pidana. Penggunaan bahan-bahan non-hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan.
74
4. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini hanya melakukan, studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang
berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini tersedia, baik diperpustakaan, perkumpulan, organisasi, instansi, dan juga yang ada di masyarakat namun sifatnya
tertulis.
5. Analisis Data
Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul. Data primer undang-undang dan sekunder buku-buku dan tulisan, juga
yang berasal dari narasumber, diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif induktif dan diharapkan
dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
75
74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Jakarta: Kencana, 2005, hal. 143, 163dan 164.
Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut dalam satuan-
satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang telah
75
Lexy J Moleong, Op.cit., hal. 190.
Universitas Sumatera Utara
dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara menjadi teori, substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dilakukan dengan
menggunakan logika berpikir induktif dan deduktif.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN
PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Pengertian Asas Oportunitas
Perkataan oportunitas berasal dari kata-kata latin.
76
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwardarminto, oportunitas berarti ketika atau
kesempatan yang baik.
77
Sedangkan H. Kotslesen, mengartikan oportunitas sebagai “Geschte Gelegheid”.
78
Jadi, pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah
pengenyampingan perkara deponering.
79
Asas tersebut memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang
yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan.
80
Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum dengan cara monopoli, artinya tiada badan lain yang dapat melakukan itu. Ini disebut dominus
litis di tangan Penuntut Umum. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya
76
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal. 151.
77
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hal. 88.
78
Ibid.
79
Andi Hamzah, Loc.cit.
80
A. Zainal Abidin, Sejarah Perkembangan Masalah Oppurtunitas di Indonesia, Ujung Pandang: Prasaran Seminar, 1981, hal. 12. Lihat juga : Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
39
Universitas Sumatera Utara
pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, menjelaskan asas oportunitas sebagai berikut
81
“Opportuniteits Principle bahasa Belanda adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap
seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut
umum berhak mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu”.
:
Menurut A. Zainal Abidin dalam memberikan perumusan asas oportunitas sebagai berikut :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.
82
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak wajib
menuntut seseorang atau korporasi yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum baik dengan atau tanpa syarat.
Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut
sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan
81
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971, hal. 79.
82
A. Zainal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
umum”. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai
berikut:“....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan
masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. Pendapat tersebut di atas hampir mirip dengan pendapat Soepomo, yang
mengatakan bahwa
83
“Baik di negeri Belanda maupun di negeri Hindia-Belanda, berlaku yang disebut asas opportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut
Umum wewenang untuk tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak oppurtuun, tidak guna kepentingan masyarakat”.
:
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu
84
“Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
:
Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung vide Penjelasan Pasal 77
KUHAP.
83
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 20.
84
Lihat : Penjelasan Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak
jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. Dengan adanya frase“Setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Hal ini menjadi semakin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karena badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum
dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas.
85
Asas legalitas yang dianut di negara Jerman, Austria, Italia dan Spanyol berarti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan oleh Penuntut Umum.
Namun, dalam praktek di Jerman, Jaksa dapat meminta izin kepada Hakim untuk tidak melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Pada negara Italia ada
kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu verjaard sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan jika jaksa terhadap suatu
perkara tidak dikirim ke Pengadilan.
86
Berbeda dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakan wewenang semua Jaksa bukan oleh Jaksa Agung saja, untuk melaksanakan asas itu
dengan pengertian: “Penuntut Umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan
85
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana”, Jakarta: 2006, hal. 27-28. Lihat juga : Syafruddin Kalo, “Hukum Acara
Pidana Dalam Teori dan Praktek”, Medan : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, 2007, hal. 1.
86
Ibid ., hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke pengadilan” the public prosecutor may decide-to make prosecution to court or not
. Pada negara Norwegia, bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendiri sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke
pengadilan yang disebut patale unnlantese.
87
Hal ini untuk mencegah menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadi penuh sesak. Sedangkan pada
negara Nederland baru-baru ini terbit peraturan bahwa semua perkara yang diancam pidana di bawah 6 enam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan
memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan, terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat
terdakwa membayar denda administratif.
88
Pengertian kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia diperluas dan mencakup kepentingan hukum. Hal ini dikarenakan bukan saja berdasarkan atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga
didasarkan atas alasan-alasan lain, antara lain: alasan kemasyarakatan; alasan kepentingan keselamatan negara; dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan
tercapainya pembangunan nasional.
89
Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilainnya, Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah
hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan
87
Ibid.
88
Ibid.
89
Ibid. , hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan
penuntutan untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas
merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitas dalam suatu negara tertentu.
90
Selain itu, KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan asas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar pada ketentuan
mengenai benda sitaan dan pra-peradilan. Pasal 46 ayat 1 huruf c. KUHAP menyatakan :
“Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka
yang paling berhak apabila : c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”.
Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan Pasal
77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77
KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa
90
Ibid. , hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Agung”. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas.
91
Sebelum ketentuan diatas, dalam praktik telah dianut asas oportunitas tersebut. Dalam hal ini Lemaire, mengatakan bahwa : “Pada dewasa ini asas
oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negara ini, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”.
92
Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan
wewenang oportunitas kepada Presiden yang pada gilirannya Presiden mempertanggung-jawabkannya pula kepada rakyat.
B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia
Asas oportunitas ini berasal dari Perancis melalui Belanda dimasukkan ke Indonesia melalui hukum kebiasaan dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan
masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1961 hingga sekarang dalam Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di Indonesia
hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara pidana berdasarkan kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti
disinyalir oleh MVT SV Netherland.
93
91
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan
, Edisis Kedua, Jakarta: Sinara Grafika, 2009, hal. 37.
Jaksa Agung dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Berbeda dengan Belanda ada
kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes penseponeran perkara
92
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 17.
93
Ibid ., hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
pidana dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan di Indonesia hal yang demikian tidak diatur.
Belanda mengenal 2 dua macam seponering, yaitu : seponering bersyarat dan seponering tidak bersyarat. Undang-Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia tidak menyebutkan yang demikian, namunketentuan tentang asas oportunitas yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak bertentangan
dengan pengertian seponering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk beleidvrijheid
kebebasan menetukan kebijaksanaan yang dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan
pendapat A.L.Melai, yang menyatakan bahwa
94
“Wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding penemuan hukum yang harus
dipertimbangkan berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan
kedamaian”. :
Menurut A. Zainal Abidin, dimana ada kehidupan bersama manusia atau masyarakat berarti disitu ada hukum termasuk hukum pidana. Sejarah adalah apa
yang telah terjadi dan bukan penghentian melainkan gerak. Bukan mati melainkan hidup. Hukum adalah gejala suatu sejarah dan tunduk kepada perkembangan yang
berkesinambungan. Pengertian perkembangan mengandung 2 dua unsur, yaitu : perubahan dan stabilitas.
95
Menurut J.M. van Bemmelen, menyatakan bahwa :
94
Ibid ., hal. 72.
95
“Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung”, Simposium Tentang Masalah- Masalah Asas Opourtunitas, Ujung Pandang, 1981, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
“Asas oportunitas merupakan hukum kebiasaan yang tidak tertulis mulai dikenal di Belanda pada abad XIX dengan lahirnya lembaga baru yang
khusus ditugaskan menuntut atau tidaknya perkara pidana. Asas tersebut merupakan asas hukum tidak tertulis berkaitan dengan pembentukan suatu
badan khusus kekuasaan eksekutif yang secara hirarkhi disusun, yang diberikan terutama untuk menuntut perkara pidana, disamping tugas-tugas
lain seperti penyidikan dan pelaksanaan keputusan hakim. Tidak tertutup kemungkinan dikenalnya sejenis asas oportunitas sebelum abad XIX. Tetapi
asas tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang yang mewakili pemerintah. Yang menjalankan adalah tuan-tuan tanah feodal atau pegawai-pegawai
gereja yang bertindak atas nama gereja”.
96
Menteri Smidt pada tahun 1893 menganjurkan kepada penuntut umum untuk mengadakan penuntutan apabila delik yang dilakukan merugikan ketertiban umum.
Anjuran tersebut memberi fungsi positif kepada asas oportunitas. Agar penuntut umum selalu mempertimbangkan untuk tidak menuntut jika ketertiban umum atau
kepentingan tidak dirugikan. Pelaksanaan asas oportunitas pada abad XIX di Belanda merupakan perbedaan tersendiri karena falsafah hukum pada abad XVIII sampai
permulaan abad XIX menghendaki undang-undang dilaksanakan menurut naskahnya yang berarti dikehendaki pula asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum acara
pidana mewajibkan penuntut umum menuntut setiap kali terdapat dasar dalam naskah perundang-undangan. Pada tahun 1926, Belanda menyusun KUHAP yang
memberikan wewenang penyampingan perkara pidana sebagai hukum tertulis. Asas oportunitas diatur dalam Pasal 167 ayat 2, 242 ayat 2, 244 ayat 3, dan 245 ayat
4 Sv. 1926.
97
96
Ibid. , hal. 26.
97
Ibid. , hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
Asas oportunitas yang sumber asalnya adalah negara Perancis melalui Belanda dimasukkan juga ke Indonesia melalui hukum kebiasaan atau hukum tidak
tertulis. Dikatakan tidak tertulis karena adanya Pasal 179 RO, yang menyatakan
98
“Kepada Hooggerechtshof diberikan kewenangan, bila ada pengaduna pihak yang berkepentingan atau secara lain manapun, mengetahui telah terjadi
kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang
kelapaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan untuk itu.”
:
Pasal 179 RO ini menimbulkan penafsiran yang berkaitan dengan asas oportunitas. Penafsiran itu menyatakan bahwa Pasal 179 RO membuka peluang
untuk pelaksanaan asas oportunitas. Ini dapat dilihat dari ayat pertama ketentuan ini, yaitu : “Kecuali penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah
atau akan dicegah”.
99
Sehingga praktek oportunitas tidak berdasar dari suatu ketentuan undang-undang dan praktik oportunitas juga dilarang menurut Pasal 57
RO, yang menyatakan
100
Menurut Wirjono Prodjodikoro, pendapat tersebut tidak tepat. Bila dikatakan penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan,
ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan :“Bahwa pegawai-pegawai penuntut umum wajib
melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan suatu laporan yang diterim oleh mereka tentang adanya suatu perbuatan yang oleh undang-undang diancam hukuman
pidana”.
98
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 15.
99
Ibid.
100
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan
tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana. Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip
oportunitas”.
101
Asas oportunitas tetap berlaku pada masa penjajahan Jepang dengan dasar hukum yaitu Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan : “Semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan sebelumnya tetap berlaku asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer Jepang”. Peraturan ini
dimaksudkan dengan tujuan tidak terjadi kekosongan hukum. Pada masa kemerdekaan, asas oportunitas tetap berlaku karena dalam Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, menyatakan : “Semua peraturan terdahulu masih berlaku selama belum diadakan yang baru”.
102
101
Ibid.
Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 sekarang Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, maka asas oportunitas diatur secara tertulis. Ketentuan ini memberikan wewenang kepada kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan
kepentingan umum. Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara berdasarkan pertimbangan kepentingan umum. Namun,
Kepala Kejaksaan Negeri melalui Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Tinggi atas perkara yang ditanganinya dapat mengusulkan penyampingan perkara
tertentu kepada Jaksa Agung.
102
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
C. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia
Sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea pertama, yang menyatakan : “Bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu
Undang-Undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun
tidak tertulis”. Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis
yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adatistiadat dan kebisaan-kebiasaan baik yang timbul dalam
penyelenggaraan negara konvensi maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah
lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik dengan penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada masyarakat
primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya.
Pandangan rakyat Indonesia pada waktu itu melihat alam semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap
pelanggaran hukum adat para penegak hukum harus memulihkannya dengan putusan. Pelunasanganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi adat yang telah
Universitas Sumatera Utara
ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa sanskerta “adhyaksa”artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.
Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan asas konkordansi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda
diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum
acara pidana yang ada di dalam HIR Stb. 1926 No. 559 Jo. 496. HIR sendiri berasal dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut
Umum yang dulu di bawah Pamong Praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officer van Justitie untuk golongan Eropa dan Proceireur Generaal
sekarang Jaksa Agung untuk Bumiputera, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi.
103
Sebagaiman yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang menyatakan : “Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum disebut Jaksa.
104
103
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 58.
Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang
boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umum atau Jaksa.
104
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 dua asas, yaitu
105
1. “Asas legalitas, yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu
delik; dan :
2. Asas oportunitas, yakni penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang
yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang
yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan”.
Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya adalah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya
di bawah 6 enam tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan lagi ke Pengadilan, karena hak
penuntutan berada di tangan Jaksa.
106
Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan
pengecualian sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu
penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum.
107
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 tidak mengatur secara
tegas tentang asas oportunitas. Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
105
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 59.
106
Ibid., hal. 62.
107
Ibid., hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 butir 6, menyatakan bahwa : a.
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b.
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim”.
Pasal 14 huruf h, menyatakan bahwa : “Penuntut umum mempunyai wewenang:h. Menutup perkara demi kepentingan hukum”.
Apa yang dimaksud menutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali
tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan melalui perdamaianganti kerugian opportuun.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ada beberapa pasal yang mengatur asas oportunitas, yaitu : Pasal 1 ayat
1, ayat 2; Pasal 30 ayat 1 huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Adapun bunyi ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut :
Pasal 1, menyatakan bahwa : 1
“Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2 Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 30 ayat 1, menyatakan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:Melakukan penuntutan : a. Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal 35, menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: b.
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam hal ini, baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut
asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang pelaksanaan asas
oportunitas melalui Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, Pasal 32 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih
terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu
kepentingan negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu boleh tidaknya perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang
dilakukan. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan policy yang meliputi: perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan
telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat “penseponeran” yaitu pembayaran denda damai yang disetujui oleh para pihak kejaksaan dan tersangka.
108
108
Ibid., hal. 66.
Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan korupsi senilai Rp. 1,3 triliun dan US 419 juta pada 7
Universitas Sumatera Utara
yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan
Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKPP. Presiden RI SBY
meminta agar dilakukan pengendapan wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden Soeharto. DPR juga membentuk Tim Pengkaji kasus Pak Harto untuk
mengontrol pemerintah untuk membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden RI itu. Wakil Presiden RI meminta agar kasus Pak Harto ditutupdihentikan mengingat usia
dan jasa-jasanya kepada negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.
109
Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus
ditegakkan melalui proses hukum, musyawarahdamai bisa ditempuh melalui pengembalian uang negaraganti rugiuang damai opportuun yang jumlah
ditentukan oleh jaksa agung melalui kesepakatan Presiden, wakil Presiden, MA,MK,KY, KAPOLRI dan Menteri-Menteri terkait.
110
Asas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara pidana yang merupakan tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum.
Penuntutan adalah permintaan jaksa sebagai penuntut umum kepada hakim, agar hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan
109
Harian Media Indonesia, diterbitkan Selasa, 16 Mei 2006No.9276Tahun XXXVII, hal. 1.
110
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
maksud apabila hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan keputusannya tentang terdakwa.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum Jaksa tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana
adalah “kepentingan umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum akan
mengenyampingkan perkara pidana seponier artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan.
Sebenarnya lembaga seponering perkara pidana asas oportunitas sama seperti lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun
abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UUD NRI Tahun 1945. Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara diluar sidang untuk perkara-perkara
pidana ringan yang ancaman hukumannya denda. Memberlakukan asas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilaman akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.
111
Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu mengenyampingkan perkara pidana yang sudah
jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari asas ini adalah kepentingan negara maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab ada kemungkinan
bahwa dengan memakai kepentingan negara sebagai alasan seorang jaksa menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk
111
Ibid., hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu.Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan dari terdakwa.
Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa
Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut di muka pengadilan.
Dalam perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana
ditutup dengan kepentingan umum ex asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut
bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara definitifdemi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara
yang demikian cukup alat buktinya.
112
D. Azas Oportunitas Dalam Praktek
Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan, saat yang tepat, layak, kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas
sekali bahwa asas ini tiada lain adalah bertujuan untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna kepentingan masyarakat.
113
Merupakan suatu kenyataan universal bahwa lajunya perkembangan kehidupan masyarakat serta perubahan nilai-nilai baik karena dinamika masyarakat
112
Ibid ., hal. 70.
113
Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
itu secara kodrati maupun sebagai akibat pembangunan, tertuma dalam masyarakat yang sedang berkembang, tidak sepadan dan bahkan cenderung menimbulkan
kesenjangan fisik serta psikis dengan bidang hukum. Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi alam
dan budaya terutama pada kurun waktu menjelang berakhirnya abad ke-20 memberikan suatu gambaran, bahwa hukum pada hari ini sudah tidak mampu lagi
memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan majemuk. Konstatasi ini membawa konsekuensi bahwa hukum harus lebih terampil dalam menghadapi tugas-
tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama
pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya sudah meluntur nilai kemaslahatannya, keadilannya ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang
tidak memiliki dimensi Pancasila. Asas oportunitas dalam hukum positif tertulis telah mempunyai tempat yang
pasti. Pendeponeringan perkara dirasakan masih merupakan suatu kejanggalan karena dengan berlakunya asas ini ada anggapan tidak semua orang berasamaan
kedudukannya di hadapan hukum. Sebagai salah satu unsur rule oflaw adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahwa setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Anggapan-anggapan inilah yang menimbulkan permasalahan dan mungkin mengakibatkan kemerosotan wibawa
hukum apabila perkara dikesampingkan.
Universitas Sumatera Utara
Hukum merupakan kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup di
masyarakat.
114
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula penuntut
umum dalam melakukan penuntutan, harus menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum, karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu
sama lainnya dengan suatu peraturan hukum pidana, serta mencoba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan kepada proposisi yang sebenarnya. Karena
kepentingan umum, maka penunutut umum dapat mengenyampingkan perkara. Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan umum tidak ada batasan pengertian
yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus dikembalikan kepada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi
Namun keadaan yang diinginkan itu kadang-kadang tidak selalu selaras dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Hal ini antara lain
disebabkan kaidah-kaidah hukum selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat lajunya. Kepekaan para penegak hukum dalam
menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok.
114
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1980, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
bangsa Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai kewenangan jaksa agung untuk meniadakan penuntutan ke muka pengadilan terhadap seseorang,
walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Jadi asas oportunitas lebih merupakan suatu kebijaksanaan yang memberi wewenang
kepada Jaksa Agung untuk memotong salah satu mata rantai proses pengadilan, karena mata rantai proses pengadilan itu tiada lain adalah penyidikan-penuntutan-
pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan eksekusi.
115
Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong satu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi
kemaslahatn masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang
sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat. Karena itu asas oportunitas
merupakan bagian dari ikhtiar manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan perlu dipelihara serta diperkembangkan di dalam celah-celah kaidah hukum yang
memaksa. Apabila dewasa ini asas oprtunitas masih dihormati dan diakui hanyalah mengenai kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk
meniadakan salah satu mata rantai dari rangkaian proses peradilan yakni wewenang untuk tidak menuntut maka timbul pertanyaan apakah kebiasaan ini sudah cukup
115
Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
tetaptepat apabila dihubungkan dengan pengertian proses peradilan secara keseluruhan.
Kewenangan untuk tidak menuntut atas pertimbangan kepentingan umum, disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan
masyarakat maka adalah layak pula apabila dipertimbangkan memperlakukan kewenangan ini pada salah satu mata rantai lainnya sepanjang penerapan hukum
kebiasaan ini juga memberikan kemaslahatan umum, katakanlah mata rantai eksekusi. Dalam hal ini patut diketengahkan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang
mengemukakan asas oportunitas itu yaitu menggantungkan hal akan melakukan sesuatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu persatu.
116
Penerapan asas oportunitas secara khusus pada mata rantai eksekusi berupa penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan dianggap wajar, layak dan pantas.
Mata rantai eksekusi sesungguhnya lebih merupakan kebijaksanaan penuntutan umum sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret
1958 Register Nomor 16 KKr1958. Kebebasan ruang gerak bagi Penuntut Umum bagi Penuntut Umum dalam eksekusi atau adanya “freies ermessen” dalam
pelaksanaan hukuman, merupakan suatu hal yang wajar.
117
Jaksa selaku eksekutor dapat menilai secara faktual dan situasional, untuk menetapkan secara arif dan bijaksana saat yang paling tepat untuk melaksanakan
atau menangguhkan eksekusi.
116
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cet. X, Bandung: Sumur, 1980, hal. 21.
117
Ibid ., hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
Wewenang penuntutan dan meniadakan penuntutan sebagai salah satu mata rantai proses peradilan merupakan kebijaksanaan Jaksa Agung selaku Penuntut
Umum tertinggi. Untuk menerapkan asas oportunitas pada mata rantai eksekusi, di samping harus dilandasi pada kemudahan-kemudahan hukum yang tersedia masih
memerlukan suatu pertimbangan secermat mungkin, karena perwujudannya sebagai kebijaksanaan harus memberi dampak yang positif dalam upaya mewujudkan cita
hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan memahami kedudukan dan kaitan integral antara mata rantai proses peradilan, maka kebijaksanaan untuk meniadakan
penuntutan berdasarkan asas oportunitas, dianggap cukup beralasan untuk memperlakukan juga pada mata rantai eksekusi, karena kebebasan wewenang
penuntutan prosecutorial discretion dan kebebasan kewenangan eksekusi eksecutorial discreation kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan, baik
menurut teori ilmu hukum, maupun penuntutan kelayakan, yang wajar dan patut berdasarkan kemanusiaan dan keadilan yang diterapkan secara selektif serta
kasuistis.
118
Tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di bidang penuntutan dan eksekusi. Prajudi Atmosudirdjo menerjemahkan discreation
Inggris, discretion Perancis dan freiess ermessen jerman “sebagai kebebasan bertindak” atau mengambil keputusan menurut “pendapat sendiri”. Yang pelu di jaga
adalah agar diskresi tersebut tidak berubah menjadi detournement du pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hubungan ini maka pernayataan Lord Halsbury
dalam bukunya A.F.Wilcox tersebut dapat dijadikan pedoman, yakni bahwa
118
Ibid ., hal. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
penangguhan wewenang diskresi tersebut dilakukan within the rules of reason and justice.
119
Dalam praktek, bilamana suatu perkara dari sesuatu Kejari hendak dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan
saran dari Muspida Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah dengan penjelasan- penjelasan kemungkinan adanya akibat negatif dalam masyarakat bilamana perkara
dimajukan di persidangan.
120
Hal ini tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi merupakan suatu hal yang baik dilakukan Kejaksaan apabila akan melakukan SKP2.
Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan Permohonan kepada Jaksa Agung RI agar Jaksa Agung mengenyampingkan perkara tersebut. Dari uraian
tersebut penyampingan perkara pidana harus benar-benar demi kepentingan umum.
Akhir Oktober 2010, Jaksa Agung Pelaksana Tugas Plt. Darmono telah menyatakan deponeering perkara pidana Bibit-Chandra. Sebagai catatan, Darmono
diangkat menjadi pelaksana tugas jaksa agung berdasarkan Keputusan Presiden No 104P2010 yang terbit pada 25 September 2010. Alasan dikeluarkannya
deponeering oleh Darmono lebih disebabkan faktor sosiologis, yaitu agar kinerja
KPK dalam pemberantasan korupsi tidak terhambat, sebab bila kedua tersangka diajukan ke pengadilan, maka statusnya akan berubah menjadi terdakwa. Sebagai
konsekuensinya, kedua pimpinan KPK tersebut harus diberhentikan secara permanen Contoh Kasus I
119
Ibid .
120
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta: Gramedia, 1995, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat 1 huruf c. Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Upaya penghentian perkara ini sebenarnya telah dilakukan kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan SKPP. Kemudian SKPP
ini di pra-peradilankan, bahkan secara luar biasa hingga tahap kasasi, padahal menurut KUHAP, pra-peradilan hanya dapat dilakukan hingga tingkat banding.
Sekalipun telah sampai ke tahapan kasasi, Mahkamah Agung memutus bahwa SKPP tidak sah, karena SKPP dibuat berdasarkan alasan sosiologis. Perbedaannya SKPP
dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, yaitu adanya celah “kepentingan umum”, artinya, selama bisa dibuat merepresentasikan kepentingan
umum bisa dijadikan alasan. Kini kemunculan kepentingan umum sebagai suatu premis dalam penalaran
hukum. Alasan sosiologis Jaksa Agung ditempatkan sebagai penjelasan kepentingan umum. Demi kepentingan umum berarti, jangan sampai terhambatnya kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi.
121
Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan mulai beroperasi sejak 15 Oktober 2003.
Lembaga ini memiliki kewnangan untuk mengadili perkara-perkara seputar: Contoh Kasus II.
1. “Judicial reviewUndang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
121
David Tampubolon, “Polemik Pemanfaatan Asas Oportunitas”, http:davidtampubolon.wordpress.com20101111polemik-pemanfaatan-asas-oportunitas., diakses
pada 11 November 2012.
Universitas Sumatera Utara
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
122
Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang sangat vital dalam hal ketatanegaraan Republik Indonesia. Kepentingan umum, yang
diterjemahkan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, menjelma sempurna dalam wilayah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, institusi ini dilanda dugaan
korupsi. Opini Refly Harun mengenai adanya indikasi suap dalam kinerja hakim- hakim konstitusi, diawali adanya cerita-cerita dari anggota masyarakat di Papua
mengenai mahalnya ongkos berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ongkos perkara untuk memutus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa mencapai
Rp. 1.000.000.000,- satu miliar rupiah. Opini demikian memancing reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Mahfud M.D. yang menjabat Ketua Mahkamah
Konstitusi. Mahfud langsung meminta Refly untuk membentuk Tim Investigasi Internal, untuk mencari bukti-bukti dugaan korupsi. Apabila ditemukan indikasi dan
bukti korupsi, maka akan diselesaikan secara hukum. Sikap tegas demikian, patut dihargai, namun patut juga diwaspadai konsekuensinya. Hakim yang memeriksa dan
memutus perkara di Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 sembilan orang. Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dilakukan dalm
sidang pleno yang diikuti 9 sembilan hakim, dan dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 tujuh orang hakim. Persoalan akan menjadi pelik jika ternyata di
122
Lihat : Pasal 10, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
kemudian hanya tersedia 6 enam orang hakim, karena 3 tiga orang lainnya tengah ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Memang, hakim Mahkamah Konstitusi, tidak
serta-merta diberhentikan karena menjadi tersangka atau terdakwa, mereka hanya akan diberhentikan apabila sudah menjadi terpidana dan putusan hakim telah
berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memiliki batasan waktu dalam memutus perkara-perkara yang diajukan, dan tidak sahnya satu atau dua
perkara yang diajukan. Misalnya saja, dalam perkara sengeketa pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi memiliki batas waktu bekerja 14 empat belas hari untuk
memutus, jangka waktu ini lebih singkat dari masa penahanan yaitu 20 dua puluh hari. Letak persoalan sesungguhnya, apakah Mahkamah Konstitusi tetap dapat
bekerja dengan 6 enam orang hakim? Tentu saja tidak. Pemeriksaan tindak pidana korupsi tentu menyita banyak waktu, dan pemeriksaan tingkat penyidikan, hingga
persidangan akan sangat menghambat kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, yang artinya kepentingan umum bangsa, negara dan masyarakat akan terhambat. Apakah
ini akan jadi alasan bagi pengesampingan tuntutan pidana? Itupun kalau kejaksaan yang mengurus perkara ini, jika Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki otoritas untuk mengesampingkan perkara. Namun preseden hukum telah terbentuk. Jika langkah deponeering diambil,
maka menjadi satu konklusi bahwa pejabat tinggi negara yang mengurusi kepentingan umum secara eksklusif, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, hakim Mahkamah Konstitusi hingga Presiden adalah orang-orang yang kebal hukum.
123
123
David Tampubolon,Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Perkara Pidana
Terkait Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah subjectief strafrecht
just puniendi, yang didalamnya recht bukan berarti hukum, melainkan hak, yaitu hak dari negara yang diwakili oleh alat-alatnya untuk
menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana.
124
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 angka 1 dan 2 memberikan pengertian tentang Jaksa, yakni sebagai berikut:
Alat-alat negara itu adalah Jaksa.
1. “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Menurut Andi Hamzah, “Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa dan wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya
tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum”.
125
Seperti diketahui bersama bahwa setiap tindak pidana selalu disertai ancaman pidana. Sebagian besar para sarjana tetap mempercayai bahwa hukuman merupakan
124
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hal. 148.
125
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
suatu hal yang patut dikenakan terhadap pelaku kejahatan. Beberapa diantaranya berupaya untuk memberikan pendasaran moral terhadap hukuman legal. Kant
misalnya memberikan penjelasan “menghukum kejahatan adalah kewajiban moral.”
126
Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan
yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karena si individu terhukum
terbukti melakukan kejahatan. Karena tak seorang pun boleh diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari orang lain.”
127
Perkataan Kant, mengisyaratkan bahwa : “Dibenarkan menghukum seseorang yang bersalah dan mempunyai hak
moral untuk melakukan hal demikian”. Sehubungan dengan hal ini, Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Bassiouni, menyatakan bahwa : “Pidana hanya
dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat, pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat”.
128
Penyampingan perkara merupakan suatu cara dimana tidak perlu menghukum seseorang yang bersalah walaupun orang tersebut telah terbukti
bersalah atas dasar asas oportunitas yang yang berlaku pada yurisdiksi kejaksaan.Andi Hamzah mengemukakan bahwa “dalam asas oportunitas, jaksa boleh
memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki atau apabila penuntutan
126
Yong Ohtimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 7.
127
Ibid. , hal. 7
128
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Adtya Bakti, 1996, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
itu lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan itu dilakukan.”
129
Mengenai kepentingan umum dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c. Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hanya
memberikan penjelasan bahwa : “Kepentingan umum itu sebagai kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat luas”. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
130
Sejauh ini jaksa selalu beranggapan bahwa jaksa dapat menghentikan penuntutan dan bukan mengenyampingkan perkara. Menghentikan penuntutan demi
kepentingan hukum bukan kepentingan umum.
131
Apabila dilihat dari latar belakang sejarah sesungguhnya awal mula asas oportunitas itu dibawa oleh Belanda ke
Indonesia.
132
129
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 14.
Praktek yang diturut oleh Penuntut Umum di Indonesia sejak zaman Belanda adalah menganut principe-oportunita. Dengan principe-oportunita ini Jaksa
sebagai Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting yaitu menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah terang benderang pembuktiannya.
130
Harian Kompas, “Rubrik Opini : Deponeering Kasus Bibit Chandra”, diterbitkan Kamis, 18 Oktober 2012.
131
Darmono, sebagai Wakil Jaksa Agung, menyatakan bahwa : “Soal opsi penghentian tuntutan, dengan alasan anak di bawah umur, bisa saja ditempuh Jaksa, sebab Undang-Undang
mengatur ketentuan itu. Jaksa berwenang menghentikan penuntutan atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Sumber : Harian Jurnal Nasional, “Soal Kasus Sandal Jepit, Kejagung
Hanya Berharap Bisa Segera Tuntas”, diterbitkan Selasa, 03 Januari 2012.
132
Lihat : Pasal 167 ayat 2, Pasal 242 ayat 2, Pasal 244 ayat 3, dan 245 ayat 4 Sv.1926.
Universitas Sumatera Utara
Belanda mengartikan asas oportunitas sebagai “penuntut umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat”.
133
Kedudukan Penuntut Umum dalam hal ini sangat kuat, sehingga disebut sebagai semi-judge
setengah hakim karena kebebasannya secara individual untuk menuntut atau tidak menuntut.
134
Dalam PenjelasanUndang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan secara tegas bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa
Agung-lah yang mempunyai hak mengenyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Jaksa Agung bisa menganggap bahwa akan lebih banyak
kerugiannya apabila menuntut baik untuk masyarakat maupun untuk negara, maka perkara tersebut dikesampingkan.Sebagai pertanggungjawaban Jaksa Agung atas hak
oportunitas ini, Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia. Apabila ternyata tetap bahwa cara-cara pelaksanaan hak tersebut timbul keragu-raguan, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan
dari Pemerintah Presiden atau Jaksa Agung. Pada akhirnya Presiden harus mempertanggungjawabkandi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
135
Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana,
perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang
133
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta : Bagian Hukum Bagian TIT, Pemerintah Kota Yogyakarta, 2011.
134
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Op.cit., 17-18.
135
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya, asas oportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan
kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan
hukum dikesampingkan.
136
Apabila diteliti lebih lanjut pemberian kewenangan pengenyampingan perkara pidana kepada jaksa sesuai dengan asas hukum acara pidana yang diatur
dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana salah satu asasnya mengatur tentang peradilan yang harus dilakukan dengan cepat,
sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Bila diperhatikan satu persatu
mengenai asas tersebut maka dengan penyampingan perkara pidana oleh jaksa proses peradilannya cukup diselesaikan di Kejaksaan sehingga proses peradilan itu tidak
memakan waktu yang lama dan panjang. Peradilan yang sederhana dan biaya ringan otomatis dapat terwujud bila
proses penyelesaian peradilan itu diselesaikan dengan cepat. Sifat sederhana itu diperoleh karena prosesnya tidak berbelit-belit. Administrasi perkara ini jumlahnya
banyak dan biasanya dibuat dalam beberapa rangkap, tentu saja hal tersebut membutuhkan biaya yang banyak sehingga asas biaya ringan yang ingin dicapai akan
sulit sekali terwujud.
136
Yahya Harahap, Op.cit., hal. 436-437.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENGATURAN ASAS OPORTUNITAS PADA KUHAP DAN UNDANG-
UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Dalam Tindak Pidana Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1. Penghentian Penyidikan
KUHAP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan, KUHAP hanya memberikan perumusan tentang pengertian penyidikan
dalam Pasal 1 angka 2, yakni : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Penghentian penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP, dimana dinyatakan :
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tertentu ternyata bukan merupakan tindak pidan atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Dengan merangkaikan pengertian penyidikan dan ketentuan tentang penghentian penyidikan tersebut, kiranya dapatlah dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan penghentian penyidikan itu adalah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena
untuk membuat terang peristiwa itu dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya
72
Universitas Sumatera Utara
tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
137
Sesuai dengan Pasal 109 ayat 1 KUHAP, penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada penuntut umum apabila penyidik telah mulai melakukan
tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan yang dilakukannya. Sebagaimana
yang ditegaskan, pemberitahuan penyidik kepada penuntut umum dianggap kewajiban yang harus dilakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang
disusul kemudian dengan tulisan. Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan permintaan kepada Praperadilan untuk memeriksa
sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Mengenai alasan atau dasar pertimbangan pembentuk undang-undang
memberikan wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan, M. Yahya Harahap berpendapat bahwa rasio atau alasan pemberian weweang penghentian ini,
antara lain
138
a. “Untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan dan
sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak
cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik
secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka
dan masyarakat; :
b. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab
kalau perkaranya diteruskan tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk
137
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 311.
138
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 150.
Universitas Sumatera Utara
menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberi hak kepada tersangkaterdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasar kepada Pasal 95
KUHAP”.
Undang-undang telah menyebutkan secara limitatif alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau
penggarisan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada diri pejabat pejabat penyidik. Dengan penggarisan ini, undang-undang
mengharapkan agar di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alsan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semaunya
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas
sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi pra- peradilan, penggarisan alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan
dalam pemeriksaan sidang pra-peradilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas sah tidaknya penghentian penyidikan.
139
Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada Pasal 109 ayat 2 KUHAP terdiri dari :
a. Tidak Diperoleh Bukti Yang Cukup
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan
tersangka jika diajukan kepdepan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan
139
Ibid. ,hal. 150-151.
Universitas Sumatera Utara
ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan. Penghentian penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa
akibat hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat megumpulkan bukti-bukti
yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai lagi. Alasannya, ditinjau dari segi hukum formal, penghentian penyidikan tidak termasuk
kategori ne bis in idem. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk ruang lingkup putusan peradilan, masih bertaraf kebijaksanaan yang diambil pada tahap
penyidikan, sehingga yang melekat pada tindakan penghentian penyidikan hanya terbatas pada cacat tidak terpenuhi syarat formal penyidikan.
Untuk memahami pengertian “cukup bukti” sebaiknya penyidik memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang
menegaskan prinsip “batas minimal pembuktian” sekurang-kurangnya ada dua alat bukti, dihubungkan dengan Pasal 184 dan seterusnya, yang berisi penegasan dan
penggarisan tentang alat-alat bukti yang sah di persidangan pengadilan. Kepada ketentuan Pasal 184 inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat bukti yang ada
di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka di muka persidangan. Demi terlaksananya asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya
ringan sebagaimana terkandung dalam KUHAP, maka penyidikan perkara tersebut dihentikan, guna menegakkan kepastian hukum. Karena jika seandainya penyidikan
tidak dihentikan oleh penyidik, maka pada tahap penuntutan, penuntut umum akan menghentikan penuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat 2 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian sekiranya di tingkat penuntutan, penuntut umum tidak menghentikan penuntutan perkara itu, tetapi mengajukannya ke persidangan, maka pengadilan akan
membebaskan terdakwa karena dakwaan tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian meneruskan hasil penyidikan yang tidak terdapat cukup bukti ke tahap penuntutan
dan pemeriksaan sidang adalah tindakan yang sia-sia dan bertentangan asas peradilan tersebut diatas.
140
Tetapi jika di belakang hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap
tersangka yang telah pernah dihentikan pemeriksaan penyidikannya.
b. Peristiwa Yang Disangkakan Bukan Merupakan Tindak Pidana
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yag disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan
kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan pnyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk
kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana
khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan dan wajib untuk dihentikan. Diakui, bahwa terkadang sulit
untuk menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan.
Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. Misalnya, antara perjanjianutang-piutang
140
Harun M. Husein, Op.cit., hal. 313.
Universitas Sumatera Utara
dengan penipuan, sering kreditur mengadukan debitur telah melakukan penipuan kepada penyidik atas alasan tidak melaksanakan pembayaran utang yang telah
dijanjikan. Dalam peristiwa seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar utang yang dijanjikan, bisa dikonstruksikan sebagai penipuan, sehingga apabila
aparat penyidik kurang cermat, bisa tergelincir untuk menampung peristiwa seperti itu sebagai tindak pidana penipuan dan sebagainya.
c. Penghentian Penyidikan Demi Hukum
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang
diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 76,77,78 dan seterusnya, antara lain:
1 Ne bis in Idem, yaitu sesorang tidak dapat lagi dituntut untuk edua kalinya
atas dasar perbuatan yang sama terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau
pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem termasuk slah satu
hak asasi manusi yang harus dilindungi hukumdan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum, bahwa seseorang tidak diperkenankan
mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya telah diputus suatu peristiwa tindak
pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan ataupun pelepasan
Universitas Sumatera Utara
dari tuntutan hukum dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilajkukan pemeriksaan,
penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
2 Tersangka Meninggal Dunia Pasal 77 KUHP
Dengan meninggalnya tersangka dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada
abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang berasngkutan.
Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum
pidana hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya
tersangka penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
3 Karena Kedaluwarsa Pasal 78 KUHP
Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan tindak pidana
tidak boleh lagi dilakukan. Pasal 78 KUHP tersebut menyebutkan: 1
“Sesudah lewat waktu 1 tahun bagi segala pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan;
2 Sesudah lewat 6 tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda,
kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun; 3
Sesudah lewat 12 tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang lebih dari 3 tahun
Universitas Sumatera Utara
4 Sesudah lewat 18 tahun, bagi semua kejahatan yang terancam hukuman
mati atau penjara seumur hidup; 5
Bagi orang yang ada pada waktu melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup 18 tahun, maka tempo gugrnya waktu tersebut di atsa
dikurangi sehingga jadi sepertiganya”.
Sehubungan dengan ketentuan tentang kedaluwarsa tersebut, Pompe sebagaimana dikutip oleh PAF.Lamintang dan Djisman Samosir yang
menyatakan bahwa : “Waktu itu mempengaruhi masalah penuntutan melalui 2 dua cara, yaitu
141
“Pertama, lampaunya waktu yang panjang itu memperlemah ingatan mengenai pelanggaran hukum yang pernah terjadi dan karenanya
mempengaruhi doelmatigheid dari penghukumannya. Kedua, ia mempersulit pembuktian dan memperkecil kemungkinan untuk berhasil di dalam
penuntutan. Pembentuk undang-undang telah menetapkan jangka waktu setelah waktu mana msalah penunututan itu menjadi kedaluwarsa menurut
undang-undang, semata-mata arena kedua alasan tersebut.” :
Sedangkan Van Hammel menyatakan bahwa: “memori van toelichting memberikan 2 dua alasan pokok mengenai dicantumkannya lembaga
kedaluwarsa di dalam undang-undang, yaitu hilangnya ingatan terhadap kejahatan-kejahatan dan terhadap kemungkinan pembuktian”.
142
Mengenai cara perhitungan tenggang waktu kedaluwarsa, mulai dihitung dari keesokan
harinya sesudah perbuatan tindak pidana dilakukan, kecuali mengenai cara perhitungan yang ditentukan Pasal 79 KUHP.
143
141
Ibid. , hal. 316.
142
Ibid.
143
M. Yahya Harahap, Op.cit.,hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai tata cara penghentian penyidikan ini, dalam Tambahan Pedoman Pelaksaan KUHAP pada Butir 4 diberikan petunjuk sebagai berikut:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, maka penyidik harus melaksanakan ketentuan Pasal 109 ayat 2 KUHAP, yaitu memberitahukan
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dalam hak penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan, harus melaksanakan
ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf c KUHAP, yaitu turunan surat penetapannya wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau
penasehat hukum.”
Pemberitahuan penghentian penyidikan merupakan kewajiban, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Adapun pemberitahuan penghentian
penyidikan ini diuraikan sebagai berikut
144
a. Jika yang melakukan penghentian itu Penyidik Polri, pemberitahuan penghentian
penyidikan disampaikan kepada: :
1 Penuntut umum, dan
2 Tersangka atau keluarganya.
b. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan kepada: 1
Penyidik Polri, sebagai pejebat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan, dan
2 Penuntut umum.
Bahkan jika bertitik tolak dari angka 11 Lampiran Kep. Menkeh. No. M. 14- PW.031983, pemberitahuan penghentian penyidikan juga meliputi pemberitahuan
kepada
145
144
Ibid.
:
Universitas Sumatera Utara
a. Penasihat hukumnya, dan
b. Saksi pelapor atau korban.
Pemberitahuan penghentian penyidikan tersebut merupakan suatu kewajiban,
karena ditinjau dari segi saling adanya pengawasan horizontal baik antara sesama instansi aparat penegak hukum dalam hal ini pihak penuntut umum maupun
pengawasan horizontal dari pihak luar dalam hal ini tersangka atau keluarganya.
146
Dalam Rakergab Makehjapol I Tahun 1984 dikemukakan bahwa belum terdapat keseragaman pendapat mengenai kelengkapan atau lampiran surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan oleh penyidik. Pemecahannya adalah sebagai lampiran untuk surat pemberitahuan penghentian penyidikan ialah
resumelapju, surat ketetapan penghentian penyidikan.
147
2. Penghentian Penuntutan