Azas Oportunitas Dalam Praktek

kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu.Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan dari terdakwa. Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut di muka pengadilan. Dalam perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana ditutup dengan kepentingan umum ex asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara definitifdemi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara yang demikian cukup alat buktinya. 112

D. Azas Oportunitas Dalam Praktek

Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan, saat yang tepat, layak, kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas sekali bahwa asas ini tiada lain adalah bertujuan untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna kepentingan masyarakat. 113 Merupakan suatu kenyataan universal bahwa lajunya perkembangan kehidupan masyarakat serta perubahan nilai-nilai baik karena dinamika masyarakat 112 Ibid ., hal. 70. 113 Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96. Universitas Sumatera Utara itu secara kodrati maupun sebagai akibat pembangunan, tertuma dalam masyarakat yang sedang berkembang, tidak sepadan dan bahkan cenderung menimbulkan kesenjangan fisik serta psikis dengan bidang hukum. Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi alam dan budaya terutama pada kurun waktu menjelang berakhirnya abad ke-20 memberikan suatu gambaran, bahwa hukum pada hari ini sudah tidak mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan majemuk. Konstatasi ini membawa konsekuensi bahwa hukum harus lebih terampil dalam menghadapi tugas- tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya sudah meluntur nilai kemaslahatannya, keadilannya ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang tidak memiliki dimensi Pancasila. Asas oportunitas dalam hukum positif tertulis telah mempunyai tempat yang pasti. Pendeponeringan perkara dirasakan masih merupakan suatu kejanggalan karena dengan berlakunya asas ini ada anggapan tidak semua orang berasamaan kedudukannya di hadapan hukum. Sebagai salah satu unsur rule oflaw adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Anggapan-anggapan inilah yang menimbulkan permasalahan dan mungkin mengakibatkan kemerosotan wibawa hukum apabila perkara dikesampingkan. Universitas Sumatera Utara Hukum merupakan kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat. 114 Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula penuntut umum dalam melakukan penuntutan, harus menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum, karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lainnya dengan suatu peraturan hukum pidana, serta mencoba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan kepada proposisi yang sebenarnya. Karena kepentingan umum, maka penunutut umum dapat mengenyampingkan perkara. Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan umum tidak ada batasan pengertian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus dikembalikan kepada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi Namun keadaan yang diinginkan itu kadang-kadang tidak selalu selaras dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan kaidah-kaidah hukum selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat lajunya. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok. 114 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1980, hal. 23. Universitas Sumatera Utara bangsa Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai kewenangan jaksa agung untuk meniadakan penuntutan ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Jadi asas oportunitas lebih merupakan suatu kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk memotong salah satu mata rantai proses pengadilan, karena mata rantai proses pengadilan itu tiada lain adalah penyidikan-penuntutan- pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan eksekusi. 115 Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong satu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatn masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat. Karena itu asas oportunitas merupakan bagian dari ikhtiar manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan perlu dipelihara serta diperkembangkan di dalam celah-celah kaidah hukum yang memaksa. Apabila dewasa ini asas oprtunitas masih dihormati dan diakui hanyalah mengenai kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan salah satu mata rantai dari rangkaian proses peradilan yakni wewenang untuk tidak menuntut maka timbul pertanyaan apakah kebiasaan ini sudah cukup 115 Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96. Universitas Sumatera Utara tetaptepat apabila dihubungkan dengan pengertian proses peradilan secara keseluruhan. Kewenangan untuk tidak menuntut atas pertimbangan kepentingan umum, disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan masyarakat maka adalah layak pula apabila dipertimbangkan memperlakukan kewenangan ini pada salah satu mata rantai lainnya sepanjang penerapan hukum kebiasaan ini juga memberikan kemaslahatan umum, katakanlah mata rantai eksekusi. Dalam hal ini patut diketengahkan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan asas oportunitas itu yaitu menggantungkan hal akan melakukan sesuatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu persatu. 116 Penerapan asas oportunitas secara khusus pada mata rantai eksekusi berupa penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan dianggap wajar, layak dan pantas. Mata rantai eksekusi sesungguhnya lebih merupakan kebijaksanaan penuntutan umum sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret 1958 Register Nomor 16 KKr1958. Kebebasan ruang gerak bagi Penuntut Umum bagi Penuntut Umum dalam eksekusi atau adanya “freies ermessen” dalam pelaksanaan hukuman, merupakan suatu hal yang wajar. 117 Jaksa selaku eksekutor dapat menilai secara faktual dan situasional, untuk menetapkan secara arif dan bijaksana saat yang paling tepat untuk melaksanakan atau menangguhkan eksekusi. 116 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cet. X, Bandung: Sumur, 1980, hal. 21. 117 Ibid ., hal. 100. Universitas Sumatera Utara Wewenang penuntutan dan meniadakan penuntutan sebagai salah satu mata rantai proses peradilan merupakan kebijaksanaan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk menerapkan asas oportunitas pada mata rantai eksekusi, di samping harus dilandasi pada kemudahan-kemudahan hukum yang tersedia masih memerlukan suatu pertimbangan secermat mungkin, karena perwujudannya sebagai kebijaksanaan harus memberi dampak yang positif dalam upaya mewujudkan cita hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan memahami kedudukan dan kaitan integral antara mata rantai proses peradilan, maka kebijaksanaan untuk meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas, dianggap cukup beralasan untuk memperlakukan juga pada mata rantai eksekusi, karena kebebasan wewenang penuntutan prosecutorial discretion dan kebebasan kewenangan eksekusi eksecutorial discreation kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut teori ilmu hukum, maupun penuntutan kelayakan, yang wajar dan patut berdasarkan kemanusiaan dan keadilan yang diterapkan secara selektif serta kasuistis. 118 Tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di bidang penuntutan dan eksekusi. Prajudi Atmosudirdjo menerjemahkan discreation Inggris, discretion Perancis dan freiess ermessen jerman “sebagai kebebasan bertindak” atau mengambil keputusan menurut “pendapat sendiri”. Yang pelu di jaga adalah agar diskresi tersebut tidak berubah menjadi detournement du pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hubungan ini maka pernayataan Lord Halsbury dalam bukunya A.F.Wilcox tersebut dapat dijadikan pedoman, yakni bahwa 118 Ibid ., hal. 101-102. Universitas Sumatera Utara penangguhan wewenang diskresi tersebut dilakukan within the rules of reason and justice. 119 Dalam praktek, bilamana suatu perkara dari sesuatu Kejari hendak dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan saran dari Muspida Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah dengan penjelasan- penjelasan kemungkinan adanya akibat negatif dalam masyarakat bilamana perkara dimajukan di persidangan. 120 Hal ini tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi merupakan suatu hal yang baik dilakukan Kejaksaan apabila akan melakukan SKP2. Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan Permohonan kepada Jaksa Agung RI agar Jaksa Agung mengenyampingkan perkara tersebut. Dari uraian tersebut penyampingan perkara pidana harus benar-benar demi kepentingan umum. Akhir Oktober 2010, Jaksa Agung Pelaksana Tugas Plt. Darmono telah menyatakan deponeering perkara pidana Bibit-Chandra. Sebagai catatan, Darmono diangkat menjadi pelaksana tugas jaksa agung berdasarkan Keputusan Presiden No 104P2010 yang terbit pada 25 September 2010. Alasan dikeluarkannya deponeering oleh Darmono lebih disebabkan faktor sosiologis, yaitu agar kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi tidak terhambat, sebab bila kedua tersangka diajukan ke pengadilan, maka statusnya akan berubah menjadi terdakwa. Sebagai konsekuensinya, kedua pimpinan KPK tersebut harus diberhentikan secara permanen Contoh Kasus I 119 Ibid . 120 Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta: Gramedia, 1995, hal. 90. Universitas Sumatera Utara dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat 1 huruf c. Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya penghentian perkara ini sebenarnya telah dilakukan kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan SKPP. Kemudian SKPP ini di pra-peradilankan, bahkan secara luar biasa hingga tahap kasasi, padahal menurut KUHAP, pra-peradilan hanya dapat dilakukan hingga tingkat banding. Sekalipun telah sampai ke tahapan kasasi, Mahkamah Agung memutus bahwa SKPP tidak sah, karena SKPP dibuat berdasarkan alasan sosiologis. Perbedaannya SKPP dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, yaitu adanya celah “kepentingan umum”, artinya, selama bisa dibuat merepresentasikan kepentingan umum bisa dijadikan alasan. Kini kemunculan kepentingan umum sebagai suatu premis dalam penalaran hukum. Alasan sosiologis Jaksa Agung ditempatkan sebagai penjelasan kepentingan umum. Demi kepentingan umum berarti, jangan sampai terhambatnya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. 121 Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan mulai beroperasi sejak 15 Oktober 2003. Lembaga ini memiliki kewnangan untuk mengadili perkara-perkara seputar: Contoh Kasus II. 1. “Judicial reviewUndang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 121 David Tampubolon, “Polemik Pemanfaatan Asas Oportunitas”, http:davidtampubolon.wordpress.com20101111polemik-pemanfaatan-asas-oportunitas., diakses pada 11 November 2012. Universitas Sumatera Utara 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 122 Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang sangat vital dalam hal ketatanegaraan Republik Indonesia. Kepentingan umum, yang diterjemahkan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, menjelma sempurna dalam wilayah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, institusi ini dilanda dugaan korupsi. Opini Refly Harun mengenai adanya indikasi suap dalam kinerja hakim- hakim konstitusi, diawali adanya cerita-cerita dari anggota masyarakat di Papua mengenai mahalnya ongkos berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ongkos perkara untuk memutus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa mencapai Rp. 1.000.000.000,- satu miliar rupiah. Opini demikian memancing reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Mahfud M.D. yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfud langsung meminta Refly untuk membentuk Tim Investigasi Internal, untuk mencari bukti-bukti dugaan korupsi. Apabila ditemukan indikasi dan bukti korupsi, maka akan diselesaikan secara hukum. Sikap tegas demikian, patut dihargai, namun patut juga diwaspadai konsekuensinya. Hakim yang memeriksa dan memutus perkara di Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 sembilan orang. Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dilakukan dalm sidang pleno yang diikuti 9 sembilan hakim, dan dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 tujuh orang hakim. Persoalan akan menjadi pelik jika ternyata di 122 Lihat : Pasal 10, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Universitas Sumatera Utara kemudian hanya tersedia 6 enam orang hakim, karena 3 tiga orang lainnya tengah ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Memang, hakim Mahkamah Konstitusi, tidak serta-merta diberhentikan karena menjadi tersangka atau terdakwa, mereka hanya akan diberhentikan apabila sudah menjadi terpidana dan putusan hakim telah berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memiliki batasan waktu dalam memutus perkara-perkara yang diajukan, dan tidak sahnya satu atau dua perkara yang diajukan. Misalnya saja, dalam perkara sengeketa pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi memiliki batas waktu bekerja 14 empat belas hari untuk memutus, jangka waktu ini lebih singkat dari masa penahanan yaitu 20 dua puluh hari. Letak persoalan sesungguhnya, apakah Mahkamah Konstitusi tetap dapat bekerja dengan 6 enam orang hakim? Tentu saja tidak. Pemeriksaan tindak pidana korupsi tentu menyita banyak waktu, dan pemeriksaan tingkat penyidikan, hingga persidangan akan sangat menghambat kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, yang artinya kepentingan umum bangsa, negara dan masyarakat akan terhambat. Apakah ini akan jadi alasan bagi pengesampingan tuntutan pidana? Itupun kalau kejaksaan yang mengurus perkara ini, jika Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki otoritas untuk mengesampingkan perkara. Namun preseden hukum telah terbentuk. Jika langkah deponeering diambil, maka menjadi satu konklusi bahwa pejabat tinggi negara yang mengurusi kepentingan umum secara eksklusif, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, hakim Mahkamah Konstitusi hingga Presiden adalah orang-orang yang kebal hukum. 123 123 David Tampubolon,Loc.cit. Universitas Sumatera Utara

E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Perkara Pidana