Penghentian Penyidikan KARYA TULIS ILMIAH

B. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Dalam Tindak Pidana Menurut

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

1. Penghentian Penyidikan

Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. Dengan demikian, hukum acara pidana harus merumuskan ketentuan mengenai koordinasi dan hubungan fungsional yang erat antara dua lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab atas masalah ini, yaitu : penyidikan dan penutut umum. 151 Sejarah hukum acara pidana di Indonesia, mencatat dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement HIRatau diterjemahkan dengan Reglement Indonesia yang diperbarui RIB S. 1941 No. 442. Adanya keterpaduan antara dua lembaga tersebut membuat seyogianya tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya. 152 HIR berasal dari Inlandsche Reglement IR atau biasa disebut Reglemen Bumiputera. 153 Selain HIR pengaturan mengenai hukum acara pidana yaitu : Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie RO yaitu peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan. 154 151 Topo Santoso, Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jakarta: Tesis, Fakultas Hukum Indonesia, 1999, hal. 3. Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur 152 Ibid. , hal. 38. 153 H. Haris, Pemabaharuan Hukum Acara Pidan Yang Terdapat Dalam HIR, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1978, hal. 1. 154 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana,Edisi Revisi,Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 48. Universitas Sumatera Utara oleh Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Prinsip diferensiasi fungsional adalah penegasan pemberian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum antar instansi. KUHAP menganut asas diferensiasi fungsional yang terlihat dari pengaturan tiap jajaran instansi. Instansi- instansi tersebut tetap terbina saling berkorelasi dan berkoordinasi dalam proses penegakan hukum. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang lebih ditekankan antara kepolisian dan kejaksaan. 155 a. Pasal 38-45 HIRRIB menegaskan kejaksaan mempunyai tugas bukan hanya melingkupi penuntutan melainkan meluas juga pada bidang penyidikan; Sebelum diberlakukan KUHAP ada beberapa yang mengatur mengenai kewenangan penyidikan, yaitu : 156 b. Pasal 12 Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian menyatakan Polisi sebagai penyidik; c. Pasal ayat 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 secara implisit menyatakan kejaksaan sebagai penyidik. Adanya lebih dari satu peraturan yang mengatur tentang fungsi kewenangan penyidikan membuat KUHAP memberi landasan diferensiasi fungsional dengan menegaskan dan memberi wewenang kepada : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 155 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 47. 156 R. Soesilo, Op.cit., hal. 20-30. Universitas Sumatera Utara b. Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan oleh KUHAP. Dalam sistem peradilan, kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penuntut umum kecuali dalam tindak pidana ringan, Pasal 205 ayat 2 KUHAP penuntut umum adalah penyidik atas kuasa penuntut umum. Pasal 284 ayat 2 KUHAP sebagai ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP merupakan pengecualian dari asas diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP karena mengatur kewenangan kejaksaan sebagai penyidik. Ketentuan ini dipandang bersifat sementara, namun kenyataannya sampai sekarang belum dicabut. Sehingga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus sesuai dengan ketentuan terdahulu sampai ada ketentuan khusus yang mengatur. 157 Sistem pidan Indonesia tidak terlepas dari KUHAP sebagai pedoman utama. Namun, keberlakuan undang-undang yang lebih khusus juga menjadi pedoman kepada penegak hukum untuk beracara dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian ketentuan khusus acara pidana dalam undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang tindak pidana. Tindak pidana korupsi temasuk yang ketentuan acara pidananya diatur secara khusus pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 158 157 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 363. Ketentuan tersebut secara implisit memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga kejaksaan. Pasal 18 158 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dari Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia, 2005, hal. 146. Universitas Sumatera Utara ayat 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan bahwa : “Bila terdapat petunjuk adanya korupsi maka hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Komisi Pemeriksaan disampaikan kepada instansi yang berwenang”. Sedangkan Penjelasan Pasal 18 ayat 3 ketentuan ini adalah sebagai berikut : “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan Fungsi Kepolisian dan Kejaksaan. Fungsi pemeriksaan yangdilakukan oleh Komisi Pemeriksaan sebelum seseorang diangkat selaku Pejabat Negara bersifat pencatatan, sedangkan selaku Pejabat Negara adalah bersifat pendataan sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menetukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan agung dan Kepolisian”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Kejaksaan mempunyai wewenang dalam menyidik kasus korupsi. Mengenai kalimat instansi yang berwenang adalah aparat kejaksaan agung bukan kapasitas sebagai penuntut umum, karena hasil pemeriksaan dari komisi pemeriksaan statusnya hanya sebagai pencatatan, pendataan dan evaluasi untuk mengetahui adanya petunjuk tindak pidana korupsi. Selain itu, komisi pemeriksa bukan aparat penyidik. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa yang diterima Kejaksaan Agung adalah sebagai kapasitas penyidik. Kewenangan Kejaksaan untuk menyidik diuji keabsahannya oleh A. Nuraini dan Subarda Midjaja sebagai Warga Negara Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi MK. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang berwenang untuk menguji materil judicial reviewUndang-Undang yang berlaku termasuk Undang-Undang No. 16 Universitas Sumatera Utara Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian materil didasarkan kepada apakah keberlakuan satu undang-undang bertentangan dengan dasar konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai contoh : A. Nuraini dan Subarda Midjaja mengajukan permohonan pengujian Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Pada pertimbangan mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28PUU-V2007 menyatakan bahwa : “Kejaksaan juga berwenang melakukan melakukan penyidikan disamping Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan, keberlakuannya sudah berubah sebanyak tiga kali. Pertama, Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 mengatur kewenangan kejaksaan secara implisit untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana. Kemudian undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 1999, alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi kepada instansi kejaksaan, namun hanya tindak pidana khusus, 159 yakni : Tindak Pidana Korupsi; dan Hak Asasi Manusia. 160 159 Lihat : Pasal 30 ayat 1 huruf d. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi kejaksaan berfungsi sebagai lembaga penuntut umum saja, namun pada peraturan perundang- undangan yang lebih khusus instansi kejaksaan dapat berfungsi menjadi sebagai penyidik dan penuntut umum. 161 Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan. Salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam Pasal 3 huruf f. Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa : “Penyelenggaraan koordinasi, bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan yang baik ke dalam maupun dengan instansi terkait atas 160 Lihat : Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 161 Pasal 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, tetapi secara tegas pasal tersebut mengakui bahwa KUHAP sebagai hukum acara peradilan tindak pidana korupsi. KUHAP tidak mengakui Kejaksaan sebagai penyidik, tetapi hanya berfungsi sebagai penuntut umum. Selanjutnya di dalam Ketentuan Peralihan, Pasal 284 ayat 2 KUHAP menyatakan “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Penjelasan Pasal 284 ayat 2 KUHAP : “a. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan; b. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain : 1 undang-undang tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun 1955; 2 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Undang-Undang No. 3 Tahun 1971; dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “Pada saat mulai berlakunya undang- undang ini, maka Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karena itu, ada tidaknya kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat 2 KUHAP, tidak lagi menggunakan rujukan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, melainkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16PUU-X2012, hal. 19-20. Universitas Sumatera Utara pelaksanaan tugas berdasarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden”. Berdasarkan ketentuan di atas, Jaksa Agung berhak mengkoordinasikan penanganan perkara korupsi. Konsekuensinya Jaksa Agung berhak menetapkan dan mengendalikan kebijakan hukum mengenai perkara korupsi yang sedang ditanganinya. Salah satu kebijakan hukum yang menjadi wewenang Jaksa Agung adalah penyampingan perkara. Penyampingan perkara didasarkan pada asas oportunitas. Asas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi kejaksaan dalam hal ini pelaksanaannya ada pada Jaksa Agung. Terkait dengan hal ini dapat dilihat para anggota DPRD Sukoharjo diduga melakukan korupsi. 162 Dalam perkara ini, ada hal yang menarik perlu diteliti. Jaksa Agung M. A. Rachman memerintahkan untuk melakukan penghentian penyidikan dengan alasan demi kepentingan umum. 163 Penghentian penyidikan ini menimbulkan satu pandangan bahwa penghentian penyidikan dengan alasan demi kepentingan umum tidak masuk menjadi alasan Pasal 109 ayat 2 KUHAP secara expresif neubismenyebutkan alasan-alasan yang dipergunakan penyidik untuk menghentikan penyidikan. Kejaksaan sebagai penyidik dapat menggunakan alasan-alasan di atas untuk menghentikan penyidikan. Namun Jaksa Agung menggunakan wewenang oportunitas yang dimiliknya untuk menghentikan penyidikan. 162 Harian Solopos, “Tuntut Korupsi Diberantas dan Perhatian Bagi Tukang Becak Makam Haji, Warga Datangi DPRD”, diterbitkan Rabu, 17 Oktober 2012. 163 Kantor Berita Antara, “PN Jaksel Tolak Permohonan Praperadilan SP3 Korupsi DPRD Sukoharjo”, diterbitkan Selasa, 01 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP. KUHAP sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan penyampingan atau penghentian perkara demi kepentingan umum ini boleh digunakan di tahap yang mana. Apakah ketetapan penghentian perkara ini boleh digunakan pada tahap penyidikan atau tahap penuntutan. Pandangan ini timbul karena ada diferensiasi dalam KUHAP antara instansi penyidik dan penuntut. Namun bagaimana bila dilihat dari sudut pandang asas dominus litis dan teori magistraat. Asas dominus litis dikaitkan dengan penuntutan ialah asas yang memberikan wewenang monopoli kepada badan penuntutan untuk melakukan penuntutan, sehingga tiada badan lain dapat melakukan penuntutan. Wewenang monopoli mengakibatkan penuntut umum berwenang melakukan tindakan apapun yang berkaitan dengan penuntutan termasuk penghentian penuntutan. 164 Magistraat aalah pejabat yang berperan penting dalam proses penyelesaian perkara pidana yaitu hakim dan penuntut umum. Asas dominus litis dianut oleh KUHAP yang dinyatakan dalam Pasal 137 KUHAP. Pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan tindak pidana. 165 164 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Op.cit., hal. 13. Penuntut umum berwenang melimpahkan perkara ke sidang pengadilan dan diharuskan membuktikan segala dakwaan yang telah dibuat dalam sidang pengadilan. Sedangkan hakim hanya memutuskan suatu perkara dan tidak dapat meminta suatu delik diajukan kepadanya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penuntutan adalah keberhasilan penyidikan. Lebih lanjut, kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan 165 R. Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasan, Bandung: Politea, 1995, hal. 32. Universitas Sumatera Utara kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. Oleh karena itu, demi keberhasilan membuktikan dakwaan, penuntut umum diberi kewenangan untuk menyidik perkara pidana. Teori Magistraat dianut oleh HIR., Pasal 46 ayat 2 menyatakan pegawai penyidik penuntut umum adalah para jaksa pada Kejaksaan Negeri. Dengan demikian penghentian penyidikan pada yurisdiksi kewenangan kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung didasarkan pada penyampingan perkara demi kepentingan umum sebagai pelaksanaan dari asas oportunitas sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

a. Kronologis Kasus BLBI

Untuk lebih memahami penerapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3 yang digunakan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan suatu kelompok dapat dilihat pada Kasus BLBI. Adapun kronologis Kasus BLBI tersebut sebagai berikut : “Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 8 menjadi 304 12, melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat”. 11 Juli 1997 166 166 Nilai tukar Rupiah terhadap USD mulai tertekan setelah terjadi hal yang serupa terhadap Baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan Baht tanggal 02 Juli 1997 dan Peso Filipina 11 Juli 1997. Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8 menjadi 12 pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak 6 enam kali sejak 1994 Ringgit Malaysia diambangkan 14 Juli 1997. Sumber : Hadi Soesastro, et.al., Editor, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia Dalam Setengah Abad Terakhir : Buku 5 1997-2005 Krisis dan Pemulihan Ekonomi , Cet. I, Yogyakarta : Kanisius, 2005, hal. 330. Universitas Sumatera Utara “Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali free floating. Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat”. 14 Agustus 1997 167 “Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil- kecilan”. 01 September 1997 168 “Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia BLBI”. 03 September 1997 169 “16 bank dilikuidasi”. 01 November 1997 170 “Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. 26 Desember 1997 167 Ibid. , hal. 330. 168 Tumpak Silalahi dan Tevy Chawwa, “Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices Dring Financial Crisis ”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol. 14, No. 02, Oktober 2011, hal. 202. 169 Selama krisis berlangsung, penyelamatan sistem perbankan nasional dilakukan dalam intensitas tinggi. Koordinasi dengan Pemerintah dilakukan melalui berbagai forum, antara lain sidang kabinet terbatas bidang Ekkuwasbang dan Prodis tanggal 03 September 1997, pencabutan izin usaha 16 bank tanggal 01 November 1997, penerapan program penjaminan pemerintah tanggal 26 Januari 1998, pendirian BPPN tanggal 26 Januari 1998, identifikasi bank-bank berdasarkan kriteria rekapitalisasi pada akhir 1998, pengambilalihan bank-bank oleh pemerintah pada bulan Mei 1998 dan pembekuan operasional bank pada bulan Mei dan Agustus 1998 serta penghentian kegiatan usaha tertentu bank-bank tanggal 13 Maret 1999. Sumber : Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia : Perbankan Periode 1997 – 1999”, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, tanpa tahun, hal. 7. 170 Ibid. , hal. 7. Universitas Sumatera Utara Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang SBPU khusus”. 171 “Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183M.Sesneg121997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut”. 27 Desember 1997 172 “Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998”. 10 April 1998 173 “BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun”. Mei 1998 174 “Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan LC bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar LC yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US. 1,2 miliar sekitar Rp. 18 triliun pada kurs Rp. 14 ribu waktu itu”. 04 Juni 1998 175 “Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu”. 21 Agustus 1998 176 171 M. Yusfidli Adhyaksana, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI, Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008, hal. 83. 172 Ibid. , hal. 83. 173 Pada tanggal 04 April 1998, Pemerintah Menteri Keuangan Fuad Bawazier dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN mengumumkan adanya 7 tujuh bank sebagai Bank Beku Operasi BBO, 7 tujuh bank menjadi Bank Take Over BTO dan 40 empat puluh bank masuk Bank Dalam Penyehatan BDP. Sejak itulah, BLBI mulai Februari dan Maret tidak mengalami kenaikan. Namun, pada April hingga Mei 1998 berikutnya, terjadi peningkatan jumlah menjadi Rp. 119,193 trilyun. Sumber : “Perubahan Jadwal Pembayaran BLBI Karena Protes IMF”, Ringkasan Pengumuman Panja BLBI, hal. 19. 174 Ibid. , hal. 19. 175 Hadi Soesastro, et.al., Editor, Op.cit., hal. 176. 176 Ismantoro Dwi Yuwono, Kisah Para Markus : Menelusuri Sepak Terjang Aktor Kejahatan Jual-Beli Kasus , Cet. I, Yogyakarta : Medpress, 2010, hal. 40. Universitas Sumatera Utara “Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar”. 21 September 1998 177 “Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun”. 26 September 1998 178 “Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun”. 27 September 1998 179 “Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun”. 18 Oktober 1998 180 “Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO bank take-over dan BBO bank beku operasi saat itu adalah Rp 111,29 triliun”. 10 November 1998 181 “Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 164,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN”. 08 Januari 1999 182 “BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih on cessie BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun”. 06 Februari 1999 183 177 Ibid. , hal. 40. 178 Ibid. , hal. 40. 179 Ibid. , hal. 40. 180 Ibid. , hal. 40. 181 Ibid. , hal. 41. 182 Emerson Yuntho dan Muji Rahayu, “Position Paper : Penyelesaian Hukum Kasus BLBI”, Indonesia Corruption Watch ICW, 2006, hal. 3. 183 Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima kepada pemerintah merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 lima puluh empat Bank Dalam Penyehatan dari BI ke BPPN pada Maret 1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah yang dicanangkan melalui persetujuan bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada tanggal 06 Februari 1999. Sumber : Ibid. Universitas Sumatera Utara “Penerbitan Surat Utang Pemerintah No. SU-001MK1998 dan No. SU- 003MK1998”. 08 Februari 1999 184 “DPR RI membentuk Panja BLBI”. Februari 1999 185 “Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun 95,78 dari total dana BLBI yang sudah disalurkan”. 19 Februari 1999 186 “Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha BBKU 38 bank”. 13 Maret 1999 187 “Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah”. 14 Maret 1999 188 “UU No. 231999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun”. 17 Mei 1999 189 “BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet”. 01 September– 07 Desember 1999 190 184 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 41. 185 DPR-RI membentuk Panja BLBI dan melakukan pemeriksaan seksama terhadap kasus BLBI, antara lain dengan memanggil orang-orang yang diduga terkait dengan penyaluran BLBI. Kesimpulan Panja adalah bahwa penyaluran BLBI tidak dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan sarat dengan nuansa KKN. Panja juga merekomendasikan 56 lima puluh enam nama yang diduga terkait dengan penyelewengan dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Sumber : M. Yusfidli Adhyaksana, Op.cit., hal. 86. 186 Emerson Yuntho dan Muji Rahayu, Op.cit., hal. 6. 187 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 41. 188 Ibid. , hal. 41. 189 Pasal 61 ayat 2, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menyatakan bahwa : “Selambat-lambatnya 7 tujuh hari setelah laporan dimaksud ayat 1 selesai disusun, Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dimulai pemeriksaan”. 190 Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI dan penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima. Sumber : Emerson Yuntho dan Muji Rahayu, Op.cit., hal. 8. Universitas Sumatera Utara “Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank”. 28 Desember 1999 191 “BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp. 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan”. Desember 1999 192 “Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun plus Rp. 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim Mandiri. Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998”. 05 Januari 2000 193 “Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp. 80,25 triliun”. 10 Januari 2000 194 “Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 dari BLBI sebesar Rp. 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung- jawabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali”. 29 Januari 2000 195 “Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka”. 21 Juni 2000 196 “Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja”. 09 Oktober 2000 197 191 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 42. 192 Emerson Yuntho dan Muji Rahayu, Op.cit., hal. 7-8. 193 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 42. 194 Ibid. , hal. 42. 195 “Kasus BLBI Lebih Dahsyat Dari Skandal Bank Bali”, Ringkasan Pengumuman Panja BLBI, tanpa tahun, hal. 1-2. 196 Harian Kompas, “BI Sulit Ambil Langkah Darurat”, diterbitkan Jum’at, 11 April 2008. 197 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 42. Universitas Sumatera Utara “Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp. 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota dewan”. 18 Oktober 2000 198 “Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI”. 26 Oktober 2000 199 “DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan”. 01 November 2000 200 “Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp. 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya”. Awal November 2000 201 “BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan”. 02 November 2000 202 “Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp. 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah”. 17 November 2000 203 “Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI”. 03 Januari 2001 204 198 Ibid. , hal. 43. 199 Ibid. , hal. 43. 200 Ibid. , hal. 43. 201 Ibid. , hal. 43. 202 Ibid. , hal. 43. 203 Ibid. , hal. 43. 204 Ibid. , hal. 43. Universitas Sumatera Utara “DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp. 24,5 miliar”. 07 Maret 2001 205 “Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI”. 10 Maret 2001 206 “Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI”. 22 Maret 2001 207 “Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang berstatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya Sertivia dan Samandikun Hartono Bank Modern juga dicekal”. 09 April 2001 208 “Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri Jusup Kartadibrata, Presdir. Bank Aspac Setiawan Harjono”. 29 Maret 2001 209 “Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No. 1036BPPN0401 tahun 2001”. 02 April 2001 210 “Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun”. 30 April 2001 211 205 Ibid. , hal. 44. 206 Dasar penahanan adalah Surat Perintah Penahanan No. 53FF.2.1032001. Sumber : Majalah Tempo, “Kaharudin Ongko Ditahan Kejagung”, diterbitkan Kamis, 22 Maret 2001. 207 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 44. 208 Kantor Berita Antara, “KPK Belum Temukan Kaitan Sjamsul Nursalim Dengan Arthalita”, diterbitkan Selasa, 04 Maret 2008. 209 Tim Humanika, BLBI : Mega Skandal Ekonomi Indonesia, Cet. I, Jakarta : Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan HUMANIKA, 2001, hal. 93. 210 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 44. 211 Ibid. , hal. 44. Universitas Sumatera Utara “Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah”. 02 Mei 2001 212 “Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp. 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp. 583,4 miliar”. 19 Juni 2001 213 “Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung”. 21 Juni 2001 214 “Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN”. 31 Mei 2002 215 “Sampai 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan surat keterangan lunas SKL kepada 5 lima obligor MSAA dan 17 tujuh belas obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka”. 2004 216 “Dua petinggi Salim Grup Anthony Salim dan Beny Setiawan menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup”. 11 Januari 2007 217 212 Ibid. , hal. 44. 213 Ibid. , hal. 44. 214 Ibid. , hal. 44. 215 Ibid. , hal. 45. 216 Ibid. , hal. 45. 217 Ibid. , hal. 45. Universitas Sumatera Utara “Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPRDPR RI menegaskan terhadap 8 delapan obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka default. Tagihan kepada mereka adalah Rp. 9,3 triliun,” tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy Bank Namura, Ulung Bursa Bank Lautan Berlian, Lidia Muchtar Bank Tamara, Marimutu Sinivasan Bank Putra Multikarsa, Omar Putihrai Bank Tamara, Atang Latief Bank Bira, dan Agus Anwar Bank Pelita dan Istimarat”. 19 Februari 2007 218 “Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR”. 18 September 2007 219 “Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 enam puluh dua pengusul”. 4 Desember 2007 220 “Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI”. 21 Januari 2008 221 “DPR-RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI”. 28 Januari 2008 222 “Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI”. 29 Januari 2008 223 218 Ibid. , hal. 46. 219 Ibid. , hal. 46. 220 Ibid. , hal. 46. 221 Harian Sindo, “Usut BLBI, Ormas Islam Beri Penghargaan 7 Fraksi”, diterbitkan Senin, 21 Januari 2008. 222 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Risalah Rapat Paripurna Ke-33 Masa Sidang IV Tahun 2007-2008”, 21 Mei 2008. 223 Harian Kompas, “GEMPUR Tuntut Penyelesaian BLBI Oleh DPR”, diterbitkan Jum’at, 25 Januari 2008. Universitas Sumatera Utara “Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja”. 12 Februari 2008 224 “Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman”. 29 Februari 2008 225 “Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim”. 02 Maret 2008 226 “Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan”. 02 Maret 2008 227 “Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. 08 Maret 2008 224 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., hal. 46. 225 Ibid. , hal. 46. 226 Harian Waspada, “Catatan Peristiwa Penting Maret 2008”, diterbitkan Rabu, 02 April 2008. 227 Ibid. Universitas Sumatera Utara Saran ini mengacu pada Pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa”. 228 “Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN”. 10 Maret 2008 229 “Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 lima puluh lima anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan”. 13 Maret 2008 230 “Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat AntiKorupsi Indonesia terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding”. 06 Mei 2008 231 Seperti sudah dibahas sebelumnya, untuk mengeluarkan SP3 adalah kewenangan dari Jaksa Agung. Berikut akan analisa SP3 kasus BLBI yang akan dibahas dalam sub-bahasan di bawah ini. 228 Harian Suara Merdeka, “Tokoh Antikorupsi Romli Artasasmita Ditahan”, diterbitkan Senin, 10 November 2008. 229 Harian Republika, “Kejaksaan : Tak Ada Dokumen BLBI Hilang”, diterbitkan Sabtu, 07 Februari 2009. 230 Ibid. 231 Harian Sindo, “Gugatan Praperadilan SP3 BLBI Resmi Disidangkan”, diterbitkan Senin, 28 April 2008. Universitas Sumatera Utara

b. Analisa Hukum Dikeluarkannya SP3 Terhadap Kasus BLBI

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, menyebutkan bahwa : “…Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang- undang”. Demikian juga Pasal 1 ayat 3, menyatakan bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Selanjutnya Penjelasan Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, menyatakan bahwa : “…salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi orang dihadapan hukum equality before the law . Oleh karena itu setiap oranag berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ketentuan Undang-Undang Kejaksaan tersebut telah tegas menyatakan “Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”, artinya Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tidak dapat semena-mena memerintahkan pada Kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang terdapat cukup bukti diduga melakukan tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah secara tegas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya Universitas Sumatera Utara seseorang, maka menurut hukum, Kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke Pengadilan walaupun sudah mendapatkan Release and Discharge dari BPPN. Apabila Jaksa Agung menggunakan hak oportunitasnya untuk membebaskan debitur dengan alasan “kepentingan umum” karena telah mendapatkan Release and Discharge , artinya Jaksa Agung telah menyalah tafsirkan pengertian kepentingan umum karena Tap MPR telah secara tegas menggariskan komitmen seluruh rakyat Indonesia bahwa kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah terhadap para koruptor harus ditindak tegas tanpa pandang bulu dan harus dihukum seberat- beratnya. Jika ternyata Jaksa Agung berdasarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, membebaskan para debitur dari tuntutan pidana maka artinya Jaksa Agung menjalankan tugas dan wewenangnya menyimpang dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, karena telah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, dan telah mengingkari prinsip setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum equality before the law. Dengan pertimbangan bahwa Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum maka Surat Penetapan Penghentian Penyidikan SP3 yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2003 terhadap sedikitnya 10 sepuluh debitur BLBI yang telah mendapatkan Release and Discharge harus juga dinyatakan sebagai Universitas Sumatera Utara cacat hukum. Pemberian Surat Keterangan Lunas SKL kepada debitur yang dinilai kooperatif hanya menghilangkan aspek keperdataannya saja sedangkan secara pidana proses hukum terhadap debitur yang diduga melakukan penyimpangan dana BLBI harus terus berjalan hingga ke tahap pengadilan.

2. Penghentian Penuntutan