4,29 Penentuan jumlah gugus sulfonat Komposit Zeolit-Karbon Sulfonat

Dewi E. dkk.Seroprevalensi Virus Avian Influenza H5N1 pada Ketiga Jenis Burung ... 398 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 [4] Aulia, DP. 2007. Seroprevalensi Virus Avian Influenza H5N1 pada Burung Kuntul Kerbau Bubulcus ibis di Kawasan Cagar Alam Pulau Dua Serang Banten [Skripsi]. FMIPA UAI: Jakarta [5] [CMS] Convention on Migratory Species. 2006. Avian Influenza and Wild Bird.www.cms.intavianflucms_ai_brochure_oct06.pdf [6] Elfidasari, D. 1997. Perilaku Makan Kuntul Sedang Egretta intermedia dan Kuntul Kecil E.garzetta serta Keberhasilan Makan pada Lingkungan Perairan di Banda Aceh dan Aceh Besar [Skripsi]. FMIPA: Universi- tas Syah Kuala: Banda Aceh [7] Elfidasari, D. 2001. Ekologi dan Perilaku Mencari Makan Tiga Jenis Kuntul di Daerah Sekitar Cagar Alam Pulau Dua, Serang, propinsi Banten [Tesis]. IPB: Bogor [8] Fang LQ, de Vles SJ, Liang S, Looman CWN, Gong P, Xu B, Yan L, Yang H, Richardus JH, Cao WC. 2008. Environmental Factors Contributing to the Spread of H5N1 Avian Influenza in Mainland China. http:www.plosone.orgarticleinfo3Adoi2F10.13712Fjournal.pone.0002268. [2 Feb 2011] [9] Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1995. Virologi Veteriner Edisi kedua. Semarang : IKIP Semarang Press. Terjemahan dari Veterinery Virology. [10] Mohamad, K. 2006. Flu Burung. Adapted From by bernd Sebastian Kamps, Christian Hoffmann, and Wolfgang Preiser.www.influenzareport.cominfluenzareport_indonesian.pdf [11] Nazarudin, Wawan. 2008. Avian Influenza pada Unggas. Pusat Kesehatan Hewan. http:www.vet- klinik.com [12] [OIE] World Organization for Animal Health. 2009. Avian Influenza. [13] Rusila, Noor. Y dan N.Andalusi, Umar, Sueb, Madsahi. 1996. Perhitungan Burung Air di Pulau Dua dan Pulau Pamujan Besar Teluk Banten Jawa Barat. PHPA: Wetland International: Bogor. [14] Rusila, Noor. Y, Dibjo Sartono dan Dana S. 2000. Paparan Potensi Dan Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua, Serang Sebagai Kawasan Berbiak Burung Air. PKA Wetland International: Bogor [15] Tamher dan Noorkasiani. 2008. Flu Burung Aspek Klinis dan Epidemiologis. Salemba Medika: Jakarta. [16] Yali Si, et.al. 2010. Environmental Factors Influencing the Spread of Highly Pathogenic Avian Influenza H5N1 Virus in Wild Bird in Europe. http:www.ecologyandsociety.orgvol15isss33art26 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 399 Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area Kampus Universitas Sriwijaya Indralaya Doni Setiawan, Guntur Pragustiandi, Yuanita Windusari, Indra Yustian Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Sriwijaya; e-mail: doniunsrigmail.com Abstract: The Research about estimation of carbon stock trees stands at Indralaya Sriwijaya Univer- sity campus area was conducted on July-September 2013. The research was aimed to know calculate carbon stocks stored in tree stands at Indralaya Sriwijaya University campus area. There is total of 6 plot size was 100m x 20m is used to represent the tree stands sampling and determination plot using purposive sampling method. Diameter was measured at breast height tree stands diameter at breast height dbh. The standing of biomass which allometric equation calculated by stating 45 of tree biomass carbon stocks stored. The results showed that the average carbon stock stored in each plot is 33.56 tonC ha. The largest stock of carbon was found on plot 5 is 66.29 tonCha and the smallest was found on plot 4 is 11.01 tonC ha. The results showed that the average carbon stock stored in each plot is 33.56 tonC ha. The largest stock of carbon was found on plot 5 is 66.29 tonCha and the smallest was found on plot 4 is 11.01 tonC ha. Total potential carbon stored in Indralaya Sriwijaya University campus area which area about of 195.061 ha sampling is 6.545.47 tonC. Keywords: The estimation of carbon stock, tree stands, Sriwijaya University Indralaya. 1 PENDAHULUAN eningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca GRK di atmosfer yang dapat menyebabkan terganggunya perubahan iklim secara global oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi salah satunya jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan emisi CO 2 ke udara serendah mungkin, Tumbuhan bawah merupakan vegetasi yang hidup di atas permukaan tanah yang mampu menyerap CO 2 dengan cara melalui fotosintesis yang diubah menjadi bahan organik karbohidrat, sehingga dapat mengurangi sebaran CO 2 di udara. Universitas Sriwijaya Unsri adalah Perguruan Tinggi Negeri, yang terletak di wilayah Kecamatan Inderalaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan utama kampus Inderalaya dengan luas sekitar 712 hektar terletak 38 kilometer ke arah selatan Kota Palembang dan berada pada ketinggian 5 m dpl. ini, meliputi dataran rendah yang terdiri dari daerah terestrial dan daerah rawa Bapsi Unsri, 2008. Perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan Kampus Unsri tanpa disadari akan terganggu, karena banyaknya faktor antara lain karena adanya kegiatan manusia, pembukaan lahan baru melalui penebangan pohon dengan dibakar dan pembangunan gedung-gedung baru dapat merusak tatanan lingkungan kampus hijau Unsri yang bisa meyebabkan pelepasan emisi CO 2 ke atmosfer, Untuk mengantisipasi hal tersebut, peneliti memiliki obsesi untuk menciptakan lingkungan kampus Unsri yang hijau atau green campus, sebagai institusi pendidikan dengan perspektif world class university , Unsri mempunyai modal berupa pengetahuan, potensi kawasan dan alokasi dana untuk menjadi significant others bagi lingkungan di sekitarnya. Lingkungan Unsri yang masih hijau sangat diperlukan untuk menuju program kampus hijau atau yang lebih dikenal dengan ” Go green Campus ” yang merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan sebagai upaya mitigasi pemanasan global dengan mengkaji pendugaaan cadangan karbon pada tegakan pohon di area kampus Unsri, Inderalaya. Sehubungan dengan meningkatnya aktivitas pengembangan kawasan Kampus Unsri Inderalaya maka penelitian tentang berapa kandungan tersimpan karbon pada tegakan pohon sebagai data dasar pendugaan potensi stock karbon kawasan Unsri pada saat ini setelah hampir 19 tahun kampus Unsri berdiri, menjadi sangat penting untuk dilakukan. Mengingat luasan kawasan Unsri yang begitu luas 712 ha maka kawasan batas studi penelitian yang akan dilakukan dibatasi di sekitar lingkungan M Doni S. dkk. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area ... 400 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 kampus Unsri minimal sepertiga dari luas wilayah keseluruhan dengan kajian utama estimasi cadangan karbon pada tegakan pohon sebagai salah satu upaya menyikapi perubahan iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai pendugaan potensi biomassa dan kandungan cadangan karbon tersimpan pada tegakan pohon di sekitar kawasan lingkungan Kampus Unsri Inderalaya pada kondisi terkini. 2 METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013. Bertempat di kawasan kampus Unsri Inderalaya. Pengukuran berat kering sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blanko pengamatan, GPS Global Positioning System , gunting, pisau golok, jangka sorong calliper , kamera digital, kantong plastik, amplop besar, kompas, label, rol meter 50 m, oven, pita ukur, tali rafia, timbangan pegas kapasitas 8 kg, timbangan 5 kg timbangan digital, sekop, gergaji kayu, Bahan yang dibutuhkan adalah contoh tumbuhan pada tegakan pohon terutama batang,cabang dan ranting pohon. Wilayah studi yang akan dilaksanakan adalah kawasan kampus Unsri, Inderalaya kec. Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, dengan total luas keseluruhan 712 ha, karena kawasan hutan kampus Unsri cukup luas maka objek studi di batasi di sekitar lingkungan kampus Unsri yang diwakili 6 tran- sek dan diharapkan sudah menkover sepertiga dari luas total wilayah secara keseluruhan. Penentuan transek penelitian didasarkan pada kondisi yang dapat mewakili purposive vegetasi di kawasan sekitar lingkungan kampus Unsri, Inderalaya. Berdasarkan masterplan kawasan kampus Unsri, Inderalaya ditetapkan ada 6 transek yang tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi Transek Penelitian di Kawasan sekitar kampus Unsri, Inderalaya Transek Titik Koordinat Lokasi Awal Akhir 1 03 o 13 ’10.9’’ LS 104 o 38 ’23,8’’ BT 03 o 13 ’09.7’’ LS 104 o 38 ’26,8’’ BT Aboretum 2 03 o 12 ’45.3’’ LS 104 o 38 ’41.5’’ BT 03 o 12 ’42.5’’ LS 104 o 38 ’40.9’’ BT Belakang FKM 3 03 o 13 ’22,2’’ LS 104 o 38 ’13.3’’ BT 03 o 13 ’21.9’’ LS 104 o 38 ’15.9’’ BT Kebun kelapa sawit 4 03 o 13 ’29.8’’ LS 104 o 39 ’24.2’’ BT 03 o 13 ’27.2’’ LS 104 o 38 ’22.9’’ BT Pinggiran rawa, belakang Rusunawa 5 03 o 13 ’15.4’’ LS 104 o 38 ’37.7’’ BT 03 o 13 ’18.9’’ LS 104 o 38 ’37.9’’ BT Aboretum 6 03 o 14 ’01.4’’ LS 104 o 38 ’06.3’’ BT 03 o 14 ’00’’ LS 104 o 38 ’03.5’’ BT Sebelah selatan perbatasan desa Tj. Pering Biomassa dan cadangan karbon pohon dari kawasan hutan Universitas Sriwijaya Indralaya diketa- hui dengan cara menetapkan plot penelitian yang dapat mewakili sebaran vegetasi yang diamati pur- posive sampling . Plot ukur desain yaitu 100 x 20 m Hairiah et al. 2011. Pengukuran Biomassa Tegakan Pengukuran biomassa pada penelitian ini menggunakan metode non-destructive tidak merusak ba- gian tanaman. Dengan mencatat nama setiap pohon yang ditemukan di plot penelitian, kemudian di- ukur diameter setinggi dada. Seperti yang dijelaskan oleh Hairiah et al. 2011, bahwa pengukuran biomassa pohon dapat dilakukan dengan menaksir volume tanpa melakukan perusakan atau non- destructive . Volume pohon dapat ditentukan dari ukuran diameter batangnya, yang diukur setinggi dada atau 1,3 m dari permukaan tanah. Doni S. dkk. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 401 Analisa Data Berat Jenis Kayu Nilai biomassa dapat diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui berat jenis BJ kayu dari masing- masing jenis pohon. Seperti yang dijelaskan oleh Hairiah et al. 2011, bahwa bila pohon yang diukur belum ada dalam daftar BJ kayu, maka ditetapkan berat jenis BJ kayu dari masing-masing pohon dengan jalan memotong salah satu cabang, lalu diukur panjang, diameter dan ditimbang berat basah- nya. Setelah itu dimasukkan dalam oven, pada suhu 80 o C selama 2x24 jam atau sampai didapatkan berat konstan. Kemudian dihitung volume dan Berat jenis BJ dengan rumus sebagai berikut: Volume cm 3 = µ R 2 T di mana: R = Jari-jari potongan cabang = ½ x diameter cm, T = Panjang cabang cm. BJ g cm −3 = Berat Kering g Volume Cm 3 Biomassa Pohon Mengukur biomassa pohon yang bercabang dapat menggunakan rumus allometrik sederhana yang dikembangkan oleh Ketterings 2001 dalam Lusiana et al. 2011 Sedangkan untuk pohon yang tidak bercabang menurut Hairiah 2002 dalam Lusiana et al. 2011 menggunakan rumus : B = π 40 x ρ x H x D 2 Keterangan: B = Biomassa kgtree, ρ = Berat jenis kayu gcm -3 , D = Diameter pohon cm. Total biomassa dan biomassa per satuan luas dapat ditentukan menggunakan rumus yang dijelaskan oleh Hairiah et al. 2007. Total biomassa = B 1 + B 2 + B 3 + ………. + B n Biomassa per satuan luas = Total biomassa Luas area m 2 Biomassa pohon dalam berat kering dapat dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik yang berdasarkan pada diameter pohon setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah. Tabel 2. berisi daftar persamaan allometrik yang digunakan dalam mengestimasi biomassa pada berbagai jenis vegetasi di lokasi penelitian. Tabel 2. Estimasi biomassa pohon menggunakan persamaan allometrik. Jenis Pohon Persamaan Allometrik Sumber Pohon-pohon bercabang B = 0,11 ρ D 2,62 Ketterings, 2001 Pohon tidak bercabang B = π40 ρ H D 2 Hairiah, 2002 Palem B = BA Hρ Hairiah, 2000 Sawit B = 0,1208 D 1,98 Ketterings, 2001 ICRAF, 2009 Keterangan: B = Biomassa atau berat kering tegakan kg pohon -1 . D = Diameter pohon cm setinggi dada 1,3 m. ρ = Berat jenis kayu gcm -3 . H = tinggi pohon cm. BA = basal area cm -2 . Cadangan Karbon Pohon Lusiana 2011 menyatakan bahwa dari berat kering komponen penyimpan karbon dalam suatu luasan tertentu kemudian dikonversi ke nilai karbonnya dengan perhitungan sebagai berikut: Karbon biomassa = Biomassa x 0,45 Jadi, diperkirakan 45 dari biomassa pohon merupakan cadangan karbon. Doni S. dkk. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area ... 402 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan kampus Universitas Sriwijaya, Indera- laya untuk menduga jumlah cadangan karbon yang terkandung pada tegakan pohon dikawasan terse- but didapatkan hasil berupa Tabel 3. sebagai berikut: Tabel 3. Jumlah pohon, jumlah rata-rata diameter dan biomassa dan cadangan karbon tegakan pohon di kawasan Universitas Sriwijaya, Indralaya. Plot Jumlah Pohon Rata-rata Diameter pohon cm Biomassa tonha Kandungan ton Cha 1 16 29,94 55,6 25,02 2 25 31,05 79,74 35,88 3 30 71,52 85,33 38,34 4 11 26,09 24,46 11 5 27 32,2 147,32 66,29 6 19 27,63 48,1 22,1 Total 128 218,43 440,56 198,7 Rata-rata 21,33 36,41 73,43 33,12 Berdasarkan Tabel 3. terlihat nilai biomassa tertinggi terdapat pada plot 5 yaitu 147,32 tonha den- gan rata-rata diameter pohon 32,2 cm. Nilai biomassa terendah terdapat pada plot 4 yaitu 24,46 tonha dengan rata-rata diameter pohon 26,09 cm. Plot 5 terletak dikawasan aboretum. Besarnya nilai bio- massa pohon disebabkan rata-rata diameter yang besar serta adanya keragaman jenis pohon berat je- nis yang berbeda-beda didalam plot tersebut.Adanya keragaman jenis pohon diplot 5 dibanding pada plot 4 menyebabkan nilai biomassa pohon pada plot 5 lebih besar. Pada plot 5 ada 9 jenis pohon yang tercatat sedangkan pada plot 4 hanya 3 jenis pohon saja. Pada plot 5 juga rata-rata diameter pohon lebih besar yaitu 32,2 cm sedangkan pada plot 4 rata-rata diameter pohon yaitu 26,09 cm. Hal ini me- nandakan adanya perbedaan jenis dan diameter pohon mempengaruhi besarnya nilai biomassa pohon tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asril 2009 yang menjelaskan bahwa pertumbuhan diameter berhubungan dengan pertambahan biomassa pohon serta berhubungan pula dengan jumlah karbon yang tersimpan ditanaman tersebut. Adanya hubungan antara bagian-bagian pohon seperti antara di- ameter pohon dengan tinggi pohon juga mempengaruhi nilai biomassa suatu tumbuhan. Menurut Adi- nugroho et. al. 2006, bahwa biomassa bagian-bagian pohon berkorelasi positif dengan diameter dan tinggi total pohon tersebut. Korelasi positif biomassa bagian pohon lebih besar terjadi dalam hubun- gannya dengan diameter pohon dibandingkan dengan tinggi totalnya, dari korelasi positif tersebut da- pat diartikan bahwa peningkatan diameter pohon akan diikuti pula dengan peningkatan biomassa pada setiap bagian-bagian pohon tersebut. Kandungan karbon tersimpan berdasarkan Tabel 3. diatas diten- tukan dengan pengukuran biomassa pohon. Karbon tersimpan merupakan 45 dari Biomassa pohon yang diukur. Biomasa pohon dalam berat kering dihitung menggunakan allometric equation ber- dasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah dalam cm Bakrie 2009. Plot ke-5 yang terletak di kawasan aboretum memiliki biomassa pohon terbesar yaitu 147,32 tonha yang tentunya memiliki cadangan karbon terbesar pula yaitu 66,29 ton Cha. Transek keenam vegetasi didominasi oleh beberapa jenis pohon Acacia spp, Syzygium spp dan Nephelium sp yang memiliki diameter rata-rata lebih besar dan jumlah individu yang lebih besar pula dari tumbuhan lain- nya didalam transek. Menurut Hairiah 2007, menyatakan bahwa jumlah karbon tersimpan antar la- han berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Sehingga semakin banyak jumlah pohon dengan diameter besar maka akan se- makin tinggi karbon yang dapat diserap di wilayah tersebut. Plot ke-4 yang terletak didekat perairan rawa memiliki biomassa terkecil yaitu 24,46 tonha dan cadangan karbon yang kecil pula yaitu 11 tonCha. Nilai biomassa dan cadangan karbon yang rendah pada transek ini disebabkan kecilnya nilai kerapatan yaitu 0,027 atau sedikitnya jumlah individu po- hon yang ditemukan pada plot ke-4 yaitu 11 individu pohon, dengan rata-rata diameter pohon 26,09 Doni S. dkk. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 403 cm walaupun demikian ada beberapa jenis pohon seperti Acacia spp. dan jenis Melaleuca leucadon- dron yang memiliki diameter pohon diatas 30 cm. Ketika musim hujan kawasan ini tergenang oleh air sehingga hanyajenis tumbuhan tertentu yang mampu hidup pada kondisi ini. Seperti terdapatnya jenis Melaleuca leucadondron yang lebih dominan pada plot ini. Menurut Rahayu et. al, 2007 menje- laskan bahwa perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian disebabkan karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon den- gan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila diban- dingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Pada plot 2 dan plot 3 yang hanya memiliki satu jenis spesies pada tiap transek yaitu pada plot 2 hanya ada 1 jenis pohon yaitu Acacia sp.Hal ini disebabkan lokasi plot 2 terletak di belakang Klinik Unsri yang merupakan kawasan yang sengaja ditanam tumbuhan jenis Acacia sp. karena tanaman je- nis ini relatif cepat tumbuh. Menurut Purwitasari 2011: 3 bahwa Acacia sp termasuk ke dalam sub famili Mimosoideae.famili Leguminosae. Tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh fast growing species dan mudah tumbuh adaptive pada kondisi lahan yang rendah tingkat kesuburannya. Akasia juga termasuk salah satu pohon yang memiliki daya serap karbon yang tinggi. Plot 3 hanya ada Elaeis guineensis juga dikarenakan pada plot 3 terletak dikawasan perkebunan kela- pa sawit sehingga tipe vegetasinya di dominasi oleh jenis kelapa sawit. Adanya perbedaan jumlah cadangan karbon yang didapat yaitu disebabkan dari perbedaan struktur vegetasi dari tiap transek, tumbuhan yang memiliki diameter besar dan berat jenis kayu yang besar akan menyimpan biomassa serta cadangan karbon yang besar pula. Total biomassa tegakan pohon tersimpan pada kawasan kampus unsri Indralaya sebesar 14.323,33tonha,dengan total kandungan karbon sebesar 6.459,84 tonCha.Rata-rata cadangan karbon adalah 33,12 tonCha telah memenuhi kriteria minimal jumlah cadangan karbon yang ada pada hutan hujan tropis. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto 2010: 58, yang menyatakan bahwa hutan hujan tropis terletak pada 10 o LU dan 10 o LS dan cadangan karbon minimal yang dapat tersimpan pada biomassa tumbuhan dalam hutan hu- jan tropis sebesar 11 tonha. Merujuk pada Golden Agri_Resources dan SMART 2012: 9, hutan dengan cadangan karbon tinggi lebih dari 35 tonCha diklasifikasikan sebagai hutan yang perlu dipertimbangkan untuk dikon- servasi. Walau rata-rata cadangan karbon di kawasan kampus Universitas Sriwijaya Indralaya hanya 33,12tonCha atau masih dibawah kriteria tersebut, namun kawasan ini juga perlu dipertimbangkan untuk dikonservasi mengingat ada plot yang memiliki cadangan karbon yang tinggi plot 5 arbore- tum dan berpotensi sebagai kawasan penyimpan karbon dan ruang terbuka hijau untuk Kabupaten Ogan Ilir. 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rata-rata biomassa pohon pada 6 transek penelitian sebesar 73,43tonha dan rata-rata cadangan kar- bonnya 33,12 ton Cha, sehingga estimasi jumlah total karbon pada tegakan pohon dikawasan kampus Universitas Sriwijaya Indralaya adalah sebesar 6.459,84tonC Saran Dari hasil penelitian kawasan kampus Unsri Inderlaya juga berpotensi sebagai kawasan penyimpan karbon dan ruang terbuka hijau untuk Kabupaten Ogan Ilir sehingga menyarankan kepada Pihak BAPSI untuk mempertahankan keberadaan tumbuhsn bawah yang ada, terutama pada kawasan zona bagian depan dan kawasan belakang Unsri dekat arboretum dan perkebunan kelapa sawit Fakultas Pertanian, hal ini dikarenakan pada zona tersebut mempunyai potensi besar untuk menyimpan cadangan karbon di dalam kawasan kampus Unsri, Inderalaya dan juga menyarankan untuk melakukan penanaman pohon pada kawasan kolam retensi yang baru dibuat. Doni S. dkk. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Pohon di Area ... 404 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Pihak Unsri yang telah membantu memberikan kontribusi dana melalui DIPA Universitas Sriwijaya No. 023-04.2.4.41511122013 Tanggal 15 Desember 2012, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian Unggulan Kompetitif Universitas Sriwijaya, Nomor : 0566UN9.4.2.1LK-ULP2013 Tanggal : 18 Maret 2013. REFERENSI [1] Adinugroho, W.C., I. Syahbani, MT. Rengku, Z. Arifin, Mukhaidil. 2006. Teknik Estimasi Cadangan Karbon Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 19971998 di PT. Inhutani I, Batu Ampar, Kaltim. Laporan Hasil Penelitian : Teknologi dan Kelembagaan Pemanfaatan Jasa Hasil Hutan Sebagai Penyerap Karbon. PSDA Loka Litbang Satwa Primata. Kaltim. 45 hlm [2] Asril. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon diatas Permukaan Tanah Rawa Gambut di Stasiun Penelitian SUAQ Balimbing Kabupaten Aceh Selatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Program Studi Bi- ologi . Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. xi+105 hlm. [3] BAPSI. 2008. Masterplan Kawasan Kampus Unsri Inderalaya. Penerbit Unsri Press. [4] Bakri. 2009. Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Pohon di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 67 hlm. [5] Hairiah, K., SM Sitompul, M. van Noordwijk C Palm K. 2001. Methods for sampling carbon stock above and below ground . International Centre for Research in Agroforestry Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. 23 p. [6] Hairiah, K. 2007. Perubahan Iklim Global: Neraca Karbon di Ekosistem Daratan. Universitas Brawijaya. Malang. 14 hlm. [7] Hairiah, K S. Rahayu. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indo- nesia. 77 hlm. [8] Hairiah, K., dan D. Murdiyarso. 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon Terestrial. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. Bogor. 88 hlm. [9] Lusiana, Betha., M. V. Noorwijk, Rahayu, S. 2011. Cadangan Karbon DI Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial Dan Pemodelan. Word Agroforestry Centre. Bogor: iii + 87 hlm. [10] Rahayu, S., B. Lusiana, M. V. Noordwijk. 2007. Pendugaan Cadangan Carbón di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur . World Agroforestry Centre. Bogor. 56 hlm. Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 405 Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran Indigenous Penghasil Xilanase Elisa Nurnawati 1,4 , Sebastian Margino 2 , Erni Martani 2 , Sarto 3 1 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya nurnawatiyahoo.com, 2 Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, 3 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 4 Program Studi Bioteknologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Abstrak: Jamur lebih banyak digunakan sebagai penghasil xilanase. Hal ini dikarenakan xilanase jamur diproduksi secara ekstraseluler. Xilanase yang mempunyai aktivitas tinggi dalam pH alkali berpotensi digunakan dalam industri pulp dan kertas sebagai agen pra-pemutihan pulp. Isolasi jamur alkali penghasil xilanase dari tanah hutan Wanagama Gunungkidul menghasilkan isolat jamur 10WNGM yang bersifat alkalitoleran. pH tanah asal isolat bersifat netral 6,56 sehingga isolat jamur ini mampu hidup dalam kisaran pH luas. Berdasarkan karakterisasi secara morfologi dan molekular menggunakan gen daerah D1D2 28s rDNA, isolat jamur 10WNGM diidentifikasi sebagai anggota Acremonium sclerotigenum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks xilanolitik Acremonium sclerotigenum 10WNGM dalam media basal xilan agar adalah sebesar 1,448 dan aktivitas xilanase spesifik sebesar 203,721 Umg protein. Kata kunci: jamur alkalitoleran, xilanase, Acremonium sclerotigenum10WNGM, daerah D1D2 1 PENDAHULUAN amur merupakan organisme eukariotik heterotrof yang banyak dijumpai di darat dan hanya sedikit ditemukan pada lingkungan aquatik. Toleransi jamur terhadap tingkat kemasaman cukup tinggi. Akan tetapi ternyata terdapat cukup banyak jamur yang mampu tumbuh dalam kondisi alkali. Jamur alkalofilik yang diisolasi dari tanah alkali mempunyai pH optimum alkali untuk pertumbuhannya Nagai et al., 1998. Jamur alkalofilik adalah kelompok organisme yang pertumbuhannya optimum pada pH di atas 9 10 – 12 tetapi tumbuh sangat lambat pada pH netral ± 6,5. Jamur alkalofilik dapat ditemui pada berbagai habitat dengan kisaran pH luas, walaupun jumlahnya lebih banyak pada lingkungan alkali. Penelitian mengenai mikroorganisme alkalofilik masih terbuka lebar. Sampai saat ini mikroorganisme alkalofilik telah banyak diisolasi dan diproduksi enzimnya karena aplikasinya di bidang industri sangat besar terutama dalam industri pulp dan kertas Horikoshi, 2004. Aplikasi xilanase dalam industri pulp dan kertas dilakukan pada proses pemutihan pulp sebelum dicetak menjadi kertas yang berwarna putih. Pelepasan lignin dari serat selulosa merupakan sasaran utama proses pemutihan kertas. Selama proses pembuatan pulp, residu lignin akan tertinggal dan teri- kat secara kovalen dengan xilan hemiselulosa dan selulosa, sehingga perombakan xilan oleh xilana- se akan berdampak pada lepasnya lignin dari pulp. Hidrólisis enzimatik xilan pada permukaan serat selulosa meningkatkan permeabilitas struktur serat , sehingga memungkinkan senyawa kimia masuk ke dalam serat dan lignin lebih mudah dihilangkan. Hilangnya kandungan xilan, walaupun hanya se- dikit, akan membuka ikatan antara lignin dengan selulosa, selain mengakibatkan penurunan kebu- tuhan energi selama proses pemutihan. Oleh karena itu, perlakuan pulp dengan xilanase menyumbang peran dalam lepasnya lignin secara signifikan. Enzim yang digunakan dalam pemutihan pulp harus memiliki aktivitas optimum pada suhu tinggi, pH tinggi alkali dan bebas dari aktivitas selulase. Teknologi ramah lingkungan yang menggunakan enzim xilanolitik dapat menjadi alternatif bagi in- dustri pulp dan kertas untuk mengurangi pemakaian senyawa klor Bajpai, 1999; Subramaniyan Prema, 2000; Subramaniyan Prema, 2002; Saul et al., 2008. Jamur dipilih sebagai mikrobia penghasil xilanase karena produknya bersifat ekstraseluler sehing- ga memudahkan dalam proses panennya. Selain itu, jamur mampu menghasilkan enzim pemecah rantai samping xilan secara lengkap. Xilanase jamur sebagian besar merupakan xilanase yang memili- ki aktivitas optimal pada pH asam - netral. Akan tetapi, ada xilanase jamur yang mempunyai aktivitas J Elisa N. dkk.Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran ... 406 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 tinggi pada kondisi alkali, sehingga mudah diaplikasikan pada industri pulp dan kertas. Karakteristik xilanase jamur umumnya berbeda-beda tergantung pada spesies jamur produsennya. Beg et al., 2001; Subramaniyan Prema, 2002; Horikoshi, 2004. Oleh karena itu pencarian jamur penghasil xilanase yang memiliki toleransi terhadap pH tinggi terus dilakukan. 2 METODE PENELITIAN Strain jamur dan media Jamur diisolasi dari beberapa sampel tanah hutan yang berbeda menggunakan media CMA Corn Meal Agar alkali seperti yang dilakukan oleh Nagai et al., 1998. Media CMA alkali disiapkan den- gan mencampur media CMA steril dan buffer 3 larutan Na 2 CO 3 dan NaH 2 PO 4 .2H 2 O steril sesaat sebelum dipakai. pH akhir media sekitar 9. Isolasi dilakukan menggunakan metode surface plate. Iso- lat yang tumbuh pada media dipindahkan ke media baru sampai diperoleh isolat murni. Kemampuan isolat jamur menghasilkan xilanase dalam media agar Semua isolat jamur yang diperoleh diuji pada media basal 1 xilan agar yang bersifat alkali. Kompo- sisi media basal adalah gL: K 2 HPO 4 2.0; KH 2 PO 4 2.0; NH 4 NO 3 2.0; MgSO 4 0.6; CaCl 2 0.5; bir- chwood xylan 10.0, Agar 20.0 Kar et al., 2006. Untuk mendapatkan pH alkali ditambahkan 3 la- rutan Na 2 CO 3 dan NaH 2 PO 4 .2H 2 O steril sehingga diperoleh pH media akhir sekitar 8,8. Isolat jamur penghasil xilanase diseleksi berdasarkan pembentukan zona jernih di sekitar koloni setelah diuji menggunakan Congo Red 0,1 Nair et al., 2008. Kemampuan isolat jamur menghasilkan xilanase dalam media cair Produksi xilanase oleh isolat jamur dilakukan dalam medium basal 1 xilan cair. Inokulum jamur dimasukkan dalam media produksi dengan metode agar plug dari isolat jamur yang telah diinkubasi dalam media agar selama 7 hari. Produksi xilanase dilakukan dalam suhu ruang dengan kecepatan agitasi 100 rpm. Pengujian aktivitas xilanase Aktivitas xilanase jamur dalam media cair diuji menggunakan metode DNS dengan xilosa sebagai standar. Ekstrak kasar enzim diperoleh dengan memisahkan sel jamur dari media cair menggunakan metode sentrifugasi dan filtrasi. Ekstrak kasar enzim supernatan digunakan sebagi sumber enzim dan juga diukur kadar proteinnya menggunakan metode Bradford dengan BSA sebagai standar. Aktivitas enzim U dinyatakan sebagai jumlah enzim yang mampu menghasilkan gula reduksi yang setara dengan 1 mol xilosa per menit. Karakterisasi morfologi Isolat jamur yang mampu menghasilkan enzim xilanolitik dari hasil seleksi, diidentifikasi berdasarkan karakter makroskopis dan mikroskopis. Karakterisasi makroskopis dilakukan pada beberapa media yang berbeda dengan mengamati pertumbuhan, diameter koloni, warna koloni dan warna media seki- tar pertumbuhan jamur. Pengamatan morfologi mikroskopis dilakukan dengan pembuatan preparat basah. Karakter mikroskopis yang diamati adalah ada tidaknya sekat pada hifa, sporakonidia bentuk, warna, permukaan luar, sporangioforkonidiofor. Berdasarkan hasil karakterisasi, identifikasi dilaku- kan dengan membandingkan karakter yang diperoleh dengan jamur yang ada pada Domsch et al. 1980, Pitt Hocking 1994 dan Samson et al. 2004 untuk mengetahui genus jamur yang dimak- sud. Karakterisasi molekular Karakterisasi lebih lanjut dilakukan secara molekuler dengan menganalisis urutan DNA ribosom yaitu daerah D1D2 daerah sub unit 28s Gambar 1 yang kemudian dibandingkan dengan data urutan DNA genus jamur yang sesuai yang telah diketahui. Elisa N. dkk.Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 407 Ekstraksi DNA jamur dilakukan mengikuti metode Plaza et al. 2004. Amplifikasi daerah D1D2 dilakukan menggunakan GoTaq Green Master Mix Promega dan sepasang primer forward NL1 5’- GCATATCAATAAGCGGAGGAAA- 3’ dan primer reverse NL4 5’-GGTCCGTGTTTCAAGAC GG- 3’ Panelli et al., 2013. Produk PCR dianalisis dalam agarose 2 dan selanjutnya disekuensing. Hasil sekuen fragmen DNA dianalisis menggunakan program Sequence scanner v1.0 Applied Biosystem dan Lasergene 7.2 DNASTAR Inc., 2007. Homologi sekuen fragmen DNA hasil se- kuensing dengan data sekuen yang telah dilaporkan sebelumnya dicari menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool BLAST di situs GenBank http:www.ncbi.nlm.nih.gov .. Pembentukan pohon filogeni menggunakan algoritma Neighbor-Joining NJ. Gambar 1. Posisi daerah D1D2 dalam gen rDNA 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tanah hutan sebagai sumber strain jamur diketahui memiliki pH antara 5 – 6,56. Oleh karena itu, strain jamur alkali yang ditemukan memiliki toleransi cukup besar terhadap perubahan pH alka- lotoleran. Jamur alkali dapat hidup berdampingan dengan jamur netral Horikoshi, 2004. Tanah hu- tan mengandung bahan organik yang sangat tinggi hasil dekomposisi bagian tumbuhan yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan tanah dengan kandungan bahan organik tinggi dari tumbuh-tumbuhan merupakan sumber potensial pencarian jamur xilanolitik. Adanya bahan or- ganik dari tumbuh-tumbuhan memungkinkan jamur xilanolitik menggunakannya sebagai substrat per- tumbuhan mengingat xilan merupakan kandungan utama tumbuh-tumbuhan setelah selulosa dan lig- nin. Gambar 2. Pembentukan zona jernih tanda panah pada media basal 1 xilan agar Tabel 1. Aktivitas xilanolitik strain jamur 10WNGM No. Kode isolat Aktivitas xilanolitik Indeks xilanolitik Aktivitas xilanase UmL Aktivitas spesifik xilanase Umg protein 1. A10WNGM 1,448 3,753 203,721 Isolat jamur yang berpotensi tinggi sebagai penghasil xilanase adalah strain 10WNGM yang diiso- lasi dari tanah hutan Wanagama Gunungkidul. Dalam media basal 1 xilan agar, strain jamur 10WNGM ini memiliki luas zona bening sebesar 1,448 Gambar 2. Nilai ini dinyatakan sebagai in- deks xilanolitik. Pembentukan zona jernih pada media agar yang mengandung birchwood xylan seba- Elisa N. dkk.Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran ... 408 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 gai satu-satunya sumber karbon menunjukkan terjadinya hidrolisis xilan oleh isolat jamur netral mau- pun alkali. Hidrolisis xilan ini disebabkan karena isolat jamur mampu mensekresikan enzim xilanase untuk menggunakan xilan di sekeliling koloni jamur tersebut Nair dkk., 2008. Strain jamur 10WNGM memiliki aktivitas xilanase sebesar 3,753 UmL dan aktivitas spesifik xilanase 203,721 Umg protein dalam buffer Glisin-NaOH pH 9,0 Tabel 1. Strain 10WNGM memiliki potensi untuk digunakan dalam proses pemutihan pulp karena dalam proses tersebut lebih disukai xilanase yang memiliki aktivitas tinggi di pH alkali Srinivasan Rele, 1999. Tabel 2. Karakter makroskopis isolat jamur terpilih No. Karakter A10WNGM Karakter makroskopis 1. Medium PDA a. Warna koloni b. Diameter koloni Putih agak pink 6,723 cm c. Warna media di sebalik koloni Coklat 2. Medium MEA a. Warna koloni b. Diameter koloni Putih 3,600 cm c. Warna media di sebalik koloni Coklat 3. Medium Czapek Dok Agar a. Warna koloni b. Diameter koloni Putih agak pink 3,300 cm c. Warna media di sebalik koloni Kuning muda 4. Medium CYA a. Warna koloni b. Diameter koloni Putih 2,022 cm c. Warna media di sebalik koloni Agak kekuningan 5. Medium G25N a. Warna koloni b. Diameter koloni Pink muda 2,117 cm c. Warna media di sebalik koloni Agak kekuningan Karakter mikroskopis 1. Hifa Bersekat 2. Warna hifa Coklat muda 3. Bentuk spora Elips cenderung bulat 4. Warna spora Coklat muda 5. Sporangiofor Bercabang 6. Badan buah Tidak ada Gambar 3. Morfologi koloni dan mikroskopis Acremonium sclerotigenum A10WNGM dalam berbagai media pertumbuhan. A MEA, B Czapek Dox Agar, C PDA dan D hifa dan konidia A B C D Elisa N. dkk.Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 409 Strain 10 WNGM dikarakterisasi secara fenotipik dan genotipik. Karakterisasi fenotipik dilakukan dengan pengamatan morfologi makroskopis dan mikroskpois. Hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis Tabel 2 menunjukkan bahwa strain A10WNGM diduga merupakan anggota genus Acremonium . Masing-masing isolat memiliki pertumbuhan yang cukup beragam dalam berbagai me- dia penguji. Diameter koloni dan warna masing-masing isolat dalam media yang sama juga menun- jukkan perbedaan Gambar 3. Hal ini dapat digunakan sebagai petunjuk untuk identifikasi ke arah genus. Diameter koloni genus Acremonium adalah tidak melebihi 5 cm dalam media CYA selama 7 hari inkubasi Pitt Hocking, 1994. Strain 10WNGM memiliki pertumbuhan cukup lambat dalam media agar. Koloninya kompak dan seperti beludru di permukaan agar. Warnanya putih agak merah muda sampai kekuningan tergantung pada jenis media yang digunakan Gambar 3A-3C. Morfologi mikroskopis menunjukkan hifa dengan percabangan sporangiofor. Konidia berbentuk elips Gambar 3D. Gambar 4. Pohon filogeni strain jamur 10WNGM bersama strain acuan hasil konstruksi berdasarkan algoritma Neighbour-joining Karakterisasi genotipik dilakukan berdasarkan analisis sekuen gen daerah D1D2. Daerah D1D2 rDNA strain jamur yang merupakan bagian dari gen rDNA sub unit besar 28s. Daerah ribosomal DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain jamur sampai ke hierarki taksonomi bawah kare- na urutannya tidak banyak berubah dalam proses evolusi dan sangat bervariasi Park et al., 2002. Daerah D1D2 diamplifikasi menggunakan primer NL1 dan NL4. Berdasarkan analisis daerah D1D2 diketahui bahwa strain 10WNGM memiliki kedekatan dengan Acremonium slerotigenum strain CBS142.42 dan Acremonium slerotigenum strain CBS786.69 99, 5 Gambar 4. Acremonium sclerotigenum merupakan jamur yang dikenal sebagai penyebab penyakit pada tum- buhan dan kontaminan pada produk pertanian Pitt Hocking, 1994. Aktivitas xilanolitik Acremo- nium sclerotigenum belum banyak ditemukan. Anggota genus Acremonium yaitu Acremonium cellu- lolyticus telah dilaporkan sebagai jamur xilanolitik yang cukup tinggi aktivitasnya dan bersifat ter- mostabil Kishishita et al., 2013; Watanabe et al., 2014. Strain Acremonium sclerotigenum 10WNGM mempunyai aktivitas xilanolitik tinggi dalam menggunakan birchwood xylan berpotensi dipelajari lebih jauh mengenai kondisi dalam produksi xilanasenya sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pemutihan pulp . Elisa N. dkk.Acremonium sclerotigenum 10WNGM Jamur Alkalitoleran ... 410 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 4 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian diketahui bahwa strain jamur 10WNGM yang mampu hidup di kondisi alkali mampu menghasilkan xilanase yang mempunyai aktivitas tinggi di kondisi alkali. Strain jamur 10WNGM diidentifikasi sebagai Acremonium sclerotigenum yang memiliki kekerabatan tinggi 99,5 dengan Acremonium slerotigenum strain CBS142.42 dan Acremonium slerotigenum strain CBS786.69 REFERENSI [1] Bajpai, P. 1999. Application enzyme in the pulp and paper industry. Biotechnol. Prog. 15 2 : 147 – 157. [2] Beg, Q.K., M. Kapoor, L. Mahajan, G. S. Hoondal. 2001. Microbial xylanases and their industrial applica- tions: a review. Appl. Microbiol. Biotechnol. 56:326 –338. [3] Domsch, K.H., W. Gams T.H. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Academic Press. London. [4] Horikoshi, K. 2004. Alkaliphils. Proc. Jpn. Acad., Ser B 80 : 166 – 179. [5] Kishishita, S., M.Yoshimi, T. Fujii, L.E. Taylor 2nd , S.R. Decker, K. Ishikawa H. Inoue. 2014. Cellulose- inducible xylanase Xyl10A from Acremonium cellulolyticus: Purification, cloning and homologous expres- sion. Protein Expr Purif. 94:40-5. Doi: 10.1016j.pep.2013.10.020. Epub 2013 Nov 7 [6] Kar, S., A. Mandal, P.K. das Mohapatra, K.C. Mondal B.R. Pati. 2006. Production of cellulose-free xyla- nase by Trichoderma reesei SAF3. Brazillian Journal of Microbiology. 37 : 462 – 464 [7] Nagai, K., K. Suzuki G. Okada. 1998. Studies on the distribution of alkalophilic and alkali-tolerant soil fungi II : Fungal flora in two limestone caves in Japan. Mycoscience. 39 : 293 – 298. [8] Nair, S.G., R. Sindhu S. Shashidar. 2008. Fungal xylanase production under solid state and sub-merged fermentation conditions. African Journal of Microbiology Research. 2 : 82 – 86. [9] Panelli, S., E. Brambati, C. Bonacina M. Feligini. 2013. Diversity of fungal flora in raw milk from the Italian Alps in relation to pasture altitude. SpringerPlus. 2 405. doi:10.11862193-1801-2-405 [10] Park, H.S., G.Y. Kim, B.H. Nam, S.J. Lee J.D. Lee. 2002. The determination of the partial 28s ribosomal DNA sequences and rapid detection of Phellinus linteus and related species. Microbiology. 30 2 : 82 – 87. [11] Pitt, J.I. A.D. Hocking. 1994. Fungi and Food Spoilage. Springer. New York. [12] Plaza, G.A., R. Upchurch, R.L.Brigmon, W.B. Whitman K. Ulfig. 2004. Rapid DNA extraction for screening soil filamentous fungi using PCR amplification. Polish Journal of Environmental Studies. 13 3 : 315 – 318. [13] Samson, R.A., E.S. Hoekstra J.C. Prisvad. 2004. Introduction to Food and Airborne Fungi. Seventh Edi- tion. Centralbureu voor Schimmelcultures. The Nederlands. 389 p. [14] Saul, D.J., M.D. Gibbs P.L. Bergquist. 2008. Enzimatic Bleaching of Wood Pulp. www.nzic.org.nzChemProcessesforestry4E.pdf. Diakses pada 16 April 2008. [15] Srinivasan, M.R. M.V. Rele. 1999. Microbial xylanases for paper industry. Current Science. 77 1 :137 - 142 [16] Subramaniyan, S P. Prema. 2000. Cellulase-free xylanase from Bacillus and other microorganisms. FEMS Micobiology Letters. 183 : 1 – 7 [17] ________________________. 2002. Biotechnology of microbial xylanases : enzymology, molecular biolo- gy and application. Critical Reviews in Biotechnology. 22 1 : 33 – 46 [18] Watanabe, M., H. Inoue, B. Inoue, M. Yoshimi, T. Fujii K. Ishikawa. 2014. Xylanase GH11 from Acremonium cellulolyticus : homologous expression and characterization. AMBExpress. 4 27. doi: 10.1186s13568-014-0027-x Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 411 Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang di Sekitar Lokasi Kegiatan PLTGU di Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Endri Junaidi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya Abstrak: Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap PLTGU menghasilkan air limbah dengan volume sekitar 847 m 3 hari berupa limbah cair water treatment LCWT dan limbah cair kumulatif LCK yang berasal dari unit pemeliharaan mesin, boiler, cooling tower, ceceran minyak dan limbah domestik yang dibuang ke sungai Borang. Adanya air limbah panas yang masuk ke dalam perairan diduga akan menganggu ekosistem sungai terutama biota akuatik. Penelitian mengenai komunitas plankton di Sungai Borang bertujuan untuk mengetahui apakah limbah cair yang masuk ke sungai Borang berpengaruh terhadap komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman jenis plankton dalam perairan tersebut. Penelitian ini diakukan selama 1 satu tahun dengan waktu pengambilan sampel plankton 4 empat bulan sekali, yang diikuti dengan pengukuran parameter fisik-kimia air sungai. Metode pengambilan sampel adalah Stratified Random Sampling dengan menetapkan 3 tiga lokasi pengambilan sampel. Hasil penelitian didapatkan komposisi jenis sebanyak 6 kelas, yang terdiri atas 23 -26 jenis, kelimpahan populasi berkisar antara 120 – 159 IndividuL. Indeks keanekaragaman jenis plankton berdasarkan kriteria indeks Shannon –Wiener termasuk kategori sedang, yaitu berkisar 2,814 – 2,993. Nilai kesamaan komunitas antar stasiun berdasarkan Indeks of Sorenson menunjukkan bahwa antar stasiun memiliki kesamaan yang tinggi yaitu berkisar 72,0 – 80,8. Kualitas perairan berdasarkan parameter fisik-kimia yang diukur tidak menunjukkan adanya parameter yang melebihi baku mutu lingkungan, sesuai Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Peruntukan Air dan Baku Mutu Air Sungai. Kondisi ini menunjukkan bahwa limbah cair dan limbah panas yang berasal dari kegiatan PLTGU yang masuk ke perairan Sungai Borang tidak berpengaruh terhadap komunitas plankton. Kata kunci: PLTGU, sungai Borang, limbah cair, struktur komunitas plankton 1 PENDAHULUAN ungai Borang merupakan salah satu DAS Sungai Musi, yang terletak di Desa Merah Mata, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Sungai Borang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehrai-hari antara lain: untuk mandi, cuci dan kakus MCK, transportasi, pertanian, dan perikanan. Beragamnya aktivitas tersebut dapat memberikan masukan limbah ke badan perairan, sehingga dapat menurunkan kualitas air sungai tersebut. Selain itu juga ada aktivitas kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap PLTGU yang menghasilkan limbah cair yang berasal dari unit pengolah air bersihunit sedimentasi yang disebut limbah cair water treatment LCWT dan limbah cair kumulatif LCK yang berasal dari unit pemeliharaan mesin, boiler, cooling tower, ceceran minyak lindi, limbah domestik, dll dialirkan melalui satu aquaduct. Kedua sumber dampak tersebut semuanya dialirkan ke Sungai Borang.yang menghasilkan limbah thermal dari proses boiler dan limbah domestik dari perumahana karyawan, diperkirakan dapat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik terutama plankton. Gangguan terhadap komunitas plankton akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem sungai, karena komponen penyusun suatau ekosistem saling terintegrasi satu sama lainnya, membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem sungai tersebut Suwondo et al 2004. Kegiatan PLTGU PT Asrigita Prasarana yang beroperasi di Desa Merah Mata Kecamatan Banyuasin I dengan kapasitas 150 MW, dimana PLTGU ini mulai beroperasi pada bulan Juli 2004. Unit pembangkit yang dioperasikan merupakan siklus sederhana dan siklus kombinasi yang menghasilkan limbah cair dan limbah thermal. Menurut Wilson 1974: 112, limbah thermal memberikan dampak yang luas terhadap komunitas biota akuatik terutama plankton dan larva ikan. S Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... 412 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Hasil pengamatan komunitas plankton di Sungai Borang Tahun 2006 didapatkan komposisi jenis pada bagian hulu, tengah dan hilir dari kegiatan PLTGU berkisar 26 - 27 jenis, kelimpahan populasi berkisar 154 – 213 individuL dan nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar 3,010 - 3,100, yang termasuk kategori keanekaragaman tinggi. Hasil pengamatan tahun 2011 didapatkan komposisi jenis berkisar 22 – 27, kelimpahan populasi berkisar 104,2 – 160,4 individuL dan nilai indeks keanekaragaman berkisar tergolong kategori sedang – tinggi, yaitu berkisar 2,712 – 3,218 yang termasuk kategori sedang sampai tinggi. Kehadiran plankton dalam perairan merupakan salah satu parameter biologi yang dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan Fachrul, 2007. Untuk melihat perubahan terhadap struktur komunitas plankton akibat adanya masukan limbah cair dan limbah thermal dari kegiatan PLTGU pada sungai Borang, maka perlu dilakukan pemantauan terhadapstruktur komunitas plankton tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap biota akuatik terutama komunitas plankton di Sungai Borang. 2 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret - Desember 2013, dimana pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 tiga pengambilan sampel. Pengambilan sampel plankton dilakukan pada 3 lokasi pada Sungai Borang, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir kegiatan PLTGU. Penentuan lokasi pengambilan sampel ditentukan dengan Metode Stratified Random Sampling . Analisis data meliputi komposisi jenis, kelimpahan plankton mengacu pada formula APHA 1980 dan nilai indeks keanekaragaman jenis menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener Odum 1993. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil pengamatan terhadap sampel plankton pada perairan sungai Borang selama 3 kali pengambilan sampel diperoleh komposisi jenis tidak memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan dibanding dengan hasil pengamatan Tahun 2011. Komposisi plankton didapatkan 6 kelas yang terdiri atas 23- 26 jenis. Komposisi jenis plankton yang didapatkan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1-4. Gambar 1. Jumlah Jenis Plankton pada Sungai Borang Selama Penelitian Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 413 Gambar 2. Komposisi Plankton Berdasarkan Kelas pada Bulan Maret 2013 Gambar 3. Komposisi Plankton Berdasarkan Kelas pada Bulan Agustus 2013 Gambar 4. Komposisi Plankton Berdasarkan Kelas pada Bulan Desember 2013 Pada Gambar 2-4 menunjukan bahwa komposisi komunitas plankton dari Kelas Bacillariophyceae dan Chlorophyceae memiliki genera yang paling banyak dibandingkan dengan kelas lainnya. Banyaknya genera dari Kelas Bacillariophyceae dan Chlorophyceae disebabkan karena Chlorophyceae merupakan alga yang banyak hidup di air tawar, memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen terlarut dalam air, sehingga membantu dalam perkembangannya dan didukung oleh parameter fisika-kimia dan nutrien yang cukup dalam perairan. 32 29 23 7 3 6 Komposisi Bulan Maret Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Mastigophora Monogononta Crustaceae 32 29 19 7 7 6 Komposisi Bulan Agustus Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Mastigophora Monogononta Crustaceae 32 32 23 7 3 3 Komposisi Bulan Desember Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Mastigophora Monogononta Crustaceae Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... 414 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Bacillariophyceae merupakan mikroflora utama di lingkungan perairan, karena kelimpahannya yang tinggi dan dapat ditemukan pada beragam habitat. Melimpahnya Bacillariophyceae sebagai penyusun perifiton disebabkan karena diatom mempunyai kemampuan melekat pada permukaan substrat lebih baik dari mikroalga lainnya, hal ini karena Bacillariophyceae memiliki material berupa lendir atau dibantu suatu organel berupa kitin Iqbal 2008 dalam Puspitasari 2008: 26. Banyaknya genera dari kelas Bacillariophyceae dalam perairan menandakan bahwa perairaan mengandung bahan organik yang tinggi. Menurut Sachlan 1982 bahwa kelas Chlorophyceae memiliki kemampuan untuk berkembang biak yang lebih tinggi dan beranekaragaman dengan tujuan untuk mempertahankan dari sifat lingkungan yang berubah-ubah. Genera yang banyak ditemukan di perairan tawar dari kelas Chlorophyceae yaitu Scenedesmus, Ankistrodesmus, Coelastrum dan Penium . Barus, 2002. Kelimpahan plankton pada sungai Borang selama 3 kali pengamatan juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan setiap pengamatan, dimana kelimpahan plankton pada bulan Maret 2013 didapatkan berkisar 142 – 150 individuL, sedangkan pada pengamatan bulan Agustus 2013 didapatkan kelimpahan plankton berkisar 124 – 127 individuL dan pada bulan Desember 2013 didapatkan kelimpahan plankton berkisar 120 – 159 individuL. Stabilnya kelimpahan plankton pada sungai Borang disebabkan karena sungai Borang merupakan sungai besar dengan debit air yang cukup tinggi. Selain itu hasil pengamatan lapangan terlihat bahwa pada perairan sungai Borang banyak ditemukan tumbuhan air berupa eceng gondok, dimana tumbuhan air ini dapat menyuplai nutrien bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan plankton. Selain itu kelimpahan plankton yang tinggi disebabkan karena, kualitas air sungai Borang yang belum tercemar, yang ditandai dengan parameter fisik kimia air sungai dapat memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan mengacu pada Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Peruntukan Air dan Baku Mutu Air Sungai. Menurut Fachrul 2007 bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi dan kelimpahan plankton dalam perairan yaitu faktor fisika-kimia dan biologi serta unsur hara. Kelimpahan plankton setiap pengamatan berfluktuasi, namun fluktuasi ini tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Adanya fluktuasi kelimpahan plankton dipengaruhi oleh perubahan berbagai faktor lingkungan terutama ketersediaan nutrisi dan musim. Pengambilan sampel pda bulan Maret 2013 merupakan musim hujan, sehingga kelimpahan plankton lebih tinggi dibanding pada bulan Agustus 2013 dan Desember 2013. Flukatuasi kelimpahan plankton pada sungai Borang dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Kelimpahan Plankton pada Sungai Borang Selama Penelitian Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 415 Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman merupakan gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Menurut Payne 1990 keanekragaman merupakan ukuran tingkat pengaturan dan efisiensi pemanfaatan, materi, ruang dan waktu dalam komunitas. Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman jenis plankton selama penelitian berfluktuasi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang siqnifikan, yaitu berkisar 2,814 – 2,993, yang termasuk kategori keanekaragaman jenis sedang dan tingkat kesuburan perairan termasuk kategori mesotrofik. Grafik kecenderungan indeks keanekaragaman plankton selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 6 Tingginya keanekaragaman spesies plankton pada Sungai Borang ini menggambarkan bahwa ekosistem sungai Borang masih sangat stabil dan belum mendapat tekanan dari lingkungan sekitarnya. Biasanya kondisi komunitas yang memiliki keanekaragaman sedang, pengaruh lingkungan relatif kecil. Hal ini menunjukan bahwa limbah cair dan limbah panas yang berasal dari kegiatan PLTGU tidak memberikan tekanan lingkungan atau pencemaran air, sehingga kualitas perairan Sungai Borang memiliki daya dukung yang tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan plankton. Gambar 6. Grafik Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Plankton pada Sungai Borang Sealama Penelitian Indeks Kesamaan antar Stasiun Hasil perhitungan nilai indeks kesamaan komunitas plankton berdasarkan Indeks of Sorenson didapatkan nilai indeks kesamaan komunitas plankton antar stasiun pengamatan berkisar 72,0 - 80,8, dimana nilai indeks ini mengambarkan bahwa komunitas plakton antar stasiun memiliki kesamaan yang relatif tinggi, karena nilai indeks 50 . Nilai indeks kesamaan antar stasiun yang tinggi disebabkan, karena kandungan nutrien yang cukup merata dalam perairan dan kualitas perairan masih dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan plankton dalam perairan tersebut.. Menurut Fachrul 2008, nutrien anorganik diabsorpsi menjadi nutrien organik melalui proses fotosintesis. Nutrien organik inilah yang siap dimanfaatkan oleh plankton untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Menurut Barus 2002 adanya kesamaan unsur hara atau nutrien yang terkandung di perairan ini juga berpengaruh terhadap kesamaan jenis antar lokasi pengamatan. Hasil analisa kesamaan plankton antar stasiun ditunjukkan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Indeks Kesamaan komunitas Plankton antar stasiun Stasiun Bulan Maret 2013 Agustus 2013 Desember 2013 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 - 77,5 79,1 - 76,5 78,2 - 72,0 76,5 2 - 72,3 - 80,8 - 73,4 3 - - Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... 416 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Faktor Fisika-Kimia Perairan Hasil pengukuran parameter fisika –kimia perairan setiap pengambilan sampel plankton di Sungai Borang secara periodik disajikan pada Tabel 3.2. Hasil analisis laboratorium secara umum semua parameter yang di ukur dapat memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan sesuai Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No 16 Tahun 2005 tentang Peruntukan Air dan Baku Mutu air Sungai, kecuali untuk parameter BOD dan nitrat sudah melebihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Tingginya ke-2 parameter ini menunjukan bahwa kandungan bahan organik di dalam perairan cukup tinggi, yang berasal dari limbah domestik yang masuk ke dalam perairan dan tumbuhan yang mati yang mengalami proses biodegradasi. Kandungan nitrat NO 3 di perairan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan plankton di perairan, karena NO 3 berkaitan dengan nutrisi bagi plankton. Nitrat merupakan nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga plankton. Tingginya NO 3 nitrat diperairan juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti limbah yang berasal dari buangan pabrik dan sampah organik. Tabel 3.2. Hasil Analisis Kualitas Air Air Sungai Borang No Parameter Satuan BML Lokasi Pengambilan Sampel Sungai Brang bagian hulu S 2 56’514” E 104 51’497” Sungai Brang bagian tengah S 2 55’412” E 104 52’247” Sungai Brang bagian hilir S 2 55’244” E 104 52’ 299” Parameter Fisika 1 Temperatur C Deviasi 3 32 31,5 31,5 2 Kekeruhan NTU 42,8 10,8 31,9 3 Zat Padat Tersuspensi mgl 50 14 8 17 4 Zat Padat Terlarut mgl 1000 130 50 210 Parameter Kimia 5 pH - 6-9 5,00 5.20 5,13 6 BOD-5 mgl 2 6,0 4,4 6.0 7 COD mgl 10 8,6 8,1 8,8 8 DO mgl 6 7,3 6,7 7,2 9 Nitrat NO 3 mgl 0,06 5,490 1.058 2,633 10 Nitrit NO 2 mgl 2 0,088 0.036 0,053 11 Amoniak bebas NH 3 mgl 0,5 ttd 0.022 ttd 12 Natrium Na mgl - 3 4 3 13 Kalium K mgl - 4 3 4 14 Kalsium Ca mgl - 2,46 2.92 3,23 15 Magnesium Mg mgl - 2,29 2.99 2,33 16 Mangan Mn mgl 0,1 ttd ttd ttd 17 Timbal Pb mgl 0,3 0,01 0,01 0,01 Sumber: Data Primer, Desember 2013. BML Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 16 Tahun 2005 tentang Peruntukan Air dan Baku Mutu Air Sungai 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian terhadap struktur komunitas plankton di Sungai Borang di sekitar lokasi kegiatan PLTGU didapatkan struktur penyusun komunitas plankton sebanyak 6 kelas, yang terdiri atas 23 -26 jenis, kelimpahan populasi berkisar antara 120 –159 IndividuL. Indeks keanekaragaman jenis plankton termasuk kategori sedang, yaitu berkisar 2,814 – 2,993. Nilai kesamaan komunitas antar stasiun berdasarkan Indeks of Sorenson menunjukkan bahwa antar stasiun memiliki kesamaan yang tinggi yaitu berkisar 72,0 – 80,8. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komunitas plankton pada Sungai Borang masih cukup stabil dan tidak mendapat tekanan lingkungan yang siqnifikan akibat masuknya limbah cair dan limbah panas yang berasal dari operasional PLTGU. Endri J.Struktur Komunitas Plankton di Perairan Sungai Borang ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 417 Saran Evaluasi terhadap komunitas plankton harus dilakukan setiap 4 bulan sekali selama kegiatan operasional PLTGU untuk melihat perubahan yang terjadi akibat masuknya limbah cair dan limbah panas ke sungai Borang. REFERENSI [1] Anonim, 2005. Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan No. 16 Tahun 2005 tentang Peruntukan Air dan Baku Mutu Air Sungai [2] APHA. 1980. Standard Methods For The Examination of Water and Waste Water. APHA Inc. New York: 120 hlm. [3] Basmi, J.K. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kua litas Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor : V + 60 hlm. [4] Barus, TA. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA USU, Medan. [5] Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Bogor : Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. [6] Fachrul, M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Cetakan Pertama. Bumi aksara Jakarta. [7] Mason, C.F. 1996. Biology of Freshwater Pollution. Third Edition. Longman Group UK Limited. UK. xii + 355 hal. [8] Mizuno, T. 1979. Illustrations of The Fresh Water Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co.Itd. Japan . [9] Needham. J.G Needham P.R. 1962. A Quide of The Study of Fresh Water Biology. Fifth edition, Revised and Enlarged. United States of America [10] Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Jilid Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : xxi + 697 hlm. [11] Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang [12] Wilson, R., William J. Jones. 1974. Energy, Ecology, and, Enviroment. Academic Press Inc. London. xiv + 354 hal 418 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy Juveniles Helostoma temminckii C.V. on Permanent Culture Pool Effendi Parlindungan Sagala, Enggar Patriono, and Ajiman Biology Department of Science Faculty, Sriwijaya University, South Sumatra, Indonesia; email: epsagala54gmail.com, Hp.+628153568038 Abstract: The research of plankton abundance before and after spreading the kissing gouramy Juve- niles Helostoma temminckii C.V. in permanent pool culture had been done since January upto April 2014 in area of aquaculture pool at the Bukit Lama Village, District Ilir Barat I, Palembang City. Ac- cording to the results of identification and analysis, could be find nine genera of plankton in the pool before spreading kissing gouramy juveniles. The nine of plankton genera which found were Coelos- phaerium, Aphanocapsa, Chlorella, Rivularia, Spirulina and Quadrigula as phytoplankton and then Chydorus, Cyclops and Harpacticus as zooplankton. After spreading kissing gouramy’s juveniles during one month could be find ten genera of plankton, namely Ankistrodesmus, Gloeocystis, Qua- drigula, Spirulina and Chlorella phytoplankton; Chydorus, Cyclops, Ha rpacticus, Anisonema and Carteria zooplankton. Furthermore, after two mounths spreading kissing gouramy’s junenile were found threeteenth genera of plankton. The 13th genera were Ankistrodesmus, Chlorella and Gloeocys- tis phytoplankton; Chydorus, Cyclops, Cypris, Harpacticus, Anisonema, Carteria, Monas, Oicomo- nas, Phacus, and Tracheolomonas zooplankton. The Genera plankton whose decreased of abun- dance namely Coelosphaerium, Aphanocapsa, Rivularia, Quadrigula and Spirulina. Whereas the kinds of plankton that increased their population becouse there were growth of some genera, namely Ankistrodesmus, Gloeocystis and Chlorella, phytoplankton; Chydorus, Cyclops, Harpacticus, Ani- sonema, Carteria, Monas, Oicomonas, Phacus , and Tracheolomonas zooplankton. The kissing gou- ramy Juveniles whose age upto three months can be predicted to consume the phytoplanktons groups better than zooplankton. Especially, the kissing gouramy would eat more cyanophyceae filamentous than other phytoplankton. The kissing gouramy Juveniles whose ages more three months can be as- sumed did not eats all of zooplankton genera groups. Keywords: kissing gouramy juveniles, plankton, pool, abundance. Abstrak: Penelitian tentang kelimpahan plankton sebelum dan sesudah penebaran bibit ikan Temba- kang Helostoma temminckii C.V. berumur 1 bulan telah dilakukan pada kolam permanen pembudi- dayaan berlangsung dari bulan Januari hingga April 2014, di kolam budidaya, Kelurahan Bukit La- ma, Kecamatan Ilir Barat I Palembang. Dari hasil identifikasi dan analisis yang dilakukan diketahui terdapat 9 genera plankton yang terdiri dari 3 kelas pada kolam sebelum penebaran bibit ikan Temba- kang, yaitu Coelosphaerium, Aphanocapsa , Rivularia, Spirulina, Quadrigula dan Chlorella sebagai fitoplankton, kemudian Chydorus, Cyclops dan Harpacticus sebagai zooplankton. Selanjutnya sete- lah penebaran bibit ikan selama 1 bulan, terdapat 10 genera plankton yaitu: Ankistrodesmus, Chlo- rella, Gloeocystis, Quadrigula dan Spirulina sebagai fitoplankton dan Chydorus, Cyclops, Harpacti- cus , Anisonema dan Carteria sebagai zooplankton. Kemudian, setelah penebaran bibit ikan temba- kang selama 2 bulan, terdapat 13 genera terdiri dari Ankistrodesmus, Chlorella dan Gloeocystis seba- gai fitoplankton serta Chydorus, Cyclops, Cypris, Harpacticus, Anisonema, Carteria, Monas, Oico- monas , Phacus, dan Trachelomonas sebagai zooplankton. Genera plankton yang mengalami penuru- nan nilai kelimpahan yaitu Coelosphaerium, Aphanocapsa , Rivularia, Quadrigula dan Spirulina fi- toplankton. Sedangkan genera plankton yang justru meningkat kelimpahannya setelah penebaran bi- bit ikan tembakang yaitu Ankistrodesmus, Gloeocystis dan Chlorella dalam kelompok fitoplankton, kemudian Chydorus, Cyclops, Harpacticus, Anisonema, Carteria, Monas, Oicomonas, Phacus, dan Tracheolomonas dalam kelompok zooplankton. Bibit ikan tembakang dengan umur sampai dengan 3 bulan diduga lebih membutuhkan atau menyukai fitoplankton dibanding zooplankton. Bibit ikan tembakang dengan umur sampai dengan 3 bulan diduga kuat tidak memakan semua genera dari ke- lompok zooplankton. Kata kunci: bibit ikan tembakang, plankton, kolam, kelimpahan. E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 419 1 PENDAHULUAN eberadaan plankton pada suatu ekosistem perairan sangatlah penting. Kelompok plankton tum- buhan atau fitoplankton dengan kemampuanya mengubah zat anorganik menjadi zat organik sebagai organisme produsen dalam proses fotosintesisnya juga penting dalam mensuplai oksigen ke- dalam ekosistem perairan. Dalam sistem rantai makanan food chains fitoplankton dimakan oleh zooplankton yang bertindak sebagai konsumen primer atau secara langsung dimakan oleh kelompok ikan pemakan plankton planktonfeeders. Effendie 2002: 7 berdasarkan makanannya menggolongkan ikan menjadi: ikan pemakan plank- ton, pemakan tumbuhan, pemakan detritus, pemakan ikan lain dan pemakan campuran. Dalam upaya pembudidayaan, kelompok ikan pemakan plankton relatif lebih sulit dikembangkan bila dibandingkan dengan kelompok ikan pemakanan yang lainnya, hal ini disebabkan untuk pengadaan pakan alami berupa plankton harus dapat mengaplikasikan budidaya kultur plankton yang memadai dalam eko- sistem yang sesuai. Ikan Tebakang Helostoma temminckii C.V. juga dikenal dengan nama Kissing Gouramy meru- pakan jenis ikan air tawar yang berkembang biak di habitat rawa dan sungai-sungai rawa di dataran rendah. Di pasaran ikan ini mempunyai niai harga yang relatif mahal dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya. Belakangan ini, harga ikan tebakang dengan kualitas yang baik mencapai Rp. 50.000,- Rp. 70.000,- per kg dengan ukuran berat lebih dari 250 gram per ekor. Berdasarkan hasil analisis lambung yang dilakukan, ternyata saluran pencernaan makanan ikan te- bakang memiliki ukuran yang cukup panjang, yaitu melebihi dari anjang tubuhnya, sehingga sesuai dengan Lagler at. Al. 1962: 152 bahwa ikan tebakang ini termasuk ikan herbivora, yaitu pemakan tumbuhan dalam hal ini fitoplankton. Ciri lain dari ikan pemakan tumbuhan adalah memiliki celah mulut yang kecil atau bukaan mulut yang kecil dan memiliki gigi-gigi penyaring plankton dari air yang masuk melalui mulutnya. Usaha pembudidayaan ikan tembakang hingga saat ini masih sangat jarang dilakukan karena bebe- rapa kendala seperti penyediaan bibit dan pakan alami untuk bibit ikan untuk siap tebar dalam budi- daya pembesarannya. Dengan demikian, penelitian mengenai kelimpahan plankton sebelum dan sesu- dah penebaran bibit ikan Tembakang Helostoma temminckii C.V. pada kolam permanen pembudi- dayaan cukup penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi untuk mela- kukan pembudidayaan dengan melihat jenis-jenis atau genera plankton apa saja yang penting sebagai pakan alami bibit ikan tebakang. 2 BAHAN, ALAT DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan April 2014. Lokasi penelitian ber- tempat di kolam budidaya, Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Se- latan. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Indralaya. Analisis kandungan nitrat dan fosfat diuji di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Universi- tas Sriwijaya, Indralaya. Alat yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain Plankton Net, ember berukuran 10 Liter, pompa air, botol flakon, pipet tetes, buku identifikasi, Sedgewick - Rafter Counting Cell kapasitas 1 cc, mikroskop, secchi disk , termometer batang o C, pH meter, KIT DO dan CO 2 . Sedangkan bahan yang dibutuhkan antara lain formalin 4, pupuk dolomite, pupuk NPK, dan bibit ikan tembakang Helostoma temminckii C.V. umur 1 bulan dengan ukuran panjang sekitar 30-35 mm serrta bobot 1 grekor yang diperoleh dari tempat pemijahan ikan tebakang, Kelurahan Sukajadi Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Kolam permanen berukuran 3 m x 3 m dibersihkan dengan mengeringkannya terlebih dahulu den- gan membasuh dengan air bersih, lalu diisi kembali dengan air kolam rawa menggunakan pompa hingga kedalaman air mencapai 35 cm. Setelah itu, kedalam kolam diberikan dolomite 500 gr dan NPK sebanyak 100 gr. Lalu kolam dibiarkan selama 1 bulan untuk menumbuhkan planktonnya. Ke- mudian dilakukan penebaran bibit ikan tebakang berumur 1 bulan sebanyak 120 ekor. Selama peneli- K E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... 420 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 tian, dilakukan pengamatan terhadap bibit ikan tebakang yang hanya memakan plankton yang tumbuh dalam kolam Teknik pengambilan sampel plankton di kolam penelitian menggunakan metode pengambilan sampel acak random sampling . Sampling plankton dilakukan sebanyak 3 kali yaitu setelah 1 bulan pemupukan atau sebelum penebaran bibit ikan tembakang, kemudian setelah penebaran bibit ikan tembakang selama 1 bulan dan 2 bulan setelah penebaran bibit ikan tembakang. Pengambilan sampel plankton dilakukan pada siang hari sekitar pukul 11.00 siang dengan tiga kali ulangan. Sampel air ko- lam diambil sebanyak 50 liter kemudian disaring dengan Plankton Net no. 25 sehingga didapatkan air saringan yang mengandung plankton yang selanjutnya ditampung dalam botol flakon 25 cc dan diberi label keterangan meliputi informasi waktu pengambilan, tanggal dan ulangan, kemudian sampel di- awetkan dengan formalin 4 sebanyak 1 cc. Selanjutnya sampel disimpan untuk selanjutnya diamati di Laboratorium. Pengukuran faktor fisika kolam meliputi parameter temperatur air, dan kecerahan. Sedangkan fak- tor kimia kolam meliputi pH, CO 2 , DO, Nitrat dan Fosfat. Identifikasi sampel plankton dilakukan di laboratorium dengan mengamati secara langsung menggunakan mikroskop pada perbesaran 20 x 10. Setelah diaduk perlahan, sampel plankton diambil dengan pipet tetes lalu dimasukkan ke dalam Sedgwick - Rafter Counting Cell SRCC kapasitas 1 cc. Dengan SRCC itu, diakukan pengamatan dengan bantuan Mikroskop perbesaran 150 dan 400 X. Identifikasi plankton menggunakan buku Da- vis 1955, Edmonson 1959, Needham Needham 1962, Mizuno 1979 dan Pal Choudhury 2014. Hasil pengamatan ditabulasi, lalu dihitung kelimpahan dan indeks keanekaragaman komunitas plankton untuk setiap sampel. Penentuan kelimpahan plankton dilakukan dengan cara strip counting cell pada alat SRCC. Kelim- pahan plankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah individu setiap spesies atau generaliter. Kepadatan setiap spesies tau genera plankton dihitung dengan menggunakan rumus: N = n x VrVo x 1Vs Dalam hal ini: N = Jumlah sel per liter; n = Jumlah sel yang diamati; Vr = Volume air tersaring ml; Vo = Volume air yang diamati pada SRCC, dalam cc atau ml; Vs = Volume air yang disaring lt. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shanon-Wiener dalam Pal dan Choudhury 2014:68. H = - ∑ Pi log Pi, di mana H = indeks diversitas Shanon-Wiener; Pi = niN; Ni = jumlah individu jenis ke-i; N = jumlah total individu; S = jumlah genera atau spesies. Menurut Odum 1971:41 untuk mengetahui adanya dominansi jenis tertentu diperairan dapat di- gunakan indeks dominansi Simpson dengan persamaan berikut: D = � �=1 �� � 2 Dalam hal ini: D = indeks dominan Simpson; Ni = jumlah individu jenis ke-i; N = jumlah total indi- vidu; S = jumlah spesies atau genera; Indeks Dominansi antara 0-1; dan apabila D = 0, atau mende- kati nol, berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainya atau struktur komunitas da- lam keadaan stabil. D = 1 atau mendekati 1 berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lainya atau struktur komunitas tidak stabil oleh adanya berbagai faktor ekologis. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dan identifikasi yang diperoleh dari hasil sampling pada kolam penelitian sebelum penebaran bibit ikan tembakang P0 komposisi plankton diketahui terdapat 9 genera plankton yang terdiri dari 3 kelas yaitu Chlorophyceae 2 genera, cyanophyceae 4 genera, dan crustaceae 3 genera. Kemudian setelah dilakukan penebaran bibit ikan tembakang selama 1 bu- lan P1 komposisi plankton diketahui terdapat 10 genera plankton yang terdiri dari 4 kelas yaitu chlo- rophyceae 4 genera, cyanophyceae 1 genera, crustaceae 3 genera dan euglenophyceae 2 genera selanjutnya setelah penebaran bibit ikan tembakang selama 2 bulan P2 komposisi plankton diketahui E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 421 terdapat 13 genera plankton yang terdiri dari 3 kelas yaitu chlorophyceae 3 genera, crustaceae 4 genera dan euglenophyceae 6 genera. Kelimpahan dan komposisi plankton sebelum dan sesudah penebaran bibit ikan tembakang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Kelimpahan dan Komposisi Plankton sebelum dan sesudah penebaran bibit ikan tebakang Helostoma temminckii C.V.. No. Taksa Plankton Kelimpahan individu liter: P0 P1 P2 I. FITOPLANKTON A. Cyanophyceae: Aphanocapsa sp. 13 Coelosphaerium sp. 40 Rivularia sp. 10 Spirulina major 10 7 B. Chlorophyceae: Ankistrodesmus falcatus 1 10 Chlorella vulgaris 13 15 27 Gloeocystis gigas 1 15 Quadrigula chodatii 10 2 II. ZOOPLANKTON Flagellata: Anisonema sp. 1 10 Carteria crucifera 2 12 Monas vivipara 20 Oicomonas sp. 3 Phacus caudatus 1 Trachelomonas sp. 5 1. Kelimpahan Komunitas Planktonlt: 117 73 183 2. Kekayaan Spesies: 9 10 13 3. Indeks Keanekaragaman H: 1,88 1,35 2,06 4. Indeks Dominansi D: 0,82 0,18 0,11 Berdasarkan hasil tabulasi data yang disajikan pada Tabel 4.1 dapat dilihat hasil analisis plankton pada 3 titik atau waktu pengamatan yaitu pada kondisi sebelum penebaran bibit ikan tembakang P0, pada kondisi setelah penebaran bibit ikan tembakang 1 bulan P1 pemeliharaan dan pada kondisi se- telah 2 bulan penebaran bibit ikan tembakang P2. Pada kondisi sebelum penebaran bibit ikan temba- kang bahwa fitoplankton didominasi oleh Cyanophyceae yaitu suatu kelompok ganggang biru sebagai tumbuhan pelopor atau lebih dahulu tumbuh karena mampu menggunakan nitrogen eksternal dari udara yang berdifusi kedalam air melalui enzim nitrogenise yang dimilikinya. Dengan memanfaatkan nutrisi melalui pemberian pupuk ke dalam kolam yaitu yaitu pupuk fosfat 100 gr 4 m 3 Sagala, 2003, terjadi pertumbuhan dari genera Cyanophyceae seperti Aphanocapsa, Coelosphaerium, Rivularia dan Spirulina yang bermanfaat sebagai pakan alami bibit ikan tembakang pada penelitian ini. Hal ini ter- bukti bahwa keberadaan dari genera Aphanocapsa, Coelosphaerium, Rivularia dan Spirulina hampir tidak dijumpai pada kondisi 1 bulan hingga 2 bulan penebaran bibit ikan tembakang. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa ada perubahan komposisi kondisi sebelum penebaran P0, hingga sesudah penebaran 1 bulan dan 2 bulan bibit ikan tembakang. Perubahan tersebut antara lain pada kelas Chlo- rophyceae yang mana genera dari Ankistrodesmus , Chlorela dan Gloeocystis seiring dengan kebera- daan bibit ikan atau setelah penebaran bibit ikan tebakang selama 1 bulan dan 2 bulan kelimpahan dari genera plankton tersebut tampak semakin melimpah. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ternyata dengan keberadaan bibit ikan tembakang pada kolam, menyebabkan beberapa genera dari kelas Flagellata semakin melimpah. Hal ini terlihat pada setelah penebaran bibit ikan tebakang selama 1 bulan terdapat 2 genera dari kelas Flagellata yaitu Ani- sonema dan Carteria , kemudian setelah 2 bulan penebaran bibit ikan tembakang terdapat 6 genera yaitu Anisonema, Carteria, Monas, Oicomonas, Phacus dan Trachelomonas . E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... 422 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Tabel 4.2. Parameter Kualitas Air Kolam Penelitian Parameter yang dianalisis Satuan Hasil Analisis Baku Mutu Air P0 P1 P2 Fisika 1. Kedalaman air Cm 35 - 2. Kecerahan Cm 20 24 21 - 3. Temperatur o C 31 31 30 - Kimia: 1. pH unit 7 6 6,5 6-9 2. CO2 mgl 0,5 0,5 0,5 - 3. DO mgl ppm 8 7 6 6 4. Nitrat NO3 mgl 4,545 3,576 3,003 10 5. Fosfat PO4 mgl 0,300 0,256 0,200 0,2 6. Amonium NH4 mgl 0,360 0,350 0,300 0,5 Baku Mutu Air Sungai Kelas II Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas plankton mengalami suatu fluktuasi kelimpa- han dan kekayaan spesies. Pada awal sebelum penebaran bibit ikan bahwa kelimpahan komunitas plankton sebesar 117 individuliter, lalu setelah penebaran sebulan kemudian kelimpahan menjadi turun menjadi 73 individuliter dan setelah 2 bulan sesudah penebaran bibit ikan, ternyata kelimpahan meningkat menjadi 183 individuliter. Perubahan kelimpahan plankton pada kolam penelitian juga disebabkan oleh adanya proses predasi oleh ikan tembakang dan ini menyebabkan suksesi terhadap komunitas plankton di kolam. Data hasil pengukuran kualitas air kolam selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil ter- sebut diperoleh setelah dianalisis baik secara insitu di laboratorium maupun exsitu menunjukan kuali- tas air selama penelitian tergolong normal khususnya untuk kehidupan plankton dan ikan. Hal ini dili- hat dari pH air untuk air tawar berkisar 6 – 7, juga temperatur air berkisar 30 – 31 o C serta beberapa parameter kimia yang tergolong lebih rendah dari baku mutu air. Dengan demikian perubahan popula- si atau flutuasi komunitas plankton pada penelitian ini didominasi oleh peristiwa biologis seperti pre- dasi yang dilakukan oleh bibit ikan tebakang dan kompetisi interspesifik diantara spesies atau genera plankton. Suhu air kolam relatif stabil berkisar antara 30-31 o C yang tergolong stabil untuk pertum- buhan ikan dan plankton. Nilai pH sebelum penebaran bibit ikan tembakang pada nilai 7 unit dan sete- lah penebaran selama 1 bulan pada nilai 6 unit selanjutnya setelah penebaran selama 2 bulan menjadi 6,5 unit. Nilai rentang pH pada 6-7 merupakan pH yang tergolong normal untuk pertumbuhan ikan dan plankton. Kandungan CO 2 terlarut sebelum penelitian pada nilai 0,5 ppm sedangkan setelah pene- baran selama 1 bulan bernilai 0,8 ppm selanjutnya setelah penebaran 2 bulan bernilai 0,7. Hal terse- but berkaitan dengan laju respirasi dan fotosintesis oleh organisme di kolam penelitian dimana pada penelitian ini semakin tinggi kelimpahan plankton khususnya fitoplankton maka akan semakin ba- nyak CO 2 yang dibutuhkan oleh plankton untuk proses fotosintesis dan yang akhirnya menyebabkan kandungan CO 2 dikolam penelitian relatif berkurang dan sebaliknya. Kadar oksigen terlarut DO se- belum penebaran bibit ikan tembakang bernilai 8 ppm dan setelah penebaran bibit ikan tembakang selama 1 bulan berubah menjadi bernilai 7 ppm selanjutnya setelah penebaran selama 2 bulan menja- di 6 ppm. Keadaan ini berkaitan dengan kandungan oksigen terlarut DO dalam perairan atau dalam hal ini di kolam budidaya sangat dipengaruhi oleh produksi dari forosintesis dari fitoplankton. Kan- dungan nitrat NO 3 pada air kolam selama penelitian berkisar 4,545 ppm - 3,003 ppm, kandungan fosfat PO 4 berkisar 0,300 ppm - 0,200 ppm, dan kandungan amonium NH 4 sebelum penebaran 0,360 ppm - 0,300 merupakan tergolong rendah untuk kebutuhan nutrisi tumbuhan aquatik Ladha Watanabe, 1987. 4 KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang didapat dan dari pembahasan yang telah dikemukakan maka dapat disim- pulkan: E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 423 1. Kelimpahan plankton sebelum penebaran bibit ikan tembakang diketahui 117 individuliter, setelah penebaran selama 1 bulan turun menjadi 73 individuliter, dan 2 bulan setelah penebaran emning- kat menjadi 183 individuliter. 2. Sebelum penebaran bibit ikan tembakang, dapat dijumpai sebanyak 9 genera plankton yang terdiri dari 3 kelas yaitu Chlorella, Quadrigula Chlorophyceae, Aphanocapsa, Coelosphaerium, Rivu- laria , Spirulina , Cyanophyceae, Chydorus , Cyclops dan Harpacticus Crustaceae. 3. Namun setelah penebaran bibit ikan tembakang selama 1 bulan, komposisi genera plankton ber- jumlah 10 genera yang terdiri dari 4 kelas yaitu Ankistrodesmus , Gloeocystis , Quadrigula , Chlorel- la Chlorophyceae, Spirulina Cyanophyceae, Chydorus , Cyclops , Harpacticus Crustaceae, Anisonema dan Carteria Flagellata. 4. Setelah 2 bulan penebaran bibit ikan tembakang, terdapat sebanyak 13 genera plankton yang terdiri dari 3 kelas yaitu Ankistrodesmus , Chlorella , Gloeocystis Chlorophyceae Chydorus , Cyclops , Cypris , Harpacticus Crustaceae, Anisonema , Carteria , Monas , Oicomonas , Phacus , dan Tra- cheolomonas Flagellata. 5. Genera plankton yang mengalami penurunan kelimpahannya adalah Coelosphaerium, Aphanocap- sa , Rivularia, Q uadrigula dan Spirulina fitoplankton. Sedangkan genera plankton yang mening- kat kelimpahannya adalah Ankistrodesmus , Gloeocystis dan Chlorella fitoplankton serta Chydo- rus , Cyclops, Harpacticus , Anisonema , Carteria , Monas , Oicomonas , Phacus , dan Tracheolomo- nas zooplankton. 6. Bibit ikan tembakang dengan umur sampai dengan 3 bulan, terbukti lebih menyukai fitoplankton disbanding zooplankton, membuktikan bibit ikan tebakang sebagai phytoplanktonfeeders atau pe- makan fitoplankton. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pakan plankton apa yang diperlukan sampai ikan dewasa dan bernilai ekonomis sebagai ikan konsumsi. REFERENSI [1] Davis, C.C. 1955. The Marine And Fresh Water Plankton. Michigna State University Press. 413hlm. [2] Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. [3] Effendie, H.M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. xi+163 hlm. [4] Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm. [5] Frandy, Y.H.E. 2009. Dinamika Komunitas Plankton dan Potensinya Sebagai Pakan Alami di Kolam Peme- liharaan Larva Ikan Nilem Osteochilus hasselti C.V.. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perai- ran Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 80+x hlm. tidak dipublikasikan [6] Handayani, D. 2009. Kelimpahan Dan Keanekaragaman Plankton Di Perairan Pasang Surut Tambak Blana- kan, Subang. Skripsi. Fakultas Sains Dan Teknologi Fakultas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. v+82 hlm. tidak dipublikasikan [7] Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indo- nesia and Sulawesi: Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi . Periplus Edition HK Ltd. lvii+291 hlm. [8] Ladha, J.K. I. Watanabe. 1987. Biochemical Basic of Azolla-Anabaena azollae symbiosis. Prossiding Workshop on Azolla Use. Fzhou, Fujian, China, Manila IRRI. Hal 48-49. [9] Needham. J.G Needham P.R. 1962. A Quide of The Study of Fresh Water Biology. Fifth edition, Revised and Enlarged. United States of America. 105 hlm [10] Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company. Philadelphia- London. Toronto. Xii + 697 hlm. [11] Pal, R., Avik Kumar Choudhury. 2014. An Introduction to Phytoplanktons: [12] Diversity and Ecology. Springer New Delhi Heidelberg New York Dordrecht London Library of Con- gress Control Number: 2014939609. P.68 E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... 424 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 [13] Sagala, E.P. 2003. Teknik Budidaya Ikan Rawa di Desa Sukarame Kabupaten MUBA Sumatera Selatan. Kerja Sama Balitek Unsri Dengan Pemkab Muba. Universitas Sriwijaya: Indralaya. [14] Sagala, E.P. 2013. Dinamika dan Komposisi Chlorophyceae pada Kolam Pemeliharaan Ikan Gurame beru- mur satu tahun dalam kolam Permanen di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I Palembang. Pros- siding Seminar dan Rapat Tahunan Bidang MIPA BKS PTN Wilayah Barat, Bidang Biologi Jilid 1 . FMIPA UNILA. Bandar Lampung. Hal 235-242. [15] Sagala, E.P., Z.A. Samboe. 1986. Penuntun Praktikum Ekologi: Ekologi Aquatik: Ekologi Terrestrial. Juru- san Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang. iii+59 hlm. LAMPIRAN Gambar 1. Bibit ikan tebakang berumur 1 bulan. Gambar 2. Bibit ikan tebakang berumur 2 bulan. E. P. Sagala dkk.The Abundance of Plankton Before and After Giving Gouramy ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 425 Gambar 3. Bibit ikan tebakang berumur 3 bulan. Gabar 4. Kolam penelitian bibit tebakang di Kelurahan Bukit Lama, Mei 2014. 426 Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi Bos tau- rus dan Kambing Capra hircus di Kota Lubuklinggau Erwin Nofyan, Arum Setiawan, dan Nuraini Indah Syamprima Jurusan Biologi F MIPA Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan; Email: erw_biounsri yahoo.co.id; Hp: 08127889278 Abstrak: Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Hewan Ternak Sapi Bos taurus di Rumah Potong Hewan Jogoboyo LubukLinggau Utara II dan Kambing Capra hircus di Unit Usaha Peterna- kan Warga Padat Karya LubukLinggau Selatan II , telah dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2014. Pengidentifikasian telur cacing parasit usus dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Ju- rusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis telur cacing parasit usus pada tinja ternak sapi dan kambing di Rumah Potong Hewan Jogoboyo dan di Unit Usaha Peternakan Warga di Kota LubukLing- gau.Pengidetifikasian telur cacing menggunakan Metode Kato- Kats. Variabel pengamatan pada pe- nelitian ini adalah berdasarkan morfologi bentuk, ukuran telur dan ada tidak nya operkulum dari je- nis- jenis telur cacing parasit usus yang ditemukan pada feses hewan uji. Berdasarkan pengidentifika- sian yang telah dilakukan terhadap sapi dan kambing didapatkan 4`jenis telur cacing parasit usus , yaitu Ascaris sp telur feril dan infertil, telur Strongyloides stercoralis, telur Trichuris ovis dari kelas Nematoda dan telur dari cacing Monieziea benedeni , termasuk kelas Cestoda. Kata kunci: telur cacing parasit usus, kambing, parasit gastrointestinal,sapi 1 PENDAHULUAN alah satu hambatan yang dihadapi peternak dalam pengembangan peternakan adalah penyakit yang disebabkan oleh hewan parasit. Hewan parasit dapat menyebabkan peningkatan kualitas dan kuantitas daging hewan ternak seperti sapi dan kambing menurun dan ini juga akan menyebabkan terganggunya reproduksi hewan ternak tersebut. Hewan parasit tersebut di antaranya adalah cacing parasit usus antara lain Ascaris lumbricodes, Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis, Tri- churis trichiura. Rumah Potong Hewan RPH Kota Lubuklinggau, tempat sementara hewan ternak sebelum dis- embelih.Setelah disembelih merupakan tempat memasok daging di daerah Kota Lubuklinggau. Kuali- tas dan kuantitas daging hewan ternak sangat dipengaruhi oleh pakan, kandang , adanya hewan parasit pada hewan ternak yaitu cacing parasit usus. Keberadaan cacing yang bersifat parasit pada hewan ternak dapat mengganggu pertumbuhan he- wan ternak , yang akhirnya dapat merugikan secara ekonomis bagi para peternak dikarenakan menu- runnya produksi daging hewan ternak. Dari hal tersebut maka perlu dilaku kan penelitian mengenai ;” Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi Bos taurus Dan Kambing Capra hircus Di Kota Lubuklinggau. Dari latarbelakang tersebut, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: “ Jenis- je- nis telur cacing parasit usus apa saja yang terdapat pada sapi dan kambing ? Tujuan Penelitian adalah untuk mengidentifikasi jenis telur setiap jenis cacing parasit usus yang di- temukan pada tinja hewan ternak sapi Bos taurus di Rumah Potong Hean Lubuklinggau dan tinja kambing hewan ternak kambing Capra hircus di Unit Usaha peternakan di Kota Lubuklinggau. Penelitian ini diharapkan mampu Memberikan informasi dalam bidang Parasitologi, khususnya Helminthologi mengenai keberadaan jenis-jenis cacing parasit , terutama jenis- jenis telur cacing pa- rasit usus pada hewan ternak di Rumah Potong dan Unit Usaha Peternakan KotaLubuk linggau. S Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 427 2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2014. Sampel berupa tinja sapi diambil di Rumah Potong Hewan Lubuklinggau dan sampel tinja kambing diambil di Unit Usaha Peternakan Kota Lubuklinggau. Identifikasi telur cacing parasit dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. Metode Sampling Menggunakan Survey deskritif berupa metode sampling acak sederhana simple random sampling Cara Kerja Pengambilan Sampel Sampel berupa feses tinja kambing diambil dari Unit Usaha Peternakan Kota Lubuklinggau. Pada sapi sampel diambil dari 3 pos pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan Lubuklinggau. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dan masing-masing sampel diambil sebanyak 6 botol sampel dari feses hewan uji yang akan diamati. Pada masing- masing botol sampel ditambahkan formalin 4 hingga feses terendam, kemudian ditutup rapat dan diberi label, kemudian dibawa ke laboratorium untuk di- periksa Brown Franklin 1983. Pemeriksaan Sampel Pemeriksaan sampel menggunakan Metode Kato- katz Terlebih dahulu membuat lasrutan Kato yang berfungsi untuk merendam selotif yang akan digunakan sebagai pengganti kaca objek. Ambil feses dari hewan uji, letakkan di atas kertas minyak, saring fes- es dengan menggunakan kawat kasa. Feses yang telah disaring di atas kaca objek, lalu ditutup dengan selotif yang sudah direndam dalam larutan Kato atau larutan Mallachite green 3 , ratakan tinja di- bawah selofan. Kemudian sediaan dibiarkan selama 20 – 30 menit. Setelah itu diperiksa di bawah mi- kroskop Natadisastra et al ,2009 Variabel Pengamatan Pengamatan dalam pengidentifikasian dilakukan berdasarkan morfologi bentuk,ukuran,kulit telur dan ada tidaknya operkulum dari jenis telur cacing yang ditemukan dalam feses hewan uji. Pengidentifi- kasian berdasarkan : Jennings et al 1987; Ballwebber,2001 ; Levine 1994 ; Purnomo ,dkk ; 2009 dan Yamaguchi, 1992. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari sampel feses sapi dan kambing yang diamati di LaboratoriumTaksonomi Hewan Jurusan Biologi Fakutas MIPA Universitas Sriwijaya, tercantum pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini. Tabel 1. Spesies dan Jumlah Telur Cacing Parasit Usus Pada Tinja Sapi di Rumah Potong Hewan Lubuklinggau No. Spesies Jumlah Telur Persentase 1 Ascaris sp 31 43,67 2 Monieziea benedeni 21 29,67 3 Monieziea expansa 19 26,76 Total 71 100,00 Persentase tertinggi dari jenis telur cacing parasit usus yang ditemukan berasal dari Kelas Nema- toda yaitu 43,67 dan terendah dari kelas Cestoda yaitu 26,76 . Hal ini dikarenakan Ascaris mempunyai siklus hidup yang berlangsung atau tanpa inang perantara. Menurut pernyataan Subronto dan Thahajati 2001 , cacing parasit dari kelas Nematoda , tidak memerlukan hospes perantara untuk menginfeksi inangnya. , sedangkan cacing parasit dari kelas Cestoda ini bersifat zoonosis dapat me- nyerang hewan dan manusia . Menurut Tarmudji el al 2006 , bahwa cacing jenis ini memerlukan 2 Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... 428 Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 inang perantara, cacing jenis ini berkembangbiak sebelum menginfeksi usus hewan, kemudian mem- bentuk Metacestoda di dalam organ internal hewan dan masuk ke tubuh manusia dengan memakan daging hewan ternak yang terkontaminasi. Persentase telur Monieziea benedeni 29,67 lebih banyak jika dibandingkan dengan telur Mo- nieziea expansa 26,76 . Perbedaan banyaknya telur cacing parasit yang ditemukan pada tinja sapi dikarenakan lebarnya proglottid dari telur cacing parasit tersebut. Proglottid merupakan larva yang diselubungi oleh embrioforlapisan dalam dan luar telur. Telur cacing parasit yang memiliki dinding yang tebal akan lebih tahan terhadap lebar proglottid dari telur M. benedeni dan M. expansa . Menurut Levine M . expansa memiliki lebar proglottid 1,6 cm sedangkan M. benedeni memiliki lrebar proglot- tid 2,5 cm. Tabel 2. Spesies dan Jumlah Telur Cacing Parasit yang Terdapat pada Tinja Kambing Unit Usaha Peternakan di Kota Lubuklinggau No. Spesies Jumlah Telur Persentase 1 Ascaris sp 49 67,46 2 Monieziea expansa 11 13,25 3 Strongyloides sp 13 15,66 4 Trichuris ovis 3 3,63 Total 76 100,00 Hasil pengamatan terhadap sampel feses kambing yang diambil dari Unit Usaha Peternakan di Ko- ta Lubuklinggau , terdapat 4 jenis telur dari cacing parasit usus yaitu : Ascaris sp , Strongyloides sp, Trichuris sp ketiganya dari kelas Nematoda dan satu jenis dari kelas Cestoda yaitu Monieziea expan- sa . Persentase telur yang tertinggi pada spesies Ascaris sp yaitu 67,46 dan yang terendah pada spe- sies Trichuris trichiura yaitu 3,63. 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil dan pembahasan dapat dibuat simpulan sebagai berikut: 1. Pada feses ternak sapi ditemukan 3 spesies telur cacing parasit usus dengan jumlah total telur 71, sedangkan pada feses ternak kambing ditemukan 4 spesies telur cacing parasit usus dengan jumlah total 76 telur. 2. Jumlah telur cacing parasit usus yang paling banyak ditemukan yaitu dari spesies Ascaris sp, se- dangkan jumlah telur yang paling sedikit ditemukan yaitu dari spesies Trichuris ovis. Saran Dari hasil penelitian dan simpulandapat dibuat saran sebagai berikut: 1. Sebaiknya dilakukan penelitian yang sama ,tetapi menggunakan metode yang berbeda. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perhitungan tingkat infeksi prevalensi cacing parasit usus pada hewan ternak di Kota Lubuklinggau baik di Rumah Potong Hewan dan juga di Unit- unit Usaha Peternakan Warga lainnya di Kota Lubuklinggau REFERENSI [1] Agustina, KK., Dharmayudha, A.A.G.O. dan Wirata,IW.2013. Prevalensi Taxocara vitulorum pada Induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur . Bulletin Veteriner Udayana. Vol 5.No.1. 1-6. [2] Ballwebber , L.R .2001. Veterinary Parasitology Practical veterinarian Butterworh-Heineman. United State of America. [3] Brown, H.W, and Franklin,A.N. 1983. Basic Clinical Parasitology. Fifth Edition. Appleton-Century-Crofts; United State of America. Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 429 [4] Dewi, A.P , Fatiyah, E. Rachmadiyanto, dan Imron,K. 2012. Hasil Monotoring Penyakit Parasiter pada Kambing di Jawa tengah tahun 2011. Buletin Laboratorium Veteriner Wates Yogyakarta. Vol 12. No.1. hal 2 -10. [5] Diba,D.F.2009. Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-kura Air tawar di Perairan Sulawesi Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. [6] Gandahusada, S., Illahude,I.H. dan Pribadi .W.2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Fakultas kedok- teran Universitas Indonesia, Jakarta. [7] Hanafiah, M.Winnarudin dan Rusli.2002. Studi Infeksi Nematoda Gastrointestinal pada Kambing dan Dom- ba di Rumah Potong Hewan Banda Aceh. Jurnal Sain Veteriner. Vol XX. No 1. Hal 15 – 20 [8] Irianto, K. 2009. Parasitologi. Penerbit Yrama Widya. Bandung. [9] Jennings, F.W. Dunn,A.M. Duncan, J.L, Amour, J and Urquhart,G.M. 1987. Veterinary Parasitology. Second Edition . Faculty of Veterinary Medicine. University of Glasgow Scotland. [10] Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia . Institut Pertanian Bogor. Bogor LAMPIRAN Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... 430 Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 431 Erwin Nofyan dkk.Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi ... 432 Prosiding Seminar Nasional MIP A 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 433 Kemelimpahan Kerang Sawah Pilsbryoconcha exilis di Saluran Air Persawahan Kubang-Tungkek, Kecamatan Guguak, Kabupaten 50 Kota, Sumbar Hanifa Marisa dan Farid Yanadi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya Abstrak: Telah dilakukan pengamatan kemelimpahan kerang sawah, atau disebut ‘alo-alo’ oleh pen- duduk setempat, untuk mengetahui jumlah individu P exilis pada dasar saluran air persawahan di Ku- bang Tungkek, kecamatan Guguak, kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, tanggal 22 Juli 2014. Saluran yang dibangun beberapa tahun lalu dengan konstruksi beton, memiliki lebar 0,5 meter dan pada da- sarnya mulai diendapi lumpur berpasir sampai ketebalan 5 cm. Lokasi ini menjadi habitat yang dis- ukai oleh P exilis dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk sumber makanan protein hewani. Metoda sensus digunakan untuk menghitung jumlah populasi P exilis yang terdapat di sepanjang salu- ran air 100 meter. Semua badan saluran diamati dan dilakukan koleksi terhadap P exilis yang ditemu- kan untuk dihitung jumlah individu, ukuran panjang dan lebarnya. Juga diamati spesies moluska lain yang ditemukan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sepanjang 100 m saluran ditemukan 18 indi- vidu P exilis yang masih hidup dan 2 bekas cangkang yang telah mati. Ukuran panjang P exilis berki- sar antara 7 – 10 cm dan lebar 2,5 sampai 7 cm. Karakter habitat lumpur berpasir, air mengalir jernih dan kedalaman air 10-20 cm. Moluska lain yang ditemukan adalah siput langkitang Sulcospira sp, keong mas Pomacea sp dan tiram kecil Corbicula moltkiana. Kata kunci: kerang sawah, habitat, moluska 1 Pendahuluan ijing air tawar ada 840 spesies, tersebar di seluruh dunia kecuali antartika, sedangkan kijing air- tawar dari Unionidae ada 674 spesies Graf dan Cumming 2007 dalam Ady Chandra dkk, 2012. Di sungai Berantas kijing dapat ditemukan di aliran sangat lambat sampai sangat cepat. Kijing hidup di perairan tawar berlumpur bercampur pasir dan tidak dalam Komarawidjaja, 2006. Ia bertahan hi- dup di perairan kurang oksigen pada suhu 11 – 29 derajat Celcius. Ia juga bisa survival pada pH air 4,8 – 9,8. Pertumbuhan optimalnya pada suhu 24 – 29 derajat dan pH 6 – 7,5. Di 15 propinsi Thailand, hganya ada di Chiang raid an Sukothai, pada tahun 2004 Sri Aroon dkk, 2007. Di kali Berantas, Moch Affandi dkk 2013 hanya menemukan kijing P exilis di stasiun Katian Rowo, Kertosono saja dari 15 stasiun yang diamatinya sepanjang sungai. Di Kubang Tungkek, Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota, propinsi Sumatera Barat, puluhan tahun lalu, kijing hanya ditemukan di sungai kecil berbatasan dengan Tiakar,, yang disebut penduduk Batang Namang. Namun kini populasinya meningkat sampai ke kolam dan sawah yang air- nya relative kurang mengalir dengan cepat.. Sebuah kanal pengaliran aior yang dibangun permanen dari desa sebelah hulu, Tanjuang Batauk, kini merpakan habitat yang disukai oleh kijing karena popu- lasinya dengan mudah ditemukan disini. Penduduk memanfaatkannya sebagai lauk makanan dengan cara menangkap, membelah dan mengambil isi kijing untuk direbus dan selanjutnya digoreng atau digulai. Pengamatan terhadap ukuran dan populasi kijing di kanal buatan penduduk ini penting dila- kukan untuk data ilmiah pemanfaatannya ataupun perlindungannya. Sejauh ini, tidak ada keluhan pe- tani akan bahaya kijing bagi sawah dan kolam mereka. 2 Metode Penelitian Saluran yang dibangun beberapa tahun lalu dengan konstruksi beton, memiliki lebar 0,5 meter dan pada dasarnya mulai diendapi lumpur berpasir sampai ketebalan 5 cm. Lokasi ini menjadi habitat yang disukai oleh P exilis dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk sumber makanan protein hewani. Metoda sensus digunakan untuk menghitung jumlah populasi P exilis yang terdapat di sepan- K Hanifa M. Farid Y.Kemelimpahan Kerang Sawah Pilsbryoconcha exilis di Saluran Air ... 434 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 jang saluran air 100 meter. Semua badan saluran diamati dan dilakukan koleksi terhadap P exilis yang ditemukan untuk dihitung jumlah individu, ukuran panjang dan lebarnya. Juga diamati spesies mo- luska lain yang ditemukan. Arus air diukur dengan menganyutkan materi terapung ringan dan menca- tat perpindahannya dalam tiap detik, beberapa kali. Kedalaman badan air diukur dengan mistar. Ke- melimpahan kerang sawah dihitung dengan jumlah kerang yang ditemukan pada luas selurung salu- ran sampling. 3 Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sepanjang 100 m saluran ditemukan 18 individu P exilis yang masih hidup dan 2 bekas cangkang yang telah mati. Ukuran panjang P exilis berkisar antara 7 – 10 cm dan lebar 2,5 sampai 7 cm. Ukuran di atas berada pada kisaran kijing yang didapatkan di waduk Cirata Komarawidjaja, 2006 yaitu 9,41 – 10,06 cm. Ditemukannya ukuran kerang yang lebih kecil menunjukkan bahwa regenerasi di lokasi penelitian sawah Kubang Tungkek, berjalan baik hingga ditemukan kijing yang berukuran kecil sedang dan besar, meskipun kebanyakn berada pada ukuran 10 cm. Dari segi jumlah, 20 ekor kijing pada 100 m saluran dengan lebar 0,5 m adalah termasuk padat populasinya, jika dibandingkan dengan yang ditemukan di propin Chian rai Thailand, hanya ada 1 dan di proponsi Sukothai ada 3 individu Sri Aroon, 2007. Hal ini juga bisa kita bandingkan dengan te- muan Moch Affandi dkk 2013 yang dari 15 stasiun kali Brantas hanya ada di kertosdono saja. P exilis ukuran besar, 7x10 cm Penduduk lokal membantu koleksi P exilis setelah direbus dan digoreng Cangkang P exilis kecil, 2,5 x 7 cm dan spesies moluska lain Hanifa M. Farid Y.Kemelimpahan Kerang Sawah Pilsbryoconcha exilis di Saluran Air ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 435 P exilis besar dan sedang Tampakan di pegangan Digunakannnya kijing P exilis sebagai makanan oleh penduduk, ternyata tidak menurunkan popu- lasi dari tahun ke tahun, sekalipun petani menggunakan pestisida dalam menjaga buah padi. Terbukti, sebatran dan populasinya meluas saat puluhan tahun lalu dibandingkan dengan saat ini. Penggalakan kijing sebagai sumber nutrisi penduduk mungkin perlu ditingkatkan. Anisa 2011 yang meneliti ten- tang Pengaruh Penambahan Daging Kijing Pilsbryoconcha Exilis dan Wortel Daucus Carota L terhadap Daya Terima dan Kandungan Gizi Kerupuk, menunjukkan bahwa penerimaan dan analisis ekonomi yang prospektif dan baik oleh masyarakat. Moluska lain yang ditemukan adalah siput langkitang Sulcospira sp, keong mas P omacea sp dan tiram kecil Corbicula moltkiana . Hewan ini memang umum ditemui pada habitat sedemikian. 4 SIMPULAN DAN SARAN Bahwa sepanjang 100 m saluran ditemukan 18 individu P exilis yang masih hidup dan 2 bekas cang- kang yang telah mati. Ukuran panjang P exilis berkisar antara 7 – 10 cm dan lebar 2,5 sampai 7 cm. Karakter habitat lumpur berpasir, air mengalir jernih dan kedalaman air 10-20 cm dan kecepatan arus 0,1 m detik. Moluska lain yang ditemukan adalah siput langkitang Sulcospira sp, keong mas P o- macea sp dan tiram kecil Corbicula moltkiana . REFERENSI [1] Ady Chandra, Leonard., Moch Affandi dan Bambang Irawan. 2012. Kenekaragaman dan pola distribusi longi- tudinal spesies kijing air tawar family unionidae di sungai Berantas periode April – Juni 2012. Jurusan Biologi FTS Universitas Airlangga. Surabaya., [2] Anisa. 2011. Pengaruh Penambahan Daging Kijing Pilsbryoconcha Exilis dan Wortel Daucus Carota L terhadap Daya Terima dan Kandungan Gizi Kerupuk. Disertasi doctor. Program Kesehatan Masyarakat Pasca sarjana Unair. Surabaya. [3] Komarawidjaja, Wage. 2006. Kajian adaptasi kijing Pilsbryoconcha exilis sebagai langkah awal pemanfaa- tannya dalam biofiltrasi pencemar organic di perairan waduk. J Tek. Ling. PTL-BPPT. Vol 7 No 2.hal 160- 165 [4] Moch Affandi, Ady Chandra, Astra Budi Priatama, Bambang Irawan dan Agoes Soegianto. 2013. Diversity of unionid freshwater mussels bivcalvia; unionidae in Brantas river, east jaca,, Indonesia. J Biol. Research 18 111-115. [5] Sri Aroon, Pusadee., Piyarat Butraporn, Jaree Mate Limsoomboon, Manus Kaepoolsri, Yupa Chusongsang, Suthep Numnuan, dan Songtham Kiatsiri. 2007. Freswater mollusk at designated area in eleven provinces of Thailand according to water resources development projects. J Mol. Vol 38 No 2 halaman 294-301. 436 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat dari Kawasan Mangrove Taman Nasional Sembilang Sumatera Selatan Screening and identification of sulphate solubilizing bacteria from mangrove area of Sembilang National Park South Sumatera Hary Widjajanti, Sarno, dan Ida Fristika Tarigan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya Abstract: Phosphate Solubilizing Bacteria have isolated from Mangrove Area of Sembilang National Park South Sumatera. Samples were taken from 3 stations of Sembilang National Park. This research aims to obtain the isolate of phosphate solubilizing bacteria from sediments in rhizosphere of man- grove, to know the characteristics and identify the bacteria, and their ability to solubilize phosphate in different form. Samples were taken from 3 different stations of Sembilang National Park. The results of isolation obtained 10 isolates of phosphate solubilizing bacteria, four isolates from station I there are Flavobacterium sp TM 1 P 1 , Citrobacter sp TM 1 P 2 , Bacillus sp TM 1 P 3 and Acetobacter sp TM 1 P 4 . One isolate from station II there is Citrobacter sp TM 2 P 1 , and five isolates from station III there are Yersinia sp TM 3 P 1 , Acetobacter sp TM 3 P 2 , Citrobacter sp TM 3 P 3 , Klebsiella sp TM 3 P 4 and Micrococcus sp TM 3 P 5 . Ten isolates bacteria are capable to solubilize phosphate in Ca 3 PO 4 2 form, but there is no isolate capable to solubilize phosphate in AlPO 4 and FePO 4 form. Keywords: screening, phosphate solubilizing bacteria, mangrove are 1 PENDAHULUAN rovinsi Sumatera Selatan adalah provinsi di Indonesia yang memiliki potensi hutan mangrove yang cukup luas serta keanekaragaman hayati yang tinggi. Taman Nasional Sembilang TNS yang terletak di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan kawasan mangrove terluas di Indonesia Bagian Barat. Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi hutan mangrove oleh Balai Pengelolaan DAS Musi tahun 2006, luas potensial hutan mangrove di provinsi Sumatera Selatan ada- lah sekitar 1.693.110,10 Ha Suwignyo et al .,2011. Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Sumber daya mangrove mempunyai bebe- rapa peran, baik secara fisik, kimia dan biologi yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir Suwignyo et al ., 2011. Hutan mangrove merupakan tempat berkembangnya komunitas bakteri. Bakteri mengisi sejumlah relung dan merupakan komponen dasar fungsi lingkungan Yunasfi, 2006. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang tumbuh secara alami dengan habitat yang kaya akan zat organik, senyawa nitrogen, dan fosfor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan man- grove, tanpa adanya campur tangan manusia sehingga tanahnya mempunyai ekosistem yang alami Metasari, 2011. PhosphateFosfor P merupakan salah satu unsur hara utama yang diperlukan tanaman dan meme- gang peranan penting dalam proses metabolisme. Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk H 2 PO 4 - , HPO 4 2- dan PO 4 2- Bentuk H 2 PO 4 - umunya lebih tersedia bagi tanaman daripada HPO 4 2- dan PO 4 2- . Ke- tersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta kegiatan jasad mikro dalam tanah seperti bakteri. Ketersediaan P dalam tanah pada umumnya rendah, ini disebabkan P terikat menjadi Fe-fosfat FePO 4 dan Al-fosfat AlPO 4 pada tanah masam atau Ca-fosfat Ca 3 PO 4 2 pada tanah basa. Tanaman tidak dapat menyerap P dalam bentuk terikat dan harus diubah menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman Suliasih Rahmat 2007. Bakteri pelarut fosfat BPF merupakan kelompok mikroba tanah yang memiliki kemampuan me- larutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga da- P Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 437 pat diserap tanaman Rao 1994:. Efek pelarutan umumnya disebabkan oleh adanya produksi asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat yang dihasilkan oleh mikroba tersebut Ponmurugan Gopi, 2006. Ekosistem terbaik untuk BPF adalah rhizosfer tanaman, karena di daerah tersebut terdapat eksudat akar berupa asam amino, vitamin, fak- tor tumbuh, tanin, alkoloid, dan bahan organik sisa jaringan tanaman. BPF hidup bebas pada ekosis- tem kering seperti tanah dan ekosistem berair seperti daerah mangrove Seshadari Ignacimutu 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri pelarut fosfat dari sedimen di rhizosfer mangrove, mengetahui karakteristik dan mengidentifikasi bakteri tersebut, serta mengetahui kemam- puanya dalam melarutkan sumber fosfat yang berbeda 2 BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel Sampel tanah sebanyak 500 gram diambil di sekitar rhizosfer mangrove dengan kedalaman 0-25 cm Sampel diambil dari 3 stasiun dengan metode claster sampling . Stasiun I E104 54’13.2’’ S02 09’25,5’’, berada di tepi pantai dimana pada stasiun ini mangrove langsung terkena hempasan ombak dari pantai saat pasang. Stasiun II E104 53’41.4’’ S02 05’43.6’’, lebiH ke dalam dari tepi pantai dimana mangrove tergenang air laut pada saat pasang yang terbawa oleh aliran Sungai Barong Kecil. Stasiun III E104 54’18.0’’ S02 09’47.4’’, berada di muara Sungai Barong Kecil, stasiun ini terpengaruh oleh pasang surut dan aliran Sungai Barong Kecil. Isolasi, skrining, dan Pemurnian Bakteri Pelarut Fosfat BPF Sebanyak 10 gram sampel tanah dilarutkan di dalam 90 ml larutan fisiologis steril 0,85 8,5 gram NaCl dalam 1000 ml akuades. Kemudian dilakukan pengenceran sampai 10 -6 sebanyak 1 ml sampel dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril, dihomogen dan 1 ml dipindahkan ke ta- bung berikutnya, begitu seterusnya hingga pengenceran 10 -6 . Isolasi bakteri pelarut fosfat dilakukan dengan menggunakan media Pikovskaya dari 3 seri pengenceran terakhir 10 -4 , 10 5 , 10 -6 dengan me- tode pour plate . Masing-masing sampel diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dituangkan 10 ml medium Pikovskaya dan dihomogenkan dengan cara memutar cawan perti membentuk angka 8 hingga membeku dan selanjutnya diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37 o C selama 2 x 24 jam. Adanya pertumbuhan bakteri pelarut fosfat ditandai dengan zona bening di sekeliling koloni. Isolat bakteri yang membentuk zona bening dihitung diameter zona beningnya, selanjutnya dimurnikan dengan cara mengambil masing-masing isolat untuk kemudian dipindahkan ke medium Nutrient Agar NA lempeng dengan metode cawan gores dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 2 x 24 jam. Isolat yang menunjukkan adanya pertumbuhan yang sudah murni hanya satu jenis merupakan isolat yang murni, sedangkan isolat yang belum murni akan dimurnikan lagi sampai didapatkan isolat murni Premono,1994. Koloni bakteri yang membentuk zona bening dihitung diameter zona beningnya. Diameter zona bening dihitung dengan mengurangkan diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri. Pengu- kuran diameter zona bening maupun koloni bakteri dilakukan dengan menjumlahkan panjang dan le- bar zona bening maupun koloni bakteri kemudian dibagi dua Kasmita, 2010. Skrining Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat BPF dalam Melarutkan Sumber Fosfat yang Berbeda Isolat bakteri yang telah murni diskrining berdasarkan kemampuanya dalam melarutkan fosfat pada medium Pikovskaya dengan sumber P berbeda, berupa AlPO 4 dan FePO 4. Masing-masing isolat diam- bil satu ose, kemudian ditusuk pada medium Pikovskaya denga sumber P berupa AlPO 4 dan FePO 4 di dalam cawan petri, kemudian diinkubasi 24-48 jam pada suhu 37 C. Terbentuknya zona bening dis- ekitar koloni bakteri merupakan indikasi bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan fosfat dalam ben- tuk AlPO 4 dan FePO 4. Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... 438 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Karakterisasi danIdentifikasi Bakteri Pelarut Fosfat Karakterisasi dilakukan berdasarkan morfologi koloni dan morfologi sel bakteri serta karakter fisiolo- gi. Berdasarkan karakter dari masing-masing bakteri yang didapatkan dari proses karakterisasi selan- jutnya diidentifikasi berdasarkan buku Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, 8 th 9 th Edi- tion. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil isolasi dan skrining bakteri pelarut fosfat Hasil isoalasi dan skrining bakteri pelarut fosfat dari 3 stasiun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil isoalasi dan skrining bakteri pelarut fosfat dari 3 stasiun Stasiun Jumlah Isolat Kode Isolat Jumlah isolat hasil skrining dengan Sumber P Berbeda Ca 3 PO 4 2 AlPO 4 FePO 4 I 4 TM 1 P 1 , TM 1 P 2, TM 1 P 3, TM 1 P 4, 4 II 1 TM 2 P 1 1 III 5 TM 3 P 1, TM 3 P 2, TM 3 P 3, TM 3 P 4, TM 3 P 5 5 Isolat bakteri paling banyak terdapat di stasiun I dan III. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan ling- kungan sekitar, dimana pada stasiun I dan III tanahnya paling sering terkena air dan hampir setiap saat basah saat terjadi pasang sehingga kelembabanya juga tinggi. Stasiun III kawasan sedimen mangrove selain dipengaruhi oleh air laut juga dipengaruhi oleh arus sungai. Saat pasang terjadi air laut atau sungai membawa bahan organik yang kemudian akan mengendap di sedimen. Hal ini sesuai dengan pernyaataan Satriadi 2004, bahwa sebagai lahan basah, sedimen mangrove mempunyai aktivitas dan keragaman mikroorganisme yang lebih tinggi dari ekosistem lainya. Dalam sedimen mangrove terda- pat bakteri indigineous yang beragam yang memungkinkan terdapatnya bakteri pelarut fosfat. Peraka- ran tanaman mangrove membentuk rhizosfer dan teroksigenasi dan mengandung bermacam-macam substrat sehingga merupakan zona kaya yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kuali- tas tanah pada daerah mangrove dipengaruhi oleh sumber tanah alluvium yang sebagian besar terbawa oleh arus sungai serta naik turunya pasang yang membawa massa tambahan dan bahan organik. Tanaman mangrove di stasiun I dan III memiliki perakaran yang lebih banyak dan rapat diban- dingkan dengan stasiun II. Adanya perakaran yang rapat tersebut membuat substrat yang berasal dari laut dan sungai tertahan di sekitar perakaranya. Hal tersebut memungkinkan tanah mangrove di sta- siun I dan III lebih kaya akan bahan organik. Marpaung 2011 menjelaskan bahwa adanya sistem akar yang khas dan padat di hutan mangrove menyebabkan daerah ini didominasi oleh ukuran partikel lumpur. Kondisi substrat berlumpur ini menyebabkan perairan sekitar kaya akan bahan organik yang kemudian menjadi cadangan makanan bagi organisme di perairan pantai. Isolat bakteri paling sedikit ditemukan pada stasiun II, hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan pH tanah di stasiun tersebut. Stasiun II memiliki nilai pH yang lebih rendah yaitu 5,4 dibandingkan dengan stasiun I dan III dengan nilai pH 6 dan 6,2. Kondisi lingkungan pada stasiun I dan III lebih mendekati pH netral yang menjadi pH optimum untuk pertumbuhan bakteri. Kondisi lingkungan pada stasiun II dengan pH 5,4 memungkinkan hanya sedikit bakteri yang mampu tumbuh dan bertahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamdiyati 2011, menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap per- tumbuhan bakteri. pH untuk pertumbuhan bakteri terdiri dari pH minimum, pH optimum dan pH maksimum. Rentang pH bagi pertumbuhan bakteri antara 4 –9 dengan pH optimum 6,5–7,5 Isolasi bakteri pelarut fosfat dilakukan dengan menggunakan medium Pikovskaya dengan sumber P berupa Ca 3 PO 4 2. Terbentuk zona bening di sekitar koloni bakteri, menunjukkan bahwa bakteri ter- sebut mampu melarutkan P dalam bentuk Ca 3 PO 4 2 . Adanya zona bening disekitar koloni bakteri di- karenakan oleh bakteri tersebut menghasilkan asam-asam organik, sehingga terjadi pelarutan fosfat terhadap sumber fosfat yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Premono 1994, menyata- kan bahwa adanya pertumbuhan bakteri pelarut fosfat pada medium Pikovskaya ditandai dengan ter- Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 439 bentuknya zona bening di sekeliling koloni bakteri. Widawati Suliasih 2006, menambahkan bah- wa uji kemampuan BPF melarutkan unsur P terikat pada unsur lain sehingga menjadi tersedia bagi tanaman ditandai dengan reaksi positif pada media Pikovskaya padat dengan membentuk daerah yang berwarna putih bening atau disebut halozone di sekeliling koloni. Adanya zona bening di sekitar koloni bakteri dikarenakan bakteri yang diisolasi tersebut mampu menghasilkan asam-asam organik. Asam tersebut kemudian memecahkan ikatan fosfat sehingga fos- fat terlepasterlarut dari senyawa pengikatnya. Dikemukakan oleh Illmer Schinner 1995, bahwa proses pelarutan fosfat terjadi karena BPF mensekresi sejumlah asam-asam organik dan berakibat pa- da terjadinya pelarutan P terikat. Asam-asam organik sangat berperan dalam pelarutan fosfat. Hal ini dikarenakan oleh asam organik tersebut relatif kaya akan gugus-gugus fungsional karboksil - COO− dan hidroksil - O− yang bermuatan negatif sehingga memungkinkan untuk membentuk senyawa komplek dengan ion kation logam yang biasa disebut chelate . Asam-asam organik mengkelat Al, Fe atau Ca, mengakibatkan fosfat terlepas dari ikatan AlPO 4 , FePO 4 , atau Ca 3 PO 4 2 sehingga mening- katkan kadar fosfat terlarut dalam tanah. Keadaan ini akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam larutan tanah. Hasil dari pengukuran diameter zona bening menunjukkan adanya kemampuan berbeda dari setiap isolat bakteri yang diperoleh, terlihat dari diameter zona bening yang dihasilkan beragam. Diameter zona bening paling besar ditunjukkan oleh isolat bakteri TM 1 P 2, kemudian isolat bakteri TM 3 P 4, TM 3 P 2, TM 1 P 1, TM 1 P 3, TM 2 P 1, TM 3 P 3, TM 1 P 4 , TM 3 P 5 secara berurutan dan kemampuan paling rendah ditunjukkan oleh isolat bakteri TM 3 P 1. Simanungkalit 2006, mengatakan bahwa kemampuan mi- kroorganisme pelarut fosfat untuk tumbuh dan melarutkan fosfat berbeda-beda yang diidentifikasi dengan luas halozone yang dihasilakan. Isolat bakteri TM 1 P 2 memiliki kemampuan yang paling besar dengan diameter zona bening 5,0 mm dan kemampuan paling rendah ditunjukkan oleh isolat bakteri TM 3 P 1 dengan diameter zona ben- ing 0,75 mm. Isolat bakteri TM 1 P 2 mungkin memiliki kemampua yang lebih besar dalam menghasil- kan asam-asam organik dibandingkan dengan isolat bakteri TM 3 P 1. Jumlah dan jenis asam organik yang dihasilkan oleh bakteri membuat kemampuannya dalam melarutkan fosfat lebih tinggi sehingga diameter zona bening yang dihasilkan lebih luas. Widawati Suliasih 2006, menambahkan bahwa luas halozone yang terbentuk disekitar koloni BPF secara kualitatif memang menunjukkan besar ke- cilnya kemampuan BPF dalam melarutkan unsur P dari fosfat yang sukar larut. Setiap jenis BPF mempunyai kemampuan berbeda secara genetik dalam menghasilkan jumlah dan jenis asam-asam organik yang berperan dalam menentukan tinggi rendahnya pelarutan P. Seleksi BPF dilakukan dengan memodifikasi media Pikovskaya dengan sumber P berupa Ca 3 PO 4 2 diganti dengan sumber P berbeda yaitu AlPO 4 dan FePO 4. Hasil seleksi menunjukkan bah- wa dari 10 isolat bakteri yang diperoleh tidak ada isolat bakteri yang mampu melarutkan fosfat dalam bentuk AlPO 4 dan FePO. Isolat bakteri yang diperoleh tidak mampu melarutkan sumber P berupa Al- PO 4 dan FePO 4 terlihat dengan tidak adanya zona bening yang terbentuk disekitar koloni bakteri. Hal ini mungkin dikarenakan oleh ikatan AlPO 4 dan FePO 4 lebih kuat dibanding ikata Ca 3 PO 4 2, sehingga menjadi lebih sulit terlepas. Sesuai dengan pernyataan Darliana 2011, mengemukakan bahwa kemu- dahan fosfat terlepas atau terlarut mengikuti urutan Ca3PO42 AlPO4 FePO4. Kabirun 1998 menambahkan bahwa Ca 3 PO 4 2 adalah bentuk senyawa fosfat yang mudah larut dan AlPO 4 dan Fe- PO 4 merupakan senyawa fosfat yang sukar larut. Kemampuan suatu bakteri dalam melarutkan berbagai jenis fosfat tergantung pada jumlah dan je- nis asam organik yang dihasilkan serta bentuk senyawa fosfat yang dilarutkan. Isolat bakteri yang di- peroleh hanya mampu melarutkan fosfat dalam bentuk Ca3PO42 bentuk senyawa fosfat yang pal- ing mudah larut. Hal ini mungkin dikarenakan oleh bakteri tersebut hanya mampu menghasilkan je- nis asam organik yang memiliki kemampuan rendah dalam melarutkan fosfat. Menurut Saraswati et.al ., 2007, bahwa setiap BPF menghasilkan jenis dan jumlah asam organik yang berbeda. Kemam- puan asam organik melarutkan fosfat menurut urutan sebagai berikut: asam sitrat asam oksalat asam tartat asam malat asam laktat asam glukonat asam asetat asam format. Sepuluh isolat bakteri yang diperoleh menghasilkan jenis asam organik yang memiliki kemampuan yang rendah dalam melarutkan fosfat. Ini menyebabkan asam organik tersebut hanya mampu mele- Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... 440 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 paskan ikatan fosfat yang lemah. Dimana pengikatan fosfat oleh logam Ca, Al dan Fe paling lemah adalah pada ikatan Ca 3 PO 4 2 . Sehingga pada tahap seleksi hanya sumber fosfat dalam bentuk senya- wa Ca 3 PO 4 2 yang mampu dilarutkan. Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat Berdasarkan hasil karakterisasi yang didapat dan diidentifikasi berdasarkan buku identifikasi Ber gey’s Manual of Determination Bacteriology, 8 th 9 th Edition didapatkan 7 bakteri pelarut fosfat yang termasuk dalam genus Flavobacterium, Bacillus, Acetobacter, Citrobacter, Yersinia, Klebsiella dan Micrococcus Lampiran 1 dan 2 Tabel 2 dan 3. 4 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil isolasi, karakterisasi dan identifikasi bakteri pelarut fosfat yang berasal dari rizosfer mangrove diperoleh 10 isolat bakteri yang mampu melarutkan fosfat yang diisolasi dari sedimen dis- ekitar rizosfer mangrove. Empat isolat berasal dari stasiun I yaitu Flavobacterium sp TM 1 P 1 , Citro- bacter sp TM 1 P 2 , Bacillus sp TM 1 P 3 dan Acetobacter sp TM 1 P 4 . Satu isolat dari stasiun II yaitu Citrobacter sp TM 2 P 1 , lima isolat dari stasiun III yaitu Yersinia sp TM 3 P 1 , Acetobacter sp TM 3 P 2 , Citrobacter sp TM 3 P 3 , Klebsiella sp TM 3 P 4 dan Micrococcus sp TM 3 P 5 . Sepuluh isolat bakteri yang diperoleh mampu melarutkan fosfat dalam bentuk senyawa Ca 3 PO 4 2, tetapi tidak mampu mela- rutkan fosfat dalam bentuk senyawa AlPO 4 dan FePO 4. REFERENSI [1] Cappucino, J.G. N. Sherman. 2008. Microbiology a Laboratory Manual. 8 rd Edition. The Benjamin Pub- lish. New York. USA. 462 pages. [2] Darliana, I. 2011. Mikroba Pelarut Fosfat. Jurnal Penelitian. Agroteknologi, Fakultas Pertanian UNBAR. 16 hlm. [3] Illmer, P. F. Schinner. 1995. Solubilization of inorganic calcium phosphates-solubilization mechanisms. Soil Biology and Biochemitry. 27: 257-263. [4] Kabirun, S. 1998. Pengadaan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat yang Unggul Sebagai Teknologi Masukan Rendah untuk Meningkatkan Produksi Kedelai di Tanah Ultisol. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta. 57 hlm. [5] Kasmita, R. 2010. Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat BPF dari Bebe- rapa Sampel Tanah di Bogor, Nusa Tenggara Barat NTB, dan Nusa Tenggara Timur NTT. Skripsi. De- partemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 45 hlm [6] Marpaung, R.H. 2011. Keragaman Bakteri pada Ekosistem Mangrove Berdasarkan Salinitas Air Laut di Pan- tai Gudang Garam, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Skrip- si . Universitas Sumatera Utara. 63 hlm. [7] Metasari, K. 2011. Eksplorasi Bakteri Penambat Nitrogen Non Simbiosis dari Tanah Kawasan Mangrove Wonorejo Surabaya. Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Su- rabaya. 61 hlm. [8] Ponmurugan, P. C. Gopi. 2006. In Vitro Production of Growth Regulators and Phosphatase Aktivity by Phosphate Solubilizing Bacteria. African Journal of Biotechnology 5: 348-360 [9] Premono, M.E. 1994. Jasad Renik Pelarut Fosfat Pengaruhnya Terhadap P Tanah dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu. Disertasi. IPB. Bogor. 148 hlm. [10] Rao, S.N.S. 1994. Mikroorganisma Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi kedua. Susilo, H. Universitas Indonesia. Jakarta. 353 hlm. [11] Saraswati, R., E. Husen R.D.M. Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Pene- litian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 278 hlm. [12] Saraswati, R. Sumarno. 2008. Pemanfaatan Mikroba Penyubur Tanah Sebagai Komponen Teknologi Per- tanian. Iptek Tanaman Pangan 3: 41-58. [13] Satriadi, A. 2004. Jenis dan Karakteristik Sedimen Daerah Mangrove di Pantai Kabongan Lor Kabupaten Rembang. Laporan Penelitian. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. 44 hlm. Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 441 [14] Seshadari, S. S. Ignacimutu. 2002. Variations in Hetetrophic and Phosphate Solubilizing Bacteria from Chennai Southest Coast of Indian. Indian Journal of marine Science 31: 69-72. [15] Simanungkalit, R.D.M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati . Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembang Pertanian. Bogor. 283 hlm. [16] Suliasih Rahmat. 2007. Aktivitas Fosfatase dan Pelarutan Kalsium Fosfat oleh Beberapa [17] Bakteri Pelarut Fosfat. Biodiversitas 8: 23-26. [18] Suwignyo R. A., Munandar, Sarno, T.Z. Ulqodry E.S. Halimi. 2011. Pengalaman Pendampingan dalam Pengelolaan Hutan Mangrove pada Masyarakat. Fakultas Pertanian dan FMIPA Universitas Sriwijaya. Ba- lai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, Palembang. 21 hlm. [19] Widawati, S Suliasih. 2006. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat BPF di Cikaniki, Gunung Botol, dan Cipta- rasa, Serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat Di Media Pikovskaya Padat. Biodiversitas 7: 109-113. [20] Yunasfi. 2006. Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas. Disertasi. Sekolah Pascasarjana ITB. Bogor. 158 hlm. LAMPIRAN Tabel 2. Hasil karakterisasi bakteri pelarut fosfat dari Stasiun I Karakter Isolat TM 1 P 1 TM 1 P 2 TM 1 P 3 TM 1 P 4 TM 2 P 1 Pertumbuhan koloni pada medium NA tegak Beaded Beaded Echinulate Beaded Rhizoid Pertumbuhan koloni pada medium NA miring Bekas goresan Effuse Effuse Spredy Echinulate Filiform Warna koloni Krem Krem Krem Krem Putih susu Warna medium Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Pertumbuhan koloni pada medium NA lempeng Pertumbuhan koloni Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan Bentuk koloni Circuler Circuler Circuler Circuler Circuler Permukaan Smooth Smooth Smooth Smooth Smooth Elevasi Convex Flat Flat Flat Flat Bentuk Tepian Entire Entire Entire Entire Entire Bentuk sel Basil Basil Basil Kokus Basil Sifat gram - - + - - Endospora Tidak ada Tidak ada ada Tidak ada Tidak ada Kebutuhan akan oksigen pada media cair Aerob Fakultatif anaerob Aerob Aerob Fakultatif anaerob Uji biokimia H 2 S TSIA - - - - - Gas TSIA - - - - - Sitrat - - + - + Motilitas - + + + + Methyl red + + - + + Voges Proskauer - - - - - Katalase + + + + + Hidrolisis pati + + + + + Fermentasi glukosa + + + + + Fermentasi sukrosa + + + + + Fermentasi laktosa - - - - + Hidrolisis urea - - - - - Hidrolisis gelatin + - + - - Kemampuan melarutkan fosfat dalam bentuk Ca 3 PO 4 2 + + + + + AlPO 4 - - - - - FePO 4 - - - - - Genus Flavobacterium sp TM 1 P 1 Citrobacter sp TM 1 P 2 Bacillus sp TM 1 P 3 Acetobacter sp TM 1 P 4 Citrobacter sp TM 2 P 1 Keterangan: + Hasil uji positif; - Hasil uji negatif Hary Widjajanti dkk.Skrining dan Identifikasi Bakteri Pelarut Fosfat... 442 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Tabel 3. Hasil karakterisasi bakteri pelarut fosfat dari stasiun II dan III Karakter Isolat TM 3 P 1 TM 3 P 2 TM 3 P 3 TM 3 P 4 TM 3 P 5 Pertumbuhan koloni pada medium NA tegak Villous Rhizoid Echinulate Rhizoid Echinulate Pertumbuhan koloni pada medium NA miring Bekas goresan Effuse Effuse Filiform Filiform Effuse Warna koloni Krem Krem Krem Krem Krem Warna medium Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah Pertumbuhan koloni pada medium NA lempeng Pertumbuhan koloni Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan Bentuk koloni Circuler Circuler Curled Circuler Curled Permukaan Smooth Smooth Kasar Kasar Smooth Elevasi Flat Flat Convex Raised Flat Bentuk Tepian Entire Entire Undulate Undulate Undulate Bentuk sel Basil Kokus Basil Basil Kokus Sifat gram - - - - + Endospora Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kebutuhan akan oksigen pada media cair Fakultatif anaerob Aerob Fakultatif anaerob Fakultatif anaerob Aerob Uji biokimia H2S TSIA - - - - - Gas TSIA - - - - - Sitrat - + + + - Motilitas - + - - - Methyl red + + + - - Voges Proskauer - - - - - Katalase + + + + + Hidrolisis pati + + + - - Fermentasi glukosa + + + + + Fermentasi sukrosa + + + + + Fermentasi laktosa - - - - - Hidrolisi urea - - - - - Hidrolisis gelatin - - - - - Kemampuan melarutkan fosfat dalam bentuk Ca 3 PO 4 2 + + + + + AlPO 4 - - - - - FePO 4 - - - - - Genus Yersinia sp TM 3 P 1 Acetobacter sp TM 3 P 2 Citrobacter sp TM 3 P 3 Klebsiella sp TM 3 P 4 Micrococcus sp TM 3 P 5 Keterangan: + Hasil uji positif; - Hasil uji negatif Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 443 Penggunaan Metode Exposure Plate pada Perhitungan Jumlah Mikroba Udara sebagai Bioindikator Kualitas Udara dalam Ruangan Dikaitkan dengan Pengembangan Diri Siswa dalam Mengenal Gejala Alam dan Lingkungan di SMP Palembang Use of the Plate Exposure Method of Calculation of Total Microbial Air As bioindicator Indoor Air Quality Associated With Personal Development Students Know Symptoms In Nature and the Envi- ronment in SMP Palembang Kurniawan Subatra 1,2 , dan Rosmala Dewi 2 1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Tanaman, FP Universitas Sriwijaya, 2 Pengajar SMP Negeri 51 Palembang; email: suba- tra_281284yahoo.co.id rosmaladewi_skyyahoo.co.id Abstract: Indoor air quality can be determined by observing classroom biological factors surrounding environment. This research aims to study the use of plate exposure method to calculate the number of airborne bacteria microbes as bio-indicators of air quality in the classroom is associated with the development of the student in recognizing the symptoms of nature and the environment in SMP Negeri 51 Palembang. Research using experimental research methods to conduct air sampling experiment of five rooms or places that R1 lab, R2 teachers room, R3 toilet, R4 classrooms, and R5 the parking lot. Testing the level of development of the pupils after doing this experiment with the method of open and closed questionnaire. The parameters measured were the total number of indoor air microbes and value students level of self-development, as well as the relationship between the effect of the experiment on the response of the students. The results showed that there was difference in the number of microorganisms in the air of each place, and the best results obtained in the laboratory R1, and the worst in the toilet R3. Correlation value of 51.6 indicates these experiments provide a fairly close relationship with the real and personal development of students in recognizing natural phenomena such as air quality in the classroom. Thus this method can be used as plate exposure inidikator biological indoor air quality in a simple class and add to the students knowledge and developing the company in recognizing symptoms and the natural environment. Ultimately can have a positive effect on the students to further improve environmental quality by always keeping the environment around them. Keyword: bioindicator of air quality, amount of air microbes, plate exposure method, classroom 1 PENDAHULUAN dara adalah suatu yang diperlukan dalam pernapasan. Kita menghirup udara bersih berupa oksigen ke dalam paru-paru kita. Suatu hal yang penting untuk menjaga kualitas udara di sekitar kita. Berbagai masalah timbul akibat dari kurangnya kesadaran kita akan pentingnya udara yang bersih dan sehat. Kualitas udara di dalam suatu ruangan menjadi penting karena kita bekerja lebih banyak dilakukan di dalam ruangan [4] . Pengamatan yang dilakukan oleh siswa dalam mengenal gejala alam sekitar dalam hal ini kualitas udara dalam ruangan kelas menjadi suatu sikap pengembangan diri mereka menggunakan metode exposure plate. Metode ini digunakan untuk menghitung mikroba udara yang mengendap secara gravitasi ke dalam media cawan agar. Metode yang sederhana ini tentunya mudah untuk diaplikasikan dalam konteks pembelajaran siswa dan bermanfaat dalam life skill mereka. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan metode exposure plate dengan menghitung mikroba udara dalam ruangan kelas sebagai pengembangan diri siswa dalam mengenal gejala alam dan lingkungan di SMP Negeri 51 Palembang ini. jumlah mikroorganisme udara di lingkungan sekolah, yang nantinya akan berguna bagi sekolah dalam meningkatkan kebersihan lingkungan. Dengan demikian kita dapat mengetahui kualitas udara di lingkungan sekolah sehingga kita akan semakin selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitar kita. U Kurniawan S. Rosmala D.Penggunaan Metode Exposure Plate pada Perhitungan ... 444 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 2 METODE PENELITIAN Adapun penelitian ini dilakukan mulai tanggal 26 Mei 2012 hingga 30 Mei 2012. Penelitian ini dilaksanakan di beberapa ruangan di sekolah SMP Negeri 51 Palembang, sedangkan analisa kualitas udara dilakukan di laboratorium IPA SMP Negeri 51 Palembang. Alat dan Bahan yang digunakan adalah cawan petri, kompor, gelas ukur, beker gelas, erlenmeyer, panci, agar-agar, ekstrak sapi, aquadest, kertas. Penelitian menggunakan metode penelitian experimental dengan melakukan percobaan pengambilan contoh udara dari lima ruangan atau tempat yaitu R1 laboratorium, R2 ruang guru, R3 toilet, R4 ruang kelas, dan R5 tempat parkir. Pengujian tingkat pengembangan diri para siswa setelah melakukan percobaan ini dengan metode questioner menggunakan skala Likert. Parameter yang diamati adalah jumlah total mikroba udara dalam ruangan dan nilai tingkat pengembangan diri siswa, serta hubungan antara pengaruh percobaan terhadap respon siswa. Cara pengambilan sampel menggunakan metode exposure plate , yaitu dengan memaparkan cawan petri berisi media pertumbuhan non selektif media agar ke udara terbuka selama waktu tertentu. Partikel udara yang mengendap karena gravitasi akan menempel pada permukaan agar. Pada umumnya cawan dibiarkan selama beberapa menit selanjutnya diinkubasi pada temperatur yang sesuai sample udara. Pelaksanaan penelitian. Pembuatan media agar dengan mencampurkan bubuk agar-agar ekstrak sapi, kemudian panaskan dalam panci diatas kompor. Setelah masak, lalu dinginkan media agar tersebut. Kemudian tuangkan media agar tersebut ke dalam cawan petri hingga memenuhi setengah. Lalu dinginkan hingga beku dan tutup. Setelah media agar siap, lalu letakkan di beberapa tempat yang akan diamati. Buka tutup bagian atas, kemudian biarkan terbuka hingga 1 menit. Kemudian tutup lagi dan balik cawan petri. Untuk menghindarkan uap air menempel pada media agar. Inkubasi dilakukan dengan cara membungkus cawan petri dengan kertas kemudian diinkubasikan selama 4 hari. Lihat mikroorganisme yang nampak pada permukaan agar-agar, yang berbentuk bulat kemudian hitung jumlah mikroorganisme tersebut. Pengujian tingkat pengembangan diri para siswa setelah melakukan percobaan ini dengan metode questioner dengan skala Likert. Parameter yang diamati adalah jumlah total mikroba udara dalam ruangan dan nilai tingkat pengembangan diri siswa, serta hubungan antara pengaruh percobaan terhadap respon siswa. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Mikroba Udara Percobaan telah dilakukan di beberapa ruangan di sekolah. Terdiri dari 5 sample udara yang diuji ke dalam dua cawan petripetri dish yang dibiarkan terbuka selama satu menit, sehingga mikroorganisme udara secara gravitasi akan jatuh ke dalam media agar yang telah disiapkan. Media agar yang diguna- kan adalah media agar non selektif, yaitu suatu media agar biasa tanpa adanya tambahan nutrisi untuk mikroba tertentu sehingga mikroba yang tumbuh adalah total mikroba yang ada di dalam ruangan ter- sebut. Berikut ini adalah Tabel 1 hasil pengamatan setelah inkubasi selama satu minggu Total Mikroba Udara Hasil pengamatan pada tabel 1, menunjukkan bahwa total mikroba udara memiliki tingkat keragaman yang berbeda di beberapa ruangan yang berbeda. Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa kondisi dan situasi ruangan mempengaruhi total mikroba udara yang terdapat di dalam ruangan tersebut. Tabel 1. Hasil pengamatan menggunakan media cawan agar non selektif pada beberapa ruangan di SMP Ne- geri 51 Palembang Sample Udara rata-rata total mikroba udara spk R1 laboratorium 1,30 x 10 2 R2 teacher room 1,48 x 10 2 Kurniawan S. Rosmala D.Penggunaan Metode Exposure Plate pada Perhitungan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 445 R3 toilet room 4,19 x 10 2 R4 parking area 2,32 x 10 2 R5 classroom 2,43 x 10 2 Pada grafik 1 diketahui adanya perbedaan total mikroba udara. Jumlah mikroba udara pada sample R5 classroom mencapai 2,43 x 10 2 . Bila dibandingkan dengan Sample R3 toilet room ternyata lebih rendah menunjukkan total mikroorganisme udara tertinggi 4,19 x 10 2 . Sedangkan pada sample R1 laboratorium memiliki total mikroorganisme udara terendah yakni 1,30 x 10 2 . Hal ini menandakan adanya pengaruh keadaan ruangan tersebut. R3 merupakan ruangan toilet, dengan kondisi ruangan yang lembab, sistem pembuangan yang mungkin terlalu dekat, pemakaian dengan atau tanpa desinfektan pada toilet juga mempengaruhi kualitas biologi udara. Berbeda halnya dengan sample R1 Laboratorium. Ruangan ini memang dikondisikan harus dalam keadaan bersih. Hal ini dikarenakan laboratorium untuk melakukan praktikum IPA, yang memerlukan kondisi yang bersih. Ruang kelas R5 menduduki urutan kedua yakni total mikroorganisme udara 2,43 x 10 2 . Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas siswa atau pun banyaknya lalu- lalang yang terjadi beragam dengan tingkat polusi yang ditimbulkan beragam pula. Banyaknya aktivitas di gedung atau ruangan meningkatkan jumlah polutan dalam ruangan. Kenyataan ini menyebabkan risiko terpaparnya polutan dalam ruangan terhadap manusia semakin tinggi, namun hal ini masih jarang diketahui oleh masyarakat. Seperti halnya kegiatan siswa yang banyak mempengaruhi kondisi udara menjadi salah satu sebab banyaknya mikroba yang tersebar di udara. Kepedulian siswa untuk menjaga lingkungan kelas mereka juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah mikroba udara dalam ruangan. Grafik 1. Total mikroorganisme udara pada beberapa ruangan di sekolah. Kualitas udara di dalam ruangan mempengaruhi kenyamanan lingkungan ruang kerja. Kualitas udara yang buruk akan membawa dampak negatif terhadap orang yang beraktivitas didalam ruangan tersebut berupa keluhan gangguan kesehatan. Dampak pencemaran udara dalam ruangan terhadap tubuh terutama pada daerah tubuh atau organ tubuh yang kontak langsung dengan udara [1] . Gejala- gejala bisa berhubungan dengan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat juga berhubungan dengan gejala yang nampak pada desain ergonomik yang buruk di tempat tersebut, persoalan dengan pencahayaan dan kebisingan, serta stress pekerjaan ataupun organisasi. Penyebaran bakteri, jamur, dan virus pada umumnya terjadi melalui sistem ventilasi. Sumber bioaerosol ada 2 yakni yang berasal dari luar ruangan dan dari perkembangbiakan dalam ruangan atau dari manusia, terutama bila kondisi terlalu berdesakan crowded . Pengaruh kesehatan yang Total Mikroorganisme Udara Pada Beberapa Ruangan di Sekolah 50 100 150 200

250 300

350 400 450 R1 laboratorium R2 teacher room R3 toilet room R4 parking area R5 classroom M ik roorga nis me Uda ra Kurniawan S. Rosmala D.Penggunaan Metode Exposure Plate pada Perhitungan ... 446 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 ditimbulkan oleh bioaerosol berasal dari mikroba ini terutama 3 macam, yaitu i nfeksi, alergi, dan iritasi.. Kontaminasi bioaerosol pada sumber air sistem ventilasi humidifier yang terdistribusi keseluruh ruangan dapat menyebabkan reaksi yang berbagai ragam seperti demam, pilek, sesak nafas dan nyeri otot dan tulang [2] . Gambar 1. Pelaksanaan penelitian menangkap mikroba udara dengan menggunakan Metode Exposur Plate, dimana mikroba udara akan mengendap secara gravitasi masuk ke media agar. Respon siswa setelah melakukan percobaan penggunaan Metode Exposure Plate. Hubungan antara respon siswa terhadap percobaan diperlihatkan pada persamaan regresi polynomial, dimana y = 0.014x 2 - 0,2463x + 5,3123, dengan nilai korelasi R sebesar 0,516. Hal ini menunjukkan respon siswa setelah menerima percobaan mengenai metode Exposure Plate untuk menghitung jumlah mikroba udara sebagai bioindikator kualitas udara dalam ruangan kelas berpengaruh nyata. Nilai kore- lasi yang menunjukkan sebesar 51,6 percobaan ini memberikan hubungan yang cukup erat dan nya- ta dengan pengembangan diri siswa dalam mengenal gejala alam berupa kualitas udara dalam ruangan kelas. Hal ini menunjukkan bahwa siswa SMP dapat dengan baik merespon terhadap metode percobaan baru yang telah dilakukan. Dengan mendapatkan kegiatan percobaan baru tersebut, maka dapat me- nambah pengetahuan siswa mengenai kualitas udara dalam lingkungan sekitar mereka khususnya di ruang kelas mereka. Pada akhirnya dapat memberikan efek positif untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitar mereka. Grafik 2. Hubungan antara respon siswa terhadap nilai pengembangan diri siswa setelah diberikan percobaan mengenai metode exposure plate untuk menghitung jumlah mikroba udara sebagai bioindikator kualitas udara dalam ruangan kelas. y = 0.014x2 - 0.2463x + 5.3123 r = 0.516

0.0 1.0

2.0 3.0

4.0 5.0

6.0 2 4 6 8 10 12 14 16 Respon terhadap metode exposure plate Nila i penge mba ngan diri m urid Kurniawan S. Rosmala D.Penggunaan Metode Exposure Plate pada Perhitungan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 447 4 KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode exposure plate ini dapat dijadikan suatu metode sederhana dalam menentukan jumlah mikroba udara dalam ruangan yang menjadi bioindikator kualitas udara. Mikroba udara dalam ruangan berbeda-beda berdasarkan tipe ruangannya. Ruangan kelas menduduki peringkat kedua setelah ruang toilet dalam hal jumlah mikroba udara. Hal ini menjadi perhatian untuk lebih meningkatkan kebersihan ruangan kelas. Selanjutnya hubungan antara respon siswa terhadap percobaan yang diberikan ini dapat dilihat pada persamaan regreasi polynomial y = 0.014x 2 - 0,2463 + 5,3123, dengan nilai korelasi sebesar 0,516 atau 51,6 . Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat menyerap metode ini cukup erat yang dihubungkan dengan tingkat pengembangan diri siswa tersebut. Namun dalam penelitian ini perlu ju- ga diidentifikasi jenis-jenis mikroba udara dalam suatu ruangan. REFERENSI [1] Kesehatan Lingkungan Vol. 1, No. 2. Januari 2005. 1]Aditama, Tjandra Y. 1992. Polusi Udara dan Kesehatan, Jakarta : Arcan. [2] Malaka, Tan., 1998. Kualias Udara Ruangan dan Kesehatan. Di dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indo- nesia . Tahun XXVI. Nomor 8 : 440-444. [3] Prasasti, C.I, J. Mukono dan Sudarmadji. 2005. Pengaruh Kualitas Udara dalam Ruangan Ber-AC terhadap Gangguan Kesehatan. Jurnal [4] Suwarno, S. 2010. Kualitas Udara di Dalam Gedung KUG. Badan Kejuruan Mesin. www.google.co.idkualitas-udara.html. diakses tanggal 7 Juni 2011. 448 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan Ruang Terbuka Hijau Kota Martapura Sumatera Selatan Lia Auliandari 1 , Chafid Fandeli 2 dan Hadi Sabari Yunus 3 1 Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang, 2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, 3 Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Abstrak: Penelitian dilakukan di ruang terbuka hijau RTH Kota Martapura, Sumatera Selatan. Tu- juan penelitian adalah mengkaji struktur-komposisi vegetasi dan kenyamanan RTH Kota Martapura. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Untuk penentuan sampel baik areal RTH maupun objek penelitian dilakukan dengan purposive sampling. Objek penelitian adalah struktur-komposisi vegetasi dan iklim mikro RTH. Struktur-komposisi vegetasi dianalisis dengan indeks keanekara- gaman, kemerataan dan dominansi, sedangkan iklim mikro berdasarkan parameter iklim yang diamati suhu dan kelembaban udara untuk menghitung indeks kenyamanan. Hasil penelitian menunjukkan struktur-komposisi vegetasi Kota Martapura adalah memiliki keaneka- ragaman spesies rendah, kemerataan spesies tinggi hanya pada bentuk pertumbuhan growth form tertentu dan masih adanya dominasi oleh satu spesies, dan kenyamanan pada pagi hari adalah kelas I nyaman, sedangkan siang dan sore hari termasuk kelas II kurang nyaman dan III tidak nyaman. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peningkatan kenyamanan perlu dilakukan terutama pada siang dan sore hari dengan meningkatkan kondisi struktur dan komposisi vegetasi yang ada di Kota Marta- pura saat ini, yaitu dengan meningkatkan spesies dan kemerataanya, terutama pada vegetasi pohon, sehingga dapat meningkatkan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi. Jika keanekaragaman dan ke- rapatan vegetasi tinggi, maka akan mengurangi peluang sinar matahari langsung mengenai permu- kaan tanah, sehingga dapat menyebabkan penurunan suhu udara, peningkatan kelembaban udara dan kenyamanan RTH. Kata kunci: struktur dan komposisi vegetasi, kenyamanan, RTH, Kota Martapura 1 PENDAHULUAN uang terbuka hijau RTH merupakan salah satu lansekap kota yang secara ekologis memiliki peran keseimbangan dan daya dukung lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsi- tektural estetika, fungsi sosial, budaya dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota, yaitu dengan adanya keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam RTH tersebut Tim Departemen Arsitektur Lanskap IPB, 2005. Kota Martapura adalah salah satu kota kecil kurang dari 100.000 jiwa yang ada di Sumatera Sela- tan. Martapura menjadi ibukota Kabupaten OKU Timur setelah dimekarkan dari kabupaten induknya. Kota Martapura memiliki RTH yang masih memenuhi luasan 30 dari luas wilayah kota Lussetyo- wati, 2011. RTH tersebut disusun dengan berbagai macam struktur dan komposisi vegetasi. Akan tetapi sampai saat ini belum seluruhnya diketahui tentang struktur dan komposisi vegetasi yang me- nyusunnya, sehingga berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang struktur dan kompo- sisi vegetasi yang menyusun RTH Kota Martapura. Struktur dan komposisi komunitas vegetasi dapat digunakan untuk menyatakan keseimbangan ko- munitas Soegianto, 1994. Keberadaan RTH perkotaan dimaksudkan untuk dapat menjaga kelesta- rian, keserasian, dan keseimbangan ekosistem perkotaan. Keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Keseimbangan lingkungan perkotaan yang disediakan melalui keanekaragaman spesies dalam komunitas dapat me- nentukan ekosistem dalam menghasilkan jasa ekosistem ecosystem services yang diperlukan manu- sia, seperti pengaturan iklim mikro Alcamo et al., 2003. R Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 449 Kehadiran vegetasi pada suatu lansekap akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan eko- sistem dalam skala yang lebih luas. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area mem- berikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegeta- si yang tumbuh pada daerah itu. Vegetasi dalam RTH berperan dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara melalui proses fotosintesis dan evapotranspirasi. Dengan peran gan- da ini maka RTH sangat penting dalam perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan dan perbaikan ke- nyamanan kota Rushayati, 2012. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, maka rumusan dan tujuan dalam penelitian ini adalah mengkaji struktur-komposisi vegetasi dan kenyamanan RTH Kota Martapura. 2 METODE PENELITIAN Penelitian struktur dan komposisi vegetasi RTH Kota Martapura ini merupakan penelitian survei. Untuk penentuan sampel baik areal RTH maupun objek penelitian dilakukan dengan purposive sampling . Objek penelitian adalah struktur-komposisi vegetasi dan iklim mikro RTH. Penentuan sampel areal berdasarkan pada: 1 keterwakilan bentuk, 2 spesies dan cacah individu yang berbeda- beda di setiap lokasi penelitian, 3 adanya perbedaan spesies dan cacah individu, sehingga memung- kinkan terjadi variasi iklim harian di setiap RTH, dan 4 adanya variasi iklim harian yang memung- kinkan terjadi perbedaan iklim mikro dan tingkat kenyamanan di setiap RTH. Penentuan sampel objek penelitian berupa struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan dua metode, yaitu sensus dan sampling. Dua metode yang digunakan tersebut disesuaikan dengan bentuk RTH yang ada. Untuk metode sampling, penentuan sampel vegetasi dilakukan dilakukan dengan pur- posive sampling berdasarkan homogenitas vegetasi dan keberadaan pohon perindang di RTH. Untuk penentuan kondisi iklim mikro berdasarkan pada pengamatan dan pengukuran pada vegetasi yang memiliki ketinggian sekitar 3 meter dengan tajuk lebar dan daun rimbun. Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan observasi yang digunakan untuk mengum- pulkan data struktur-komposisi vegetasi indeks keanekaragaman, indeks kemerataan dan indeks do- minansi dan kondisi iklim mikro suhu udara, kelembaban udara dan indeks kenyamanan. Setelah data dari lapangan terkumpul, dilakukan analisis data dengan menggunakan metode kualitatif deskrip- tif untuk menjawab tujuan penelitian yang telah dirumuskan Yunus, 2010. Analisis data yang berda- sarkan pada tujuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Struktur-Komposisi Vegetasi Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan dan Indeks Dominansi Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Keanekaragaman dan kemerataan spesies dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan indeks kemerataan yang masing-masing diperoleh dari persamaan berikut Krebs, 2009 H ’ = pilog 2 pi � �=1 ; e = H ′ log 2 S Keterangan: H ’ = indeks keanekaragaman spesies E = indeks kemerataan spesies S = jumlah spesies pi = niN = proporsi individu spesies i dalam komunitas Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannor-Wiener didefinisikan dalam Ta- bel 1. K riteria yang digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan spesies ditampilkan dalam Tabel 2. Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... 450 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Tabel 1. Definisi Indeks Keanekaragaman Jenis Menurut Shannor-Wiener Kelas Keanekaragaman Spe sies H’ Tingkat Keanekaragaman 5 4 Sangat tinggi 4 3,1 – 4 Tinggi 3 2,1 – 3 Sedang 2 1,1 – 2 Rendah 1 – 1 Sangat rendah Tabel 2. Interpretasi Kemerataan Spesies No. Kemerataan Spesies e Tingkat Kemerataan 1 0,3 Rendah 2 0,3 – 0,6 Sedang 3 0,6 Tinggi Indeks Dominansi Indeks dominansi merupakan paremeter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominasi penguasaan spesies dalam suatu komunitas. Penguasaan atau dominasi spesies dalam suatu komunitas bisa terpu- sat pada suatu spesies, beberapa spesies atau pada banyak spesies yang dapat diperkirakan dari tinggi rendahnya indeks dominansi ID. Dominansi spesies dianalisis dengan menggunakan indeks dominansi yang diperoleh dari persamaan berikut Odum, 1996. ID = niN 2 Keterangan: ID = indeks dominansi, ni = jumlah total individu spesies i, N = jumlah seluruh individu da- lam total n Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan dominansi spesies tersebut ditampilkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Interpretasi Dominansi Spesies No. Dominansi Spesies ID Keterangan 1 mendekati 0 Cenderung dominansi oleh beberapa spesies 2 mendekati 1 Dominansi oleh satu spesies Kondisi Iklim Mikro Kondisi iklim mikro RTH dianalisis berdasarkan parameter iklim yang diamati, yaitu suhu dan ke- lembaban udara untuk menghitung indeks kenyamanan. Penentuan indeks kenyamanan adalah dengan menggunakan metode THI Temperature Humidity Index atau Indeks Suhu-Kelembaban berdasarkan persamaan Nieuwolt berikut Fandeli dkk, 2008. IK = 0,8 T + RH x T500 Keterangan: IK = THI = Indeks Kenyamanan, T = Suhu udara C, RH = Kelembaban udara . Hasil perhitungan Indeks Kenyamanan yang didapatkan tersebut dibandingkan dengan kriteria kla- sifikasi nilai Indeks Kenyamanan seperti pada Tabel 4. Nilai Indeks Kenyamanan yang telah dida- patkan akan dijelaskan lebih lanjut secara deskriptif berdasarkan pada struktur dan komposisi vegetasi yang menyusunnya RTH. Tabel 4. Klasifikasi Nilai Indeks Kenyamanan Kelas Nilai THI Kategori Tingkat Kenyamanan I 21-24 100 populasi manusia menyatakan nyaman Nyaman II 25-27 50 populasi manusia menyatakan nyaman Kurang Nyaman III 27 100 populasi manusia menyatakan tidak nyaman Tidak Nyaman Sumber: Emmanuel 2005 dalam Rushayati 2012 Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 451 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Ruang terbuka hijau meliputi hutan kota, taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau jalan, pekaran- gan penduduk, halaman pada bangunan umum, lahan pertanian, dan makam Kota Martapura diha- rapkan mampu memberikan jasa ekosistem, berupa jasa pengaturan iklim mikro. Jasa pengaturan ik- lim mikro ini menekankan pada manfaat klimatologis, yaitu tingkat kenyamanan RTH. Kehadiran vegetasi dalam RTH membuat lingkungan hidup terasa lebih nyaman, karena dapat memodifikasi un- sur-unsur iklim. Tanaman memang tidak mengubah unsur-unsur iklim tersebut secara drastis, tetapi perubahan kecil yang ditimbulkan sangat terasa sekali bagi manusia. Tingkat kenyamanan tersebut berdasarkan pengukuran dan pengamatan terhadap struktur-komposisi vegetasi dan iklim mikro. Struktur-Komposisi Vegetasi Keanekaragaman spesies menggambarkan jumlah total proporsi suatu spesies spesies relatif terhadap jumlah total individu yang ada. Semakin banyak jumlah spesies dengan proporsi yang seimbang menunjukkan keanekaragaman yang semakin tinggi. Konsep tersebut dina- makan heterogenitas . Heterogenitas yang tinggi dalam suatu komunitas adalah ketika terdapat banyak spesies dan cacah individu spesies hampir sama berlimpah jumlahnya Krebs, 2009. Heterogenitas menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas terdi- ri atas jumlah spesies yang merata dan cenderung tidak didominasi oleh satu spesies. Tinggi rendah- nya keanekaragaman spesies didasarkan pada indeks keanekaragaman, sedangkan kemerataan spesies didasarkan pada indeks kemerataan dan dominansi spesies pada indeks dominansi . Pen- gukuran keanekaragaman, kemerataan dan dominansi spesies RTH dilakukan pada setiap bentuk per- tumbuhan growth form vegetasi yang ditampilkan dalam Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar bentuk pertumbuhan vegetasi RTH memiliki keaneka- ragaman spesies yang rendah hingga sangat rendah dengan nilai H 2. Keanekaragaman spesies yang termasuk sedang ditunjukkan oleh vegetasi jalur hijau jalan pada vegetasi tiang, halaman ban- gunan umum 2 pada tingkat semaisemakperdu, halaman bangunan umum 3 pada vegetasi se- makperdu, dan lahan pertanian 2 pada vegetasi pohon. Keanekaragaman spesies sedang tersebut me- miliki nilai H antara 2,1 – 3. Tabel 5. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Dominansi Spesies RTH No Lokasi RTH Bentuk Pertumbu- han Vegetasi Keanekaragaman Spesies H Kemerataan Spesies e Dominansi Spesies ID 1 Hutan Kota Pohon 1 Pancang 2,046 0,881 0,28 Liana 1 1 0,5 Semak 1 2 Taman Kota Tiang 1,5 0,946 0,375 3 Lapangan Olahraga Pohon 1 4 Jalur Hijau Jalan Pohon 1,418 0,709 0,486 Tiang 2,489 0,887 0,209 Pancang 1,462 0,922 0,391 SemakPerdu 1,379 0,69 0,419 5 Pekarangan Penduduk a. Pekarangan Pohon 1 Penduduk 1 Pancang 1 1 0,5 SemakPerdu 0,918 0,918 0,556 b. Pekarangan Pohon 0,353 0,353 0,876 Penduduk 2 Tiang 1 SemaiPerdu 1,371 0,865 0,4 c. Pekarangan Pohon 0,88 0,44 0,709 Penduduk 3 Tiang 1 Pancang 1,617 0,809 0,388 Semak 1 Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... 452 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 6 Halaman pada Bangunan Umum a. Halaman pada Pohon 1 Bangunan Tiang 0,918 0,918 0,556 Umum 1 Pancang 0,918 0,918 0,556 b. Halaman pada Pohon 1 Bangunan Tiang 1 1 0,5 Umum 2 Pancang 0,544 0,544 0,781 SemaiSemakPerdu 2,197 0,946 0,235 c. Halaman pada Pohon 1,252 0,79 0,5 Bangunan Tiang 0,65 0,65 0,722 Umum 3 Pancang 2,046 0,881 0,28 SemakPerdu 2,727 0,821 0,166 7 Lahan Pertanian a. Lahan Pertanian 1 Pohon 0,954 0,954 0,531 Pancang 1 Semai 1 b. Lahan Pertanian 2 Pohon 2,311 0,823 0,267 Semai 1 8 Makam a. Makam 1 Pohon 1 Tiang 0,544 0,544 0,781 Perdu 1 b. Makam 2 Pohon 1,557 0,982 0,347 Tiang 1 Pancang 0,774 0,488 0,723 Perdu 1 Sumber: Data Primer, 2012 Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi oleh kemerataan dan dominansi spesies. Sebagian besar bentuk pertumbuhan vegetasi RTH telah menunjukkan kemerataan spesies yang tinggi dengan nilai e 0,6, tetapi masih banyak didominasi oleh satu spesies. Adanya dominasi oleh satu spesies ditunjukkan oleh nilai ID yang mendekati 1. Jika nilai ID mendekati 0 berarti tidak adanya dominasi oleh satu spesies atau cenderung didominasi oleh beberapa spesies. Makin merata suatu spesies maka makin tinggi nilai kemerataannya. Jika beberapa spesies tertentu dominan sementara spesies lainnya tidak dominan, maka nilai kemerataan komunitas yang bersangku- tan akan lebih rendah. Kemerataan spesies yang rendah dan dominasi yang tinggi dapat menyebabkan keanekaragaman vegetasi menjadi rendah. Jika keanekaragaman vegetasi rendah, maka akan membe- rikan peluang bagi sinar matahari langsung mengenai permukaan tanah. Hal tersebut dapat menye- babkan peningkatan suhu udara, penurunan kelembaban udara dan kenyamanan RTH Rushayati, 2012. Iklim Mikro Suhu Udara, Kelembaban Udara dan Indeks Kenyamanan Kondisi iklim mikro RTH hutan kota, taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau jalan, pekarangan penduduk, halaman pada bangunan umum, lahan pertanian, dan makam dalam penelitian ditentukan berdasarkan parameter iklim yang diamati, yaitu suhu dan kelembaban udara untuk menghitung in- deks kenyamanan THI. Hutan Kota Tingkat kenyamanan hutan kota ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan da- lam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di dalam hutan di bawah tajukA, pohon terluar hutan B dan luar hutan satu kali diameter tajuk pohon terluarC. Tingkat kenyama- nan hutan kota yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat Kenyamanan Hutan Kota dengan Metode THI No Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 453 1 Pagi 26.13 26.37 26.60 53.67 50.67 49.00 23.71 23.77 23.89 2 Siang 31.17 31.77 32.47 23.67 22.00 19.00 26.41 26.61 27.21 3 Sore 28.60 29.03 30.10 36.00 32.00 27.00 24.94 25.08 25.64 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 6 tingkat kenyamanan hutan kota pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman. Tingkat kenyamanan hutan kota pada siang hari di dalam hutan dan pohon terluar hutan termasuk kelas II kurang nyaman, sedangkan di luar hutan adalah kelas III tidak nyaman. Tingkat kenyamanan hutan kota pada sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II ku- rang nyaman. Taman Kota Tingkat kenyamanan taman kota ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan da- lam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan taman kota yang diperoleh di- tampilkan dalam pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Kenyamanan Taman Kota dengan Metode THI No Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Pagi 26.27 26.57 27.07 51.00 49.33 47.00 23.69 23.87 24.14 2 Siang 30.80 31.20 31.90 29.33 24.33 22.00 26.45 26.48 26.92 3 Sore 29.40 29.77 31.10 30.67 27.67 25.00 25.32 25.46 26.43 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 7 tingkat kenyamanan taman kota pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman, sedangkan untuk kenyamanan pada siang dan sore hari di tiga titik penguku- ran adalah kelas II kurang nyaman. Lapangan Olahraga Tingkat kenyamanan lapangan olahraga ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan lapangan olahraga yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkat Kenyamanan Lapangan Olahraga dengan Metode THI No Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Pagi 26.70 26.83 27.13 49.00 47.00 42.67 23.97 23.99 24.02 2 Siang 30.97 31.60 32.30 28.33 25.67 22.00 26.86 26.86 27.26 3 Sore 30.50 30.73 30.93 32.00 30.00 27.00 26.35 26.43 26.45 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 8 tingkat kenyamanan lapangan olahraga pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman. Tingkat kenyamanan lapangan olahraga pada siang hari di bawah tajuk dan batas terluar tajuk termasuk kelas II kurang nyaman, sedangkan di luar tajuk satu kali diameter tajuk adalah kelas III tidak nyaman. Tingkat kenyamanan lapangan olahraga pada sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Jalur Hijau Jalan Tingkat kenyamanan jalur hijau jalan ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan jalur hijau jalan yang dipe- roleh ditampilkan dalam pada Tabel 9. Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... 454 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Berdasarkan Tabel 9 tingkat kenyamanan jalur hijau jalan pada pagi hari di tiga titik pengukuran ter- masuk dalam kelas I nyaman, sedangkan tingkat kenyamanan pada siang dan sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Tabel 9. Tingkat Kenyamanan Jalur Hijau Jalan dengan Metode THI No Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Pagi 26.03 26.20 26.40 51.00 48.67 45.67 23.48 23.51 23.53 2 Siang 30.90 31.10 31.47 29.33 27.00 24.67 26.53 26.56 26.73 3 Sore 28.63 28.90 29.17 33.67 32.00 30.00 24.83 24.97 25.08 Sumber: Data Primer, 2012 Pekarangan Penduduk Tingkat kenyamanan pekarangan penduduk ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan pekarangan pendu- duk yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 10. Tabel 10. Tingkat Kenyamanan Pekarangan Penduduk dengan Metode THI No Lokasi Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Pekarangan Pagi 26.30 26.53 26.80 51.67 49.33 47.33 23.76 23.84 23.98 Penduduk 1 Siang 30.53 30.77 31.40 28.00 25.67 22.67 26.14 26.19 26.54 Sore 28.57 28.90 29.10 34.00 30.00 28.33 24.80 24.85 24.93 2 Pekarangan Pagi 26.50 26.60 26.83 49.33 48.00 46.00 23.81 23.83 23.93 Penduduk 2 Siang 30.87 31.60 31.67 25.67 23.67 23.33 26.28 26.80 26.81 Sore 28.93 29.37 29.43 30.67 27.00 25.67 24.92 25.08 25.10 3 Pekarangan Pagi 26.30 26.57 26.80 51.00 48.67 46.33 23.72 23.84 23.92 Penduduk 3 Siang 30.57 30.83 31.33 27.67 25.67 24.00 26.14 26.25 26.57 Sore 28.47 28.63 28.87 33.33 31.33 28.67 24.67 24.70 24.75 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 10 tingkat kenyamanan pekarangan penduduk 1, 2 dan 3 pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman, sedangkan tingkat kenyamanan pada siang dan sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Halaman pada Bangunan Umum Tingkat kenyamanan halaman pada bangunan umum ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan halaman ban- gunan umum yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Kenyamanan Halaman Bangunan Umum dengan Metode THI No Lokasi Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Halaman Pagi 26.33 26.53 26.77 50.67 49.00 47.33 23.73 23.83 23.98 Bangunan Siang 30.63 31.00 31.17 28.67 26.33 24.00 26.26 26.43 26.43 Umum 1 Sore 28.63 28.97 29.23 35.33 31.33 29.33 24.93 24.99 25.10 2 Halaman Pagi 26.37 26.63 26.85 49.67 48.33 47.00 23.71 23.88 24.02 Bangunan Siang 30.70 31.00 31.20 27.33 26.00 23.67 26.24 26.41 26.44 Umum 2 Sore 28.63 28.90 29.13 34.00 31.00 28.33 24.85 24.91 24.96 3 Halaman Pagi 26.27 26.63 27.03 52.33 51.00 49.33 23.76 24.02 24.29 Bangunan Siang 30.90 31.20 31.43 28.67 26.33 23.67 26.49 26.60 26.63 Umum 3 Sore 28.97 29.30 30.07 33.33 31.00 26.67 24.77 25.26 25.66 Sumber: Data Primer, 2012 Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 455 Berdasarkan Tabel 11 tingkat kenyamanan halaman pada bangunan umum 1, 2 dan 3 pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman, sedangkan tingkat kenyamanan pada siang dan sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Lahan Pertanian Tingkat kenyamanan lahan pertanian ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk pohon perindang A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk tengah-tengah sawahC. Tingkat kenyamanan lahan perta- nian yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 12. Tabel 12. Tingkat Kenyamanan Lahan Pertanian dengan Metode THI No Lokasi Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Lahan Pagi 26.03 26.20 26.47 53.00 50.33 47.33 23.59 23.60 23.68 Pertanian 1 Siang 31.00 31.13 31.57 29.33 27.00 23.33 26.49 26.59 26.73 Sore 28.93 29.10 29.47 34.33 32.00 28.33 25.13 25.14 25.24 2 Lahan Pagi 25.97 26.13 26.47 54.00 52.00 47.67 23.58 23.62 23.70 Pertanian 2 Siang 30.97 31.20 31.67 28.67 26.00 22.33 26.55 26.58 26.75 Sore 28.93 29.27 29.50 34.00 31.67 28.67 25.11 25.27 25.29 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 12 tingkat kenyamanan lahan pertanian 1 dan 2 pada pagi hari di tiga titik pengu- kuran termasuk dalam kelas I nyaman, sedangkan tingkat kenyamanan pada siang dan sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Makam Tingkat kenyamanan makam ditentukan dengan metode THI yang dilakukan tiga kali ulangan dalam sehari pagi, siang dan sore di tiga titik pengukuran, yaitu di bawah tajuk A, batas terluar tajuk B dan luar tajuk satu kali diameter tajukC. Tingkat kenyamanan makam yang diperoleh ditampilkan dalam pada Tabel 13. Tabel 13. Tingkat Kenyamanan Makam dengan Metode THI No Lokasi Waktu Pengukuran Suhu ⁰C Kelembaban Indeks Kenyamanan A B C A B C A B C 1 Makam 1 Pagi 27.87 28.07 28.23 32.33 31.00 28.67 24.10 24.19 24.21 Siang 34.47 34.73 34.90 18.67 17.00 15.67 28.86 28.97 29.01 Sore 31.73 31.90 32.07 23.33 21.33 19.33 26.87 26.88 26.89 2 Makam 2 Pagi 27.13 27.47 27.70 37.67 35.33 33.67 23.75 23.91 24.03 Siang 33.97 34.13 34.23 22.00 20.33 20.00 28.67 28.69 28.76 Sore 31.43 31.63 31.87 28.00 25.00 21.00 26.91 26.92 26.94 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 13 tingkat kenyamanan makam 1 dan 2 pada pagi hari di tiga titik pengukuran termasuk dalam kelas I nyaman. Untuk tingkat kenyamanan makam 1 dan 2 pada siang hari di tiga titik pengukuran adalah kelas III tidak nyaman, sedangakan tingkat kenyamanan pada sore hari di tiga titik pengukuran adalah kelas II kurang nyaman. Tingkat Kenyamanan Menunjukkan Adanya Jasa Pengaturan Iklim Mikro Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara digunakan untuk menghitung indeks kenyamanan RTH. Indeks kenyamanan di tiga waktu yang berbeda di masing-masing RTH menunjukkan bahwa indeks kenyamanan terendah terjadi pada pagi hari. Indeks kenyamanan tertinggi terjadi pada siang hari dan menurun pada sore hari. Indeks kenyamanan terendah menunjukkan kelas kenyamanan yang tertinggi. Indeks kenyamanan RTH pada pagi hari menunjukkan tingkat kenyamanan kelas I nya- man, sedangkan pada siang dan sore hari termasuk kelas II kurang nyaman dan III tidak nyaman. Selain melakukan penghitungan di tiga waktu yang berbeda, penghitungan indeks kenyamanan ju- ga dilakukan di tiga titik pengukuran. Suhu udara RTH menunjukkan adanya peningkatan suhu dari Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... 456 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 tiga titik pengukuran di RTH, yaitu dari di bawah tajuk pohon ke luar tajuk. Titik pengukuran suhu udara di bawah tajuk merupakan suhu terendah di setiap waktu pengukurannya. Sebaliknya, kelemba- ban udara RTH menunjukkan adanya penurunan dari tiga titik pengukuran di RTH, yaitu dari di ba- wah tajuk pohon ke luar tajuk. Titik pengukuran kelembaban udara di bawah tajuk merupakan meru- pakan kelembaban tertinggi di setiap waktu pengukurannya. Hal tersebut menyebabkan indeks ke- nyamanan di bawah tajuk pada tiga waktu yang berbeda pagi, siang dan sore juga menunjukkan nilai terendah. Titik pengukuran di bawah tajuk merupakan titik yang menunjukkan kenyamanan dengan kelas yang lebih tinggi daripada di batas terluar tajuk dan luar tajuk. Hasil pengukuran dan penghitungan suhu udara, kelembaban udara dan indeks kenyamanan me- nunjukkan bahwa vegetasi berperan dalam memberikan tingkat kenyamanan, yaitu dengan menurun- kan suhu udara dan menaikan kelembaban udara. Hal ini dikarenakan tajuk tumbuhan pada RTH ber- peran mengintersepsi radiasi matahari sehingga radiasi yang sampai permukaan menurun. Berkurang- nya radiasi yang sampai permukaan, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurun. Di samping itu, terjadinya evaporasi dan transpirasi juga akan menu- runkan suhu udara Rushayati, 2012. Kenyamanan RTH Kota Martapura perlu ditingkatkan agar tercipta kota yang nyaman pleasant li- veable city , termasuk pada siang dan sore hari. Peningkatan kenyamanan tersebut perlu dilakukan karena perbedaan suhu dan kelembaban udara dari di bawah hingga terluar tajuk vegetasi tidak terlalu jauh berbeda. Hal tersebut juga disebabkan oleh keadaan struktur dan komposisi vegetasi yang ada di Kota Martapura pada saat ini, yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu sebagai berikut. 1. Keanekaragaman spesies rendah. 2. Kemerataan spesies yang tinggi baru ditunjukkan pada vegetasi tingkat tertentu. 3. Masih adanya dominasi oleh satu spesies. Peningkatan kenyamanan RTH dapat dilakukan dengan meningkatan keanekaragaman dan keme- rataan spesiesnya, terutama pada bentuk pertumbuahan vegetasi pohon. Vegetasi pohon dapat lebih efektif dalam menurunkan suhu dan menaikan kelembaban siang hari. Keanekaragaman dan kemera- taan vegetasi yang tinggi akan menjadikan RTH yang dapat menciptakan berbagai lapisan strata bentuk kehidupan dan tidak didominasi oleh satu spesies. Jika keanekaragaman vegetasi RTH rendah dan didominasi oleh satu spesies, maka kerapatan vegetasipun akan rendah. Dengan demikian, hal tersebut akan memberikan peluang bagi sinar mata- hari langsung mengenai permukaan tanah. Hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan suhu udara, penurunan kelembaban udara dan kenyamanan RTH Rushayati, 2012. Kerapatan vegetasi dapat mengurangi radiasi yang lolos sampai permukaan tanah melalui intersepsi radiasi oleh tajuk. Kerapa- tan dan keanekaragaman spesies vegetasi yang tinggi akan meningkatkan kemampuan suatu komuni- tas vegetasi untuk menjaga tetap mantap dan stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen- komponennya Cleland, 2011. Dengan demikian RTH dapat secara maksimal memberikan penga- ruhnya, terutama dalam pengaturan iklim mikro Alcamo et al., 2003. 4 SIMPULAN Struktur dan komposisi vegetasi Kota Martapura pada saat ini adalah keanekaragaman spesies rendah, kemerataan spesies tinggi hanya tingkat tertentu dan masih adanya dominasi oleh satu spesies. Hal tersebut menjadikan kenyamanan RTH pada pagi hari di tiga titik pengukuran adalah kelas I nya- man, sedangkan siang dan sore hari termasuk kelas II kurang nyaman dan III tidak nyaman. Titik pengukuran di bawah tajuk merupakan titik yang menunjukkan kenyamanan dengan kelas lebih tinggi daripada di batas terluar tajuk dan luar tajuk. Peningkatan kenyamanan perlu dilakukan terutama pada siang dan sore hari. Saran Saran yang dapat dikemukan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut. 1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Lia Auliandari dkk.Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Memberikan Kenyamanan ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 457 a. Perlunya dilakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih panjang mengingat penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan parameter iklim lainnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. b. Perlunya dilakukan studi lanjutan untuk meneliti efektivitas struktur dan komposisi vegetasi RTH dalam meningkatkan kualitas lingkungan terutama sebagai penyaring, baik polusi udara maupun kebisingan. 2. Bagi Pembangunan Kota a. Pemerintah Daerah perlu melakukan peningkatan keanekaragaman vegetasi di RTH terutama pada RTH yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti taman kota dan jalur hijau jalan. Peningkatan keanekaragaman vegetasi dapat dilakukan dengan memperkaya spesies tanaman dan membuat kemerataan spesiesnya tinggi terutama pada vegetasi pohon. Dengan demikian, RTH dapat secara maksimal memberikan pengaruhnya, terutama dalam pengaturan iklim mi- kro. b. Masyarakat diharapkan untuk tidak mengkonversi RTH yang berstatus lahan milik, seperti pe- karangan dan lahan pertanian, menjadi peruntukkan lain khususnya menjadi lahan terbangun. REFERENSI [1] Alcamo, J., N.J. Ash, E.M. Bennett, et al., 2003. Ecosystems and Human Well-Being: a Framework for As- sessmentMillennium Ecosystem Assessment. Island Press. Washington. [2] Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts, 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second Edition. The Benja- minCummings. California. [3] Cleland, E. E., 2011. Biodiversity and Ecosystem Stability. Nature Education Knowledge 2 9: 2. [4] Fandeli, C., R.N. Utami dan S. Nurmansyah, 2008. Audit Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [5] Krebs, C.J., 2009. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Sixth Edition. Ben- jamin Cummings. San Fransisco. [6] Lussetyowati, T., 2011. Analisa Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, Studi Kasus Kota Martapura. Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3. Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Palembang. [7] Odum, E.D., 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan, MSc. Edisi Kedua. UGM Press. Yogyakarta. [8] Rushayati, S.B., 2012. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarja- na IPB Bogor. [9] Soegianto, A., 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional. Sura- baya. [10] Tim Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor, 2005. Makalah Lokakarya: Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. [11] Yunus, H.S., 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 458 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 Estimasi Populasi Tangkasi Tarsius bancanus bancanus pada Kawasan Kebun Campuran di Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan M. Iqbal Robyanto 1 , Indra Yustian 2 , dan Effendi P. Sagala 3 1 Program Studi Pengelolaan Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, 2 Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya Abstrak: Telah dilakukan penelitian mengenai estimasi populasi Tangkasi Tarsius bancanus banca- nus pada kawasan kebun campuran Desa Pajar Bulan, Kecamatan Tanjung, Batu Ogan Ilir - Sumate- ra Selatan. Penelitian ini bertujuan memperkirakan populasi dari Tarsius bancanus bancanus dalam kawasan kebun campuran. Penelitian telah dilakukan pada bulan September sampai Oktober 2012. Metode yang digunakan adalah Purpossive sampling dan pengambilan data menggunakan Metode Capture-Marked-Release-Recapture CMRR, jaring dipasang selama 3 malam sebanyak 4-5 buah, dengan 6 periode pengambilan sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 kali periode usaha penangkapan dengan waktu satu periode adalah 3 malam di dapatkan satu Ekor Tarsius yang tertang- kap dalam 2 Periode penangkapan dengan tingkat keberhasilan mencapai 13,34 . Kata kunci: populasi, tangkasi, Tarsius bancanus bancanus, kebun campuran, sumatera selatan 1 PENDAHULUAN alam estimasi Populasi bahwa ukuran populasi pada umumnya adalah bervariasi dari waktu ke waktu, biasanya mengikuti dua pola. Beberapa populasi mempertahankan ukuran poulasi, yang relatif konstan sedangkan populasi lain berfluktuasi cukup besar. Menurut Starr Taggart 2004 ekologiwan memandang populasi sebagai unsur dari sistem yang lebih luas, yaitu bagian dari sua- tu komunitas. Salah satu kawasan yang menjadi habitat dari Tarsius adalah kebun campuran. Kebun campuran dini- lai lebih memiliki asas kelestarian dan asas kelayakan usaha dibandingkan hutan rakyat dengan pola yang murni Sihalono et al , 2007. Tarsius bukan hama yang merusak kebun dan memakan tanaman budidaya Leksono et al , 1997. Tarsius merupakan predator yang memangsa binatang hidup, 90 diantaranya Arthropoda serangga dan 10 lainnya termasuk Vertebrata kecil seperti burung, kele- lawar dan kadal; oleh karena itu penduduk tidak beralasan untuk menolak keberadaan Tarsius di desa atau kebunnya Leksono Shekele, 2004. Kawasan hutan campuran di desa Pajar Bulan, Kecamatan Tanjung Batu, masih bisa dijumpai Tarsius yang hidup di area perkebunan warga. Desa Pajar Bulan dengan luas 145,5 ha, memiliki kebun cam- puran seluas 140 ha yang terdiri dari kebun nanas dan kebun karet yang ditumbuhi pula oleh semak belukar, serta 30 ha berupa rawa Data Monografi Desa Pajar Bulan, 2011. Berdasarkan laporan warga setempat Tarsius ditemukan beberapa kali Juni 2011 dan Mei 2012, karena pada musim ini Tarsius dijumpai di sekitar area perkebunan warga yang dekat dengan sumber air. Estimasi ukuran populasi secara akurat sangat susah dilakukan, dan memerlukan teknikmetode ter- sendiri. Metode-metode yang digunakan secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 tiga golon- gan, yaitu : penghitungan seluruh anggota populasi secara langsung, pendugaan ukuran populasi ber- dasarkan densitas, dan pendugaan berdasarkan tanda-tanda khas dari suatu spesies yang ditinggal- kan. Estimasi ukuran populasi pada spesies-spesies primata juga demikian halnya, dapat dilakukan dengan berbagai metode; namun demikian, metode yang paling umum digunakan adalah yang dida- sarkan pada densitas, terutama metode jalur line transects method Tobing, 2008. Metode capture-mark-release-recapture CMRR dikembangkan untuk mengatasi kesulitan yang ber- hubungan dengan estimasi ukuran populasi pada hewan. Prinsip umum percobaan CMRR adalah un- D M. Iqbal Robyanto dkk.Estimasi Populasi Tangkasi Tarsius bancanus bancanus ... Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014, Palembang 2 Oktober 2014 459 tuk menandai individu dalam penangkapan sesi pertama dan kemudian untuk mencatat proporsi indi- vidu yang ditandai dalam penangkapan kembali sesi berikutnya Williams et al , 2001. 2 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan Oktober 2012. Lokasi penelitian di daerah sekitar kawasan perkebunan campuran Desa Pajar Bulan Kecamatan Tanjung Ba- tu Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Peralatan yang digunakan yaitu jaring kabut, sarung tangan, kantung tas, timbangan, jangka so- rong, GPS Global Positioning System , penanda cat semprot berwarna biru, alat tulis, kamera digi- tal, peta kawasan pengambilan sampel dan buku kerja. Metode penelitian yang digunakan dalam pe- nelitian ini adalah penelitian deskriptitif, atau penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan in- formasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriftif ini tergolong dalam Survey, karena penelitian yang ditunju- kan untuk memperoleh gambaran umum tentang karakteristik dari populasi. Tarsius ditangkap dengan menggunakan mist-nets atau jarring kabut, panjang 9-12 m, tinggi 2,10 m -2,70 m, mesh = 16 mm. Jaring ditempatkan secara Purpossive Sampling , dengan posisi vertikal dan memperhatikan kondisi area yang akan dilalui oleh Tarsius . Jarring dipasang pada beberapa loka- si dan akan dipindah setelah 2-3 malam. Tarsius yang tertangkap dimasukan kedalam kantung tas dan ditimbang berat badannya untuk mengetahui usia dari individu tersebut. Kemudian Tarsius diamati secara visual untuk menentukan jenis kelamin, kondisi reproduksi dan luka-luka yang ada Yustian et al , 2009. Setelah itu Tarsius yang tertangkap diberi tanda dengan menyemprotkan cat berwarna biru pada bagian tengkuk atau belakang telinga, dan dilepaskan kembali. Jaring dipasang 6-7 buah dalam 1 ma- lam kemudian akan diperiode setelah 2-3 malam 1 periode. Dilakukan penangkapan kembali Tarsius apabila didapatkan Tarsius yang belum memiliki tanda maka diberi tanda dan dilepaskan untuk dila- kukan penangkapan kembali di tempat yang berbeda dengan periode penangkapan sebanyak 4 kali. Analisa data dilakukan untuk memperkirakan populasi pada kawasan tempat pengambilan data, dengan menggunakan metode Capture-Marked-Release-Recapture . Untuk menghitung estimasi Popu- lasi digunakan dua metode, yaitu Metode Lincoln-Petersen dan Metode Schnabel. Metode Lincoln-Petersen Gazey Staley, 1986. Rumus dasar yang digunakan untuk perhitungan adalah: = . � � Dimana: N : jumlah populasi M : jumlah individu yang tertangkap pada penangkapan pertama n : jumlah individu yang tertangkap pada penangkapan kedua R : jumlah individu yang tertangkap kembali Untuk menghitung kesalahan metode CMRR dapat dilakukan dengan cara menghitung kesalahan baku standar error dengan rumus: �� = � � � − � � − � � 3 Metode Schnabel Gazey Staley, 1986. Rumus dasar yang digunakan untuk perhitungan adalah: � = ��. �� Ri untuk menghitung kesalahan error metode CMRR dapat dilakukan dengan cara menghitung kesala- han baku standar errornya dengan rumus: