Landasan Teori Pola Konsumsi

2.2. Landasan Teori Pola Konsumsi

Seorang ahli ekonomi yang bernama Christian Lorent Ersnt Engel mengemukakan sebuah ”Hukum Konsumsi”. Hukum ini berdasarkan pada hasil penelitiannya yang dilakukan pada abad ke 19 di Eropa. Menuru Engel, semakin miskin suatu keluarga atau bangsa, akan semakin besar pula persentase pengeluaran yang digunakan untuk barang pangan Sudarman, 2004. Konsep konsumsi merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris yakni ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi Cahyono, 2003. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tanggakeluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan Universitas Sumatera Utara bahwa rumah tanggakeluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk pangan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non pangan Purwitasari, 2007. Besar kecilnya konsumsi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : 1. Tingkat pendapatan dan kekayaan. Sangat lazim apabila tinggi rendahnya daya konsumsi seseorang atau masyarakat berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan, karena perilaku konsumsi secara psikologis memang berhubungan dengan tingkat pendapatan, artinya bila pendapatan tinggi maka konsumsinya semakin tinggi baik dalam jumlah maupun dalam nilai karena ini berhubungan dengan pemenuhan kepuasan yang tak terbatas itu. Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi semuanya karena faktor pendapatan. Selain pendapatan mka kekayaan juga sangat berpengaruh. Kekayaan bisa saja sebagai akibat dari tingkat tabungan dari masa lalu atau karena warisan dan lain sebagainya. 2. Tingkat suku bunga dan spekulasi. Bagi masyarakat tentu adakalanya mau mengorbankan konsumsi untuk mendapatkan perolehan yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku dari uang yang ditabung, sehingga manakala suku bunga tinggi konsumsi masyarakat berkurang meskipun pendapatan tetap. Akan tetapi manakala suku bunga demikian rendahnya maka masyarakat akan lebih condong untuk menggunakan semua uangnya untuk konsumsi, sehingga hampir tidak ada yang ditabung. Selain suku bunga, tingkat spekulasi masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi, masyarakat bisa saja Universitas Sumatera Utara mengurangi konsumsinya karena berharap pada hasil yang besar dari uang yang dikeluarkan untuk main dipasar saham atau obligasi menunda konsumsi tinggidnegan harapan tentunya akan bisa melakukan konsumsi yang lebih besar apabila dalam kegiatan spekulasi itumendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. 3. Sikap berhemat. Memang terjadi paradoks antara sikap berhemat dengan peningkata kapasitas produksi nasional. Di satu sisi untuk memperbesar kapasitas produksi nasional maka konsumsi harusalah ditingkatkan. Akan tetapi disisi lain untuk meningkatkan pendanaan dalam negeri agar investasi dapat berjalan dengan mudah dan relatif murah serta aman maka tabungan masyarakat perlu ditingkatkan. Akan tetapi manakala tingkat perekonomian sudah mencapai kondisi ideal biasanya masyarakatnya akan cenderung hidup berhemat sehingga akan memperbesar proporsi tabungan dari pada proporsi konsumsi dari pendapatannya. 4. Budaya, Gaya hidup pamer, gengsi dan ikut arus dan demonstration effect. Gaya hidup masyarakat yang cenderung mencontoh konsumsi baik itu konsumsi dari tetangganya, masyarakat sekitarnya dan atau dari masyarakat yang pernah di bacanya di mass media menjadikan konsumsi masyarakat terpengaruh. Konsumsi untuk produk-produk yang belum saat ini dibutuhkan dan dibeli hanya demi gengsi, ikut arus membuat tingkat tabungan masyarakat menjadi rendah. Demikian juga halnya dengan dampak demonstration effect yang menjadikan pola konsumsi masyarakat yang terlalu konsumtif sehingga akan mengurangi tingkat tabungan. Universitas Sumatera Utara 5. Keadaan perekonomian. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil maka konsumsi masyarakat juga akan stabil, akan tetapi manakala perekonomian mengalami krisis maka biasanya tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahalnya dan langkahnya barang-barang kebutuhan. Putong, 2010 Konsumsi Teori Konsumsi keynes di dasarkan pada 3 postulat : 1. Menurut hukum psikologis fundamental katakanlah ia sebagai hukum Keynes, bahwa konsumsi akan meningkat apabila pendapatan meningkat, akan tetapi besarnya peningkatan konsumsi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan, oleh karena nya adanya batasan dari Keynes sendiri yaitu bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal =MPC= C Y Marginal Propensity to consume adalah antara nol dan satu, dan pula besarnya perubahan konsumsi selalu di atas 50 akan tetapi tetap tidak sampai 1000,5MPC1. 2. Rata-rata kecenderungan mengkonsumsi =APC= C Y Average Propensity to consume akan turun apabila pendapatan naik, alasannya sederhana saja, karena peningkatan pendapatan selalu lebih besar dari peningkatan konsumsi, sehingga pada setiap naiknya pendapatan pastilah akan memperbesar tabungan. Dengan demikian dapat dibuatkan satu pernyataan lagi bahwa setiap terjadi peningkatan pendapatan maka pastilah rata-rata kecenderungan menabung akan semakin tinggi. Universitas Sumatera Utara 3. Bahwa pendapatan adalah merupakan determinan faktor penentu utama dari konsumsi. Faktor-faktor lain dianggap tidak berarti. Putong, 2010 Elastisitas Pendapatan Elastisitas pendapatan adalah koefisien yang menunjukkan sampai dimana besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang sebagai akibat perubahan pendapatan dinamakan elastisitas permintaan pendapatan atau elastisitas pendapatan.Konsep elastisitas ini mengukur sejauh mana kuantitas permintaan berubah mengikuti perubahan pendapatan. Elastisitas pendapatan dari permintaan didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas barang yang dikonsumsi dibagi persentase perubahan pendapatan Sirojuzilam, 2005. Jenis-jenis elastisitas pendapatan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ep = 1, ini dinamakan uniter elastis, artinya bila jumlah barang yang di konsumsi naikturun sebanyak 1 maka pendapatan akan turunnaik sebanyak 1 pula persentase perubahan jumlah pendapatan sama dengan persentase perubahan barang yang dikonsumsi. 2. Ep 1, dinamakan elastis, artinya bila pendapatan naikturun sebesar 1, maka jumlah barang yang dikonsumsi akan turunnaik lebih dari 1 persentase perubahan jumlah barang yang dikonsumsi lebih besar dari pada persentase perubahan pendapatan  jumlah barang yang di konsumsi sangat peka terhadap perubahan pendapatan. 3. Ep 1, dinamakan inelastis, artinya bila jumlah barang yang dikonsumsi naikturun 1 maka pendapatan akan turunnaik kurang dari 1. persentase perubahan jumlah barang yang dikonsumsi lebih kecil dari pada persentase Universitas Sumatera Utara perubahan pendapatan  jumlah barang yang dikonsumsi kurang peka terhadap perubahan pendapatan. 4. Ep = 0, dinamakan inelastis sempurna, yaitu bila pendapatan tidak tanggap terhadap perubahan jumlah barang yang dikonsumsi, jadi berapa saja jumlah barang yang dikonsumsi, jumlah pendapatan akan tetap, kurva permintaan sejajar dengan sumbu vertikal. 5. Ep = ~ tak hingga, ini dinamakan elastis sempurna, kurva permintaan sejajar dengan sumbu horizontal. Putong, 2010 Untuk suatu barang normal, elastisitasnya adalah positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian akan barang tersebut. Selain barang normal, di pasar juga tersedia barang inferior. Untuk barang inferior, elastisitasnya adalah negatif karena kuantitas permintaannya menurun ketika pendapatan konsumen meningkat. Dengan kata lain, barang inferior adalah barang yang dibeli oleh orang – orang yang tidak mampu membeli barang lain yang lebih baik atau karena harganya lebih tinggi. Contohnya adalah angkutan umum bis kota. Jika pendapatan masyarakat meningkat, mereka tentu akan membeli mobil sendiri akibatnya permintaan jasa angkutan bis kota menurun. Alasannya, karena barang pangan merupakan kebutuhan pokok sehingga naik atau tidaknya pendapatan, orang tetap akan membelinya. Jika pendapatan naik, kuantitas permintaannya memang bertambah, tapi tidak banyak. Berbeda dengan barang – barang mewah seperti mobil atau barang – barang elektronik, baru akan dibeli jika pendapatan meningkat. Itu sebabnya kuantitas permintaan barang – barang mewah naik mencolok ketika pendapatan masyarakat meningkat Sukirno, 2008. Universitas Sumatera Utara

2.3. Kerangka Pemikiran