan mengandaikan adanya kapabilitas Negara dan kepolitikan umum yang dinamis dan mendukungnya, serta politik dan hukum kewargaan yang progresif baik dalam rupa partisipasi warga maupun dalam rupa akomodasi dalam konstitusi. Tanpa ketiga unsur ini, jelas hak asasi akan mandeg. Hak asasi tanpa politik dan citizenship tidak akan pernah berfungsi menjadi hak asasi.

Hak-hak kaum minoritas misalnya, sebelum ia dikenal melalui normativitasnya saat ini, pada mulanya ia berakar dalam perjuangan emansipasi kelompok-kelompok kulit berwarna di berbagai belahan dunia dalam menghadapi praktik-praktik imperialisme, perbudakan serta rasisme dan kebijakan yang diskriminatif. Begitu juga hak-hak kaum buruh yang berakar dalam perjuangan persamaan dan kesejahteraan serta pergolakan revolusioner terutama di Eropa menjelang dan dalam masa Revolusi Industri. Hak-hak kesamaan di hadapan hukum yang kini secara universal diakui dalam konstitusi berbagai Hak-hak kaum minoritas misalnya, sebelum ia dikenal melalui normativitasnya saat ini, pada mulanya ia berakar dalam perjuangan emansipasi kelompok-kelompok kulit berwarna di berbagai belahan dunia dalam menghadapi praktik-praktik imperialisme, perbudakan serta rasisme dan kebijakan yang diskriminatif. Begitu juga hak-hak kaum buruh yang berakar dalam perjuangan persamaan dan kesejahteraan serta pergolakan revolusioner terutama di Eropa menjelang dan dalam masa Revolusi Industri. Hak-hak kesamaan di hadapan hukum yang kini secara universal diakui dalam konstitusi berbagai

Akar kejadian dari kemunculan hak-hak itu memang kini menjadi sejarah, namun demikian meski secara tekstual ia telah dirumuskan sebagai hak, persoalan-persoalan dalam pemenuhan dan perjuangan untuk mencapainya masih terus terjadi di berbagai belahan lain di muka bumi, bahkan di Negara-negara maju di mana hak-hak itu sendiri pernah secara gemilang dilahirkan. Di Amerika Serikat, misalnya, meski ia merupakan tempat di mana beragam hak-hak kebebasan dijunjung tinggi dan dirumuskan, tidak berarti sekarang rakyatnya tidak memerlukan lagi perjuangan hak asasi. Meluasnya peran dan kontrol Negara dalam kehidupan sipil belakangan ini menunjukkan bahwa Negara itu pun masih mempunyai masalah dan rakyatnya tetap perlu memperjuangkan pendirian- pendirian yang fundamental atas kebebasannya. Dengan kata lain, sekali lagi, kita mesti menyadari bahwa hak asasi bisa menjadi hak asasi manusia hanya dengan mengandaikan suatu perjuangan politik.

Begitupun dalam kasus “reformasi” dan demokrasi di Indonesia, hak asasi tidak akan berhenti atau “penuh” hanya karena rejim Soeharto sudah dijatuhkan, ia juga tidak akan menjadi lebih mudah setelah demokrasi mekar. Ini tentu saja berakar dari kenyataan bahwa hak asasi itu sendiri memang adalah imajinasi yang tiada habis-habisnya, yang sama tak terbatasnya dengan harapan dan cita-cita manusia mengenai good life dan good society. Selain itu adalah fakta bahwa di dalam demokrasi itu juga dimungkinkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan politik yang beraneka ragam, menghasilkan lawan-lawan dan tantangan baru bagi hak asasi sendiri. Di titik ini, menjadi penting untuk menghindari segala godaan untuk puas pada kehadiran bebagai bentuk pembakuan hak asasi ke dalam hukum dan terikat pada modus-modus institusionalisasinya yang lama.

Di sini menjadi beralasan bagi buku ini untuk memulai sebuah upaya membuka kesadaran “subjektif” dari para aktor yang selama ini bergiat dalam advokasi hak asasi Di sini menjadi beralasan bagi buku ini untuk memulai sebuah upaya membuka kesadaran “subjektif” dari para aktor yang selama ini bergiat dalam advokasi hak asasi

Upaya ini dilanjutkan dalam bab dua buku ini yang memberikan semacam refleksi teoretis melalui kritik terhadap paradigma transisi yang konvensional. Bab mengenai “kritik terhadap logika transisi” bermaksud untuk menunjukkan kekeliruan dalam paradigma perubahan di Indonesia yang terlalu mengandalkan model dan trajektori yang baku. Pembakuan dalam skenario-skenario perubahan yang “objektif” ini mengakibatkan keterbatasan imajinasi dalam perubahan sekaligus mematikan aspirasi perubahan yang luas dan tak terbatas ke dalam skema-skema hukum dan institusi formal belaka. Buku ini juga melihat adanya kemungkinan bahwa perubahan yang diskematisasi dalam penggalan-penggalan tahap yang sudah jadi itu secara “ideologis” berimplikasi bagi pemandulan gerakan sosial yang semula menjadi motor perubahan dan menjadikannya lebih sebagai perjuangan dalam koordinat prosedur dan institusional. Dari situ, melalui kritiknya, bagian ini bermaksud mengajukan suatu cara pandang yang membebaskan hak asasi dari keterbatasan perjuangan legal-objektifnya dan mengembalikan hak asasi sebagai perjuangan emansipasi.

Upaya untuk mengembalikan hak asasi sebagai proyek emansipasi yang bersifat politis dilanjutkan melalui paparan dalam dua bab berikutnya, yaitu bab tiga dan empat. Dalam Upaya untuk mengembalikan hak asasi sebagai proyek emansipasi yang bersifat politis dilanjutkan melalui paparan dalam dua bab berikutnya, yaitu bab tiga dan empat. Dalam

Kenyataan ini yang kemudian secara lebih konkret ditunjukkan dalam ironi perselisihan dalam tubuh para aktor sendiri dalam mendefinisikan makna kebenaran dalam politik ingatan, antara yang berpaku terus pada trajektori legal transisionis dalam model pengadilan di satu sisi dan model non-pengadilan (KKR) di sisi yang lain. Kegagalan dalam cara pandang transisionis terbukti secara telak terutama dalam kebangkrutan skenario legalis, di mana pengadilan-pengadilan hak asasi yang diadakan untuk mengadili beberapa kejahatan hak asasi di masa lalu ternyata memang hanya berhenti pada “mengadili” untuk kemudian malah membebaskan dan meloloskan sejumlah terdakwa. Kebangkrutan ini makin diperdalam dengan kepercayaan buta kepada mekanisme hukum sebagai satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan perkara yang sesungguhnya perkara politik dalam kasus dibatalkannya UU KKR dalam judicial review yang ironisnya diajukan oleh sejumlah korban dan LSM. Kegagalan ini tidak hanya membuktikan semacam “kenaifan” politik dan absennya pemahaman akan “yang politik” dalam persoalan hak asasi manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa pembakuan transisionis memang tidak dapat dipakai apabila hak asasi tetap mau diusung sebagai agenda politik emansipasi.

Namun demikian, buku ini juga tidak mau berhenti pada kritik yang mengesankan fatalisme. Buku ini mau menekankan pada supremasi yang politis dalam memperjuangkan hak asasi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dibukanya di masa depan. Oleh karena itu, pada bagian penutup, buku ini mengajak kita untuk melihat persoalan politik ingatan dan sejarah sebagai bagian dari politik kebenaran. Dengan itu ia Namun demikian, buku ini juga tidak mau berhenti pada kritik yang mengesankan fatalisme. Buku ini mau menekankan pada supremasi yang politis dalam memperjuangkan hak asasi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dibukanya di masa depan. Oleh karena itu, pada bagian penutup, buku ini mengajak kita untuk melihat persoalan politik ingatan dan sejarah sebagai bagian dari politik kebenaran. Dengan itu ia

Kini di jaman di mana advokasi hak asasi bisa lebih gampang mendekat ke para politisi dan para aktivis bisa “relatif mudah” masuk ke komisi-komisi maka semestinya politik hak asasi tetap berpeluang dan bisa dilakukan secara lebih matang. Yang terpenting di sini – sebagaimana dikemukakan dalam bab penutup – pada akhirnya memang adalah fidelity, keyakinan dan kesetiaan dalam harapan mengenai suatu misteri bahwa emansipasi masih mungkin ada lagi.

Bab 1

Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan

Pengantar

Satu dasawarsa lalu, banyak pihak mendeklarasikan jaman ini sebagai jaman hak asasi manusia. Deklarasi ini bermula datang dan seiring dengan optimisme orang akan matriks kepastian sejarah yang sama yang digaungkan oleh pemikir politik kontemporer mengenai kepastian akan demokrasi dengan “civil society” sebagai soko-gurunya. Dari sini, muncul kombinasi yang diagungkan: nilai-nilai universalitas hak asasi di satu sisi dengan keagenan politik civil society di sisi yang lain. Dalam politik Indonesia Orde Baru masa itu, kedua kekuatan ini bertumpu pada satu tubuh kepolitikan yang juga sempat dianggap primadona pada jamannya yakni Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Dari sini boleh dikatakan muncul triadic politik alternatif yang menjadi formula bagi perjuangan demokrasi Indonesia era Orde Baru: hak asasi-civil socity dan LSM.

Kini, setelah rejim Orde Baru jatuh dan demokrasi dicapai serta diinstalasikan sebagai pranata dalam tubuh Negara, primadona itu kini nyaris kehilangan gincu, bedak dan daya tariknya. Dulu dalam suasana otoritarian kekerasan dibuat oleh Negara dan keadilan tidak mendapatkan tempat, hak asasi dipinggirkan dan diharamkan dari hukum nasional dan konstitusi, sementara partisipasi dan kesadaran politik ditekan sama sekali. Kini dalam era demokrasi yang strukturnya dibangun oleh topangan LSM, donor dan mantan penguasa, semua yang semula ditolak oleh Negara Orde Baru kini diambil alih sebagai milik Negara demokratis atau pemerintahan reformasi yang baru.

Untuk hak asasi manusia Negara menyediakan komisi nasional hak asasi manusia, untuk korupsi Negara menyediakan KPK, untuk kecelakaan dan penyelewengan hukum Negara menyediakan bermacam-macam komisi, untuk keadilan, partisipasi, kritik, dinamisasi dan perubahan politik Negara mendorong beranak-pinaknya partai politik dan organisasi- organisasi masyarakat. Singkatnya, apa yang semula merupakan fasilitas politis yang dimiliki secara ekslusif oleh LSM kini beralih menjadi milik Negara. Bukan hanya itu, peralihan dalam instasalsi ideal kepolitikan ini juga kemudian diikuti dengan pergeseran sekutu terpentingnya: lembaga donor menjadi lebih tertarik untuk mendanai kegiatan lembaga-lembaga atau komisi-komisi pemerintah ketimbang LSM.

Dari sini komponen triadik hak asasi-civil socity-LSM pada akhirnya dilepaskan satu demi satu. Hak asasi kini sudah jadi hak yang konstitusional, sementara civil society – setelah menguatnya era partai-partai – adalah konsep usang yang memang nyaris tidak diperlukan lagi. Akibatnya, yang jadi pertanyaan kemudiana adalah apa yang tersisa untuk LSM? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita untuk menelusuri secara singkat perjalanan LSM.

Asal Usul dan Mistifikasi

Pada tahun 1985, dilakukan sebuah survei mengenai pemetaan masalah “LPSM-LPSM” [Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat] Indonesia. Survei itu tergolong sangat serius karena disokong oleh lebih dari 10 LSM terbesar di Indonesia pada era itu plus dukungan dari Asia Foundation; dipimpin oleh Adi Sasono selaku Ketua Steering Committee, sementara risetnya sendiri dipimpin oleh Fachry Ali. Semangat ber-LSM jaman itu dengan segera bisa ditangkap dengan memperhatikan sebuah paragraf dari laporan survei tersebut yang menegaskan posisi unik sebagai berikut:

Pada masa kolonial LPSM Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dari gerakan politik yang beroposisi terhadap pemerintah Hindia belanda. Dimensi pengembangan masyarakat tetap hadir pada LPSM seperti pada masa itu yaitu berupa pengembangan akan harga diri masyarakat banyak sebagai suatu bangsa. SI atau SDI boleh dilihat sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap Pada masa kolonial LPSM Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dari gerakan politik yang beroposisi terhadap pemerintah Hindia belanda. Dimensi pengembangan masyarakat tetap hadir pada LPSM seperti pada masa itu yaitu berupa pengembangan akan harga diri masyarakat banyak sebagai suatu bangsa. SI atau SDI boleh dilihat sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap

Adalah antusiasme yang luar biasa berlebihan ketika survei ini dengan cara simplistis membentangkan cara pikir transhistoris dalam meletakkan relasi dan peran LSM. Dengan menyebut peran pada masa kolonial, pendirian dalam survei memasang sejumlah kekaburan mengenai pertama bahwa seolah-olah LPSM (dengan istilah dan definisi yang seteknis-teknisnya) telah ada dan dikenal di masa kolonial. Kedua, bahwa apa yang disebut sebagai LPSM itu berciri aktivitas dalam rangka “pengembangan harga diri masyarakat banyak sebagai suatu bangsa”. Dan ketiga, bahwa SI dan SDI boleh dilihat sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap politiknya. Penggambaran ini jelas mengaburkan antara gerakan kemerdekaan menentang kolonialisme, baik yang menggunakan politik identitas (seperti SI) maupun bukan (pra-negara modern lokal) dengan konsern di dalam politik kewargaan dalam berhadapan dengan kuasa negara modern dan pasar. Hal kedua yang juga dikaburkan di sini adalah aspek historitas dan latar belakang sosial pembentukan LSM itu.

Sama sekali berbeda dengan seting kolonial, di mana isu dominan yang muncul adalah tanah air dan kemerdekaan sebagai komunitas bangsa. Dalam seting awalnya di masa Orde Baru, peran dan kedudukan dari apa yang dikenal sekarang sebagai LSM senantiasa dikaitkan atau bahkan diletakkan sebagai bagian dari konsep lain yang lebih kompleks dan canggih yakni konsep civil society. Kerangka ini telah menghasilkan pendasaran yang sangat kuat bagi pembentukan karakter politik maupun definisi konseptual lembaga- lembaga ini yakni sangat berbasis kelas menengah, memiliki ideologi yang beragam dalam arti renggang, luwes dan memasang jarak dengan institusi dan aparat negara. Untuk bisa menjelaskan pembentukan asal-usul semacam ini kita mesti melihat dua kecenderungan; yang pertama adalah pembentukan diskursus LSM sebagai entitas yang tumbuh dalam dan mempengaruhi proses politik dan perubahan sosial di Indonesia yang

1 Fachry Ali, Rasmi dan Ali Mustafa (1985), “Laporan Hasil Survey Pemetaan Masalah LPSM- LPSM Indonesia”, dokumen ini merupakan hasil riset yang dsponsori oleh 15 organisasi LP3ES, Bina

Swadaya, Bina Desa, Yayasan Indonesia Sejahtera, LSP, PKBI, WALHI, LBH, Yayasan Lembaga Konsumen, BK3, PPA, P3M, CUSO dan Asia Foundation, hlm. 14.

khas, dan kedua adalah kekuatan politik normatif sebagaimana yang disampaikan oleh organisasi dan pendirian sejumlah aktivis pembela hak asasi manusia di era awal Orde Baru, dan ketiga adalah kita mesti kembali ke ide kritik ekonomi politik pembangunan di masa tahun 70-an awal di mana masa ini ditunjuk oleh banyak kalangan sebagai masa awal munculnya LSM, yang kemudian mewarisi karakter dan pendirian kepada yang ada sekarang.

Semula banyak kalangan lebih suka menggunakan ornop (organiasai non-pemerintah) untuk menamai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang melakukan aktivitas- aktivitas sosial-politik penyadaran masyarakat dan kritik terhadap pemerintah. Istilah ini disukai karena beberapa alasan: pertama, karena ia mencerminkan otonomi dan demarkasi dengan kekuasaan, dan kedua karena ia mengesankan kritik dan alternatif langsung dari kebijakan pemerintah. Namun justru karena potensi watak demikianlah, maka pemerintah kemudian tidak menyukai istilah ini. Akibatnya para aktivis ornop sendiri pada waktu itu, untuk menghindari pertentangan dengan pemerintah, memutuskan untuk tidak meneruskan pemakaian istilah ini.

Di masa kini pemerintah lebih akrab menyebut lembaga-lembaga ini dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Penggunaan istilah LSM ini sebenarnya kurang tepat karena ia dipakai secara sangat overlapped, hendak menyebut siapa saja yang berada di luar pemerintah baik itu serikat buruh, kelompok-kelompok paguyuban tani, kelompok studi, yayasan-yayasan yang mengurus HAM di kota-kota ataupun kelompok-kelompok paguyuban kedaerahan dan profesi yang kurang resmi serta lembaga-lembaga bantuan hukum. Semuanya dicampur-adukkan di dalam satu istilah.

Ismid Hadad mencoba memberikan pembedaan yaitu dengan memisahkan antara apa yang disebutnya dengan kelompok primer (kelompok-kelompok tani, paguyuban- paguyuban di komunitas dan serikat-serikat rakyat) dan kelompok sekunder (kelompok yang membantu pendirian dan pengembangan kelompok primer). Kelompok primer inilah yang lebih tepat disebut sebagai LSM sementara kelompok sekunder yang bertindak sebagai fasilitator atau mediator atau perantara disebut sebagai LPSM.

Dari pembagian ini, secara sosiologis terdapat satu hal penting yakni soal otentisitas. Implisit di dalam pembagian ini, Hadad menegaskan bahwa LSM memiliki keterkaitan yang organik dengan kepentingan-kepentingan masyarakat yang sesungguhnya. Jadi di sini tidak ada aspek representasi; LSM adalah presentasi langung dari kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi-organisasi yang bertebaran di perkotaan yang dihuni oleh para sarjana lulusan universitas meskipun bergembar-gembor dengan kegiatan tani dan buruh tidak dapat disebut sebagai LSM karena tidak ada petani dan buruh sungguhan di situ, atau dengan kata lain tidak ada otentisitas aktor, yang ada adalah si sarjana yang pandai membuat proposal dan program. LPSM memang adalah kategori yang secara fungsional paling pas buat kalangan kedua ini.

Namun demikian, tidak semua orang segera sepakat dan menerima pengistilahan ini. Mungkin karena istilah LPSM ini apabila kita blejeti secara jujur maka sebenarnya dengan gampang kita bisa memahami bahwa istilah LPSM itu adalah sebuah penghalusan dari istilah calo atau broker, yang tentu saja sangat tidak nyaman bagi para aktivis LSM itu sendiri.

Namun demikian, bahasa politik dan hukum Orde Baru sendiri pada waktu itu telah terlanjur mendefiniskan kelompok-kelompok ini dengan istilah tunggal yakni LSM. Terutama di masa-masa akhirnya, Orde Baru kerap menyebut siapa saja yang mengkritik

pandangan dan kebijakannya dengan sebutan LSM. 2 Jadi dengan begitu istilah LSM bukan lagi sekadar sebutan yang dipakai untuk organisas-organisasi di luar pemerintah

melainkan lebih merupakan tuduhan dari pemerintah kepada kelompok-kelompok yang menentang dirinya. Dari sini barulah muncul semacam identitas balik, di mana pada akhirnya para aktivis itu kemudian juga menerima dan mulai mendefinsikan diri mereka sebagai LSM secara lebih kuat.

2 Penyebutan semacam ini juga berlaku terhadap organisasi-organisasi yang menyebut dirinya sebagai partai oposisi seperti misalnya PRD di masa lalu yang meski mendeklarasikan dirinya sebagai

partai, kerap disebut sebagai LSM. Begitu juga dengan gerakan mahasiswa yang jelas-jelas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa sering juga disebut sebagai LSM.

Dengan demikian terjadi pergeseran aspek otentisitas dalam makna swadaya sebagaimana disebut oleh Hadad pada bagian muka. Kalau sebelumnya LSM itu sebenarnya digunakan untuk menyebut aktivitas kelompok-kelompok masyarakat bawah maka kini para sarjana kota yang ketiban pulung menyandang istilah ini. Pemerintah lebih tertarik untuk bertengkar dengan para sarjana dan aktivis kota ketimbang petani, dan para aktivis kota ini juga merasa nyaman disebut sebagai “masyarakat swadaya”, sehingga keduanya rupanya menjalin kesepakatan diam-diam untuk menggunakan istilah LSM ini tidak lagi kepada petani dan buruh tetapi kepada yayasan-yayasan yang beroperasi di ibu kota provinsi yang bekerja dengan press conference, riset dan studi.

Dari sinilah sebenarnya terjadi proses substitusi dari apa-apa yang seharusnya dilakukan dan menjadi wilayah grass root menjadi apa-apa yang diatasnamakan oleh kelompok menengah di atasnya di ibu kota provinsi. Substitusi kepentingan ini berlaku secara sangat kuat. Dari sini pula klaim-klaim politik LSM itu kemudian dibasiskan dan diperkuat.

Diskursus Normatif

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pemberangusan kehidupan politik secara umum pasca-1965, negara Orde Baru yang tampil sebagai pemenangnya nyaris mendominasi seluruh aspek kehidupan sosial dan politik pada waktu itu. Keadaan ini sedikitnya disokong pula oleh semacam sikap reseptif dari politisi maupun intelektual yang anti terhadap rejim Soekarno yang hidup di jaman itu. Kritik dan independensi yang mereka gaungkan untuk menghadapi dan menjatuhkan Soekarno yang dituduh sebagai diktator pada waktu itu, rupanya tidak dapat secara serta merta dan lancar digunakan untuk menilai praktik politik rejim baru sesudahnya. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa satu-satunya politik yang berlaku pada saat itu adalah “politik” sebagaimana yang dimiliki dan dikendalikan oleh rejim Soeharto.

Sisa terakhir dari politik yang masih dimiliki oleh kalangan non-state pada waktu itu hanyalah sejenis normative politics yang sangat terbatas, yang bersimpul pada isu dan Sisa terakhir dari politik yang masih dimiliki oleh kalangan non-state pada waktu itu hanyalah sejenis normative politics yang sangat terbatas, yang bersimpul pada isu dan

Di wilayah normatif inilah tampil dua orang yang sangat bersemangat dan berpengaruh yakni: Yap Thiam Hien dan HJC. Princen. Kedua orang ini adalah pelopor pemberani yang membuka jalan untuk tampilnya politik hak asasi manusia yang subtil dan sangat ideal di masa itu. Pada tahun 1966 seperti mendahului dan memancang fondasi, Princen mendirikan kantor Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia yang sangat berperan dalam mengawasi praktik-praktik penahanan dan pemenjaraan para pendukung Soekarno oleh Orde Baru. Di sinilah Princen menjadi salah satu yang pertama dalam memberikan dasar-dasar praksis untuk menjaga apa yang dikenal orang sebagai “hak-hak dan kebebasan sipil”.

Sementara di masa di mana Orde Baru masih menikmati suasana paginya, Yap Thiam Hien dengan lantang telah berteriak:

… melihat seakan-akan “Orde Lama” semuanya des duivels dan “Orde Baru” segalanya der engelen bukan saja penglihatan yang kabur, melainkan juga secara

implisit, tanpa disadari, mengakui diri sendiri sebagai anak setan (Yap, 1966). 3

Dari segi politik, Yap adalah bagian dari salah satu pemenang pada waktu itu, karena ia pun anti-PKI dan anti-Soekarno. Namun berbeda dengan pendukung Orde Baru lainnya, sikap Yap menentang Soekarno dan PKI rupanya lebih dimotivasi oleh rasionalitas dan ideal tertentu ketimbang kepentingan politik dan perebutan kuasa semata. Ini terbukti dari fakta bahwa rasionalitas dan moralitas itu masih ia teruskan untuk menghadapi potensi Dari segi politik, Yap adalah bagian dari salah satu pemenang pada waktu itu, karena ia pun anti-PKI dan anti-Soekarno. Namun berbeda dengan pendukung Orde Baru lainnya, sikap Yap menentang Soekarno dan PKI rupanya lebih dimotivasi oleh rasionalitas dan ideal tertentu ketimbang kepentingan politik dan perebutan kuasa semata. Ini terbukti dari fakta bahwa rasionalitas dan moralitas itu masih ia teruskan untuk menghadapi potensi

Merelatifkan watak dan eksistensi dari Orde Baru dan Orde Lama menjelaskan hal terpenting dari suatu pendirian politik yang go beyond interest, nyaris resi. Dengan mengatakan “Orde Lama bukanlah iblis dan Orde Baru bukan pula malaikat” telah ditegaskan pentingnya suatu arena di luar politik yang lebih inti dan fundamental yaitu faktor kesadaran manusia dan kebebasan serta otonomi individu dalam memandang dan menjinakkan politik itu sendiri. Sikap ini yang mestinya dipakai untuk mengatasi sistem kuasa apa pun.

Di sini jarak atau demarkasi otomatis menjadi penting: “tidak Orde Lama tidak pula Orde Baru”. Dari sikap semacam inilah diwariskan gagasan yang mulai memilah-milah mana kuasa mana ideal; mana negara dan mana bukan negara; mana pejuang moral dan mana

yang politik; mana yang discourse of ethics dan mana yang discourse of power. 4 Inilah salah satu etik atau semacam stand point yang hingga kini masih dipakai oleh LSM di

Indonesia untuk menunjukkan “kemurnian” pendiriannya. Sehingga dengan demikian, kritik dan gugagatan mereka terhadap negara selain didasarkan atas perbedaan dan aspirasi prinsip dalam memandang kehidupan politik yang demokratis juga didasarkan atas semacam “pandangan hidup” bahwa “ber-LSM” berarti harus menjaga jarak dan hidup terpisah dari tujuan dan ruang lingkup kuasa negara.

Inilah salah satu tradisi dan gagasan penting yang dipakai oleh banyak LSM sepanjang Orde Baru untuk menilai diri mereka satu sama lain. Di titik ini, posisi ini nyaris menggambarkan figur intelektual yang dibayangkan oleh Benda, yang mengganggap rasionalitas dan kemanusiaan harus diletakkan di atas apa yang disebutnya political passion, karena menurutnya politik, bagaimanapun, selalu melibatkan uang dan

3 Dipetik dari Pledoi Pembela Kedua dalam kasus Dr. Subandrio. Dikutip dari Yap Thiam Hin (1998), Negara, HAM dan Demokrasi (ed. Daniel Hutagalung), Jakarta: YLBHI, hlm. 216.

4 Dengan pembedaan itu, Yap meletakkan dirinya paralel dengan pendirian discourse of ethics dari Habermas, keduanya tiba pada kesepakatan untuk melihat politik sebagai perwujudan tertinggi dari

moralitas dan kebebasan dasar. Untuk istilah Habermas ini lihat dalam Simon Chambers (1995), moralitas dan kebebasan dasar. Untuk istilah Habermas ini lihat dalam Simon Chambers (1995),

Dengan dasar pendirian yang sangat normatif dan moralis semacam ini maka tidak mengherankan juga apabila konsep civil society yang kemudian berkembang dalam tema advokasi LSM di Indonesia menjadi konsepsi yang sangat homogen. Dipakai untuk menjelaskan semua pihak yang berada di luar negara dan tetap menjaga batas itu dapat disebut sebagai civil society. Di sini gambaran mengenai pertarungan dan perubahan politik beserta aktor-aktornya memang menjadi sangat sederhana; terbatas pada dialektika dan relasi state dan society dalam pengertian dan definisi yang paling luas. Akibatnya gagasan dan pandangan yang partikularistik dalam artian perhatian kepada entitas-entitas yang lebih kecil seperti entitas gender, kelas dan kultur memang tidak dilihat secara khusus.

Akibatnya jelas, secara politik konsepsi ini sangat menekankan peran kaum profesional, golongan menengah dan intelektual kota sebagai motor utama penggerak. Di sini menjadi sangat masuk akal bahwa kemudian dari segi aktor LSM-LSM itu banyak sekali dipimpin dan digerakkan oleh para sarjana hukum dan para lulusan universitas mantan aktivis gerakan mahasiswa. Sementara dari segi ide(ologi) gerakan LSM yang muncul kemudian sangat berpusat pada ide-ide liberal mengenai kebebasan dan peran negara yang minim dalam politik.

Jumlah CSO’s di Indonesia (tahun 2000)

Category Number of Organisations

Think tanks and research organisations

Student and youth Association/Alumni groups

Humanitarian and walfare groups

Business/Professional asss., cahmbers of trade and 555

“Discourse and Democratic Practise” dalam K. White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 233-255.

5 Julien Benda (1969), The Treason of the Intellectual, New York: Norton Place Publication.

commerce Union and Labour Groups

Media and Journalist Associations

Legal organisations, advocacy, and monitoring groups

Women Organisation

Environment groups

Leisure Organisations, cultural foundation and clubs

Religius Organisations

TOTAL 1.322

Sumber: UNSFIR berdasarkan MASINDO (2000) Association and NGO’s Guide 2000. 6

Tabel di atas meski tidak secara langsung menunjuk LSM, namun fakta dan gambaran umum yang ditampilkannya mempertegas pandangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa gerakan LSM sangat berwatak kelas menengah. Dari 1.322 organisasi yang ada hanya 20 organisasi yang merupakan organisasi buruh. Dari jumlah itu tidak ada organisasi petani dan kaum grass root yang lainnya. Absennya peran dan keberadaan kelompok-kelompok grass root itu memperjelas beberapa kemungkinan yakni pertama bahwa paling tidak hingga tahun 2000, yakni 2 tahun setelah jatuhnya rejim Soeharto, memang tidak terbentuk suatu persekutuan politik yang memadai di kalangan grass root; dan yang kedua, kalaupun ada maka persekutuan-persekutuan itu memang harus dicari dan ditemukan dalam cerita dan selubung yang lebih besar yakni selubung politik kelas menengahnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah proses substitusionalisme yang dimainkan oleh organisasi-organisasi yang lebih menonjol, besar dan vokal terhadap organisasi grass root yang ada.

Dari Normativitas Hukum ke Normativitas Pembangunan

Jadi tidak dapat dipungkiri, setuju ataupun tidak, salah satu faktor pembentuk karakter LSM selama Orde Baru yang utama adalah semacam idealisme untuk melakukan evaluasi normatif terhadap negara. Karenanya di titik ini hukum dan diskursus HAM kemudian memang menjadi instrumen utama untuk dijadikan sandaran evaluasi itu.

Posisi semacam itu tentu saja dapat dengan mudah dipahami. Sebagai rejim yang baru terbentuk, Orde Baru membawa persoalan hukum dan kemanusiaan yang kompleks dan mengerikan: pembantaian jutaan orang, pemberangusan partai-partai dan organisasi politik, penahanan dalam kamp-kamp tahanan dan penghilangan orang. Dengan demikian “adalah normal” apabila perhatian orang harus berkisar pada wilayah penataan dan perbaikan wajah politik dari rejim yang baru terbentuk itu. Dengan kata lain, mengencangnya dan tampilnya isu HAM dan hukum (hak-hak sipil dan politik) yang segera memang mengikuti atau boleh dikatakan paralel dengan rejimentasi politik yang terbentuk pada masa itu.

Barulah setelah masa-masa “pembangunan” ekonomi dan sosial berjalan dan rejim politik yang terbentuk makin memiliki kekuatan nyata untuk melakukan kontrol dan penindasan terhadap pembangkang, maka isu HAM dan tuntutan terhadap keadilan menurun dengan sendirinya. Isu HAM tenggelam dan makin dipinggirkan dalam wacana politik Orde Baru pada akhir 60-an itu, sementara isu “negara hukum” yang biasanya memang hanya berfungsi sebagai suplemen dari isu HAM tampil dalam bentuk yang sangat low profile; karitatif, prosedural, nyaris sama sekali tidak memiliki daya kritik yang memadai terhadap praktik kekuasaan yang terpusat.