Perjanjian-perjanjian Internasional yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia

Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin. Tekanan khusus dalam konteks ini ditempatkan pada konsep pencegahan. Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif, namun berbeda dari kewajiban-kewajiban untuk memenuhi yang disebutkan diatas tadi yang ditujukan untuk menghindari pelanggaran HAM oleh orang sebagai pribadi. Meskipun pada prinsipnya diakui, cakupan sesungguhnya dari perlindungan negara terhadap orang-orang sebagai pribadi sangatlah controversial dan tidak jelas baik dalam teori maupun praktiknya.

D. Perjanjian-perjanjian Internasional yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya. Universitas Sumatera Utara Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakan suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sd 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sd 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum Universitas Sumatera Utara internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut 10 . Praktek pembuatan perjanjian di antara negara-negara selama ini telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya tidak meengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak politisnya terhadap mereka. Walaupun judul suatu perjanjian internasional dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan suatu perjanjian dalam judul tertentu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur. Selain itu, penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya. 10 DR, Boer Mauna, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Edisi ke-2 2005, hlm 83 Universitas Sumatera Utara Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina tahun 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional atau antara Organisasi-organisasi Internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement, yang hingga saat ini pun tidak ada defenisi yang tegas antara kedua terminologi tersebut 11 PBB mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi diseluruh dunia. Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948. dapat dikatakan bahwa Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa . 12 11 Ibid, hlm 88. 12 Basic facts about the United Nations, hlm 218. . Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam Deklarasi. Deklarasi Universal tersebut diterima oleh 49 negara, tidak ada yang menentang, 9 abstein dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak yang diuraikan dalam Deklarasi tersebut dapat dikatakan sebagai sintesa antara konsepsi liberal Barat dan konsepsi sosialis. Dalam Universitas Sumatera Utara Deklarasi Universal tersebut belum ada ketentuan mengenai hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri 13 Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku sepuluh tahun kemudian yaitu tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan . Setelah diterimanya Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran uintuk mengukuhkan pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak. Bila Deklarasi Universal hanya bersifat himbauan betapapun nilai politis dan historisnya, dokumen-dokumen yuridik hak-hak asasi mengingat sifatnya yang mengikat akan dapat mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-hak asasi tersebut. Sejalan dengan itu maka pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kedua perjanjian tersebut adalah hasil dari upaya yang lama dan matang, berisikan hak-hak yang telah menjadi klasik dan dirumuskan secara rinci sebagai pencerminan dari kompromi antara negara-negara anggota. Yang baru dalam kedua perjanjian tersebut adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara bebas seperti tercantum pada Pasal 1 masing-masing Perjanjian. 13 Ibid, hlm 681 Universitas Sumatera Utara Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara 14 1. hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan; . Perjanjian Internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu: 2. hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; 3. hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan Protokol Opsional Pertamanya mulai berlaku pada bulan Maret 1976. Sampai bulan Desember 2003 Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh 151 negara dan Protokol Opsional Pertamanya telah diratifikasi oleh 104 negara. Protokol Opsional Pertama ini merupakan instrumen prosedural yang memberikan hak petisi kepada individu-individu yang memenuhi semua persyaratan untuk melakukannya. Pada tanggal 15 Desember 1989, PBB mengesahkan Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk menghapuskan hukuman mati. Protokol kedua ini mulai berlaku tanggal 11 Juli 1991 sesuai dengan Pasal 8 1 nya. Perjanjian tersebut mencakup hak-hak seperti kebebasan bergerak, persamaan di depan hukum, praduga tidak bersalah, kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama, kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pemilihan umum dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Perjanjian itu juga melarang perampasan secara sewenang-wenang atas kehidupan;penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat;perbudakan, kerja 14 Basic facts, 2004, op.cit, hlm 228 Universitas Sumatera Utara paksa;penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainnya. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya beserta Perjanjian tentang hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights. Deklarasi Universal telah memberikan inspirasi terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia antara lain: 1. konvensi tentang Pencegahan dari penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras Convention on the Protection and Punishment of the Crime of Genocide tahun 1948. konvensi ini merupakan jawaban terhadap kekejaman- kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. 2. Konvensi tentang status para pengungsi Convention Relating to the Status of Refugees tahun 1951. Konvensi ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban para pengungsi, terutama hak mereka untuk tidak dipaksa kembali ke negeri mereka dan membuat ketentuan-ketentuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari termasuk hak untuk bekerja, pendidikan, bantuan publik dan jaminan sosial. Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi ini diterima SMU PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1967 sesuai dengan pasal VIII Konvensi tersebut. Universitas Sumatera Utara 3. Konvensi internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination tahun 1966. Konvensi ini sampai bulan Desember 2003 telah diratifikasi oleh dari 169 negara.. Konvensi ini mengutuk segala macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun dalam praktiknya. Konvensi ini juga mempunyai badan pemantau monitoring body yaitu Komite Untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial yang bertugas untuk mempelajari laporan dari negara-negara pihak dan dalam hal-hal tertentu menerima petisi dari individu-individu atas pelanggaran hak-hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi. 4. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women 1979. Sampai bulan Desember 2003, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 175 negara 15 15 Ibid, hlm 684 . Konvensi ini memberikan jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaran, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga. Konvensi juga mendirikan Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita sebagai badan yang memantau implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan membahas laporan dari negara-negara pihak. Perundingan-perundingan telah dilakukan semenjak tahun 1996 untuk membuat suatu protokol dari Konvensi yang akan memungkinkan Universitas Sumatera Utara individu-individu untuk menyampaikan pengaduan mereka atas pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan terhadap Konvensi. 5. Konvensi menentang Penyiksaaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment tahun 1984. Sampai pada bulan Desember 2003 Konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh 134 negara 16 . Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan internasional dan meminta negara bertanggungjawab untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelakunya. Juga dibentuk Komite menentang Penyiksaan yang bertugas bukan saja mempelajari laporan negara-negara mengenai pelaksanaan Konvensi tetapi juga dapat melakukan investigasi di negara-negara yang diperkirakan mempraktikan penyiksaan secara sistematik. Bahkan, juga sudah ada seorang pelapor khusus Special Rapporteur on the Question of Torture yang diangkat oleh Komisi Hak-hak Asasi Manusia KHAM untuk membuat laporan tahunan mengenai praktik penyiksaan di seluruh dunia dan membuat rekomendasi kepada pemerintah negara-negara pihak untuk menghentikan praktik tersebut. 6. Konvensi mengenai Hak-hak Anak Convention on the Rights of Child tahun1989. Konvensi ini menegaskan hak-hak anak-anak untuk memperoleh perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan 16 Ibid, hlm 684 Universitas Sumatera Utara pertumbuhan mereka secara normal. Konvensi ini paling banyak diratifikasi dengan jumlah 192 negara pada bulan Desember 2003. Konvensi ini juga membentuk Komite tentang Hak-hak Anak yang mengawasi implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan membahas laporan-laporan yang disampaikan negara-negara anggota. Enam Konvensi ”inti” yang disebutkan di atas merupakan perjanjian-perjanjian HAM PBB yang didukung oleh mekanisme pemantauan independen sekarang ini. Pada 1 Juli 2003, Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan anggota Keluarganya tahun 1990 mulai berlaku, yang juga mengatur pembentukan ’Komite Pekerja Migran’ tersendiri dengan 10 pakar setelah pengesahan ke-41 oleh suatu negara, komite itu akan meningkat menjadi 14 anggota yang berwenang untuk memeriksa laporan negara, komunikasi antar negara dan individu. Perjanjian HAM ’inti’ ketujuh’ ini berisi daftar keseluruhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan keluarganya, tetapi sebagian besar negara industri, tempat sebenarnya para pekerja migran tinggal sering di bawah kondisi yang tidak bisa diterima, menolak kewajiban perjanjian ini. Sesaat setelah 31 Mei 2003, 21 negara meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, di antara mereka hanya Azerbaijan dan Bosnia dan Herzegovina yang merupakan anggota Dewan Eropa. Perjanjian utama HAM PBB lainnya adalah sebagai berikut menunjukkan tahun diadopsinya dan mulai pemberlakuannya : • Konvensi Perbudakan 192627 Protokol mengamandemen Konvensi Perbudakan tahun 1926 195353 Universitas Sumatera Utara • Konvensi Suplementer tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Lembaga dan Praktik yang menyerupai Perbudakan 192657 • Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 194851 • Empat Konvensi Jenewa tentang Hukum Humaniter 194950 Dua protokol tambahan pada Konvensi Jenewa 197778 • Konvensi yang Berkaitan dengan Status Pengungsi 195154 Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi 196767 • Konvensi yang berkaitan dengan Status Orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan 195460 • Konvensi Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan 196175 • Konvensi Persetujuan Atas Pernikahan, Usia minimal Pernikahan dan Pendaftaran Pernikahan 196264 • Konvensi Internasional Pengendalian dan Penghukuman Kejahatan Apartheid 197376 • Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 19902003 17 Dengan instrumen-instrumen internasional ini, PBB telah menciptakan kerangka kerja standar minimum universal normatif. Meskipun proses kodifikasi HAM bisa dianggap selesai, Komisi HAM terus menetapkan standarnya untuk menjawab tantangan baru atau meningkatkan mekanisme pemantauan internasional. . 17 Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, hlm 101 Universitas Sumatera Utara Hampir semua Konvensi tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengawasan atau badan pemantau untuk mengawasi apakah negara-negara pihak telah melaksanakan dengan baik ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi disamping terbukanya pula kemungkinan bagi individu-individu untuk menyampaikan pengaduan bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Walaupun pada umumnya tidak mempunyai kekuatan represif, pembentukan badan-badan pemantau tersebut telah merupakan suatu kemajuan penting dalam upaya perlindungan internasional atas hak-hak asasi manusia di berbagai negara. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI DUNIA