BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Pangan adalah komoditas strategis karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis secara ekonomi, tetapi juga sangat berarti dari
segi pertahanan dan keamanan, sosial, dan politis. Situasi pangan di Indonesia cukup unik disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau, tetapi juga adanya keragaman sosial, ekonomi, kesuburan tanah, dan potensi daerah Hasan, 1994.
Secara umum indikator kesejahteraaan suatu masyarakat adalah terpenuhinya lima kebutuhan pokok basic need manusia, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan
dan pendidikan. Hal itu berarti tingkat kesejahteraan rumah tangga akan ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran rumah tangga mereka dibandingkan
pengeluaran perkapita rumah tangga menurut garis kemiskinan. Secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pedapatan, dan pendekatan pengeluaran Sumodiningrat, 1996.
Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Dengan demikian pada
tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang
dibutuhkan seseorang akan mencukupi sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga
tersebut. Dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, brarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin
kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera Mulyanto, 2005. Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumah tangga
merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga. Dari sisi norma gizi terdapat standar minimum jumlah makanan yang
dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan
berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dalam jumlah dan kualitas terutama
pada anak balita akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Pemahaman terhadap perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga
berguna untuk memahami kondisi kesejahteraan rumah tangga, tingkat dan jenis- jenis pangan yang dikonsumsi serta perubahan yang terjadi. Masalah gizi yang
dihadapi seorang individu terkait erat dengan pola konsumsi rumah tangga pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada umumnya terdiri dari : padi-padian,
umbi-umbian, pangan hewani,lemak minyak, buahbiji, sayur-sayuran, gula,kacang-kacangan, dan lain-lain Ariani, 2004.
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar, maka secara teoritis seseorang akan mengalokasikan pengeluaran untuk pangan terlebih dahulu, kemudian tahap
berikutnya untuk pengeluaran non pangan. Secara empiris terbukti bahwa semakin
Universitas Sumatera Utara
tinggi pendapatan rumah tangga semakin rendah pangsa pengeluaran untuk pangan Rahman dan Suhartini, 1996.
Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak azasi setiap insan. Oleh sebab itu,
upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia Sawit, 2003.
Pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia HAM mengandung arti bahwa negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.
Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumber daya manusia berkualitas yang diperlukan untuk
meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global Suryana, 2004. Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi.
Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli
aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan pola hidup juga menjadi berubah Sumardi, 2003.
Setiap orang atau keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat
konsumsinya. Makin tinggi pendapatan, makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya, makin sedikit pendapatan, makin berkurang jumlah
barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang
Prayudi, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Permintaan terhadap barang non pangan
pada umumnya tinggi. Keadaan ini
terlihat jelas pada kelompok penduduk yang tingkat
konsumsi pangan sudah mencukupi, sehingga
peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan barang non pangan, ditabung, ataupun
investasi Kuncoro, 2007. Pada tingkat pendapatan yang dibelanjakan atau pendapatan disposebel yang
sangat rendah pengeluaran rumah tangga adalah lebh besar dari pendapatannya. Ini berarti pengeluaran konsumsi bukan saja dibiayai oleh pendapatannya tetapi
juga dari sumber-sumber lain seperti dari tabungan yang dibuat pada masa lalu, dengan menjual harta kekayaannya, atau dari meminjam. Keadaan dimana
terdapat kelebihan pengeluaran jika dibandingkan dengan pendapatan ini dinamakan dissaving. Semakin tinggi pendapatan disposible yang diterima rumah
tangga, makin besar pula konsumsi pangan yang akan mereka lakukan. Akan tetapi pertambahan konsumsi pangan yang akan terjadi adalah lebih rendah dari
pendapatan yang berlaku. Maka makin lama kelebihan konsumsi rumah tangga yang wujud kalau dibandingkan dengan pendapatan yang diterimanya akan
menjadi bertambah kecil Sukirno, 1981. Pada suatu tingkat pendapatan disposiblel yang cukup tinggi, konsumsi rumah
tangga akan sama besarnya dengan pendapatan disposiblenya. Apabila pendapatan disposible mencapai tingkat yang lebih tinggi, rumah tangga tidak akan
menggunakan seluruh pendapatan yang dapat dibelanjakannya tersebut. Ini berarti pengeluaran rumah tangga lebih rendah daripada pendapatan disposebelnya.
Pendapatan disposible rumah tangga yang tidak digunakan untuk pembelanjaan tersebut merupakan tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga Sukirno, 1981.
Universitas Sumatera Utara
Penggolongan untuk karyawan yang bekerja di PTPN IV terdiri dari enam belas jenis penggolongan yang dikelompokkan menjadi enam strata. penetapan calon
karyawan dilakukan oleh Direksi melalui orientasi selama minimal satu tahun berdasarkan golongan dan jenjang kepangkatan maka masing-masing strata dan
golongan dapat dituliskan sebagai berikut : 1. Strata I
• Golongan IA berpangkat pelaksana pratama • Golongan IB berpangkat pelaksana muda
2. Strata II • Golongan IC berpangkat juru pratama
• Golongan ID berpangkat juru muda 3. Strata III
• Golongan IIA berpangkat penyelia pratama • Golongan IIB berpangkat penyelia muda
• Golongan IIC berpangkat penyelia madya • Golongan IID berpangkat penyelia utama
4. Strata IV • Golongan IIIA berpangkat pengatur pratama
• Golongan IIIB berpangkat pengatur muda • Golongan IIIC berpangkat pengatur madya
• Golongan IIID berpangkat pengatur utama 5. Strata V
• Golongan IVA berpangkat penata madya • Golongan IVB berpangkat penata utama
Universitas Sumatera Utara
6. Strata VI • Golongan IVC berpangkat pembina madya
• Golongan IVD berpangkat pembina utama
Ketentuan strata menurut bidang tugas adalah berbeda-beda. Strata I dapat dipangku oleh karyawan pelaksana dengan tugas pemanen, boyan, pelayan,
petugas tanaman, pemangkas, pos afdeling, centeng, dan tukang kebun. Strata II dapat dipangku oleh karyawan pelaksana dengan tugas petugas pemeriksa buah,
juru ukur, petugas laboratorium, kerani, pos unit, pompa air pabrik, operator limbah, operator pabrik, pembantu kerani afdeling, kerani tata usaha, kerani
gudang, mandor pemeliharaan tanaman, dan kerani tehnik. Strata III dapat dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti kerani-I urusan kantor pusat,
kerani –I afdeling, mandor transport, mandor tehnik, mandor I afdeling. Strata IV dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti assisten dan assisten urusan.
Strata V dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti kepala dinas dan kepala urusan. Strata VI dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti
manejer unit, manejer group, dan kepala bagian. Setiap karyawan memiliki lima hari kerja atau enam hari kerja bergantung pada kepentingan dan kebutuhan
perusahaan dengan satu hari kerja setara dengan tujuh jam. Sehingga apabila ada kelebihan waktu bekerja akan dihitung sebagai waktu kerja lembur dan kelebihan
waktu bekerja tersebut akan dibayar sebagai upah lembur. Adapun komponen pendapatan karyawan pimpinan terdiri dari : gaji pokok + premi kapasitas
kerja+tunjangan. Sedangkan komponen pendapatan karyawan pelaksana terdiri dari : gaji pokok+ premi kapasitas kerja+tunjangan+catu beras+lembur
PTPN IV, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Landasan Teori Pola Konsumsi