digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
b. Para ulama berpendapat, membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab
kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan fadha’il a’mal keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-
hukum syari’at, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah keinginan-keinginan.
c. Para imam seperti Ahmad bin Hanbal, ‘Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah bin al-Mubarak berkata:
“Apabila kami meriwayatkan hadis tentang halal, haram dan hukum- hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya.
Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami pelunak rawi-rawinya.”
Dalam pada itu, Ibnu Hajar al-Asqalani membolehkan ber-h}ujjah dengan hadis d}a‘if untuk fadhail ‘amal, memberikan 3 syarat:
36
a. Hadis daif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadis d}a‘if yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat dibuat h}ujjah,
kendatipun untuk fadhail ‘amal. b. Dasar ‘amal yang ditunjukkan oleh hadis d}a‘if tersebut, masih dibawah suatu
dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan s}ah}ih} dan h}asan. c. Dapat mengamalkan tidak mengitikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar
bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk ikhtiyath belaka.
36
Ibid., 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
A. Kaidah Pemaknaan Hadis
Pada bagian teori pemaknaan disini akan dibahas lebih spesifik tentang pendekatan keilmuan yang digunakan sebagai komponen penelitian dalam
meneliti matan. Pada dasarnya, teori pemaknaan dalam sebuah hadis timbul tidak hanya karena faktor keterkaitan dengan sanad, akan tetapi juga disebabkan oleh
adanya faktor periwayatan secara makna. Secara garis besar, penelitian matan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yakni, dengan pendekatan bahasa dan dari segi kandungannya.
37
Tentu saja, hal ini tidak lepas dari konteks empat kategori yang digunakan sebagai tolak ukur dalam penelitian matan hadis sesuai dengan Alquran, hadis yang lebih
sahih, fakta sejarah dan akal sehat serta mencirikan sabda kenabian. 1. Pendekatan dengan segi bahasa
Didalam memahami makna matan suatu hadis, kadang-kadang menjumpai susunan kalimat yang sukar untuk dipahamkan maksudnya. Kesukaran memahami
kata-kata atau susunan kalimat tersebut, bukan disebabkan karena tidak teraturnya susunan kalimat atau tidak fasih bahasanya, tetapi justru yang demikian itu
merupakan keindahan seni sastranya, dalam menggunakan ungkapan kalimat yang mengandung beberapa maksud dan memilih kata-kata yang tinggi nilainya.
Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang
sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda.
37
Rahman, Ikhtisar, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang
dihadapi, penelitian matan dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapat pemaknaan yang komprehensif dan obyektif.
Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah: a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafal yang sama.
Pendekatan lafal hadis yang sama ini dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal, antar lain;
38
1 Adanya Idraj sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW.
2 Adanya Idhthirab pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih.
3 Adanya al-Qalb pemutar balikan matan hadis. 4 Adanya Ziyadah al-Thiqat penambahan lafal dalam sebagian
riwayat. b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi.
Ungkapan majaz menurut ilmu balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki. Dan Rasulullah SAW juga sering
menggunakan ungkapan majaz dalam menyampaikan sabdanya. Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi, ‘aqly, isti’arah, kinayah dan
isti’arah tamtsiliyyah atau ungkapan lainnya yang tidak mengandung
38
Nawir Yuslem, Ulumul hadis Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001, 368.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
makna sebenarnya. Makan majaz dalam pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang menunjukkan makna yang dimaksud.
39
Metode diatas merupakan sebagian dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus digunakan seperti ilmu nahwu dan sharaf sebagai dasar
keilmuan dalam bahasa Arab. 2. Pendekatan dari segi kandungan makna melalui latar belakang turunnya hadis.
Diantara beberapa hal yang sangat penting dalam mempelajari hadis ialah mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis. Karena pengetahuan hal itu dapat
menolong memahamkan makna hadis secara sempurna. Dalam ilmu hadis, pengetahuan tentang historisasi turunnya sebuah hadis
dapat dilacak melalui ilmu asbab al-wurud al-h}adith. Adanya ilmu tersebut dapat membantu dalam pemahaman dan penafsiran hadis secara obyektif, karena dari
sejarah turunnya, peeneliti hadis dapat mendeteksi lafal-lafal yang umum dan khusus. Dari ilmu ini juga dapat digunakan untuk mentakhsiskan hukum, baik
melalui kaidah al-ibrah bi khus}us al-sabab mengambil suatu ibrah hendaknya dari sebab-sebab yang khusus ataupun kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi
khus} us al-sabab
mengambil suatu ibrah itu hendaknya berdasar pada lafal yang umum bukan sebab-sebab yang khusus.
40
Pada dasarnya asbab al-wurud al-h}adith tercantum dalam hadis itu sendiri, namun menurut al-Buqiny, sejarah turunnya hadis itu kadang tercantum
dalam hadis lain. Sehingga melihat kondisi tersebut, banyak kalangan ulama yang
39
Yusuf Qardhawi, Studi Kritis as-Sunah, ter. Bahrun Abu Bakar Bandung: Trigenda Karya, 1995, 185.
40
Ibid., 327.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
membuat karya tentang ilmu asbab al-wurud secara independen seperti yang dilakukan oleh Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary.
41
Pemahaman historis atas hadis yang bermuatan tentang norma hukum sosial sangat diprioritaskan oleh para ulama mutaakhkhirin,
42
karena kehidupan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan hal ini tidak memungkinkan
apabila penetapan hukum didasarkan pada satu peristiwa yang hanya bercermin pada masa lalu. Oleh karena itu, ketika hadis tersebut tidak didapatkan sebab-
sebab turunnya, maka diusahakan untuk dicari keterangan sejarah atau riwayat hadis yang dapat menerangkan tentang kondisi dan situasi yang melingkupi ketika
hadis itu ada.
41
Ibid., 329.
42
Muhammad Zuhri, Telaah Matan; Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003, 87
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
BAB III LAPORAN PRAKTIK PENELITIAN HADIS
A. Biografi Abu Dawud
Imam Abu Dawud ketika kecil bernama Sulaiman, bin Asyas bin Ishaq, bin Basyir, al-Azdiy al-Sijistani. Imran al-Azdiy seorang leluhur Abu Dawud
berperan aktif dalam kesatuan tentara pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib pada pertempuran Shiffin. Azdiy adalah sebuah suku besar di yaman yang
merupakan cikal babal imigran ke Yatrib dan kelak menjadi inti kelompok Anshar di Madinah. Inisial al-Sijistani dibelakang nama beliau menjadi sebab orang
menduga bahwa Imam Abu Dawud berdarah keturunan al-Sijistan, wilayah bagian selatan Afganistan Kabul. Bahkan adalah pula yang mengira Sijistan
adalah sebuah daerah terkenaldi negeri India bagian selatan. Ibnu Hilikan dan Ibnu al-Subki optimis menunjuk wilayah Yaman.
1
Sejak kecil Abu Dawud telah dikenalkan kepada ilmu keislaman yang sangat kaya. Kedua orang tuanya mendidik dan mengarahkan Abu Dawud agar
menjadi tokoh intelektual Islam yang disegani.
2
Setelah dewasa, ia melakukan perjalan keilmuan dengan baik serius untuk mempelajari hadis. Ia berpetualang ke
Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Semenajung Arab, Khurasan, Naiasabur dan Bashrah. Pengembaraannya yang sangat panjang dan melelahkan ini ternyata membuhakan
hasil yang sangat luar biasa. Malalui rihlah keilmuan inilah Imam Abu Dawud
1
Muhtadi Ridwan, Studi Kitab-kitab Hadis Standar, Malang: UIN Maliki Press, 2012, 67
2
Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis Yogyakarta: Insan Madani, 2008,102.